Datasets:
question
stringlengths 22
1.58k
| answer
stringlengths 2.46k
21.9k
| context
stringlengths 26
245k
|
---|---|---|
Apa pasal yang bisa menjerat pengurus yayasan filantropi yang menyalahgunakan dana donasi? Apakah penyelewengan atau penyalahgunaan dana donasi yayasan swasta itu bisa dikategorikan sebagai korupsi? Apakah masyarakat dapat melaporkan kasus tersebut kepada KPK? | ULASAN LENGKAP Bisakah Penyalahgunaan Dana Donasi Dijerat Pasal Tipikor? Untuk menjawab pertanyaan Anda mengenai apakah penyalahgunaan dana donasi yayasan swasta bisa dikategorikan sebagai korupsi, maka terlebih dahulu harus dipahami pengertian korupsi. Dalam perspektif yuridis normatif, pengertian tindak pidana korupsi mengacu pada U U 31/1999 sebagai berikut: Pasal 2 ayat (1) UU 31/1999 jo. Putusan MK No. 25/PUU-XIV/2016 (hal. 116) Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang merugikan keuangan negara atau perekonomian negara , dipidana penjara dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). Pasal 3 UU 31/1999 jo. Putusan MK No. 25/PUU-XIV/2016 (hal. 116) Setiap orang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang merugikan keuangan negara atau perekonomian negara , dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan atau denda paling sedikit Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). Berdasarkan rumusan kedua pasal tersebut, unsur merugikan keuangan negara atau perekonomian negara merupakan syarat mutlak serta bersifat imperatif dalam tindak pidana korupsi. Adapun, makna dari merugikan keuangan negara adalah sebagai berikut: Kerugian yang sudah dapat dihitung jumlahnya berdasarkan hasil temuan instansi yang berwenang atau akuntan publik yang ditunjuk; [1] Kekurangan uang, surat berharga, dan barang, yang nyata dan pasti jumlahnya sebagai akibat perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai. [2] Sementara itu, dana donasi yang Anda maksud dikelola oleh yayasan yang secara definisi berarti badan hukum yang terdiri atas kekayaan yang dipisahkan dan diperuntukkan untuk mencapai tujuan tertentu di bidang sosial, keagamaan, dan kemanusiaan, yang tidak mempunyai anggota. [3] Artinya, secara kelembagaan, pada dasarnya yayasan tidak berhubungan dengan keuangan negara. Oleh karena itu, suatu perbuatan dapat dikategorikan sebagai tindak pidana korupsi apabila perbuatan tersebut menimbulkan kerugian keuangan negara secara nyata dan dapat dihitung jumlahnya . Jika tidak berhubungan dengan keuangan negara atau tidak menimbulkan kerugian keuangan negara, maka tidak dapat dikategorikan sebagai suatu tindak pidana korupsi . Meski demikian, terdapat dua kemungkinan untuk menentukan penyalahgunaan dana donasi termasuk korupsi atau tidak, yaitu ada atau tidaknya hubungan kemitraan atau kerja sama dengan pemerintah atau penyelenggara negara dalam menjalankan kegiatan yayasan filantropi yang mengelola dana donasi tersebut . Apabila yayasan filantropi tersebut menjalin hubungan kerja sama dengan pemerintah atau penyelenggara negara berdasarkan suatu perjanjian dan dalam pelaksanaan perjanjian tersebut terdapat kerugian keuangan negara, maka berpotensi menjadi tindak pidana korupsi. Karena Anda tidak menjelaskan dalam pertanyaan, kami asumsikan bahwa yayasan filantropi yang Anda maksud adalah badan hukum swasta yang tidak terikat dengan perjanjian atau kemitraan dengan pemerintah, sehingga pelaku penyalahgunaan dana donasi tidak dapat dijerat pasal tindak pidana korupsi. Sehingga, tidak dapat dilaporkan ke KPK. Jerat Pasal Penyalahgunaan Dana Donasi oleh Pengurus Yayasan Filantropi Selanjutnya, merujuk pada penjelasan di atas, apabila penyalahgunaan dana donasi yayasan filantropi tersebut tidak berhubungan dengan kerugian keuangan negara, maka petinggi atau pengurus yayasan tersebut dapat dilaporkan ke kepolisian dengan menggunakan pasal penggelapan, penggelapan dalam jabatan, penipuan, dan/atau tindak pidana pencucian uang (“TPPU”). Tindak pidana penggelapan, penggelapan dalam jabatan, dan penipuan, diatur di dalam KUHP lama yang masih berlaku saat artikel ini diterbitkan dan UU 1/2023 tentang KUHP baru yang baru berlaku 3 tahun sejak tanggal diundangkan, [4] yaitu tahun 2026, sebagai berikut: KUHP UU 1/2023 Pasal 372 KUHP (Penggelapan) Barang siapa dengan sengaja dan melawan hukum memiliki barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang lain, tetapi yang ada dalam kekuasaannya bukan karena kejahatan diancam karena penggelapan, dengan pidana penjara paling lama 4 tahun atau pidana denda paling banyak Rp900 ribu. [5] Pasal 486 UU 1/2023 (Penggelapan) Setiap orang yang secara melawan hukum memiliki suatu barang yang sebagian atau seluruhnya milik orang lain, yang ada dalam kekuasaannya bukan karena tindak pidana, dipidana karena penggelapan, dengan pidana penjara paling lama 4 tahun atau pidana denda paling banyak kategori IV yaitu Rp200 juta. [6] Pasal 374 KUHP (Penggelapan dalam Jabatan) Penggelapan yang dilakukan oleh orang yang penguasaannya terhadap barang disebabkan karena adanya hubungan kerja atau karena pencarian atau karena mendapat upah untuk itu, diancam dengan pidana penjara paling lama 5 tahun. Pasal 488 UU 1/2023 (Penggelapan dalam Jabatan) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 486 dilakukan oleh orang yang penguasaannya terhadap barang tersebut karena ada hubungan kerja, karena profesinya, atau karena mendapat upah untuk penguasaan barang tersebut, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun atau pidana denda paling banyak kategori V yaitu Rp 500 juta. [7] Pasal 378 KUHP (Penipuan) Barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, dengan memakai nama palsu atau martabat palsu, dengan tipu muslihat, ataupun rangkaian kebohongan, menggerakkan orang lain untuk menyerahkan barang sesuatu kepadanya, atau supaya memberi hutang maupun menghapuskan piutang diancam karena penipuan dengan pidana penjara paling lama 4 tahun. Pasal 492 UU 1/2023 (Penipuan) Setiap orang yang dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum dengan memakai nama palsu atau kedudukan palsu, menggunakan tipu muslihat atau rangkaian kata bohong, menggerakkan orang supaya menyerahkan suatu barang, memberi utang, membuat pengakuan utang, atau menghapus piutang, dipidana karena penipuan, dengan pidana penjara paling lama 4 tahun atau pidana denda paling banyak kategori V yaitu Rp500 juta. [8] Selain ketentuan sebagaimana dijelaskan di atas, penyalahgunaan dana donasi yang dilakukan oleh pengurus yayasan filantropi juga dapat dijerat pasal TPPU, sebagai berikut: Pasal 3 UU TPPU Setiap Orang yang menempatkan, mentransfer, mengalihkan, membelanjakan, membayarkan, menghibahkan, menitipkan, membawa ke luar negeri, mengubah bentuk, menukarkan dengan mata uang atau surat berharga atau perbuatan lain atas Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dengan tujuan menyembunyikan atau menyamarkan asal usul Harta Kekayaan dipidana karena tindak pidana Pencucian Uang dengan pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah). Untuk menjerat pelaku dengan Pasal 3 UU TPPU, aparat penegak hukum akan menelusuri secara keseluruhan dugaan penyalahgunaan dana donasi tersebut dengan memperhatikan 3 tahapan TPPU, yaitu: [9] Placement (penempatan) Upaya menempatkan uang yang berasal dari tindak pidana ke dalam sistem keuangan atau lembaga yang terkait dengan keuangan. Tahap ini adalah tahap pertama dalam proses pemisahan harta kekayaan hasil kejahatan dari sumber kejahatannya. [10] Misalnya apakah dana donasi yang disalahgunakan pengurus yayasan tersebut dikonversi ke dalam sistem perbankan (pembelian cek, giro, deposito atau pembelian valas), sehingga seolah-olah asal-usul uang tersebut berasal dari hasil yang sah. Layering (pemisahan/pelapisan) Upaya memisahkan hasil tindak pidana dari sumbernya melalui beberapa tahap transaksi keuangan untuk menyembunyikan atau menyamarkan asal-usul dana. [11] Sebagai contoh, dana donasi yang disalahgunakan itu dipindahkan dari satu bank ke bank lain, hingga beberapa kali. Selain itu, dapat juga dana dipecah-pecah hingga jumlahnya tidak terdeteksi misalnya membeli barang-barang bernilai tinggi seperti rumah, mobil, atau berlian, bahkan mengubah bentuk mata uang. Integration (penggabungan) Upaya menggunakan hasil harta kekayaan hasil tindak pidana yang telah ditempatkan ( placement ) dan atau pelapisan ( layering ) nampak seolah-olah sebagai harta kekayaan yang sah, untuk kegiatan bisnis yang halal atau membiayai kembali kegiatan kejahatannya. [12] Umumnya pelaku mengadakan kegiatan-kegiatan resmi (pengalihan) dari hasil placement atau layering , sehingga seolah-olah harta yang didapatkan tidak ada hubungannya sama sekali antara dana yang dicucinya. Pada tahap ini, uang yang telah dicuci tersebut dimasukkan kembali ke dalam sirkulasi dengan bentuk yang sejalan dengan aturan hukum agar mendapatkan legitimate explanation . Kemudian, untuk dapat dilakukan penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap TPPU, pada dasarnya tidak wajib dibuktikan terlebih dahulu tindak pidana asalnya . Hal ini diatur di dalam Pasal 69 UU TPPU. Dengan demikian, pelaku penyalahgunaan dana donasi dapat langsung dilaporkan atas dasar Pasal 3 UU TPPU, meski belum dibuktikan tindak pidana asalnya (penipuan, penggelapan, atau penggelapan dalam jabatan). Perkaya riset hukum Anda dengan analisis hukum terbaru dwibahasa, serta koleksi terjemahan peraturan yang terintegrasi dalam Hukumonline Pro, pelajari lebih lanjut di sini . Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. Dasar Hukum : Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ; Undang-Undang Nomor Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi ; Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan ; Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi ; Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan ; Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan ; Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang ; Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ; Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2012 tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda dalam KUHP . Putusan : Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 25/PUU-XIV/2016 . Referensi: Tim Riset PPATK. Tipologi Pencucian Uang Berdasarkan Putusan Pengadilan Atas Perkara Tindak Pidana Pencucian Uang. Jakarta: Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan, 2018. [1] Penjelasan Pasal 32 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi [2] Pasal 1 angka 15 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan [3] Pasal 1 angka 1 Undang-Undang 16 Tahun 2001 tentang Yayasan [4] Pasal 624 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“UU 1/2023”) [5] Pasal 3 Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2012 tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda dalam KUHP , denda dikalikan 1.000 [6] Pasal 79 ayat (1) huruf d UU 1/2023 [7] Pasal 79 ayat (1) huruf e UU 1/2023 [8] Pasal 79 ayat (1) huruf e UU 1/2023 [9] Tim Riset PPATK. Tipologi Pencucian Uang Berdasarkan Putusan Pengadilan Atas Perkara Tindak Pidana Pencucian Uang. Jakarta: Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan, 2018, hal. 6 [10] Tim Riset PPATK. Tipologi Pencucian Uang Berdasarkan Putusan Pengadilan Atas Perkara Tindak Pidana Pencucian Uang. Jakarta: Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan, 2018, hal. 6 [11] Tim Riset PPATK. Tipologi Pencucian Uang Berdasarkan Putusan Pengadilan Atas Perkara Tindak Pidana Pencucian Uang. Jakarta: Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan, 2018, hal. 6 [12] Tim Riset PPATK. Tipologi Pencucian Uang Berdasarkan Putusan Pengadilan Atas Perkara Tindak Pidana Pencucian Uang. Jakarta: Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan, 2018, hal. 6 TAGS tppu tipikor yayasan | {1: 'Yang dimaksud dengan “secara nyata telah ada kerugian keuangan negara” adalah kerugian yang sudah dapat dihitung jumlahnya berdasarkan hasil temuan instansi yang berwenang atau akuntan publik yang ditunjuk. Ayat (2) Yang dimaksud dengan “putusan bebas” adalah putusan pengadilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 191 ayat (1) dan ayat (2) Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.', 2: '15. kerugian negara/daerah adalah kekurangan uang, surat berharga, dan barang, yang nyata dan pasti jumlahnya sebagai akibat perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai.', 3: 'pasal 1 dalam undang-undang ini yang dimaksud dengan: 1. yayasan adalah badan hukum yang terdiri atas kekayaan yang dipisahkan dan diperuntukkan untuk mencapai tujuan tertentu di bidang sosial, keagamaan, dan kemanusiaan, yang tidak mempunyai anggota. 2. pengadilan adalah pengadilan negeri yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan yayasan. 3. kejaksaan adalah kejaksaan negeri yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan yayasan. 4. akuntan publik adalah akuntan yang memiliki izin untuk menjalankan pekerjaan sebagai akuntan publik. 5. hari adalah hari kerja. 6. menteri adalah menteri kehakiman dan hak asasi manusia.', 4: 'Undang-Undang ini mulai berlaku setelah 3 (tiga) tahun terhitung sejak tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.', 5: 'Tiap jumlah maksimum hukuman denda yang diancamkan dalam KUHP kecuali pasal 303 ayat 1 dan ayat 2, 303 bis ayat 1 dan ayat 2, dilipatgandakan menjadi 1.000 (seribu) kall,', 6: "['(1) pidana denda paling banyak ditetapkan berdasarkan: a. kategori i, rp1.000.000,00 (satu juta rupiah); b. kategori ii, rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah); c. kategori iii, rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah); d. kategori iv, rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah); e. kategori v, rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah); f. kategori vi, rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah); g. kategori vii, rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah); dan h. kategori viii, rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah).']", 7: "['(1) pidana denda paling banyak ditetapkan berdasarkan: a. kategori i, rp1.000.000,00 (satu juta rupiah); b. kategori ii, rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah); c. kategori iii, rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah); d. kategori iv, rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah); e. kategori v, rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah); f. kategori vi, rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah); g. kategori vii, rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah); dan h. kategori viii, rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah).']", 8: '2.1.1 TAHAPAN PENCUCIAN UANG; 1. Penempatan (placement) Merupakan upaya menempatkan uang yang berasal dari tindak pidana ke dalam sistem keuangan (financial system) atau lembaga yang terkait dengan keuangan. Tahap penempatan merupakan tahap pertama dalam proses pemisahan harta kekayaan hasil kejahatan dari sumber kejahatannya. 2. Pemisahan/pelapisan (layering) Merupakan upaya memisahkan hasil tindak pidana dari sumbernya melalui beberapa tahap transaksi keuangan untuk menyembunyikan atau menyamarkan asal-usul dana. Dalam kegiatan ini terdapat proses pemindahan dana dari beberapa rekening atau lokasi tertentu ke tempat lain melalui serangkaian transaksi yang kompleks dan didesain untuk menyamarkan dan menghilangkan jejak sumber dana tersebut. 3. Penggabungan (integration) Merupakan upaya menggunakan harta kekayaan hasil tindak pidana yang telah ditempatkan (placement) dan atau dilakukan pelapisan (layering) yang nampak seolah-olah sebagai harta kekayaan yang sah, untuk kegiatan bisnis yang halal atau membiayai kembali kegiatan kejahatannya.'} |
Bagaimana ketentuan overmacht dalam hukum pidana? Lalu, apa yang dimaksud hukum pidana sebagai ultimum remedium? | ULASAN LENGKAP dari artikel dengan judul Tentang Overmacht dan Hukum Pidana sebagai Ultimum Remedium yang dibuat oleh Anandito Utomo, S.H. dan dipublikasikan pada 19 Agustus 2016. Artikel ini dibuat berdasarkan KUHP lama dan UU 1/2023 tentang KUHP yang diundangkan pada tanggal 2 Januari 2023. . Pengertian Overmacht Sebelum menjawab pertanyaan Anda tentang bagaimana ketentuan overmacht dalam hukum pidana, sebaiknya kita pahami terlebih dahulu pengertian overmacht . Alfitra dalam bukunya Hapusnya Hak Menuntut dan Menjalankan Pidana (hal.63) menjelaskan bahwa dalam Memorie van Toelichting (“WvT”), daya paksa (overmacht) dijelaskan sebagai setiap kekuatan, dorongan, dan paksaan yang tidak dapat dilawan. Frasa dorongan (gedrongen) merujuk pada tekanan psikis, sedangkan paksaan (dwang) merujuk pada tekanan fisik. Adapun, overmacht dapat menjadi dasar peniadaan pidana . Sedangkan menurut Fitri Wahyuni dalam bukunya Dasar-dasar Hukum Pidana di Indonesia (hal. 76), overmacht adalah daya paksa relatif (vis compulsive) seperti keadaan darurat . Dalam MvT, daya paksa dilukiskan sebagai kekuatan dan setiap daya paksa orang berada dalam dwangpositie (posisi terjepit) . Daya paksa ini merupakan daya paksa psikis yang berasal dari luar dari si pelaku dan daya paksa tersebut lebih kuat dari padanya. Ketentuan Overmacht dalam KUHP Kemudian, overmacht atau daya paksa diatur dalam Pasal 48 KUHP lama yang masih berlaku saat artikel ini diterbitkan, sebagai berikut: Barang siapa melakukan perbuatan karena pengaruh daya paksa, tidak dipidana. Sepanjang penelusuran kami, dalam KUHP tidak dijelaskan apa yang dimaksud dengan daya paksa . Namun, untuk mengetahui batasan ruang lingkup berlakunya overmacht , R. Sugandhi dalam bukunya yang berjudul Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Berikut Penjelasannya mengatakan bahwa kalimat “karena pengaruh daya paksa” harus diartikan, baik pengaruh daya paksaan batin, maupun lahir, rohani, maupun jasmani. Daya paksa yang tidak dapat dilawan adalah kekuatan yang lebih besar, yakni kekuasaan yang pada umumnya tidak mungkin dapat ditentang . Mengenai kekuasaan ini dapat dibedakan dalam 3 macam, yaitu: Kekuasaan yang Bersifat Mutlak Kekuasaan yang bersifat mutlak berarti orang itu tidak dapat berbuat lain . Ia mengalami sesuatu yang sama sekali tidak dapat dielakkan. Misalnya, seseorang yang dipegang kemudian dilemparkan orang yang lebih kuat ke jendela kaca sehingga kacanya pecah dan mengakibatkan kejahatan merusak barang orang lain. Dalam peristiwa ini orang yang tenaganya lemah itu tidak dapat dihukum karena yang melakukan ialah orang yang lebih kuat. [1] Kekuasaan yang Bersifat Relatif Kekuasaan atau kekuatan yang memaksa orang itu tidak mutlak, tidak penuh. Orang yang dipaksa itu masih punya kesempatan untuk memilih mana yang akan dilakukan . Perbedaan kekuasaan yang bersifat mutlak dan yang bersifat relatif ialah bahwa pada yang mutlak, dalam segala sesuatunya orang yang memaksa itu sendirilah yang berbuat semaunya. Sedangkan pada yang relatif, orang yang dipaksa itulah yang melakukan karena dalam paksaan kekuatan. [2] Misalnya A ditodong dengan pistol oleh B, disuruh membakar rumah. Apabila A tidak segera membakar rumah itu, maka pistol yang ditodongkan kepadanya tersebut akan ditembakkan. Dalam pikiran, memang mungkin A menolak perintah itu sehingga ia ditembak mati. Akan tetapi apabila ia menuruti perintah itu, ia akan melakukan tindak pidana kejahatan. Walaupun demikian, ia tidak dapat dihukum karena adanya paksaan tersebut. [3] Kekuasaan yang Merupakan suatu Keadaan Darurat Pada keadaan darurat, orang yang terpaksa itu sendirilah yang memilih peristiwa pidana mana yang akan ia lakukan . Bedanya dengan kekuasaan yang bersifat relatif, orang itu tidak memilih, sebab orang yang mengambil prakarsa ialah orang yang memaksa. [4] Contohnya, terjadi kecelakaan kapal yaitu kapal meledak dengan mendadak, sehingga penumpangnya masing-masing harus menolong dirinya sendiri. Seorang penumpang beruntung dapat mengapung dengan sebuah papan kayu yang hanya dapat menampung seorang saja. Kemudian datang penumpang lain yang juga ingin menyelamatkan dirinya. Padanya tiada sebuah alat pun yang dapat dipakai untuk menyelamatkan diri. Ia lalu meraih papan kayu yang telah dipakai untuk mengapung oleh orang yang terdahulu dari dia. Orang yang terdahulu itu lalu mendorong orang tersebut hingga tenggelam dan mati. Karena dalam keadaan darurat, maka orang itu tidak dapat dihukum. Penjelasan selengkapnya dapat Anda baca dalam artikel Daya Paksa dan Pembelaan Terpaksa sebagai Alasan Penghapus Pidana . Overmacht = Alasan Pemaaf atau Alasan Pembenar? Kemudian, menurut Fitri Wahyuni , tidak ada kesatuan pendapat di antara para ahli hukum pidana untuk menggolongkan daya paksa apakah sebagai alasan pembenar ataukah alasan pemaaf . Adapun beberapa postulat terkait daya paksa tersebut adalah: [5] Quod alias non fuit licitum necessitas licitum facit . Artinya keadaan terpaksa memperbolehkan apa yang tadinya dilarang oleh hukum. In casu extremae necessitates omnia sunt communia . Artinya keadaan terpaksa, tindakan yang diambil dipandang perlu. Necessitas quod cogit defendit . Artinya keadaan terpaksa melindungi apa yang harus diperbuat. Necessitas sub lege non non continetur, quia quod alias non est licitum necessitas facit licitum . Artinya keadaan terpaksa tidak ditahan oleh hukum, perbuatan yang dilarang oleh hukum, namun dilakukan dalam keadaaan terpaksa maka perbuatan tersebut dianggap sah. Sebagaimana kami sampaikan, penyebab seseorang tidak dapat dipidana dikelompokan menjadi dua yaitu dasar pemaaf (schulduitsluitings-gronderi) dan dasar pembenar (rechtvaardingingsgronderi) . Dalam hal ini, Alfitra menggolongkan overmacht sebagai alasan pembenar dalam hukum pidana (hal. 54). Alasan pemaaf bersifat subjektif dan melekat pada diri orang tersebut, dan ditentukan berdasarkan sikap batin orang tersebut pada saat sebelum atau akan melakukan suatu tindak pidana. Berikut yang dapat dikategorikan sebagai alasan pemaaf: [6] tidak mampu bertanggung jawab, misalnya ketika pelaku memiliki kondisi kejiwaan yang abnormal; pembelaan terpaksa yang melampaui batas; menjalankan perintah jabatan yang tidak sah namun dengan iktikad baik. Sedangkan alasan pembenar merupakan sifat objektif yang berasal dari faktor eksternal atau diluar suasana batin seseorang. Berikut yang termasuk alasan pembenar: [7] daya paksa ; pembelaan terpaksa; menjalankan perintah undang-undang; menjalankan perintah jabatan yang sah. Berbeda dengan pendapat sebelumnya, Moeljatno dan Van Hattum memandang daya memaksa itu sebagai alasan pemaaf . Van Hattum mengatakan bahwa perbuatan yang terpaksa dilakukan karena keadaan, patut dimaafkan. Demikian halnya dengan seorang sopir taksi yang takut kehilangan nyawanya, karena ditodong oleh orang yang berpistol di belakangnya, melanggar undang-undang (mengendarai mobil dengan kecepatan yang melebihi batas maksimal). Perbuatan sopir itu melawan hukum, tetapi patut untuk dimaafkan karena padanya tidak dapat diharapkan untuk mempertaruhkan nyawanya. [8] Sehingga, pada intinya, di antara para penulis tidak ada kesatuan pendapat apakah daya memaksa dalam Pasal 48 KUHP itu adalah alasan pembenar atau alasan pemaaf. [9] Ketentuan Overmacht dalam UU 1/2023 Selanjutnya, dalam UU 1/2023 tentang KUHP baru yang berlaku 3 tahun sejak tanggal diundangkan, [10] yaitu 2026, overmacht diatur dalam Pasal 42 , sebagai berikut: Setiap Orang yang melakukan Tindak Pidana tidak dipidana karena: dipaksa oleh kekuatan yang tidak dapat ditahan; atau dipaksa oleh adanya ancaman, tekanan, atau kekuatan yang tidak dapat dihindari Lebih lanjut, menurut Penjelasan Pasal 42 UU 1/2023 , ketentuan ini berkenaan dengan daya paksa yang dibagi menjadi paksaan mutlak dan paksaan relatif . Yang dimaksud dengan "dipaksa oleh kekuatan yang tidak dapat ditahan" atau paksaan mutlak adalah keadaan yang menyebabkan pelaku tidak mempunyai pilihan lain, kecuali melakukan perbuatan tersebut. Karena keadaan yang ada pada diri pelaku maka tidak mungkin baginya untuk menolak atau memilih ketika melakukan perbuatan tersebut. [11] Sedangkan "dipaksa oleh adanya ancaman, tekanan, atau kekuatan yang tidak dapat dihindari" atau paksaan relatif adalah: [12] ancaman, tekanan, atau kekuatan tersebut menurut akal sehat tidak dapat diharapkan bahwa ia dapat mengadakan perlawanan; dan apabila kepentingan yang dikorbankan seimbang atau sedikit lebih daripada kepentingan yang diselamatkan. Tekanan kejiwaan dari luar merupakan syarat utama . Mungkin pula seseorang mengalami tekanan kejiwaan, tetapi bukan karena sesuatu yang datang dari luar, melainkan karena keberatan yang didasarkan kepada pertimbangan pikirannya sendiri. Hal yang demikian tidak merupakan alasan pemaaf yang dapat menghapuskan pidananya. [13] Dengan demikian, dapat kami simpulkan bahwa overmacht adalah hal yang datangnya dari luar, mempengaruhi seseorang yang mengalaminya sehingga orang tersebut tidak memiliki opsi lain untuk membela dirinya. Keberadaan daya paksa menjadi penting karena dapat menentukan dan menjadi dasar peniadaan hukuman pidana. Pengertian Ultimum Remedium Menjawab pertanyaan Anda tentang apa yang dimaksud hukum pidana sebagai ultimum remedium , Sudikno Mertokusumo dalam bukunya Penemuan Hukum: Sebuah Pengantar (hal. 128) mengartikan ultimum remedium adalah sebagai alat terakhir . Selain itu, ada pendapat yang mengatakan bahwa ultimum remedium tidak hanya suatu istilah, tetapi juga merupakan suatu asas hukum . Sebagai contoh, Yasonna Laoly dalam berita berjudul Perlu Penegasan Norma Ultimum Remedium Soal Pengenaan Sanksi di Aturan Turunan UU Cipta Kerja (hal. 1) menerangkan ultimum remedium merupakan asas hukum yang biasa dipakai dan diartikan sebagai penerapan sanksi pidana menjadi sanksi pamungkas (terakhir) dalam penegakan hukum. Ultimum remedium juga dapat diartikan sebagai upaya terakhir penegakan hukum, apabila segala upaya seperti perdamaian telah ditempuh. Artinya perkara diutamakan untuk diselesaikan melalui jalur kekeluargaan terlebih dahulu. [14] Dengan demikian, ultimum remedium adalah salah satu asas dalam hukum pidana Indonesia yang mengatakan bahwa hukum pidana hendaklah dijadikan upaya terakhir penegakan hukum. Asas ultimum remedium bermakna apabila suatu perkara dapat diselesaikan melalui jalur lain (kekeluargaan, negosiasi, mediasi, perdata, atau hukum administrasi) hendaklah jalur lain tersebut terlebih dahulu dilakukan. : Arti Ultimum Remedium sebagai Sanksi Pamungkas Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. Dasar Hukum : Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ; Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana . Referensi : Alfitra. Hapusnya Hak Menuntut dan Menjalankan Pidana . Jakarta Timur: Penerbit Raih Asa Sukses, 2014; Fitri Wahyuni. Dasar-dasar Hukum Pidana di Indonesia . Tangerang Selatan: PT Nusantara Persada Utama, 2017. Sudikno Mertokusumo. Penemuan Hukum: Sebuah Pengantar . Yogyakarta: Liberty, 2006; Sudaryono dan Natangsa Surbakti. Hukum Pidana: Dasar-dasar Hukum Pidana berdasarkan KUHP dan RUU KUHP . Surakarta: Muhammadiyah University Press, 2017, hal. 245; R. Sugandhi. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Berikut Penjelasannya . Surabaya: Usaha Nasional, 1980; Mas Putra Zenno Januarsyah. Penerapan Prinsip Ultimum Remedium dalam Tindak Pidana Korupsi. Jurnal Yudisial, Vol. 10, No. 3, 2017 [1] R. Sugandhi. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Berikut Penjelasannya . Surabaya: Usaha Nasional, 1980, hal. 54-55 [2] R. Sugandhi. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Berikut Penjelasannya . Surabaya: Usaha Nasional, 1980, hal. 55 [3] R. Sugandhi. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Berikut Penjelasannya . Surabaya: Usaha Nasional, 1980, hal. 55 [4] R. Sugandhi. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Berikut Penjelasannya . Surabaya: Usaha Nasional, 1980, hal. 55 [5] Fitri Wahyuni. Dasar-dasar Hukum Pidana di Indonesia . Tangerang Selatan: PT Nusantara Persada Utama, 2017, hal. 83 [6] Alfitra. Hapusnya Hak Menuntut dan Menjalankan Pidana . Jakarta Timur: Penerbit Raih Asa Sukses, 2014, hal. 54 [7] Alfitra. Hapusnya Hak Menuntut dan Menjalankan Pidana . Jakarta Timur: Penerbit Raih Asa Sukses, 2014, hal. 54 [8] Sudaryono dan Natangsa Surbakti. Hukum Pidana: Dasar-dasar Hukum Pidana berdasarkan KUHP dan RUU KUHP . Surakarta: Muhammadiyah University Press, 2017, hal. 245 [9] Sudaryono dan Natangsa Surbakti. Hukum Pidana: Dasar-dasar Hukum Pidana berdasarkan KUHP dan RUU KUHP . Surakarta: Muhammadiyah University Press, 2017, hal. 245 [10] Pasal 624 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“UU 1/2023”) [11] Penjelasan Pasal 42 huruf a UU 1/2023 [12] Penjelasan Pasal 42 huruf b UU 1/2023 [13] Penjelasan Pasal 42 huruf b UU 1/2023 [14] Mas Putra Zenno Januarsyah. Penerapan Prinsip Ultimum Remedium dalam Tindak Pidana Korupsi. Jurnal Yudisial, Vol. 10, No. 3, 2017, hal. 257 TAGS overmacht ultimum remedium | {9: 'Dalam peristiwa ini orang yang tenaganya lemah itu tidak dapat dihukum karena yang melakukan ialah orang yang lebih kuat.', 10: 'R. Sugandhi, *Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Berikut Penjelasannya*, Usaha Nasional, Surabaya, 1980, hlm. 55:** Buku ini membahas Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Dalam konteks pembahasan *overmacht*, Sugandhi menjelaskan bahwa frasa "karena pengaruh daya paksa" mencakup paksaan lahir dan batin, jasmani dan rohani. Daya paksa yang tak tertahankan adalah kekuatan yang jauh lebih besar, umumnya tak mungkin ditentang. Ia membedakan tiga jenis kekuasaan paksa: mutlak (tak ada pilihan lain), relatif (masih ada pilihan, namun tertekan), dan keadaan darurat (orang yang tertekan sendiri yang memilih tindakan).', 11: 'Adapun beberapa postulat terkait daya paksa tersebut adalah:', 12: 'Berikut yang dapat dikategorikan sebagai alasan pemaaf:', 13: 'Sudaryono dan Natangsa Surbakti, *Hukum Pidana: Dasar-dasar Hukum Pidana berdasarkan KUHP dan RUU KUHP*, Muhammadiyah University Press, Surakarta, 2017, hlm. 245:** Buku ini membahas hukum pidana, khususnya terkait KUHP dan RUU KUHP. Bagian yang relevan menjelaskan bahwa tekanan kejiwaan dari luar merupakan syarat utama untuk pembenar *overmacht*. Tekanan kejiwaan internal, berdasarkan pertimbangan pribadi, bukan alasan pemaaf yang menghapuskan pidana. Oleh karena itu, *overmacht* harus berasal dari faktor eksternal yang memaksa seseorang tanpa pilihan lain.', 4: 'Undang-Undang ini mulai berlaku setelah 3 (tiga) tahun terhitung sejak tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.', 14: 'Yang dimaksud dengan dipaksa oleh kekuatan yang tidak dapat ditahan atau paksaan mutlak adalah keadaan yang menyebabkan pelaku tidak mempunyai pilihan lain, kecuali melakukan perbuatan tersebut. Karena keadaan yang ada pada diri pelaku maka tidak mungkin baginya untuk menolak atau memilih ketika melakukan perbuatan tersebut.', 15: 'Yang dimaksud dengan dipaksa oleh adanya ancaman, tekanan, atau kekuatan yang tidak dapat dihindari atau paksaan relatif adalah: 1. ancaman, tekanan, atau kekuatan tersebut menurut akal sehat tidak dapat diharapkan bahwa ia dapat mengadakan perlawanan; dan 2. apabila kepentingan yang dikorbankan seimbang atau sedikit lebih daripada kepentingan yang diselamatkan. Tekanan kejiwaan dari luar merupakan syarat utama. Mungkin pula seseorang mengalami tekanan kejiwaan, tetapi bukan karena sesuatu yang datang dari luar, melainkan karena keberatan yang didasarkan kepada pertimbangan pikirannya sendiri. Hal yang demikian tidak merupakan alasan pemaaf yang dapat menghapuskan pidananya.', 16: 'Artikel ini membahas penerapan prinsip *ultimum remedium* dalam konteks tindak pidana, khususnya penggelapan. Penulis, Mas Putra Zenno Januarsyah, dalam jurnalnya yang diterbitkan tahun 2017, menganalisis prinsip *ultimum remedium* dalam konteks tindak pidana korupsi. Meskipun fokusnya berbeda (korupsi bukan penggelapan), prinsipnya—bahwa tuntutan pidana merupakan jalan terakhir setelah upaya damai ditempuh— relevan dengan kasus penggelapan dalam konteks keluarga. Artikel tersebut mungkin menjelaskan secara detail bagaimana prinsip ini diterapkan dalam sistem peradilan, memberikan contoh kasus, dan menjelaskan implikasinya pada proses penegakan hukum. Meskipun fokus utamanya bukan penggelapan keluarga, prinsip *ultimum remedium* yang dibahas dapat diterapkan pada konteks tersebut.'} |
Saya ingin menanyakan bila laki-laki dan perempuan berpacaran kemudian dengan alasan suka sama suka mereka melakukan hubungan suami istri sejak keduanya berumur 17 tahun dan 20 tahun, meskipun perempuan tidak hamil, apakah bisa melaporkan si laki laki ke kantor polisi? Apa hukum laki-laki yang tidak mau bertanggung jawab? Dan apakah ada waktu maksimal atau daluwarsa dalam kasus ini? Jika perempuannya melaporkan ketika ia telah berusia 27 tahun, masih bisakah diproses? | ULASAN LENGKAP kedua dari artikel dengan judul Daluarsa Jeratan Pidana untuk Pacar yang Tidak Mau Bertanggung Jawab yang dibuat oleh Tri Jata Ayu Pramesti, S.H. dan pertama kali dipublikasikan pada 3 Juli 2014, kemudian dimutakhirkan pertama kali pada 22 Februari 2018. . Pasal Persetubuhan Anak di Bawah 18 Tahun Sebelumnya, kami mengasumsikan bahwa sepasang kekasih yang Anda maksud tersebut adalah perempuan berusia 17 tahun dan laki-laki berusia 20 tahun yang telah melakukan persetubuhan dan keduanya belum terikat perkawinan. Menurut R. Soesilo , sebagaimana dikutip A. A. Risma Purnama Dewi, dkk dalam jurnal berjudul Tindak Pidana Persetubuhan Terhadap Anak di Bawah Umur , persetubuhan dikatakan terjadi ketika ada persatuan antara kelamin laki-laki dengan kelamin perempuan sampai mengeluarkan air mani. Persetubuhan dapat dikatakan sebagai hubungan intim yang dilakukan untuk mendapatkan keturunan (hal. 12). Lantas, bisakah menuntut pacar yang tidak mau bertanggung jawab? Disarikan dari artikel Hukumnya Jika Pacar Tak Mau Bertanggung Jawab Menikahi , apabila kedua orang yang melakukan perbuatan hubungan badan layaknya suami-istri tersebut adalah orang dewasa dengan kesadaran penuh, maka tidak dapat dilakukan penuntutan pidana terhadap laki–laki yang tersebut. Namun, lain halnya apabila salah satu dari pasangan kekasih tersebut masih dalam usia yang tergolong anak, maka pihak yang dewasa dapat dijerat dengan UU Perlindungan Anak dan perubahannya. Adapun, yang dimaksud dengan “anak” menurut Pasal 1 angka 1 UU 35/2014 adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun , termasuk anak yang masih dalam kandungan. Hal ini sebagaimana diatur di dalam Pasal 76D UU 35/2014 yang berbunyi: Setiap Orang dilarang melakukan Kekerasan atau ancaman Kekerasan memaksa Anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain. Terhadap pelaku persetubuhan anak diancam sanksi pidana berdasarkan Pasal 81 ayat (1) dan (2) Perppu 1/2016 yang berbunyi : Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76D dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah). Ketentuan pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku pula bagi setiap Orang yang dengan sengaja melakukan tipu muslihat , serangkaian kebohongan, atau membujuk Anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain. Dengan demikian, kami berpendapat bahwa hukum laki-laki yang tidak mau bertanggung jawab jika telah menyetubuhi pacar yang masih berada di bawah 18 tahun adalah pidana penjara paling singkat 5 tahun dan paling lama 15 tahun dan denda paling banyak Rp5 miliar. Walaupun dalam kasus tersebut Anda menyebutkan persetubuhan dilakukan atas dasar suka sama suka, tetapi dalam Pasal 81 ayat (2) Perppu 1/2016 terdapat frasa “membujuk anak melakukan persetubuhan dengannya” yang tidak membenarkan perilaku pria berusia 20 tahun menyetubuhi anak di bawah 18 tahun. Maka dari itu, pria tersebut dapat dituntut berdasarkan Pasal 81 ayat (2) Perppu 1/2016 jo. Pasal 76D UU 35/2014 . Daluwarsa Penuntutan Pidana Untuk mengetahui daluwarsa masa penuntutan kasus yang Anda alami, kita dapat mengacu aturan dalam Pasal 78 KUHP lama yang masih berlaku pada saat artikel ini diterbitkan sebagai berikut: Kewenangan menuntut pidana hapus karena daluwarsa: terhadap semua pelanggaran dan kejahatan yang dilakukan dengan percetakan, sesudah 1 tahun; terhadap kejahatan yang diancam dengan pidana denda, pidana kurungan, atau pidana penjara paling lama 3 tahun , sesudah 6 tahun ; terhadap kejahatan yang diancam dengan pidana penjara lebih dari 3 tahun , sesudah 12 tahun ; terhadap kejahatan yang diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, sesudah 18 tahun . Bagi orang yang pada saat melakukan perbuatan umurnya belum 18 tahun, masing-masing tenggang daluwarsa di atas dikurangi menjadi 1/3. Selanjutnya, aturan daluwarsa dalam Pasal 136 ayat (1) UU 1/2023 yang berlaku 3 tahun sejak tanggal diundangkan, [1] yaitu 2026, adalah sebagai berikut: Kewenangan penuntutan dinyatakan gugur karena kedaluwarsa apabila: setelah melampaui waktu 3 tahun untuk tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara paling lama 1 tahun dan/atau hanya denda paling banyak kategori III yaitu Rp50 juta; [2] setelah melampaui waktu 6 tahun untuk tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara di atas 1 tahun dan paling lama 3 tahun ; setelah melampaui waktu 12 tahun untuk tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara di atas 3 tahun dan paling lama 7 tahun ; setelah melampaui waktu 18 tahun untuk tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara di atas 7 tahun dan paling lama 15 tahun ; dan setelah melampaui waktu 20 tahun untuk tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara paling lama 20 tahun, pidana penjara seumur hidup, atau pidana mati . Dalam hal tindak pidana dilakukan oleh anak, tenggang waktu gugurnya kewenangan untuk menuntut karena kedaluwarsa sebagaimana dimaksud di atas dikurangi menjadi 1/3. Oleh karena pasal yang menjerat pelaku persetubuhan anak sebagaimana dimaksud Pasal 81 ayat (1) dan (2) Perppu 1/2016 diancam dengan pidana penjara paling singkat 5 tahun dan paling lama 15 tahun, maka daluwarsa penuntutan terhadap laki-laki tersebut adalah 12 tahun menurut KUHP lama. Sedangkan menurut UU 1/2023 , masa daluwarsanya yaitu setelah 18 tahun. Dengan demikian, apabila perempuan tersebut ingin melaporkan laki-laki itu setelah berusia 27 tahun atau 10 tahun setelah peristiwa itu terjadi, maka penuntutan terhadap sang laki-laki masih dapat dilakukan. Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. Dasar Hukum: Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ; Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak ; Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak ; Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak ; Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Menjadi Undang-Undang ; Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana . Referensi: A. A. Risma Purnama Dewi, dkk. Tindak Pidana Persetubuhan Terhadap Anak di Bawah Umur . Jurnal Analogi Hukum, Vol. 1 No. 1, 2019. [1] Pasal 624 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“UU 1/2023”) [2] Pasal 79 ayat (1) huruf c UU 1/2023 TAGS zina persetubuhan anak daluwarsa pacaran pidana | {4: 'Undang-Undang ini mulai berlaku setelah 3 (tiga) tahun terhitung sejak tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.', 25: "['(1) pidana denda paling banyak ditetapkan berdasarkan: a. kategori i, rp1.000.000,00 (satu juta rupiah); b. kategori ii, rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah); c. kategori iii, rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah); d. kategori iv, rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah); e. kategori v, rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah); f. kategori vi, rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah); g. kategori vii, rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah); dan h. kategori viii, rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah).']"} |
Saya seorang pria yang sudah beristri. Sayangnya, pernikahan kami tidak tercatat di KUA atau dengan kata lain nikah siri. Suatu ketika, saya memergoki istri saya sedang berselingkuh hingga melakukan hubungan badan. Apakah saya bisa mempidanakan mereka? Mohon bantu jawab pertanyaan saya. | ULASAN LENGKAP Artikel ini dibuat berdasarkan KUHP lama dan UU 1/2023 tentang KUHP yang diundangkan pada tanggal 2 Januari 2023. Seluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata – mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihat Pernyataan Penyangkalan selengkapnya). . Nikah Siri Sebelumnya, perlu diketahui terlebih dahulu arti dari perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. [1] Berdasarkan Pasal 2 UU Perkawinan , perkawinan yang sah adalah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya. Selain itu, tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Hal ini selaras dengan ketentuan Pasal 5 ayat (1) KHI yang mengatur bahwa agar terjaminnya ketertiban perkawinan bagi masyarakat Islam, setiap perkawinan harus dicatat. Kemudian, Anda menyebutkan bahwa pernikahan Anda tidak tercatat di kantor urusan agama (“KUA”). Oleh karena itu, kami mengasumsikan bahwa pernikahan Anda adalah nikah siri yang hanya sah menurut tata cara agama Islam. Namun, istilah nikah siri sebenarnya tidak dikenal dalam hukum positif di Indonesia. Jika merujuk pada Kamus Besar Bahasa Indonesia , yang dimaksud dengan nikah siri adalah pernikahan yang hanya disaksikan oleh seorang modin dan saksi, tidak melalui KUA, menurut agama Islam sudah sah . Dari pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa nikah siri merupakan pernikahan yang sah dan memenuhi ketentuan rukun nikah menurut agama Islam, namun tidak dicatatkan ke KUA. Meski sah secara agama, namun nikah siri tidak dianggap sah di mata hukum. Dengan demikian, dalam kasus Anda, pernikahan siri Anda dengan istri Anda hanya sah secara agama, namun tidak dianggap sah secara hukum. Tindak Pidana Perzinaan Dalam menjawab pertanyaan Anda, harus dijelaskan terlebih dahulu mengenai aturan tentang tindak pidana perzinaan sebagaimana diatur dalam Pasal 284 ayat (1) KUHP lama yang masih berlaku pada saat artikel ini diterbitkan, atau Pasal 411 ayat (1) UU 1/2023 tentang KUHP baru yang berlaku terhitung 3 tahun sejak tanggal diundangkan, [2] yakni pada tahun 2026, yang berbunyi: Pasal 284 ayat (1) KUHP Pasal 411 ayat (1) UU 1/2023 Diancam dengan pidana penjara paling lama 9 bulan: Seorang pria yang telah kawin melakukan gendak ( overspel ), padahal diketahui bahwa Pasal 27 BW berlaku baginya. Seorang wanita yang telah kawin yang melakukan gendak , padahal diketahui bahwa Pasal 27 BW berlaku baginya. Seorang pria yang turut serta melakukan perbuatan itu, padahal diketahuinya bahwa yang turut bersalah telah kawin. Seorang wanita yang telah kawin yang turut serta melakukan perbuatan itu, padahal diketahui olehnya bahwa yang turut bersalah telah kawin dan Pasal 27 BW berlaku baginya. Setiap orang yang melakukan persetubuhan dengan orang yang bukan suami atau istrinya , dipidana karena perzinaan, dengan pidana penjara paling lama 1 tahun atau pidana denda paling banyak kategori II, yaitu sebesar Rp10 juta. [3] Terkait Pasal 284 ayat (1) KUHP, R. Soesilo dalam bukunya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal (hal. 209) menggunakan istilah “ zina ” untuk menerangkan gendak. Adapun yang dimaksud dengan zina adalah persetubuhan yang dilakukan oleh laki-laki atau perempuan yang telah kawin dengan perempuan atau laki-laki yang bukan istri atau suaminya. Supaya masuk pasal ini, maka persetubuhan itu harus dilakukan dengan suka sama suka, tidak boleh ada paksaan dari salah satu pihak. Selanjutnya dalam pasal tersebut, disebutkan mengenai Pasal 27 KUH Perdata , yang berbunyi: Pada waktu yang sama, seorang lelaki hanya boleh terikat perkawinan dengan satu orang perempuan saja dan seorang perempuan hanya dengan satu orang lelaki saja. : Bunyi Pasal 284 KUHP tentang Perzinaan Terkait dengan perkawinan, sebagaimana asas lex specialis derogat legi generali , maka kita harus merujuk pada UU Perkawinan sebagai peraturan yang lebih khusus mengatur mengenai perkawinan yang mengesampingkan peraturan yang lebih umum yaitu KUH Perdata. Maka dalam hal ini perkawinan yang dimaksud pada Pasal 27 KUH Perdata adalah perkawinan yang sah menurut UU Perkawinan dan perubahannya . Selain itu, jika ditelusuri mengenai arti perkawinan dalam KUHP baru, Penjelasan Pasal 402 UU 1/2023 menegaskan bahwa yang dimaksud dengan perkawinan adalah perkawinan antara laki-laki dan perempuan berdasarkan undang-undang mengenai perkawinan . Merujuk pada penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa pada kasus Anda, seorang istri siri yang selingkuh tidak dapat dipidana . Hal ini karena pernikahan yang Anda dan istri siri Anda laksanakan tidak sah di mata hukum, dan hanya sah di mata agama saja. Oleh karena itu, Anda sebagai suami siri tidak dapat melaporkan istri siri Anda atas dasar perzinaan. Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. Dasar Hukum: Kitab Undang-Undang Hukum Perdata ; Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ; Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan ; Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan ; Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ; Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam . Referensi: R. Soesilo. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal . Bogor: Politeia, 1991; Nikah siri , yang diakses pada 13 Agustus 2024, pukul 15.16 WIB. [1] Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan [2] Pasal 624 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“UU 1/2023”) [3] Pasal 79 ayat 1 huruf b UU 1/2023 TAGS nikah siri perzinaan zina | {26: 'pasal 1 perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan ketuhanan yang mahaesa.', 4: 'Undang-Undang ini mulai berlaku setelah 3 (tiga) tahun terhitung sejak tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.', 27: "['(1) pidana denda paling banyak ditetapkan berdasarkan: a. kategori i, rp1.000.000,00 (satu juta rupiah); b. kategori ii, rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah); c. kategori iii, rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah); d. kategori iv, rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah); e. kategori v, rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah); f. kategori vi, rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah); g. kategori vii, rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah); dan h. kategori viii, rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah).']"} |
Belum lama, kasus penganiayaan ketum parpol kepada selebgram diduga terjadi. Menurut berita yang beredar, jika penganiayaan terbukti, pelaku bisa dijerat Pasal 351 ayat (1) KUHP atas dasar penganiayaan biasa atau Pasal 352 ayat (1) KUHP atas dasar penganiayaan ringan. Kemudian, viral video seleb TikTok yang diduga terlibat KDRT. Adapun pelaku KDRT bisa dipidana berdasarkan Pasal 44 ayat (1) UU PKDRT.
Setahu saya, baik Pasal 351 ayat (1) dan Pasal 352 ayat (1) KUHP, serta Pasal 44 ayat (1) UU PKDRT mengatur pidana penjara dan denda. Pertanyaan saya, kemanakah uang pidana denda dibayarkan? Dalam arti lain, kemanakah uang denda itu nanti akan diberikan oleh terdakwa? Apakah korban yang dirugikan mendapatkan uang dari denda tersebut? | ULASAN LENGKAP dari artikel dengan judul sama yang dibuat oleh Mutiara Nora Peace Hasibuan, S.H. dan pertama kali dipublikasikan pada 15 Februari 2023. Artikel ini dibuat berdasarkan KUHP lama dan UU 1/2023 tentang KUHP yang diundangkan pada tanggal 2 Januari 2023. . Apa itu Pidana Denda? Dalam menjawab pertanyaan Anda, kami berasumsi bahwa yang Anda tanyakan berkaitan dengan pihak yang berwenang menerima uang dari pidana denda. Lantas, apa itu pidana denda? Pidana denda adalah sejumlah uang yang wajib dibayarkan terpidana berdasarkan putusan pengadilan. [1] Pidana denda merupakan satu dari pidana pokok dalam stelsel pidana Indonesia, yang diancamkan dan terutama ditujukan terhadap harta kekayaan atau harta benda dari seseorang pelaku karena melanggar ketentuan undang-undang hukum pidana yang berlaku, [2] dengan membayar sejumlah uang atau harta kekayaan tertentu agar dirasakan sebagai suatu kerugian oleh pembuatnya sendiri sehingga ketertiban di masyarakat itu pulih kembali. [3] Selain itu, arti lain dari pidana denda adalah hukuman berupa kewajiban bagi seseorang yang telah melanggar larangan dalam rangka mengembalikan keseimbangan hukum atau menebus kesalahan dengan pembayaran sejumlah uang tertentu. [4] Selanjutnya, Muladi dan Barda Nawawi Arief berpendapat, dalam sistem KUHP lama yang pada saat artikel ini diterbitkan masih berlaku, pidana denda dipandang sebagai jenis pidana pokok yang paling ringan . Pertama , hal ini dapat dilihat dari kedudukan berurut-urutan pidana pokok dalam Pasal 10 KUHP . Kedua , pada umumnya pidana denda penjara atau kurungan. Sedikit sekali tindak pidana yang hanya diancam dengan pidana denda. Ketiga , jumlah ancaman pidana denda di dalam KUHP pada umumnya relatif ringan. [5] Selain itu, pidana denda diancamkan atau dijatuhkan terhadap delik-delik ringan, berupa pelanggaran atau kejahatan ringan. Oleh karena itu, pidana denda merupakan satu-satunya pidana yang dapat dipikul oleh orang lain selain terpidana. Jadi, tidak ada larangan jika denda secara sukarela dibayar oleh orang lain atas nama terpidana, walaupun denda dijatuhkan terhadap terpidana pribadi. [6] Selain diatur dalam ketentuan Pasal 10 KUHP lama, pidana denda juga diatur dalam Pasal 65 UU 1/2023 tentang KUHP baru yang berlaku 3 tahun setelah diundangkan, [7] yaitu pada tahun 2026. Contoh Pidana Denda dalam KUHP dan UU 1/2023 Berkaitan dengan kasus penganiayaan ketum parpol kepada selebgram yang diduga terjadi, jika terbukti terjadi penganiayaan biasa , maka pelaku berpotensi dijerat pasal berikut: Pasal 351 ayat (1) KUHP Pasal 466 ayat (1) UU 1/2023 Penganiayaan diancam dengan pidana penjara paling lama 2 tahun 8 bulan atau pidana denda paling banyak Rp4,5 juta . [8] Setiap orang yang melakukan penganiayaan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 tahun 6 bulan atau pidana denda paling banyak kategori III, yaitu Rp50 juta . [9] Namun, jika yang terjadi adalah penganiayaan ringan , maka pelaku berpotensi dipidana dengan pasal berikut: Pasal 352 ayat (1) KUHP Pasal 471 ayat (1) UU 1/2023 Kecuali yang tersebut dalam pasal 353 dan 356, maka penganiayaan yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau pencarian, diancam, sebagai penganiayaan ringan , dengan pidana penjara paling lama 3 bulan atau pidana denda paling banyak Rp4,5 juta . [10] Pidana dapat ditambah sepertiga bagi orang yang melakukan kejahatan itu terhadap orang yang bekerja padanya, atau menjadi bawahannya. Selain penganiayaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 467 dan Pasal 470, penganiayaan yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan profesi jabatan atau mata pencaharian, dipidana karena penganiayaan ringan , dengan pidana penjara paling lama 6 bulan atau pidana denda paling banyak kategori II, yaitu Rp10 juta . [11] : Perbedaan Pasal Penganiayaan Ringan dan Penganiayaan Berat Terkait dengan pidana denda dalam KUHP, Mahkamah Agung telah memberikan penyesuaian atas jumlah besarnya pidana denda dalam KUHP yang dimuat di dalam ketentuan Pasal 3 Perma 2/2012 yaitu jumlah maksimum hukuman denda yang diancamkan dalam KUHP kecuali Pasal 303 ayat 1 dan ayat 2, 303 bis ayat 1 dan ayat 2, dikalikan 1.000. Sedangkan dalam KUHP baru sudah diatur secara terperinci dalam Pasal 79 UU 1/2023 . Contoh Pidana Denda di Luar KUHP dan UU 1/2023 Selain diatur di dalam KUHP dan UU 1/2023, pidana denda juga diatur di dalam peraturan perundang-undangan yang memuat pidana denda. Terhadap pidana denda yang diatur di luar KUHP dan UU 1/2023 , maka ketentuan jumlah pidana dendanya sesuai dengan ketentuan dalam undang-undang yang bersangkutan . Sebagai contoh, terhadap kasus seleb TikTok yang diduga terlibat KDRT, kita dapat merujuk pada UU PKDRT . Pada dasarnya, setiap orang dilarang melakukan kekerasan dalam rumah tangga terhadap orang dalam lingkup rumah tangganya, salah satunya dengan cara kekerasan fisik . [12] Adapun orang yang melakukan perbuatan kekerasan fisik dalam lingkup rumah tangga dapat dipidana penjara paling lama 5 tahun atau denda paling banyak Rp15 juta , sebagaimana diatur dalam Pasal 44 ayat (1) UU PKDRT . Kemanakah Uang Pidana Denda Dibayarkan? Menjawab pertanyaan mengenai pidana denda diberikan kepada siapa, dapat kami sampaikan bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 42 KUHP , secara tegas menyatakan bahwa segala biaya untuk pidana penjara dan pidana kurungan dipikul oleh negara, dan segala pendapatan dari pidana denda dan perampasan menjadi milik negara . Hal ini juga ditegaskan dalam PP 37/2024 yang memuat ketentuan jenis penerimaan negara bukan pajak yang berlaku pada kejaksaan RI, salah satunya meliputi penerimaan pembayaran denda tindak pidana . [13] Berdasarkan Penjelasan Pasal 1 ayat (1) huruf c PP 37/2024 , yang dimaksud dengan denda tindak pidana adalah pidana pokok yang harus dibayar oleh terpidana dengan jumlah dan dalam jangka waktu yang ditentukan serta ditetapkan dalam putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap atas penanganan perkara tindak pidana umum, penanganan perkara tindak pidana khusus, dan penangan perkara koneksitas. Seluruh penerimaan negara bukan pajak yang berlaku pada kejaksaan RI (termasuk denda tindak pidana) wajib disetor ke kas negara . [14] Dengan demikian, menjawab pertanyaan Anda pidana denda masuk kemana yaitu ke kas negara dan tidak diberikan kepada korban . Perkaya riset hukum Anda dengan analisis hukum terbaru dwibahasa, serta koleksi terjemahan peraturan yang terintegrasi dalam Hukumonline Pro, pelajari lebih lanjut di sini . Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. Dasar Hukum : Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ; Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga ; Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ; Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 2024 tentang Jenis dan Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berlaku pada Kejaksaan Republik Indonesia ; Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2012 tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda dalam KUHP . Referensi : Aisah. Eksistensi Pidana Denda Menurut Sistem KUHP. Lex Crimen, Vol. 4, No. 1, 2015; Fernando I. Kansil. Sanksi Pidana dalam Sistem Pemidanaan Menurut KUHP dan di Luar KUHP. Lex Crimen, Vol. 3, No. 3, 2014 I.A. Budivaja dan Y. Bandrio, Eksistensi Pidana Denda di dalam Penerapannya, Jurnal Hukum, Vol. 19, No. 19, 2010; Muladi dan Barda Nawawi Arief. Teori-Teori dan Kebijakan Pidana. Edisi Revisi. Bandung: Alumni, 1992. [1] Pasal 78 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“UU 1/2023”) [2] I.A. Budivaja dan Y. Bandrio, Eksistensi Pidana Denda di dalam Penerapannya, Jurnal Hukum, Vol. 19, No. 19 2010, hal. 78. [3] Aisah. Eksistensi Pidana Denda Menurut Sistem KUHP. Lex Crimen, Vol. 4, No. 1, 2015, hal. 215 [4] Aisah. Eksistensi Pidana Denda Menurut Sistem KUHP. Lex Crimen, Vol. 4, No. 1, 2015, hal. 216 [5] Muladi dan Barda Nawawi Arief. Teori-Teori dan Kebijakan Pidana. Edisi Revisi. Bandung: Alumni, 1992, hal. 177-178 [6] Fernando I. Kansil. Sanksi Pidana dalam Sistem Pemidanaan Menurut KUHP dan di Luar KUHP. Lex Crimen, Vol. 3, No. 3, 2014, hal. 29 [7] Pasal 624 UU 1/2023 [8] Pasal 3 Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2012 tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda dalam KUHP (“Perma 2/2012”), denda dikali 1.000 kali [9] Pasal 79 ayat (1) huruf c UU 1/2023 [10] Pasal 3 Perma 2/2012, denda dikali 1.000 kali [11] Pasal 79 ayat (1) huruf b UU 1/2023 [12] Pasal 5 huruf a Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga [13] Pasal 1 ayat (1) huruf c Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 2024 tentang Jenis dan Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berlaku Pada Kejaksaan Republik Indonesia (“PP 37/2024”) [14] Pasal 2 PP 37/2024 TAGS kuhp pidana denda | {28: "['(1) pidana denda merupakan sejumlah uang yang wajib dibayar oleh terpidana berdasarkan putusan pengadilan.']", 29: '[1] Pidana denda merupakan satu dari pidana pokok dalam stelsel pidana Indonesia, yang diancamkan dan terutama ditujukan terhadap harta kekayaan atau harta benda dari seseorang pelaku karena melanggar ketentuan undang-undang hukum pidana yang berlaku,', 30: '[1] Pidana denda merupakan satu dari pidana pokok dalam stelsel pidana Indonesia, yang diancamkan dan terutama ditujukan terhadap harta kekayaan atau harta benda dari seseorang pelaku karena melanggar ketentuan undang-undang hukum pidana yang berlaku,[2] dengan membayar sejumlah uang atau harta kekayaan tertentu agar dirasakan sebagai suatu kerugian oleh pembuatnya sendiri sehingga ketertiban di masyarakat itu pulih kembali.', 31: 'Dalam artikel ilmiahnya yang berjudul "Eksistensi Pidana Denda Menurut Sistem KUHP" yang diterbitkan di jurnal Lex Crimen, Volume 4, Nomor 1 tahun 2015, halaman 216, Aisah membahas eksistensi pidana denda dalam sistem KUHP. Penulis menganalisis kedudukan dan peran pidana denda sebagai salah satu pidana pokok, mengurai karakteristiknya, serta membandingkannya dengan pidana lain seperti pidana penjara. Analisis Aisah kemungkinan mencakup perkembangan hukum pidana di Indonesia terkait pidana denda, mencakup aspek yuridis dan implementasinya dalam praktik peradilan. Artikel ini mungkin juga membahas pandangan dan pendapat para ahli hukum pidana mengenai pidana denda.', 32: 'jumlah ancaman pidana denda di dalam KUHP pada umumnya relatif ringan.', 33: 'Jadi, tidak ada larangan jika denda secara sukarela dibayar oleh orang lain atas nama terpidana, walaupun denda dijatuhkan terhadap terpidana pribadi.', 34: 'Undang-Undang ini mulai berlaku setelah 3 (tiga) tahun terhitung sejak tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.', 35: 'Tiap jumlah maksimum hukuman denda yang diancamkan dalam KUHP kecuali pasal 303 ayat 1 dan ayat 2, 303 bis ayat 1 dan ayat 2, dilipatgandakan menjadi 1.000 (seribu) kall,', 25: "['(1) pidana denda paling banyak ditetapkan berdasarkan: a. kategori i, rp1.000.000,00 (satu juta rupiah); b. kategori ii, rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah); c. kategori iii, rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah); d. kategori iv, rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah); e. kategori v, rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah); f. kategori vi, rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah); g. kategori vii, rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah); dan h. kategori viii, rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah).']", 36: 'Tiap jumlah maksimum hukuman denda yang diancamkan dalam KUHP kecuali pasal 303 ayat 1 dan ayat 2, 303 bis ayat 1 dan ayat 2, dilipatgandakan menjadi 1.000 (seribu) kall,', 37: "['(1) pidana denda paling banyak ditetapkan berdasarkan: a. kategori i, rp1.000.000,00 (satu juta rupiah); b. kategori ii, rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah); c. kategori iii, rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah); d. kategori iv, rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah); e. kategori v, rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah); f. kategori vi, rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah); g. kategori vii, rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah); dan h. kategori viii, rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah).']", 38: 'pasal 5 setiap orang dilarang melakukan kekerasan dalam rumah tangga terhadap orang dalam lingkup rumah tangganya, dengan cara : a. kekerasan fisik; b. kekerasan psikis; c. kekerasan seksual; atau d. penelantaran rumah tangga.', 39: '(i) Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang berlaku pada Kejaksaan Republik Indonesia meliputi penerimaan dari: a. pembayaran uang pengganti tindak pidana korupsi; biaya perkara tindak pidana; denda tindak pidana; d. pembayaran denda tindak pidana pelanggaran lalu lintas dan angkutan jalan; e. pembayaran denda tindak pidana pelanggaran peraturan daerah; f. uang rampasan negara; g. hasil penjualan barang rElmpasan negara; h. hasil penjualan benda sita eksekusi; i. hasil penjualan barang bukti yang tida} diambil oleh yang berhak; j. hasil penjualan barang temuan; k. uang temuan; l. hasil pengembalian kerugian keuangan negara; m, hasil pemulihan kerugian keuangan negara dan/ atau perekonomian negara; n. hasil kerja sama di bidang hukum; o. sisa uang titipan pembayaran denda yang tidak diambil oleh pelanggar; p. pembayaran denda dan biaya perkara pelanggaran lalu lintas dan angkutan jalan yang sudah diterbitkan penghapusan piutang; q. denda damai; dan r. hasil penjualan benda sita eksekusi yang belum dilelang sampai dengan terpidana meninggal dunia namun piutang uang pengganti telah dihapus dari neraca laporan keuangan.', 40: 'Seluruh Penerimaan Negara Bukan Pajak yang berlaku pada Kejaksaan Republik Indonesia wajib disetor ke Kas Negara.'} |
Dalam kasus BLBI, dikabarkan bahwa debitur dan obligor yang tidak membayar utang ke pemerintah dapat dijerat pasal korupsi. Apakah benar logika hukum seperti ini? Bukankah harusnya utang-piutang tetap masuk dalam ranah perdata dan bukan pidana? | ULASAN LENGKAP Seluk Beluk Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) Sebelum menjawab pertanyaan Anda, kami akan menjelaskan terlebih dahulu mengenai Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (“BLBI”) dan penyelesaian piutang yang timbul dari BLBI. BLBI adalah fasilitas bantuan dana yang diberikan oleh Bank Indonesia yang digunakan untuk menjaga kestabilan sistem pembayaran dan sektor perbankan agar tidak terganggu karena ketidakseimbangan ( mismatch ) antara penerimaan dan penarikan dana pada bank-bank, baik jangka pendek maupun jangka panjang. [1] Pemberian BLBI dilakukan oleh pemerintah terhadap korporasi atau perseorangan pada saat terjadi krisis sektor keuangan tahun 1997. [2] Sehingga, dasar hukum pelaksanaan BLBI saat itu adalah Pasal 32 ayat (3) UU 13/1968 yang berbunyi: Bank dapat pula memberikan kredit likuiditas kepada bank-bank untuk mengatasi kesulitan likuiditas dalam keadaan darurat . Akan tetapi, UU 13/1968 saat ini sudah tidak berlaku karena telah dicabut oleh UU 23/1999 tentang Bank Indonesia. Dikarenakan BLBI masuk ke dalam piutang negara [3] dengan selisih tagihan piutang menurut pemerintah dengan jumlah kewajiban yang diakui oleh debitur mencapai lebih dari Rp100 miliar, maka penyelesaian piutang negara tunduk pada ketentuan Pasal 36 ayat (2) huruf c UU Perbendaharaan Negara yang menyatakan bahwa penyelesaian piutang yang menyangkut piutang negara ditetapkan oleh presiden, setelah mendapat pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat, jika bagian piutang negara yang tidak disepakati lebih dari Rp100 miliar. Presiden kemudian membentuk Badan Penyehatan Perbankan Nasional (“BPPN”) melalui Keppres 27/1998 dan dinyatakan berakhir tugasnya pada 27 Februari 2004. [4] BPPN mengambil alih hak tagih ( cessie ) terhadap bank penerima BLBI dari Bank Indonesia (“BI”). Seluruh utang BLBI dijadikan satu kemudian dilakukan novasi (pembaharuan utang). Utang lama antara BI dengan bank telah hapus dan menjadi utang baru antara bank dengan BPPN. [5] BPPN saat itu melaksanakan laporan pemeriksaan hukum ( due diligence ) yang dilakukan atas aspek hukum dan keuangan dari bank yang berada di bawah pengelolaan BPPN. Atas hasil laporan due diligence yang telah dilakukan, BPPN membentuk kerangka kerja yang digunakan untuk memaksimalkan pengembalian dana negara berupa BLBI yang telah tersalurkan kepada bank, yaitu Program Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham (“PKPS”). [6] Program PKPS tersebut bertujuan untuk menyelesaikan perkara di luar pengadilan ( out of court settlement ). Salah satu bentuk penyelesaiannya adalah dengan mengadakan perjanjian Master Settlement and Acquisition Agreement (“MSAA”) atau Master Refinancing and Note Issuance Agreement (“MRNIA”) serta Akta Pengakuan Utang (“APU”) dengan para mantan pemegang saham bank (obligor) yang berada di bawah kendali BPPN. [7] Penyelesaian perkara BLBI dalam prosesnya menemui banyak permasalahan, seperti penggunaan klausul release and discharge dalam MSAA, MRNIA, dan APU yang diinterpretasikan sebagai dasar hukum bagi pemberian kebebasan terhadap pemegang saham bank-bank yang bermasalah (obligor) yang telah melanggar ketentuan Batas Maksimum Pemberian Kredit (“BMPK”). [8] Klausula release and discharge memberi BPPN diskresi yang begitu luas, termasuk untuk membebaskan pemegang saham, bank, debitur, direktur, dan komisaris dari tanggung jawab perdata ( civil liability ), dan dalam tingkatan tertentu tanggung jawab pidana ( criminal liability ). [9] Sementara itu, klausul release and discharge tidak diatur dalam pranata hukum di Indonesia. Menurut Jusuf L. Indradewa , di Indonesia yang dikenal dan biasa digunakan adalah pemberian acquit et decharge dalam rangka pelepasan dan pembebasan tanggung jawab direksi dan dewan komisaris perseroan terbatas yang selalu diikuti penegasan, bila kemudian ternyata telah terjadi tindak pidana selama masa jabatannya, maka akan dilakukan penuntutan sesuai dengan ketentuan produk hukum pidana. [10] Selanjutnya, tujuan dari pemberian klausul release and discharge adalah sebagai penyelesaian utang BLBI dan pelanggaran BMPK dengan pembebasan dari semua tuntutan hukum, termasuk aspek pidananya . Klausula release and discharge ini juga ditindaklanjuti oleh pemerintah dengan mengeluarkan Inpres 8/2002 melalui kerangka MSAA, MRNIA, dan APU. Debitur dan Obligor BLBI Tidak Bayar Piutang Negara, Pasti Dipidana? Penggunaan MSAA dan MRNIA merupakan keputusan pemerintah yang didasarkan oleh pertimbangan tertentu, namun baik MSAA dan MRNIA sebenarnya tidak memiliki dasar hukum. Meski demikian, baik MSAA maupun MRNIA merupakan perjanjian yang tunduk pada ketentuan hukum perdata, yaitu Pasal 1338 KUH Perdata yang menegaskan bahwa seluruh perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi yang membuatnya ( pacta sunt servanda ). Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa pemerintah memiliki hubungan hukum yang bersifat kontraktual dengan obligor, dimana pemerintah mempunyai kedudukan sejajar dengan obligor tanpa memandang kedudukan di luar kontrak. Pada perkara utang-piutang yang lahir dari perjanjian, pihak yang tidak mampu untuk memenuhi suatu prestasi atau kewajiban pada prinsipnya tidak dapat dijatuhi pidana. Hal ini sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 19 ayat (2) UU HAM yang menyatakan bahwa tidak seorangpun boleh dipidana penjara atau kurungan karena alasan tidak mampu memenuhi kewajiban dalam perjanjian utang piutang. Namun, tidak serta merta pihak yang terlibat dalam suatu perjanjian utang-piutang tersebut bebas dari pertanggungjawaban pidana. Untuk itu, harus dilihat syarat-syarat sah dalam perjanjian yang termuat dalam Pasal 1320 KUH Perdata , yakni: sepakat mereka yang mengikatkan dirinya; kecakapan untuk membuat suatu perikatan; suatu sebab-sebab tertentu; dan suatu sebab yang halal. Pada syarat perjanjian yang pertama, yaitu adanya kesepakatan antar kedua belah pihak, merujuk Pasal 1321 KUH Perdata , kesepakatan tersebut haruslah bebas dari paksaan ( dwang ), kekhilafan ( dwaling ), maupun penipuan ( bedrog ). Apabila terdapat salah satu atau lebih kondisi yang disebutkan di atas, maka mengakibatkan perjanjian menjadi batal demi hukum. Selain itu, pihak yang bersangkutan dapat dituntut secara pidana ketika terdapat unsur penipuan yang dilakukan salah satu pihak dalam perjanjian. : Bunyi dan Unsur Pasal 378 KUHP tentang Penipuan Selanjutnya, mengenai permasalahan penjatuhan pidana korupsi atas perkara penyelesaian sengketa BLBI, dapat kami sampaikan bahwa pengusutan terhadap dugaan tindak pidana korupsi tentu dapat saja dilakukan apabila ditemukan adanya penyelewengan atau penyalahgunaan dana BLBI oleh para obligor untuk kepentingan pribadi yang menyebabkan kerugian keuangan negara , sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) UU 31/1999 jo. Putusan MK No. 25/PUU-XIV/2016 . : Jenis-Jenis Korupsi dan Hukumnya di Indonesia Namun demikian, pengusutan perkara pidana ini tidak menghapuskan kewajiban obligor yang terdapat dalam MSAA dan MRNIA , dikarenakan terdapat perbedaan hubungan hukum antara pemerintah dengan obligor pada aspek perdata dan pidana. Hubungan hukum antara pemerintah dengan obligor pada aspek pidana tidak didasarkan pada perjanjian MSAA dan MRNIA, namun terjadi atas perbuatan hukum debitur yang melanggar hukum pidana. Ketentuan release and discharge yang terdapat pada MSAA dan MRNIA tidak dapat membebaskan obligor dari pertanggungjawaban pidana, apabila terdapat niat jahat ( mens rea ) yang dibarengi dengan perbuatan pidana ( actus reus ) dengan menyimpangi MSAA dan MRNIA untuk menyalahgunakan dana BLBI. Namun demikian, apabila tidak terdapat kecurangan ataupun penyimpangan yang dilakukan oleh obligor, maka sejatinya obligor dapat dibebaskan dari pertanggungjawaban pidana. Berdasarkan analisis dan uraian di atas, menjawab pertanyaan Anda, dapat kami sampaikan bahwa tidak serta-merta debitur maupun obligor yang tidak dapat melunasi utang dalam perkara BLBI dapat terbebas dari tindak pidana korupsi. Debitur maupun obligor dapat dimintai pertanggungjawaban pidana apabila terdapat perbuatan dari debitur maupun obligor yang dikualifikasikan sebagai tindak pidana korupsi. Apabila dalam prosesnya tidak ditemukan adanya perbuatan pidana yang dilakukan oleh debitur maupun obligor, maka baik debitur maupun obligor tidak dapat dikenakan pertanggungjawaban secara pidana. Perkaya riset hukum Anda dengan analisis hukum terbaru dwibahasa, serta koleksi terjemahan peraturan yang terintegrasi dalam Hukumonline Pro, pelajari lebih lanjut di sini . Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. Dasar Hukum: Kitab Undang-Undang Hukum Perdata ; Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia ; Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia ; Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi ; Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi ; Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara ; Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia ; Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009 Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia Menjadi Undang-Undang ; Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan ; Keputusan Presiden Nomor 27 Tahun 1998 tentang Pembentukan Badan Penyehatan Perbankan Nasional ; Instruksi Presiden Nomor 8 Tahun 2002 tentang Pemberian Jaminan Kepastian Hukum Kepada Debitur yang Telah Menyelesaikan Kewajibannya atau Tindakan Hukum Kepada Debitur yang Tidak Menyelesaikan Kewajibannya Berdasarkan Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham ; Keputusan Presiden Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pengakhiran Tugas dan Pembubaran Badan Penyehatan Perbankan Nasional ; Keputusan Presiden Nomor 6 Tahun 2021 tentang Satuan Tugas Penanganan Hak Tagih Negara Dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia ; Keputusan Presiden Nomor 16 Tahun 2021 tentang Perubahan atas Keputusan Presiden Nomor 6 Tahun 2021 tentang Satuan Tugas Penanganan Hak Tagih Negara Dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia ; Keputusan Presiden Nomor 30 Tahun 2023 tentang Perubahan Kedua atas Keputusan Presiden Nomor 6 Tahun 2021 tentang Satuan Tugas Penanganan Hak Tagih Negara Dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia . Putusan: Putusan Mahkamah Konstitus Nomor 25/PUU-XIV/2016 . Referensi : Ari Wahyudi Hertanto. Master Settlement and Acquisition Agreement (MSAA) dan Master Refinancing and Note Issuance Agreement (MRNIA) Dalam Perspektif Hukum Perdata . Jurnal Hukum dan Pembangunan; Devi Andani. Release and Discharge sebagai Bentuk Tanggung Jawab Pribadi Pemegang Saham Utang BLBI. Lex Renaissance No. 1 Vol. 3 Januari 2018; Erna Herlinda. Release and Discharge dalam Perspektif Hukum Keuangan Publik . Laporan Penelitian, FH USU, 2004; Soehandjono & Associates. Studi Hukum Bantuan Likuiditas Bank Indonesia dan BLBI Suatu Tinjauan dan Penilaian Aspek Ekonom, Keuangan dan Hukum . Jakarta: Bank Indonesia, 2002. [1] Soehandjono & Associates. Studi Hukum Bantuan Likuiditas Bank Indonesia dan BLBI Suatu Tinjauan dan Penilaian Aspek Ekonom, Keuangan dan Hukum . Jakarta: Bank Indonesia, 2002, hal. 9 [2] Konsiderans Menimbang Keputusan Presiden Nomor 6 Tahun 2021 tentang Satuan Tugas Penanganan Hak Tagih Negara Dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia [3] Lihat Pasal 1 Keputusan Presiden Nomor 16 Tahun 2021 tentang Perubahan atas Keputusan Presiden Nomor 6 Tahun 2021 tentang Satuan Tugas Penanganan Hak Tagih Negara Dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia [4] Pasal 1 angka 1 Keputusan Presiden Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pengakhiran Tugas dan Pembubaran Badan Penyehatan Perbankan Nasional [5] Devi Andani. Release and Discharge sebagai Bentuk Tanggung Jawab Pribadi Pemegang Saham Utang BLBI. Lex Renaissance No. 1 Vol. 3 Januari 2018, hal. 5 [6] Ari Wahyudi Hertanto. Master Settlement and Acquisition Agreement (MSAA) dan Master Refinancing and Note Issuance Agreement (MRNIA) Dalam Perspektif Hukum Perdata . Jurnal Hukum dan Pembangunan, 2005, hal. 434 [7] Ari Wahyudi Hertanto. Master Settlement and Acquisition Agreement (MSAA) dan Master Refinancing and Note Issuance Agreement (MRNIA) Dalam Perspektif Hukum Perdata . Jurnal Hukum dan Pembangunan, 2005, hal. 434 – 435 [8] Ari Wahyudi Hertanto. Master Settlement and Acquisition Agreement (MSAA) dan Master Refinancing and Note Issuance Agreement (MRNIA) Dalam Perspektif Hukum Perdata . Jurnal Hukum dan Pembangunan, 2005, hal. 435 – 436 [9] Ari Wahyudi Hertanto. Master Settlement and Acquisition Agreement (MSAA) dan Master Refinancing and Note Issuance Agreement (MRNIA) Dalam Perspektif Hukum Perdata . Jurnal Hukum dan Pembangunan, 2005, hal. 444 [10] Erna Herlinda. Release and Discharge dalam Perspektif Hukum Keuangan Publik . Laporan Penelitian, FH USU, 2004, hal. 3 TAGS debitur likuidasi bank indonesia | {41: 'BLBI adalah fasilitas bantuan dana yang diberikan oleh Bank Indonesia yang digunakan untuk menjaga kestabilan sistem pembayaran dan sektor perbankan agar tidak terganggu karena ketidakseimbangan (mismatch) antara penerimaan dan penarikan dana pada bank-bank, baik jangka pendek maupun jangka panjang.', 42: 'bahwa pada saat terjadi krisis sektor keuangan tahun 1997, Pemerintah telah memberikan Bantuan Likuiditas Bank lndonesia terhadap korporasi atau perseorangan yang kemudian pelaksanaan pemulihannya dilakukan oleh Badan Penyehatan Perbankan Nasional yang dibentuk berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 27 Tahun 1998 tentang Pembentukan Badan Penyehatan Perbankan Nasional', 43: 'Dalam rangka penanganan dan pemulihan hak negara berupa hak tagih negara atas sisa piutang negara dari pengelolaan eks Badan Penyehatan Perbankan Nasional dan Bank Dalam Likuidasi termasuk Bantuan Likuiditas Bank Indonesia maupun aset properti, dibentuk Satuan Tugas Penanganan Hak Tagih Negara Dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia yang selanjutnya disebut Satgas Penanganan Hak Tagih Negara Dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia.', 44: 'Badan Penyehatan Perbankan Nasional atau BPPN yang dibentuk berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 27 Tahun 1998 dan yang selanjutnya ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 1999 tentang Badan Penyehatan Perbankan Nasional sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2001, terhitung mulai tanggal 27 Pebruari 2004 dinyatakan berakhir tugasnya.', 45: 'Utang lama antara BI dengan bank telah hapus dan menjadi utang baru antara bank dengan BPPN.', 46: 'Atas hasil laporan due diligence yang telah dilakukan, BPPN membentuk kerangka kerja yang digunakan untuk memaksimalkan pengembalian dana negara berupa BLBI yang telah tersalurkan kepada bank, yaitu Program Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham (“PKPS”).', 47: 'Salah satu bentuk penyelesaiannya adalah dengan mengadakan perjanjian Master Settlement and Acquisition Agreement (“MSAA”) atau Master Refinancing and Note Issuance Agreement (“MRNIA”) serta Akta Pengakuan Utang (“APU”) dengan para mantan pemegang saham bank (obligor) yang berada di bawah kendali BPPN.', 48: 'Ari Wahyudi Hertanto dalam jurnal Hukum dan Pembangunan tahun 2005, halaman 435-436, membahas *Master Settlement and Acquisition Agreement* (MSAA) dan *Master Refinancing and Note Issuance Agreement* (MRNIA) dari perspektif hukum perdata. Artikel ini kemungkinan mengkaji landasan hukum perdata dari kedua perjanjian tersebut dalam konteks penyelesaian utang BLBI, menganalisis ketentuan Pasal 1338 KUH Perdata (pacta sunt servanda) dan implikasinya terhadap hubungan hukum antara pemerintah dan obligor. Penulis mungkin juga membahas kelebihan dan kekurangan MSAA dan MRNIA sebagai mekanisme penyelesaian utang serta implikasi hukumnya bagi para pihak yang terlibat.', 49: '[8] Klausula release and discharge memberi BPPN diskresi yang begitu luas, termasuk untuk membebaskan pemegang saham, bank, debitur, direktur, dan komisaris dari tanggung jawab perdata (civil liability), dan dalam tingkatan tertentu tanggung jawab pidana (criminal liability).', 50: 'Indradewa, di Indonesia yang dikenal dan biasa digunakan adalah pemberian acquit et decharge dalam rangka pelepasan dan pembebasan tanggung jawab direksi dan dewan komisaris perseroan terbatas yang selalu diikuti penegasan, bila kemudian ternyata telah terjadi tindak pidana selama masa jabatannya, maka akan dilakukan penuntutan sesuai dengan ketentuan produk hukum pidana.'} |
Belakangan ini, netizen digemparkan dengan kasus asusila guru terhadap murid. Pertama, video guru di Gorontalo yang viral karena berhubungan seks dengan siswinya. Kedua, guru ngaji di Tangsel yang lecehkan 8 muridnya. Ketiga, guru BK di Pekalongan diduga lecehkan muridnya juga, dan masih banyak lagi kasus guru melecehkan siswa. Saya mau bertanya, apa sanksi hukum yang dapat dikenakan terhadap guru yang lecehkan muridnya? | ULASAN LENGKAP Artikel ini dibuat berdasarkan KUHP lama dan UU 1/2023 tentang KUHP yang diundangkan pada tanggal 2 Januari 2023. Seluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata – mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihat Pernyataan Penyangkalan selengkapnya). . Tindak Pidana Kekerasan Seksual Terhadap Anak Tindakan bersetubuh, asusila, dan pelecehan yang terjadi antara guru dan muridnya termasuk pada ranah tindak pidana kekerasan seksual . Berdasarkan Pasal 1 angka 1 UU TPKS , yang dimaksud dengan tindak pidana kekerasan seksual adalah segala perbuatan yang memenuhi unsur tindak pidana sebagaimana diatur dalam undang-undang ini dan perbuatan seksual lainnya sebagaimana diatur dalam undang-undang sepanjang ditentukan dalam undang-undang ini. Adapun yang dimaksud dengan korban adalah orang yang mengalami penderitaan fisik, mental, kerugian ekonomi, dan/atau kerugian sosial yang diakibatkan tindak pidana kekerasan seksual. [1] Sedangkan, anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. [2] Tindak pidana kekerasan seksual sendiri berdasarkan ketentuan Pasal 4 ayat (1) UU TPKS terdiri atas: pelecehan seksual nonfisik; pelecehan seksual fisik ; pemaksaan kontrasepsi; pemaksaan sterilisasi; pemaksaan perkawinan; penyiksaan seksual; eksploitasi seksual; perbudakan seksual; dan Kekerasan seksual berbasis elektronik Selain jenis tindak pidana kekerasan seksual yang diatur dalam ketentuan Pasal 4 ayat (1) UU TPKS, terdapat juga tindak pidana kekerasan seksual lainnya. Contohnya persetubuhan terhadap anak , perbuatan cabul terhadap anak , dan/atau eksploitasi seksual terhadap anak . [3] Tindakan persetubuhan dengan anak dikenal juga sebagai istilah statutory rape . Artinya, walaupun tindakan kekerasan seksual yang dilakukan orang dewasa tidak menggunakan kekerasan atau memaksa, secara hukum tindakan-tindakan tersebut masuk dalam kategori tindak pidana pemerkosaan terhadap anak. [4] : Jerat Pidana Pasal Pelecehan Seksual dan Pembuktiannya Lantas, apa sanksi hukum yang dapat dikenakan terhadap guru yang lecehkan muridnya? Jerat Pidana Pelecehan Seksual dalam UU TPKS Berdasarkan Pasal 6 huruf c UU TPKS , setiap orang yang menyalahgunakan kedudukan , wewenang , kepercayaan, atau perbawa yang timbul dari tipu muslihat atau hubungan keadaan atau memanfaatkan kerentanan, ketidaksetaraan atau ketergantungan seseorang, memaksa atau dengan penyesatan menggerakkan orang itu untuk melakukan atau membiarkan dilakukan persetubuhan atau perbuatan cabul dengannya atau dengan orang lain, dipidana penjara maksimal 12 tahun dan/atau pidana denda maksimal Rp300 juta . Lalu, pidana yang dikenakan terhadap oknum guru ditambah 1/3 karena: [5] pelecehan seksual fisik dilakukan oleh pendidik atau tenaga kependidikan, atau tenaga profesional lain yang mendapatkan mandat untuk melakukan penanganan, pelindungan, dan pemulihan; dan pelecehan seksual fisik dilakukan terhadap anak. : Jenis-jenis Kekerasan Seksual Menurut Pasal 4 UU TPKS Jerat Pidana Pelecehan Seksual dalam KUHP dan UU 1/2023 Berdasarkan KUHP lama yang masih berlaku pada saat artikel ini diterbitkan, tidak mengatur secara spesifik mengenai persetubuhan dengan anak ( statutory rape ), melainkan hanya mengatur tentang tindak pidana perkosaan secara umum dalam Pasal 285 , dan perkosaan terhadap wanita tidak berdaya dalam Pasal 286 . Akan tetapi, dalam UU 1/2023 tentang KUHP baru yang mulai berlaku 3 tahun terhitung sejak tanggal diundangkan, [6] yaitu pada tahun 2026, mengatur secara spesifik persetubuhan dengan anak. Hal ini dapat ditemukan pada Pasal 473 ayat (1) jo. ayat (2) huruf b UU 1/2023 , yaitu termasuk tindak pidana perkosaan dan dipidana penjara maksimal 12 tahun meliputi perbuatan persetubuhan dengan anak . Selengkapnya mengenai tindak pidana perkosaan terhadap anak dalam UU 1/2023, dapat Anda baca di artikel Bunyi Pasal 285 KUHP tentang Perkosaan . Jerat Pidana Pelecehan Seksual dalam UU Perlindungan Anak Selain itu, terdapat juga sanksi pidana yang termuat dalam UU Perlindungan Anak dan perubahannya. Berdasarkan Pasal 76D UU 35/2014 , setiap orang dilarang melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain. Adapun orang yang melanggar tersebut dipidana penjara minimal 5 tahun dan denda maksimal Rp5 miliar . [7] Ketentuan pidana ini berlaku pula bagi setiap orang yang dengan sengaja melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain. [8] Kemudian, jika tindak pidana dilakukan oleh orang tua, wali, orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga, pengasuh anak, pendidik , tenaga kependidikan , aparat yang menangani perlindungan anak, atau dilakukan oleh lebih dari satu orang secara bersama-sama, pidananya ditambah 1/3 . [9] Lebih lanjut, jika tindak pidana menimbulkan korban lebih dari 1 orang, mengakibatkan luka berat, gangguan jiwa, penyakit menular, terganggu atau hilangnya fungsi reproduksi, dan/atau korban meninggal dunia, pelaku dipidana mati , seumur hidup , atau pidana penjara minimal 10 tahun dan maksimal 20 tahun . [10] Selain dikenai pidana sebagaimana dimaksud di atas, pelaku dapat dikenai pidana tambahan berupa pengumuman identitas pelaku , juga tindakan berupa kebiri kimia dan pemasangan alat pendeteksi elektronik . [11] Sebagai informasi, disarikan dari Pelaku Persetubuhan Karena Suka Sama Suka, Bisakah Dituntut? , UU Perlindungan Anak dan perubahannya tidak mengenal istilah suka sama suka untuk persetubuhan dan pencabulan terhadap anak . Meskipun dilakukan atas dasar suka sama suka, posisi anak tetap sebagai korban walaupun anak yang minta berhubungan badan atau dicabuli oleh orang lain. Terhadap keberadaan pasal-pasal dalam UU TPKS, KUHP, UU 1/2023, dan UU Perlindungan Anak dan perubahannya, dapat diterapkan doktrin lex specialis derogat legi generali , yang artinya hukum khusus menyampingkan hukum umum. [12] Dalam kasus hukum pidana, terdapat tindak pidana umum yang diatur dalam KUHP, dan tindak pidana khusus yang pengaturan hukumnya berada di luar KUHP. Menyambung kasus hukum yang Anda tanyakan, tindak pidana khusus contohnya pelecehan seksual terhadap anak diatur dalam UU Perlindungan Anak dan perubahannya. Pada kasus ini, UU Perlindungan Anak dan perubahannya memiliki karakteristik unsur yang lebih spesifik dibandingkan UU TPKS, KUHP, dan UU 1/2023. Walau demikian, dalam praktiknya penyidik dapat mengenakan pasal berlapis terhadap suatu tindak pidana yang memenuhi unsur-unsur pelecehan seksual fisik sebagaimana diatur dalam UU TPKS, KUHP dan UU 1/2023 serta UU Perlindungan Anak dan perubahannya. Artinya, jika unsur-unsur tindak pidananya terpenuhi, penyidik dapat menggunakan pasal-pasal tersebut. Sanksi Pelanggaran Kewajiban Guru Selanjutnya, karena pelaku merupakan seorang guru, maka terdapat sanksi lain yang terdapat dalam ketentuan UU 14/2005 . Guru sebagai pendidik memiliki kedudukan sebagai tenaga profesional pada jenjang pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan anak usia dini pada jalur pendidikan formal yang diangkat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. [13] Dalam melaksanakan tugas keprofesionalannya ini, seorang guru berkewajiban untuk: [14] merencanakan pembelajaran, melaksanakan proses pembelajaran yang bermutu, serta menilai dan mengevaluasi hasil pembelajaran; meningkatkan dan mengembangkan kualifikasi akademik dan kompetensi secara berkelanjutan sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni; bertindak objektif dan tidak diskriminatif atas dasar pertimbangan jenis kelamin, agama, suku, ras, dan kondisi fisik tertentu, atau latar belakang keluarga, dan status sosial ekonomi peserta didik dalam pembelajaran; menjunjung tinggi peraturan perundang-undangan, hukum, dan kode etik guru, serta nilai-nilai agama dan etika ; dan memelihara dan memupuk persatuan dan kesatuan bangsa. Karena guru wajib menjunjung tinggi peraturan perundangan, hukum, dan kode etik, serta nilai-nilai agama dan etika, oleh karena itu, menurut hemat kami, tindakan persetubuhan dan/atau pelecehan seksual yang dilakukan guru terhadap muridnya telah melanggar kewajiban tersebut. Guru yang diangkat oleh pemerintah atau pemerintah daerah yang tidak menjalankan kewajiban di atas dapat dikenai sanksi sesuai dengan peraturan perundang-undangan , berupa: [15] teguran; peringatan tertulis; penundaan pemberian hak guru; penurunan pangkat; pemberhentian dengan hormat; atau pemberhentian tidak dengan hormat. Selain itu, bagi guru yang diangkat oleh penyelenggara pendidikan atau satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh masyarakat yang tidak menjalankan kewajiban di atas, dapat dikenai sanksi sesuai dengan perjanjian kerja atau kesepakatan . [16] : Perlindungan Hukum Terhadap Anak Korban Kekerasan Seksual Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. Dasar Hukum : Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ; Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak ; Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen ; Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak ; Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak ; Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Menjadi Undang-Undang ; Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual ; Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana . Referensi : Kurnia Indriyanti Purnama Sari et. al . Kekerasan Seksual. Bandung: Media Sains Indonesia, 2022; Shinta Agustina. Implementasi Asas Lex Specialis Derogat Legi Generali dalam Sistem Peradilan Pidana . Jurnal Masalah-Masalah Hukum FH Universitas Diponegoro, Vol 44, No. 4, 2015. [1] Pasal 1 angka 4 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (“UU TPKS”) [2] Pasal 1 angka 5 UU TPKS [3] Pasal 4 ayat (2) huruf c UU TPKS [4] Kurnia Indriyanti Purnama Sari (et. al). Kekerasan Seksual. Bandung: Media Sains Indonesia, 2022, hal. 110 [5] Pasal 15 ayat (1) huruf b dan g UU TPKS [6] Pasal 624 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“UU 1/2023”) [7] Pasal 81 ayat (1) Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (“Perppu 1/2016”) [8] Pasal 81 ayat (2) Perppu 1/2016 [9] Pasal 81 ayat (3) Perppu 1/2016 [10] Pasal 81 ayat (5) Perppu 1/2016 [11] Pasal 81 ayat (6) dan (7) Perppu 1/2016 [12] Shinta Agustina. Implementasi Asas Lex Specialis Derogat Legi Generali dalam Sistem Peradilan Pidana . Jurnal Masalah-Masalah Hukum FH Universitas Diponegoro, Vol 44, No. 4, 2015, hal. 504 [13] Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen (“UU 14/2005”) [14] Pasal 20 UU 14/2005 [15] Pasal 77 ayat (1) dan (2) UU 14/2005 [16] Pasal 77 ayat (4) UU 14/2005 TAGS pelecehan seksual kekerasan seksual perlindungan anak | {55: '4. korban adalah orang yang mengalami penderitaan frsik, mental, kerugian ekonomi, dan f atau kerugian sosial yang diakibatkan tindak pidana kekerasan seksual', 56: '5. anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan', 57: "['(1) tindak pidana kekerasan seksual terdiri atas: a. pelecehan seksual nonfisik; b. pelecehan seksual fisik; d sk no 146006a presiden republik indonesia -7 - c. pemaksaan kontrasepsi; d. pemaksaan sterilisasi; e. pemaksaan perkawinan; f. penyiksaan seksual; g. eksploitasi seksual; h. perbudakan seksual; dan i. kekerasan seksual berbasis elektronik.']", 58: 'Doktrin lex specialis derogat legi generali menyatakan hukum khusus mengesampingkan hukum umum. Dalam kasus ini, UU Perlindungan Anak lebih spesifik dibanding UU TPKS, KUHP, dan UU 1/2023.', 59: "['(1) pidana sebagaimana dimaksud dalam pasal 5 , pasal 6 , dan pasal 8 sampai dengan pasal 14 ditambah 1/3 (satu per tiga), jika: a. dilakukan dalam lingkup keluarga; b. dilakukan oleh tenaga kesehatan, tenaga medis, pendidik, tenaga kependidikan, atau tenaga profesional lain yang mendapatkan mandat untuk melakukan penanganan, pelindungan, dan pemulihan; sk no 146013 a c. dilakukan presiden republik indonesia c. dilakukan oleh pegawai, pengurus, atau petugas terhadap orang yang dipercayakan atau diserahkan padanya untuk dijaga; d. dilakukan oleh pejabat publik, pemberi kerja, atasan, atau pengurus terhadap orang yang dipekerjakan atau bekerja dengannya; e. dilakukan lebih dari i (satu) kali atau dilakukan terhadap lebih dari 1 (satu) orang; f. dilakukan oleh 2 (dua) orang atau lebih dengan bersekutu; g. dilakukan terhadap anak; h. dilakukan terhadap penyandang disabilitas; i. dilakukan terhadap perempuan hamil; j. dilakukan terhadap seseorang dalam keadaan pingsan atau tidak berdaya; k. dilakukan terhadap seseorang dalam keadaan darurat, keadaan bahaya, situasi konflik, bencana, atau perang; l. dilakukan dengan menggunakan sarana elektronik; m. korban mengalami luka berat, berdampak psikologis berat, atau penyakit menular; n. mengakibatkan terhentinya dan/ atau rusaknya fungsi reproduksi; dan/ atau o. mengakibatkan korban meninggal dunia.']", 4: 'Undang-Undang ini mulai berlaku setelah 3 (tiga) tahun terhitung sejak tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.', 60: '(1) Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76D dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).', 61: '(2) Ketentuan pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku pula bagi setiap orang yang dengan sengaja melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk Anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain.', 62: '(3) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh orang tua, wali, orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga, pengasuh anak, pendidik, tenaga kependidikan, aparat yang menangani perlindungan anak, atau dilakukan oleh lebih dari satu orang secara bersama-sama, pidananya ditambah 1/3 (sepertiga) dari ancaman pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1).', 63: '(5) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76D menimbulkan korban lebih dari 1 (satu) orang, mengakibatkan luka berat, gangguan jiwa, penyakit menular, terganggu atau hilangnya fungsi reproduksi, dan/atau korban meninggal dunia, pelaku dipidana mati, seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat 10 (sepuluh) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun.', 64: '(6) Selain dikenai pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5), pelaku dapat dikenai pidana tambahan berupa pengumuman identitas pelaku.', 65: '**[8] Asas lex specialis derogat legi generali:** Asas ini menyatakan bahwa hukum khusus (seperti UU Perlindungan Anak) mengesampingkan hukum umum (KUHP) jika terjadi pertentangan dalam kasus yang sama. Dalam kasus penganiayaan anak, UU Perlindungan Anak lebih spesifik dan menjadi dasar hukum utama.', 66: "['(1) guru mempunyai kedudukan sebagai tenaga profesional pada jenjang pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan anak usia dini pada jalur pendidikan formal yang diangkat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.']", 67: 'pasal 20 dalam melaksanakan tugas keprofesionalan, guru berkewajiban : a. merencanakan pembelajaran, melaksanakan proses pembelajaran yang bermutu, serta menilai dan mengevaluasi hasil pembelajaran; b. meningkatkan dan mengembangkan kualifikasi akadernik dan kompetensi secara berkelanjutan sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni; c. bertindak … c. bertindak objektif dan tidak diskriminatif atas dasar pertimbangan jenis kelamin, agama, suku, ras, dan kondisi fisik tertentu, atau latar belakang keluarga, dan status sosial ekonomi peserta didik dalam pembelajaran; d. menjunjung tinggi peraturan perundang-undangan, hukum, dan kode etik guru, serta nilai-nilai agama dan etika; dan e. memelihara dan memupuk persatuan dan kesatuan bangsa. bagian ketiga wajib kerja dan ikatan dinas', 68: "['(1) guru yang diangkat oleh pemerintah atau pemerintah daerah yang tidak menjalankan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam pasal 20 dikenai sanksi sesuai dengan peraturan perundang-undangan.', '(2) sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa: a. teguran; b. peringatan tertulis; c. penundaan pemberian hak guru; d. penurunan pangkat; e. pemberhentian dengan hormat; atau f. pemberhentian tidak dengan hormat.', '(3) guru yang berstatus ikatan dinas sebagaimana dimaksud dalam pasal 22 yang tidak melaksanakan tugas sesuai dengan perjanjian kerja atau kesepakatan kerja bersama diberi sanksi sesuai dengan perjanjian ikatan dinas.', '(4) guru . . . (4) guru yang diangkat oleh penyelenggara pendidikan atau satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh masyarakat yang tidak menjalankan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam pasal 20 dikenai sanksi sesuai dengan perjanjian kerja atau kesepakatan kerja bersama.', '(5) guru yang melakukan pelanggaran kode elik dikenai sanksi oleh organisasi profesi.']", 69: "['(1) guru yang diangkat oleh pemerintah atau pemerintah daerah yang tidak menjalankan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam pasal 20 dikenai sanksi sesuai dengan peraturan perundang-undangan.', '(2) sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa: a. teguran; b. peringatan tertulis; c. penundaan pemberian hak guru; d. penurunan pangkat; e. pemberhentian dengan hormat; atau f. pemberhentian tidak dengan hormat.', '(3) guru yang berstatus ikatan dinas sebagaimana dimaksud dalam pasal 22 yang tidak melaksanakan tugas sesuai dengan perjanjian kerja atau kesepakatan kerja bersama diberi sanksi sesuai dengan perjanjian ikatan dinas.', '(4) guru . . . (4) guru yang diangkat oleh penyelenggara pendidikan atau satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh masyarakat yang tidak menjalankan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam pasal 20 dikenai sanksi sesuai dengan perjanjian kerja atau kesepakatan kerja bersama.', '(5) guru yang melakukan pelanggaran kode elik dikenai sanksi oleh organisasi profesi.']"} |
Apakah suatu perjanjian yang merupakan suatu peristiwa hukum perdata dapat berubah menjadi hukum pidana seperti penipuan? | ULASAN LENGKAP dari artikel dengan judul Pidana Bisa Jadi Perdata? yang dibuat oleh Si Pokrol dan pertama kali dipublikasikan pada 30 Desember 2009. . Perbedaan Hukum Pidana dan Hukum Perdata Untuk menjawab pertanyaan Anda, terlebih dahulu perlu dibahas mengenai perbedaan antara hukum pidana dengan hukum perdata. Menurut R. Soeroso dalam bukunya Pengantar Ilmu Hukum (hal. 195) hukum pidana merupakan bagian dari hukum publik, yaitu hukum yang mengatur tiap-tiap hubungan di antara negara atau alat-alat negara sebagai pendukung kekuasaan penguasa di satu pihak dengan warga negara pada umumnya di lain pihak atau setiap hukum yang hubungan di antara negara dan alat-alat perlengkapannya, begitu pula perhubungan antara alat-alat perlengkapan negara yang satu dengan alat-alat perlengkapan negara yang lainnya. Sedangkan, hukum perdata termasuk pada bagian hukum privat, yaitu hukum yang menjamin adanya kepastian di dalam hubungan antara orang yang satu dengan yang lain, di mana keduanya sebagai anggota masyarakat dan menjamin adanya kepastian dalam hubungan antara seseorang dengan pemerintah. [1] Adapun yang dimaksud dengan hukum pidana menurut J. B. Daliyo dalam bukunya Pengantar Hukum Indonesia (hal. 88) adalah hukum yang mengatur tentang pelanggaran dan kejahatan terhadap kepentingan umum. Pelanggaran dan kejahatan tersebut diancam dengan hukuman yang merupakan penderitaan atau siksaan bagi yang bersangkutan. Sementara itu, hukum perdata menurut Abdul Kadir Muhammad dalam bukunya Pengantar Hukum Perdata (hal. 2) adalah segala aturan hukum yang mengatur hubungan hukum antara orang yang satu dengan orang yang lain dalam hidup bermasyarakat. : Intisari Perbedaan Hukum Pidana dan Perdata Berdasarkan penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa perbedaan mendasar antara hukum perdata dan pidana adalah hukum perdata mengatur hubungan hukum antara orang yang satu dengan orang yang lain (bersifat privat). Sedangkan, hukum pidana adalah hukum yang mengatur tentang pelanggaran dan kejahatan terhadap kepentingan umum yang diancam dengan hukuman berupa penderitaan (bersifat publik). Pada dasarnya terdapat pemisahan yang jelas antara hukum perdata dan pidana dimana masalah hukum perdata tidak dapat menjadi masalah hukum pidana. Akan tetapi, dalam beberapa kasus terkadang perkara perdata berubah menjadi perkara pidana. Lantas, apa faktor yang menyebabkan perkara perdata jadi pidana? Apakah Perdata Bisa Jadi Pidana? Disarikan dari artikel Faktor yang Membuat Kasus Perdata Berubah Menjadi Pidana , suatu perkara perdata dapat berubah menjadi tindak pidana ketika terdapat unsur-unsur pidana yang muncul pada perkara perdata tersebut. Pada tindak pidana harus memiliki unsur perbuatan terhadap pelaku, yang perbuatan ini sudah memenuhi ketentuan pelanggaran hukum. Contoh kasus perdata jadi pidana yang sering terjadi adalah kasus jual beli atau utang piutang antar individu. Pada kasus tersebut, perselisihan antara dua pihak yang melakukan perjanjian merupakan kasus perdata, yaitu wanprestasi. Namun, perkara tersebut bisa menyeret salah satu pihak ke ranah hukum pidana karena ada unsur penipuan. Batasan antara wanprestasi dengan penipuan dijelaskan oleh Yahman dalam buku Karakteristik Wanprestasi dan Tindak Pidana Penipuan (hal. 258) yaitu terletak pada tempus delicti atau waktu ketika perjanjian atau kontrak itu ditutup atau perjanjian/kontrak ditandatangani. Apabila adanya tipu muslihat, rangkaian kata bohong atau keadaan palsu, martabat palsu dari salah satu pihak terjadi setelah kontrak ditandatangani ( post factum ), maka perbuatan itu merupakan wanprestasi. Sedangkan, jika terjadi sebelum kontrak ditandatangani, maka perbuatan itu merupakan suatu perbuatan penipuan . Lebih lanjut, kaidah hukum dalam Yurisprudensi MA No. 4/Yur/Pid/2018 menegaskan bahwa para pihak yang tidak memenuhi kewajiban dalam perjanjian yang dibuat secara sah bukan penipuan, namun wanprestasi yang masuk ranah keperdataan, kecuali jika perjanjian itu didasari dengan iktikad buruk atau iktikad tidak baik . Sehingga, kesimpulan kami adalah faktor yang bisa menyebabkan suatu kasus perdata yaitu wanprestasi menjadi kasus pidana yakni penipuan yaitu adanya iktikad buruk dalam perjanjian yang dibuat para pihak. Mahkamah Agung menjelaskan dalam yurisprudensi tersebut bahwa jika perjanjian dibuat dan didasari iktikad buruk atau tidak baik, niat jahat untuk merugikan orang lain, maka perbuatan tersebut bukan merupakan wanprestasi, melainkan tindak pidana penipuan. Contohnya dalam kasus utang piutang, dalam melakukan transaksi atau pemesanan, menggunakan nama palsu atau jabatan palsu, hubungan hukum keperdataan yang tidak didasari dengan kejujuran dan iktikad buruk untuk merugikan orang lain adalah penipuan. : Apakah Kasus Wanprestasi Bisa Dilaporkan Jadi Penipuan? Contoh Kasus Untuk mempermudah pemahaman Anda terkait penjelasan di atas, kami akan memberikan contoh kasus perdata jadi pidana pada Putusan MA No. 960 K/Pid/2016 . Dalam putusan tersebut dijelaskan bahwa terdakwa yang merupakan seorang pebisnis, mengunjungi temannya yaitu korban yang juga merupakan seorang pebisnis. Terdakwa menjelaskan bahwa maksud kunjungannya itu adalah untuk meminta modal kepada terdakwa sebesar Rp10.500.0000 karena perusahaan terdakwa sedang kesulitan. Terdakwa dalam meminta modal ini memberikan jaminan suatu hotel yang bernilai Rp30 miliar (hal. 1-2). Permintaan terdakwa ini pun oleh korban disetujui. Akan tetapi, ternyata baru diketahui bahwa hotel tersebut bukan milik terdakwa dan hal ini mengakibatkan korban merasa tertipu dan meminta terdakwa untuk mengembalikan uang korban. Akhirnya, terdakwa memberikan kembali uang korban dalam bentuk cek (hal. 3). Akan tetapi pada saat korban mau mencairkan cek tersebut ke bank, ternyata cek tersebut kosong. Oleh karena itu, terdakwa dilaporkan oleh korban ke pihak kepolisian (hal. 4). Atas perbuatannya tersebut, terdakwa secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana penipuan Pasal 378 KUHP dan dijatuhi pidana selama 8 bulan (hal. 18). Dalam kasus tersebut, awalnya perkara hukum yang terjadi antara kedua pihak merupakan perkara perdata yaitu utang piutang dengan jaminan hotel, dimana terdakwa telah melakukan wanprestasi terhadap korban. Akan tetapi, akibat dari tindakan tipu muslihat, rangkaian kata bohong atau keadaan palsu, martabat palsu yang dilakukan oleh terdakwa, maka perkara tersebut berubah menjadi perkara pidana. Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. Dasar Hukum: Kitab Undang-Undang Hukum Pidana . Putusan: Yurisprudensi Mahkamah Agung Nomor 4/Yur/Pid/2018; Putusan Mahkamah Agung Nomor 960 K/Pid/2016 . Referensi: Abdulkadir Muhammad. Hukum Pengantar Indonesia . Bandung: Citra Aditya Bakti, 2019; B. Daliyo. Pengantar Hukum Indonesia . Jakarta: Prenhallindo, 2017; Soeroso. Pengantar Ilmu Hukum . Jakarta: SInar Grafika, 2019; Karakteristik Wanprestasi dan Tindak Pidana Penipuan . Jakarta: Prenadamedia Group, 2014. [1] R. Soeroso. Pengantar Ilmu Hukum . Jakarta: SInar Grafika, 2019, hal. 200 TAGS hukum perdata tindak pidana hukum pidana | {70: 'Sedangkan, hukum perdata termasuk pada bagian hukum privat, yaitu hukum yang menjamin adanya kepastian di dalam hubungan antara orang yang satu dengan yang lain, di mana keduanya sebagai anggota masyarakat dan menjamin adanya kepastian dalam hubungan antara seseorang dengan pemerintah.'} |
Apakah pelaku kejahatan kepada mayat seperti mutilasi dan memperkosa mayat digolongkan sebagai pembunuhan dan pemerkosaan orang yang tidak berdaya atau digolongkan pengrusakan benda? | ULASAN LENGKAP kedua dari artikel dengan judul sama yang dibuat oleh Tri Jata Ayu Pramesti, S.H. dan pertama kali dipublikasikan pada 5 Januari 2016, yang pertama kali dimutakhirkan pada 24 November 2021. Artikel ini dibuat berdasarkan KUHP lama dan UU 1/2023 tentang KUHP yang diundangkan pada tanggal 2 Januari 2023. . Pengertian Mutilasi Mutilasi berdasarkan KBBI adalah proses atau tindakan memotong-motong (biasanya) tubuh manusia atau hewan. Adapun menurut Cambridge English Dictionary , mutilasi atau dalam Bahasa Inggris “ mutilation ” adalah: The act of damaging something severely, especially by violently removing a part. Artinya, mutilasi adalah tindakan merusak sesuatu dengan parah, terutama dengan melepas suatu bagian secara kasar. Jadi, kata "mutilasi" tidak selalu identik dengan manusia atau hewan. Kata ini lebih identik dengan pekerjaan memotong-motong atau memilah sesuatu menjadi bagian-bagian yang lebih kecil. Dalam konteks hukum pidana, pengertian mutilasi tergambar dalam Black’s Law Dictionary , yaitu the act of cutting off or permanently damaging a body part, esp. an essential one . Lebih lanjut, Helinä Häkkänen-Nyholm (et. al.) dalam Homicides with Mutilation of the Victim’s Body menggunakan definisi mutilasi sebagai berikut (hal. 933): Human mutilation is defined as “the act of depriving an individual of a limb, member, or other important part of the body; or deprival of an organ: severe disfigurement” and it covers term “dismemberment”. Jika diterjemahkan secara bebas, pada intinya mutilasi adalah tindakan menghilangkan atau memotong anggota badan atau bagian penting lainnya dari tubuh seseorang atau pencabutan organ. Pasal Pembunuhan KUHP dan UU 1/2023 Sepanjang penelusuran kami, dalam KUHP lama yang pada saat artikel ini diterbitkan masih berlaku dan UU 1/2023 tentang KUHP baru yang berlaku 3 tahun sejak tanggal diundangkan [1] yaitu tahun 2026, tidak ada ketentuan khusus mengenai mutilasi . Namun, perbuatan mutilasi biasanya merujuk pada pembunuhan berencana atau pembunuhan yang diikuti, disertai, atau didahului oleh suatu perbuatan . Bisa juga hanya merujuk pada pembunuhan biasa . Berikut bunyi pasalnya: KUHP UU 1/2023 Pasal 338 Barang siapa dengan sengaja merampas nyawa orang lain , diancam karena pembunuhan dengan pidana penjara paling lama 15 tahun. Pasal 458 ayat (1) Setiap orang yang merampas nyawa orang lain , dipidana karena pembunuhan , dengan pidana penjara paling lama 15 tahun. Pasal 339 Pembunuhan yang diikuti , disertai atau didahului oleh suatu perbuatan pidana , yang dilakukan dengan maksud untuk mempersiapkan atau mempermudah pelaksanaannya, atau untuk melepaskan diri sendiri maupun peserta lainnya dari pidana dalam hal tertangkap tangan, ataupun untuk memastikan penguasaan barang yang diperolehnya secara melawan hukum, diancam dengan pidana penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu paling lama 20 tahun. Pasal 458 ayat (3) Pembunuhan yang diikuti , disertai , atau didahului oleh suatu tindak pidana yang dilakukan dengan maksud untuk mempersiapkan atau mempermudah pelaksanaannya, atau untuk melepaskan diri sendiri atau peserta lainnya dari pidana dalam hal tertangkap tangan, atau untuk memastikan penguasaan barang yang diperolehnya secara melawan hukum, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling lama 20 tahun. Pasal 340 Barang siapa dengan sengaja dan dengan rencana terlebih dahulu merampas nyawa orang lain , diancam karena pembunuhan dengan rencana , dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu paling lama 20 tahun. Pasal 459 Setiap orang yang dengan rencana terlebih dahulu merampas nyawa orang lain , dipidana karena pembunuhan berencana , dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling lama 20 tahun. Selengkapnya mengenai tiga jenis pembunuhan tersebut dapat Anda baca dalam artikel Jerat Pasal Pembunuhan Mutilasi dalam KUHP . Contoh Kasus Mutilasi Sebagai contoh, kita dapat merujuk pada Putusan MA No. 24PK/Pid/2003 dan Putusan MA No. 108PK/Pid/2007 . Dalam kedua putusan Mahkamah Agung di atas mengenai kekerasan memutilasi bagian-bagian tubuh korban, hakim sama sekali tak menyinggung istilah mutilasi. Adapun dalam Putusan MA No. 24PK/Pid/2003, hakim hanya menyatakan menolak permohonan peninjauan kembali terdakwa (hal. 15), dan dengan demikian menguatkan putusan Pengadilan Tinggi Jakarta bahwa terdakwa bersalah melakukan tindak pidana pembunuhan berencana (hal. 11). Sedangkan dalam kasus mutilasi dalam Putusan MA No. 108PK/PID/2007, permohonan peninjauan kembali dinyatakan tidak dapat diterima, sehingga putusan Pengadilan Negeri Sekayu yang menyatakan terdakwa dihukum karena secara bersama-sama melakukan pembunuhan berencana tetap berlaku mengikat (hal. 4). Padahal, dalam dakwaan penuntut umum dijelaskan bahwa para pelaku telah melakukan mutilasi terhadap tubuh korban dan menguburkan korban tanpa bagian kepala (hal. 2). Lalu, bagaimana hukumnya jika perbuatan mutilasi itu tidak diawali dengan membunuh korban , tapi hanya memotong-motong mayat ? Bisakah pelaku dijerat dengan pasal merusak barang atau pencurian? Mutilasi Mayat = Pencurian? Pada dasarnya, perlu diketahui terlebih dahulu bagaimana bunyi pasal pencurian dan pasal perusakan barang sebagai berikut: KUHP UU 1/2023 Pasal 362 Barang siapa mengambil barang sesuatu , yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain , dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum , diancam karena pencurian , dengan pidana penjara paling lama 5 tahun atau pidana denda paling banyak Rp900 ribu. [2] Pasal 476 Setiap orang yang mengambil suatu barang yang sebagian atau seluruhnya milik orang lain , dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum , dipidana karena pencurian , dengan pidana penjara paling lama 5 tahun atau pidana paling banyak kategori V, yaitu sebesar Rp500 juta. [3] Pasal 406 ayat (1) Barang siapa dengan sengaja dan melawan hukum menghancurkan , merusakkan , membikin tak dapat dipakai atau menghilangkan barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian milik orang lain , diancam dengan pidana penjara paling lama 2 tahun 8 bulan atau pidana denda paling banyak Rp4,5 juta. [4] Pasal 521 Setiap orang yang secara melawan hukum merusak , menghancurkan , membuat tidak dapat dipakai , atau menghilangkan barang yang gedung atau seluruhnya milik orang lain , dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 tahun 6 bulan atau pidana denda paling banyak kategori IV, yaitu sebesar Rp200 juta. [5] Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan kerugian yang nilainya tidak lebih dari Rp500 ribu, pelaku tindak pidana dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 bulan atau pidana denda paling banyak kategori II, yaitu sebesar Rp10 juta. [6] Menjawab pertanyaan Anda, R. Soesilo dalam bukunya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal (hal. 150) menjelaskan bahwa mayat bukanlah suatu harta benda atau barang milik orang . Oleh karena itu, peraturan tentang pencurian, merusak barang dan sebagainya tidak berlaku dalam hal ini. Namun menurut Tri Jata Ayu Pramesti (penulis sebelumnya), pendapat berbeda diungkapkan oleh Is Heru Permana , Ketua LBH Kosgoro Kabupaten Banyumas pada saat itu yang menjelaskan bahwa dalam hukum pidana, mayat manusia merupakan milik ahli warisnya , sehingga orang yang mengambil mayat manusia secara melawan hukum berarti telah mengambil mayat itu dari pemiliknya , yaitu ahli warisnya . Sehingga, dapat dikatakan ia telah melakukan pencurian mayat sebagaimana diatur dalam Pasal 362 KUHP atau Pasal 476 UU 1/2023. Jadi, ada kemungkinan pelaku bisa dijerat pasal pencurian, bukan pasal perusakan barang. Kemungkinan lain, jika perbuatan memutilasi mayat tersebut didahului dengan perbuatan mengeluarkan mayat dari kuburan dengan melawan hak (tidak mempunyai hak untuk melakukan tindakan tersebut), pelaku dapat dijerat pasal berikut: Pasal 180 KUHP Pasal 271 UU 1/2023 Barang siapa dengan sengaja dan melawan hukum menggali atau mengambil jenazah atau memindahkan atau mengangkut jenazah yang sudah digali atau diambil , diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan atau pidana denda paling banyak Rp4,5 juta. [7] Setiap orang yang secara melawan hukum menggali atau membongkar makam , mengambil , memindahkan , atau mengangkut jenazah , dan/atau memperlakukan jenazah secara tidak beradab , dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 tahun atau pidana denda paling banyak kategori III, yaitu sebesar Rp50 juta. [8] Dengan demikian, kami menyimpulkan bahwa pengaturan tentang perbuatan mutilasi mayat yang tidak diawali dengan membunuh korban, seperti mencuri mayat kemudian dipotong-potong, tidak diatur secara gamblang di dalam KUHP maupun UU 1/2023. Jerat Hukum Pelaku Perkosaan Mayat Menjawab pertanyaan berikutnya tentang perkosaan terhadap mayat, KUHP dan UU 1/2023 mengatur larangan perkosaan secara umum yang dilakukan terhadap seseorang yang masih hidup, antara lain: Pasal 285 KUHP dan Pasal 473 UU 1/2023 tentang perkosaan secara umum; Pasal 286 KUHP dan Pasal 473 ayat (1) dan (2) huruf c UU 1/2023 tentang perkosaan terhadap wanita tidak berdaya . Tapi, bagaimana jika yang diperkosa adalah mayat? Apa jerat hukum bagi pelaku? Mengenai perkosaan mayat, Abdul Aziz Nasihudin yang pernah menjabat sebagai Dekan Fakultas Hukum Universitas Soedirman Purwokerto, menerangkan bahwa pelaku perkosaan mayat sulit dijerat dengan pasal-pasal yang ada dalam KUHP. Sebab, tidak ada pasal yang secara tegas mengatur mengenai pemerkosaan terhadap mayat. Adapun yang diatur dalam KUHP terbatas pada perbuatan menyetubuhi orang yang tidak berdaya. Dalam hal ini, berarti pelaku hanya dapat dijerat jika korban merupakan manusia yang masih hidup, namun dalam kondisi tidak berdaya, bukan mayat yang sudah tidak berdaya. Selain itu, penegak hukum tidak memiliki yurisprudensi yang kuat sebagai acuan untuk menghukum pelaku kasus pemerkosaan mayat. Walau demikian, pada Pasal 271 UU 1/2023 yang disebutkan di atas, terdapat frasa “memperlakukan jenazah secara tidak beradab”. Sayangnya, tidak terdapat penjelasan lebih lanjut mengenai apa yang dimaksud dengan memperlakukan jenazah secara tidak beradab. Namun menurut hemat kami, jika memperkosa jenazah termasuk pada memperlakukan jenazah secara tidak beradab, maka pelaku pemerkosaan jenazah dapat dijerat dengan Pasal 271 UU 1/2023 dengan pidana penjara maksimal 2 tahun atau pidana denda paling maksimal Rp50 juta. Contoh Kasus Perkosaan Mayat Sebagai contoh kasus perkosaan mayat, kita dapat merujuk pada Putusan MA No. 1483/K/Pid/2013 . Dalam putusan ini, majelis hakim kasasi mengubah hukuman terdakwa dari penjara seumur hidup menjadi hukuman mati (hal. 24). Salah satu pertimbangannya adalah karena terdakwa telah melakukan tiga kejahatan sekaligus, yaitu pembunuhan berencana , memperkosa mayat dan pencurian sepeda motor korban (hal. 22). Namun, di dalam amar putusannya, hakim kasasi hanya menghukum terdakwa atas perbuatan pembunuhan berencana (hal. 24). Perkaya riset hukum Anda dengan analisis hukum terbaru dwi bahasa, serta koleksi terjemahan peraturan yang terintegrasi dalam Hukumonline Pro, pelajari lebih lanjut di sini . Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. Dasar Hukum : Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ; Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ; Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2012 tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda dalam KUHP . Referensi : Helinä Häkkänen-Nyholm (et. al) . Homicides with Mutilation of the Victim’s Body. J. Forensic Sci, Vol. 54, No. 4, Juli 2009; R.Soesilo. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal. Bogor: Politeia, 1991; Mutilasi , yang diakses pada 1 Oktober 2024, pukul 11.00 WIB; Mutilation , yang diakses pada 1 Oktober 2024, pukul 11.15 WIB. Putusan : Putusan Mahkamah Agung Nomor 24 PK/Pid/2003 ; Putusan Mahkamah Agung Nomor 108 PK/Pid/2007 ; Putusan Mahkamah Agung Nomor 1483/K/Pid/2013 . [1] Pasal 624 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“UU 1/2023”) [2] Pasal 3 Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2012 tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda dalam KUHP (“Perma 2/2012”), denda dikali 1.000 [3] Pasal 79 ayat (1) huruf e UU 1/2023 [4] Pasal 3 Perma 2/2012, denda dikali 1.000 [5] Pasal 79 ayat (1) huruf d UU 1/2023 [6] Pasal 79 ayat (1) huruf b UU 1/2023 [7] Pasal 3 Perma 2/2012, denda dikali 1.000 [8] Pasal 79 ayat (1) huruf c UU 1/2023 TAGS mayat perkosaan mutilasi | {4: 'Undang-Undang ini mulai berlaku setelah 3 (tiga) tahun terhitung sejak tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.', 71: 'Tiap jumlah maksimum hukuman denda yang diancamkan dalam KUHP kecuali pasal 303 ayat 1 dan ayat 2, 303 bis ayat 1 dan ayat 2, dilipatgandakan menjadi 1.000 (seribu) kall,', 7: "['(1) pidana denda paling banyak ditetapkan berdasarkan: a. kategori i, rp1.000.000,00 (satu juta rupiah); b. kategori ii, rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah); c. kategori iii, rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah); d. kategori iv, rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah); e. kategori v, rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah); f. kategori vi, rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah); g. kategori vii, rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah); dan h. kategori viii, rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah).']", 72: 'Tiap jumlah maksimum hukuman denda yang diancamkan dalam KUHP kecuali pasal 303 ayat 1 dan ayat 2, 303 bis ayat 1 dan ayat 2, dilipatgandakan menjadi 1.000 (seribu) kall,', 6: "['(1) pidana denda paling banyak ditetapkan berdasarkan: a. kategori i, rp1.000.000,00 (satu juta rupiah); b. kategori ii, rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah); c. kategori iii, rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah); d. kategori iv, rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah); e. kategori v, rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah); f. kategori vi, rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah); g. kategori vii, rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah); dan h. kategori viii, rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah).']", 37: "['(1) pidana denda paling banyak ditetapkan berdasarkan: a. kategori i, rp1.000.000,00 (satu juta rupiah); b. kategori ii, rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah); c. kategori iii, rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah); d. kategori iv, rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah); e. kategori v, rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah); f. kategori vi, rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah); g. kategori vii, rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah); dan h. kategori viii, rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah).']", 25: "['(1) pidana denda paling banyak ditetapkan berdasarkan: a. kategori i, rp1.000.000,00 (satu juta rupiah); b. kategori ii, rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah); c. kategori iii, rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah); d. kategori iv, rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah); e. kategori v, rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah); f. kategori vi, rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah); g. kategori vii, rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah); dan h. kategori viii, rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah).']"} |
Siapa pihak berwenang yang menilai berapa besar kerugian negara dalam kasus korupsi? Apakah hakim bisa berpendapat sendiri terhadap nilai kerugian keuangan negara dalam perkara tindak pidana korupsi (tipikor)? | ULASAN LENGKAP dari artikel dengan judul Pihak yang Berwenang Menilai Kerugian Negara dalam Kasus Korupsi yang dibuat oleh Alfin Sulaiman, S.H., M.H. dan pertama kali dipublikasikan pada 27 September 2016. Secara sederhana dalam Pasal 1 angka 22 UU 1/2004 mendefinisikan kerugian negara/daerah sebagai kekurangan uang, surat berharga, dan barang, yang nyata dan pasti jumlahnya sebagai akibat perbuatan melawan hukum baik sengaja ataupun lalai. Lebih lanjut, penjelasan Pasal 32 ayat (1) UU 31/1999 menegaskan bahwa yang dimaksud dengan secara nyata telah ada kerugian keuangan negara adalah kerugian yang sudah dapat dihitung jumlahnya berdasarkan hasil temuan instansi yang berwenang atau akuntan publik yang ditunjuk . Terkait dengan itu, ada berbagai regulasi yang dapat dijadikan rujukan dalam menilai wewenang suatu lembaga tertentu untuk melakukan penghitungan dan/atau penetapan kerugian keuangan negara dalam perkara tindak pidana korupsi (tipikor), yaitu: Aspek Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Status Hukum Kelembagaan Negara Lembaga negara yang bertugas untuk memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara sebagaimana dimaksud dalam UUD 1945. [1] Aparat pengawasan intern pemerintah yang berada di bawah dan bertanggung jawab langsung kepada presiden. [2] Lembaga negara dalam rumpun kekuasaan eksekutif yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun. [3] Lingkup Wewenang Menghitung, menilai dan/atau menetapkan jumlah kerugian negara sebagai pengejawantahan langsung dari UUD 1945. Limitatif apabila memperoleh mandat dari BPK dan terbatas pada menghitung kerugian keuangan negara. KPK bukan hanya dapat berkoordinasi dengan BPKP dan BPK dalam rangka pembuktian suatu tipikor, melainkan dapat juga berkoordinasi dengan instansi lain, bahkan bisa membuktikan sendiri di luar temuan BPK dan BPKP . Kewenangan BPK Pasal 10 ayat (1) UU BPK secara tegas mengatur bahwa BPK menilai dan/atau menetapkan jumlah kerugian negara yang diakibatkan oleh perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai yang dilakukan oleh bendahara, pengelola Badan Usaha Milik Negara/Badan Usaha Milik Daerah, dan lembaga atau badan lain yang menyelenggarakan pengelolaan keuangan negara. Bahwa dalam rangka menilai kerugian keuangan negara dan/atau penetapan pihak yang berkewajiban membayar ganti kerugian tersebut ditetapkan dengan keputusan BPK. [4] Implementasi dari wewenang untuk menilai dan/atau menetapkan jumlah kerugian negara tersebut juga diatur lebih lanjut ke dalam Pasal 11 UU BPK yang pada pokoknya menjabarkan mengenai wewenang BPK untuk memberikan pertimbangan atas penyelesaian kerugian negara/daerah yang ditetapkan oleh pemerintah pusat/pemerintah daerah dan/atau memberikan keterangan ahli dalam proses peradilan mengenai kerugian negara/daerah. : Cara Menentukan Kerugian Keuangan Negara dalam Kasus Korupsi Kewenangan BPKP Bahwa selaras dengan kualifikasi BPKP sebagai aparat pengawasan intern pemerintah, secara khusus dalam Pasal 48 s.d. Pasal 50 PP 60/2008 dijabarkan mengenai: Pengawasan intern oleh aparat pengawasan intern pemerintah yang mencakup: audit; reviu; evaluasi; pemantauan; dan kegiatan pengawasan lainnya. Audit terdiri atas: Audit kinerja merupakan audit atas pengelolaan keuangan negara dan pelaksanaan tugas dan fungsi instansi pemerintah yang terdiri atas aspek kehematan, efisiensi, dan efektivitas. Audit dengan tujuan tertentu antara lain audit investigatif, audit atas penyelenggaraan SPIP, dan audit atas hal-hal lain di bidang keuangan. Bahwa kemudian Pasal 3 huruf e Perpres 20/2023 mengatur penyelenggaraan fungsi oleh BPKP dalam hal pengawasan terhadap perencanaan dan pelaksanaan program dan/atau kegiatan yang dapat menghambat kelancaran pembangunan, audit atas penyesuaian harga, audit klaim, audit investigatif terhadap kasus-kasus penyimpangan yang berindikasi merugikan keuangan negara/daerah, audit penghitungan kerugian keuangan negara/daerah , pemberian keterangan ahli, dan upaya pencegahan korupsi . Seluruh wewenang BPKP sebagai aparat pengawasan intern tersebut di atas tidak dapat serta merta direalisasikan, karena sejatinya BPKP harus terlebih dahulu menerima mandat dari BPK untuk melakukan penghitungan dan/atau penilaian kerugian keuangan negara, sebagaimana penegasan yang diatur dalam Peraturan BPK 3/2022 . Bahwa kualifikasi tersebut diperjelas melalui Pasal 6 ayat (1) jo. Pasal 4 ayat (1) Peraturan BPK 3/2022 yang menyatakan BPK dapat menggunakan pemeriksa dan/atau tenaga ahli dari luar BPK yang bekerja untuk dan atas nama BPK dalam melaksanakan pemeriksaan keuangan negara, meliputi: pemeriksa dari aparat pengawasan intern ; pemeriksa dari KAP yang terdiri atas akuntan publik dan TKPP. Kemudian dalam Pasal 7 Peraturan BPK 3/2022 dijelaskan mengenai pemeriksaan yang dilakukan oleh pemeriksa yang dapat berupa pemeriksaan atas laporan keuangan, pemeriksaan kinerja, dan pemeriksaan dengan tujuan tertentu. Kemudian ditegaskan kembali dalam Pasal 11 ayat (1) dan (2) Peraturan BPK 3/2022 bahwa BPK dapat menggunakan pemeriksa dari aparat pengawasan intern. Penggunaan pemeriksa dari aparat pengawasan intern dilakukan berdasarkan kesepakatan antara BPK dan aparat pengawasan intern. Kewenangan KPK Bahwa pada dasarnya tugas dan wewenang KPK dalam rangka pemberantasan korupsi didasari oleh aturan yuridis Pasal 6 huruf b UU 19/2019 , yang secara khusus mengamanatkan dilakukannya koordinasi dengan instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi dan instansi yang bertugas melaksanakan pelayanan publik. Kemudian bagian penjelasan dari UU KPK tersebut memperluas makna dari “instansi yang berwenang” termasuk BPK, BPKP, Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara, inspektorat pada departemen atau lembaga pemerintah non-departemen. Hal tersebut kemudian ditekankan kembali sebagaimana pertimbangan Putusan MK No. 31/PUU-X/2012 yang menegaskan bahwa KPK bukan hanya dapat berkoordinasi dengan BPKP dan BPK dalam rangka pembuktian suatu tindak pidana korupsi, melainkan dapat juga berkoordinasi dengan instansi lain, bahkan bisa membuktikan sendiri di luar temuan BPKP dan BPK, misalnya dengan mengundang ahli atau dengan meminta bahan dari inspektorat jenderal atau badan yang mempunyai fungsi yang sama dengan itu dari masing-masing instansi pemerintah, bahkan dari pihak-pihak lain (termasuk dari perusahaan), yang dapat menunjukkan kebenaran materiil dalam penghitungan kerugian keuangan negara dan/atau dapat membuktikan perkara yang sedang ditanganinya (hal . 53). Siapa yang Berwenang Menyatakan Kerugian Keuangan Negara? Pada praktiknya pengadilan menjadi muara terakhir dari penanganan dan penyelesaian perkara tipikor, mulai dari tingkat pertama (Pengadilan Negeri), kasasi bahkan melalui peninjauan kembali di Mahkamah Agung. Fakta yang tak terelakkan adalah mengenai perbedaan pandangan dan/atau penafsiran terhadap lembaga yang berwenang untuk menetapkan nilai kerugian keuangan negara tersebut dan lebih khusus lagi perbedaan terkait nilai penghitungan kerugian keuangan negara. Bahwa dalam perkembangannya diatur lebih lanjut melalui poin ke-6 SEMA 4/2016 , yang menegaskan sebagai berikut: Instansi yang berwenang menyatakan ada tidaknya kerugian keuangan Negara adalah Badan Pemeriksa Keuangan yang memiliki kewenangan konstitusional sedangkan instansi lainnya seperti Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan/Inspektorat/Satuan Kerja Perangkat Daerah tetap berwenang melakukan pemeriksaan dan audit pengelolaan keuangan Negara namun tidak berwenang menyatakan atau men-declare adanya kerugian keuangan Negara. Dalam hal tertentu Hakim berdasarkan fakta persidangan dapat menilai adanya kerugian Negara dan besarnya kerugian Negara . Dengan diterbitkannya SEMA 4/2016 ini tentu menjadi legitimasi penting yang memberikan kepastian hukum terhadap wewenang untuk menyatakan ( declare ) ada tidaknya kerugian keuangan negara oleh BPK dan secara tidak langsung menunjukkan esensi penting keyakinan hakim yang didasari oleh fakta persidangan dalam memutus dan mengadili perkara. Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. Dasar Hukum: Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi ; Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi ; Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi ; Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara ; Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan; Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Menjadi Undang-Undang ; Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi ; Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2008 tentang Sistem Pengendalian Intern Pemerintah ; Peraturan Presiden Nomor 192 Tahun 2014 tentang Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan ; Peraturan Presiden Nomor 20 Tahun 2023 tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden Nomor 192 Tahun 2014 tentang Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan ; Peraturan Badan Pemeriksa Keuangan Nomor 3 Tahun 2022 tentang Pemeriksaan Keuangan Negara oleh Pemeriksa dan/atau Tenaga Ahli dari Luar Badan Pemeriksa Keuangan dan Akuntan Publik Berdasarkan Ketentuan Peraturan Perundang-undangan ; Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2016 tentang Pemberlakuan Rumusan Hasil Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung Tahun 2016 sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas Bagi Pengadilan . Putusan : Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 31/PUU-X/2012 . [1] Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan (“UU BPK”) [2] Pasal 1 ayat (4) Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2008 tentang Sistem Pengendalian Intern Pemerintah jo. Pasal 1 ayat (1) dan (2) Peraturan Presiden Nomor 192 Tahun 2014 tentang Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan [3] Pasal 3 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi [4] Pasal 10 ayat (2) UU BPK TAGS tindak pidana korupsi korupsi badan pemeriksa keuangan kerugian negara | {73: '1. badan pemeriksa keuangan, yang selanjutnya disingkat bpk, adalah lembaga negara yang bertugas untuk memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara sebagaimana dimaksud dalam undang-undang dasar negara republik indonesia tahun 1945', 74: '4. badan pengawasan keuangan dan pembangunan, yang selanjutnya disingkat bpkp, adalah aparat pengawasan intern pemerintah yang bertanggung jawab langsung kepada presiden', 75: 'pasal 3 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut pasal 3 komisi pemberantasan korupsi adalah lembaga negara dalam rumpun kekuasaan eksekutif yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun. 3. ketentuan', 76: "['(1) bpk menilai dan/atau menetapkan jumlah kerugian negara yang diakibatkan oleh perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai yang dilakukan oleh bendahara, pengelola badan usaha milik negara/ badan usaha milik daerah, dan lembaga atau badan lain yang menyelenggarakan pengelolaan keuangan negara.', '(2) penilaian kerugian keuangan negara dan/atau penetapan pihak yang berkewajiban membayar ganti kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan keputusan bpk.', '(3) untuk menjamin pelaksanaan pembayaran ganti kerugian, bpk berwenang memantau: a. penyelesaian ganti kerugian negara/daerah yang ditetapkan oleh pemerintah terhadap pegawai negeri bukan bendahara dan pejabat lain; b. pelaksanaan pengenaan ganti kerugian negara/daerah kepada bendahara, pengelola badan usaha milik negara/badan usaha milik daerah, dan lembaga atau badan lain yang mengelola keuangan negara yang telah ditetapkan oleh bpk; dan c. pelaksanaan pengenaan ganti kerugian negara/daerah yang ditetapkan berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.']"} |
Apakah pemberian grasi dari presiden bisa dicabut kemudian? Siapa dan UU apa yang memperbolehkan pencabutan grasi tersebut? Terima kasih hukumonline. | ULASAN LENGKAP kedua dari artikel dengan judul Apakah Pemberian Grasi dari Presiden Bisa Dicabut? yang dibuat oleh Ilman Hadi, S.H. dan pertama kali dipublikasikan pada 22 November 2012 dan dimutakhirkan pertama kali oleh Tri Jata Ayu Pramesti, S.H. pada 8 Januari 2017. . Apa itu Grasi? Grasi merupakan salah satu hak yang dimiliki oleh presiden sebagaimana disebutkan dalam Pasal 14 ayat (1) UUD 1945 : Presiden memberi grasi dan rehabilitasi dengan memperhatikan pertimbangan Mahkamah Agung. Lalu, apa yang dimaksud grasi presiden? Grasi adalah pengampunan berupa perubahan, peringanan, pengurangan, atau penghapusan pelaksanaan pidana kepada terpidana yang diberikan oleh presiden. [1] Berdasarkan pengertian grasi di atas, diketahui bentuk pemberian grasi dari presiden dapat berupa: [2] peringanan atau perubahan jenis pidana; pengurangan jumlah pidana; atau penghapusan pelaksanaan pidana. Syarat Grasi Jika seorang terpidana ingin memperoleh grasi, maka perlu mengajukan permohonan grasi. Apa saja syaratnya? Pertama, grasi diajukan sendiri oleh terpidana, kuasanya, atau keluarga terpidana (suami/istri, anak kandung, orang tua kandung, atau saudara kandung) kepada presiden atas persetujuan terpidana. Kecuali terpidana dijatuhi hukuman mati, permohonan grasi oleh keluarga terpidana bisa tanpa persetujuan terpidana. [3] Kedua, permohonan grasi diajukan secara tertulis yang ditujukan kepada presiden dengan memberikan salinan permohonannya kepada pengadilan tingkat pertama yang memutus perkaranya untuk diteruskan kepada Mahkamah Agung. Terpidana juga dapat mengajukan grasi melalui Kepala Lembaga Pemasyarakatan (“Lapas”) tempat ia menjalani pidana. [4] Ketiga, setiap terpidana hanya memperoleh kesempatan untuk mengajukan grasi sebanyak 1 kali [5] dengan ketentuan setelah putusan pengadilan memperoleh kekuatan hukum tetap berupa: [6] pidana mati, pidana seumur hidup, atau pidana penjara paling rendah 2 tahun. Adapun, yang dimaksud dengan “putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap” adalah: [7] putusan pengadilan tingkat pertama yang tidak diajukan banding atau kasasi dalam waktu yang ditentukan oleh KUHAP; putusan pengadilan tingkat banding yang tidak diajukan kasasi dalam waktu yang ditentukan oleh KUHAP; atau putusan kasasi. Selanjutnya, presiden berhak untuk mengabulkan atau menolak permohonan grasi yang diajukan oleh terpidana setelah mendapatkan pertimbangan dari Mahkamah Agung . [8] Dalam jangka waktu paling lambat 30 hari sejak tanggal diterimanya salinan permohonan, Mahkamah Agung mengirimkan pertimbangan tertulis kepada presiden . [9] Kemudian, grasi diberikan atau ditolak oleh presiden dalam jangka waktu paling lambat 3 bulan sejak diterimanya pertimbangan Mahkamah Agung . [10] Lantas, adakah batas waktu pengajuan grasi oleh terpidana? Pasca Putusan MK No. 107/PUU-XIII/2015 ketentuan Pasal 7 ayat (2) UU 5/2010 tentang jangka waktu maksimal 1 tahun untuk mengajukan permohonan grasi dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat (hal. 80). Dengan demikian, kini terpidana dapat mengajukan permohonan grasi kapan saja . Bisakah Pemberian Grasi Presiden Dicabut? Dalam memberikan atau menolak permohonan grasi, presiden mengeluarkan keputusan presiden (“keppres”) setelah memperhatikan pertimbangan Mahkamah Agung. [11] Disarikan dari artikel Perbedaan Keppres, Perpres, Inpres, dan Penpres , keppres dari masa ke masa merupakan produk hukum yang dapat memiliki sifat mengatur ( regeling ) dan bersifat (beschikking ). Namun, saat ini , keppres hanya merupakan tindakan hukum pemerintah yang bersifat individual dan konkret ( beschikking ) . Kemudian, menjawab pertanyaan Anda apakah pemberian grasi oleh presiden dapat dicabut kembali, dapat kami sampaikan bahwa secara normatif, dalam ketentuan UU Grasi dan perubahannya yaitu UU 5/2010 , tidak diatur mengenai pencabutan grasi yang telah diberikan oleh presiden kepada terpidana. Namun, di dalam teori hukum administrasi negara berlaku asas contrarius actus. Disarikan dari artikel Mengenal Apa Itu Asas Contrarius Actus , makna dari asas contrarius actus adalah keadaan di mana suatu badan atau pejabat tata usaha negara menerbitkan keputusan tata usaha negara yang mana dengan sendirinya badan atau pejabat yang bersangkutan berwenang pula untuk membatalkannya . Jika suatu keputusan tata usaha negara terdapat kekeliruan administratif atau cacat yuridis, maka pejabat atau instansi yang mengeluarkannya berhak untuk mencabut keputusan tersebut. Dengan demikian, suatu keppres pemberian grasi pada dasarnya dapat dilakukan oleh presiden atas dasar asas contrarius actus. Adapun, instrumen hukum untuk mencabut keppres adalah dengan menerbitkan keppres pencabutan. Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. Dasar Hukum : Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 ; Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2002 tentang Grasi ; Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2010 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2002 tentang Grasi . Putusan : Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 107/PUU-XIII/2015 . [1] Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2002 tentang Grasi (“UU Grasi”) [2] Pasal 4 ayat (2) UU Grasi [3] Pasal 6 UU Grasi dan penjelasannya [4] Pasal 8 UU Grasi [5] Pasal 2 ayat (3) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2010 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2002 tentang Grasi (“UU 5/2010”) [6] Pasal 2 ayat (2) UU 5/2010 [7] Penjelasan Pasal 2 ayat (1) UU 5/2010 [8] Pasal 4 ayat (1) UU Grasi [9] Pasal 10 UU 5/2010 [10] Pasal 11 ayat (3) UU Grasi [11] Pasal 11 ayat (1) dan (2) UU Grasi TAGS hukumonline presiden grasi hukum klinik klinik hukumonline pidana | {77: 'Dalam Undang-Undang ini, yang dimaksud dengan : 1. Grasi adalah pengampunan berupa perubahan, peringanan, pengurangan, atau penghapusan pelaksanaan pidana kepada terpidana yang diberikan oleh Presiden. 2. Terpidana adalah seseorang yang dipidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.', 78: '(2) Pemberian grasi oleh Presiden dapat berupa : a. peringanan atau perubahan jenis pidana; b. pengurangan jumlah pidana; atau c. penghapusan pelaksanaan pidana.', 79: '(1) Permohonan grasi oleh terpidana atau kuasa hukumnya diajukan kepada Presiden. (2) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diajukan oleh keluarga terpidana, dengan persetujuan terpidana. (3) Dalam hal terpidana dijatuhi pidana mati, permohonan grasi dapat diajukan oleh keluarga terpidana tanpa persetujuan terpidana. ;; Yang dimaksud dengan keluarga adalah isteri atau suami, anak kandung, orang tua kandung, atau saudara sekandung terpidana.', 80: '(1) Permohonan grasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 dan Pasal 7 diajukan secara tertulis oleh terpidana, kuasa hukumnya, atau keluarganya, kepada Presiden. (2) Salinan permohonan grasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada pengadilan yang memutus perkara pada tingkat pertama untuk diteruskan kepada Mahkamah Agung. (3) Permohonan grasi dan salinannya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dapat disampaikan oleh terpidana melalui Kepala Lembaga Pemasyarakatan tempat terpidana menjalani pidana. (4) Dalam hal permohonan grasi dan salinannya diajukan melalui Kepala Lembaga Pemasyarakatan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Kepala Lembaga Pemasyarakatan menyampaikan permohonan grasi tersebut kepada Presiden dan salinannya dikirimkan kepada pengadilan yang memutus perkara pada tingkat pertama paling lambat 7 (tujuh) hari terhitung sejak diterimanya permohonan grasi dan salinannya.', 81: '(3) Permohonan grasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat diajukan 1 (satu) kali. ', 82: '(2) Putusan pemidanaan yang dapat dimohonkan grasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah pidana mati, pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara paling rendah 2 (dua) tahun. ', 83: 'Kata “dapat” dalam ketentuan ini dimaksudkan untuk memberikan kebebasan kepada terpidana untuk menggunakan atau tidak menggunakan hak untuk mengajukan permohonan grasi sesuai dengan Undang-Undang ini. Yang dimaksud dengan “putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap” adalah : 1. putusan pengadilan tingkat pertama yang tidak diajukan banding atau kasasi dalam waktu yang ditentukan oleh Undang-Undang tentang Hukum Acara Pidana; 2. putusan pengadilan tingkat banding yang tidak diajukan kasasi dalam waktu yang ditentukan oleh Undang-Undang tentang Hukum Acara Pidana; atau 3. putusan kasasi. Yang dimaksud dengan ”pengadilan” adalah pengadilan di lingkungan peradilan umum atau pengadilan di lingkungan peradilan militer yang memutus perkara pidana.', 84: '(1) Presiden berhak mengabulkan atau menolak permohonan grasi yang diajukan terpidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 setelah mendapat pertimbangan dari Mahkamah Agung.', 85: 'Dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal diterimanya salinan permohonan dan berkas perkara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9, Mahkamah Agung mengirimkan pertimbangan tertulis kepada Presiden.', 86: '(3) Jangka waktu pemberian atau penolakan grasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) paling lambat 3 (tiga) bulan terhitung sejak diterimanya pertimbangan Mahkamah Agung', 87: '(1) Presiden memberikan keputusan atas permohonan grasi setelah memperhatikan pertimbangan Mahkamah Agung.'} |
Apakah membantu orang untuk berbuat kejahatan bisa dipenjara? Dimana aturan tentang pembantuan tindak pidana tercantum? Mohon penjelasannya. | ULASAN LENGKAP Artikel ini dibuat berdasarkan KUHP lama dan UU 1/2023 tentang KUHP yang diundangkan pada tanggal 2 Januari 2023. . Pasal 56 KUHP tentang Pembantuan dan Unsur-unsurnya Pembantuan atau medeplichtige diartikan sebagai ada dua pihak yang terdiri dari dua orang atau lebih, pertama , pelaku atau pembuat (de hoofd dader) , kedua , pembantu atau medeplichtige . Adapun terdapat istilah omne principale trahit ad se accessorium , yang artinya di mana ada pelaku utama, di situ ada pelaku pembantu. [1] Pembantuan diatur dalam Pasal 56 KUHP lama yang masih berlaku pada saat artikel ini diterbitkan, yang berbunyi: Dipidana sebagai pembantu kejahatan : mereka yang sengaja memberi bantuan pada waktu kejahatan dilakukan; mereka yang sengaja memberi kesempatan, sarana atau keterangan untuk melakukan kejahatan. Pada dasarnya, intensitas peranan pembantu jauh lebih santun daripada pembuat sehingga dari segi pertanggungjawaban pidananya dibedakan antara keduanya. Dengan demikian, perbuatan membantu tersebut sifatnya menolong atau memberi sokongan . Dalam hal ini, tidak boleh merupakan perbuatan pelaksanaan. Jika telah melakukan perbuatan pelaksanaan, pelaku telah termasuk mededader (turut serta melakukan) bukan lagi membantu. [2] Perbuatan membantu adalah perbuatan yang bersifat memudahkan si pelaku melakukan kejahatannya yang dapat terdiri atas berbagai bentuk atau jenis, baik materil atau imaterial. [3] Kemudian, jika memperhatikan rumusan Pasal 56 KUHP, unsur subjektif dari pembantuan adalah unsur sikap batin dalam bentuk kesengajaan dan unsur objektifnya adalah perbuatan memberi bantuan . Unsur subjektif artinya si pembantu memang mengetahui atau mempunyai keinsyafan bahwa perbuatannya itu dapat mempermudah atau dapat mendukung dilakukannya suatu kejahatan oleh pembuat pelaksana. Perbuatan untuk mempermudah atau dapat mendukung dilakukannya suatu kejahatan oleh pembuat pelaksana memang dikehendaki oleh orang yang memberi bantuan. Jadi, kesengajaan hanya ditujukan untuk mempermudah dilakukannya kejahatan dan bukan ditujukan pada pelaksanaan kejahatan sebagai perwujudan unsur delik. [4] Sedangkan unsur objektif artinya perbuatan yang dilakukan oleh pembantu hanyalah bersifat mempermudah pelaksanaan kejahatan, bukan sebagai bentuk perbuatan yang mengarah secara langsung pada pelaksanaan unsur delik. Sebab jika hal ini dilakukan maka bukan termasuk bentuk pembantuan ( medeplichtige ) melainkan pembuat pelaksana. [5] Berdasarkan uraian tersebut, maka syarat pembantuan adalah sebagai berikut: [6] pembantuan harus dilakukan dengan sengaja; pembantu harus mengetahui jenis kejahatan yang dikehendaki oleh pembuat pelaksana dan untuk kejahatan itu ia memberikan bantuan bukan terhadap kejahatan lain; dan kesengajaan pembantu ditujukan untuk memudahkan atau memperlancarkan pembuat pelaksana melakukan kejahatan, artinya kesengajaan pembantu bukan merupakan unsur delik dan pembantu tidak melaksanakan anasir delik. Adapun bentuk-bentuk pembantuan dalam Pasal 56 KUHP terdiri dari: pembantuan pada saat kejahatan dilakukan ( Pasal 56 ke-1 KUHP ); dan pembantuan sebelum kejahatan dilakukan dengan memberi kesempatan , sarana atau keterangan ( Pasal 56 ke-2 KUHP ). Pertanggungjawaban Pidana Pembantuan Menurut ketentuan Pasal 57 ayat (1) KUHP , pembantu dipidana dengan pidana pengurangan 1/3 maksimum ancaman pidana bagi kejahatan yang bersangkutan . Namun, jika kejahatan itu diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, maka pada pembantu dikenakan pidana penjara maksimal 15 tahun , sebagaimana diatur dalam Pasal 57 ayat (2) KUHP . Kemudian, jika pelaku utama hanya sebatas percobaan melakukan kejahatan, maka tanggung jawab pembantu adalah pembantuan pada percobaan melakukan kejahatan. Akan tetapi jika pelaku utama dibebaskan dari tuduhan maka dengan sendirinya tiada masalah pertanggungjawaban pula bagi pembantu. [7] Selanjutnya, penting untuk diketahui bahwa pidana tambahan bagi pembantuan sama dengan kejahatannya sendiri. Lalu, dalam menentukan pidana bagi pembantu, yang diperhitungkan hanya perbuatan yang sengaja dipermudah atau diperlancar olehnya, beserta akibat-akibatnya. [8] Jadi pada prinsipnya, pertanggungjawaban pembantu lebih ringan dari pembuat , karena pembantuan bersifat accesoir , artinya untuk adanya pembantuan harus ada orang yang melakukan kejahatan sebagai orang yang dibantu. [9] : Bisakah Dipidana Jika Tak Sengaja Membantu Tindak Pidana? Pasal 21 UU 1/2023 tentang Pembantuan Ketentuan mengenai pembantuan juga diatur dalam Pasal 21 UU 1/2023 tentang KUHP baru yang mulai berlaku 3 tahun terhitung sejak tanggal diundangkan, [10] yakni pada tahun 2026 sebagai berikut: Setiap Orang dipidana sebagai pembantu Tindak Pidana jika dengan sengaja: memberi kesempatan, sarana, atau keterangan untuk melakukan Tindak Pidana; atau memberi bantuan pada waktu Tindak Pidana dilakukan. Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku untuk pembantuan melakukan Tindak Pidana yang hanya diancam dengan pidana denda paling banyak kategori II . Pidana untuk pembantuan melakukan Tindak Pidana paling banyak 2/3 (dua per tiga) dari maksimum ancaman pidana pokok untuk Tindak Pidana yang bersangkutan. Pembantuan melakukan Tindak Pidana yang diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun. Pidana tambahan untuk pembantuan melakukan Tindak Pidana sama dengan pidana tambahan untuk Tindak Pidana yang bersangkutan. Sebagai informasi, kategori II yang terdapat dalam Pasal 21 ayat (2) UU 1/2023 adalah tindak pidana yang hanya diancam dengan pidana denda paling banyak Rp10 juta. [11] Kemudian, dalam ketentuan Pasal 21 ayat (1) huruf a UU 1/2023 , pembantuan dilakukan sebelum dan sejak pelaksanaan tindak pidana dengan memberikan kesempatan, sarana, maupun keterangan. [12] Lalu, dalam ketentuan Pasal 21 ayat (1) huruf b UU 1/2023 , memberi bantuan pada waktu tindak pidana dilakukan hampir terdapat kesamaan dengan turut serta melakukan tindak pidana. Dalam turut serta melakukan tindak pidana terdapat kerja sama yang erat antar mereka yang turut serta melakukan tindak pidana, tetapi dalam pembantuan melakukan tindak pidana, kerja sama antara pelaku tindak pidana dan orang yang membantu tidak seerat kerja sama dalam turut serta melakukan tindak pidana. [13] : Perbedaan Turut Serta dan Pembantuan Tindak Pidana Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. Dasar Hukum : Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ; Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana . Referensi : Andi Sofyan dan Nur Azisa. Hukum Pidana . Makassar: Pustaka Pena Press, 2016; Fitri Wahyuni. Dasar-Dasar Hukum Pidana di Indonesia . Tangerang Selatan: PT Nusantara Persada Utama, 2017; Leden Marpaung. Asas-Teori-Praktik Hukum Pidana . Jakarta: Sinar Grafika, Jakarta, 2012; R. Sianturi. Asas-Asas Hukum Pidana dan Penerapannya . Jakarta: Alumni Ahaem-Petehaem, 1986. [1] Fitri Wahyuni. Dasar-Dasar Hukum Pidana di Indonesia . Tangerang Selatan: PT Nusantara Persada Utama. 2017, hal. 128 [2] Andi Sofyan dan Nur Azisa. Hukum Pidana . Makassar: Pustaka Pena Press, 2016, hal. 198 [3] Leden Marpaung. Asas-Teori-Praktik Hukum Pidana . Jakarta: Sinar Grafika, Jakarta, 2012, hal. 90 [4] Leden Marpaung. Asas-Teori-Praktik Hukum Pidana . Jakarta: Sinar Grafika, Jakarta, 2012, hal. 90 [5] Andi Sofyan dan Nur Azisa. Hukum Pidana . Makassar: Pustaka Pena Press, 2016, hal. 199 [6] Andi Sofyan dan Nur Azisa. Hukum Pidana . Makassar: Pustaka Pena Press, 2016, hal. 199-200 [7] S.R. Sianturi. Asas-Asas Hukum Pidana dan Penerapannya . Jakarta: Alumni Ahaem-Petehaem, 1986, hal. 375 [8] Pasal 57 ayat (3) dan (4) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”) [9] Andi Sofyan dan Nur Azisa. Hukum Pidana . Makassar: Pustaka Pena Press, 2016, hal. 201-202 [10] Pasal 624 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“UU 1/2023”) [11] Pasal 79 ayat (1) huruf b UU 1/2023 [12] Penjelasan Pasal 21 ayat (1) huruf a UU 1/2023 [13] Penjelasan Pasal 21 ayat (1) huruf b UU 1/2023 TAGS potd tindak pidana kuhp | {88: 'istilh omne principale trahit ad se accessorium, yang memiliki arti di mana ada pelaku utama, di situ ada pelaku pembantu', 89: 'Jika telah melakukan perbuatan pelaksanaan, pelaku telah termasuk mededader (turut serta melakukan) bukan lagi membantu.', 90: 'Dalam buku "Asas-Teori-Praktik Hukum Pidana" karya Leden Marpaung (2012, hal. 90), dijelaskan prinsip pertanggungjawaban pembantu (medeplichtige) dalam hukum pidana. Pembantuan bersifat aksesoris, artinya keberadaan pembantu bergantung pada adanya pelaku utama. Oleh karena itu, pertanggungjawaban pidana pembantu lebih ringan dibandingkan pelaku utama karena perannya yang lebih kecil dan hanya membantu mempermudah kejahatan. Konsekuensinya, pidana yang dijatuhkan pada pembantu mempertimbangkan hanya perbuatan yang secara sengaja dipermudah atau diperlancar olehnya, beserta akibat-akibatnya.', 91: 'Sebab jika hal ini dilakukan maka bukan termasuk bentuk pembantuan (medeplichtige) melainkan pembuat pelaksana.', 92: '[5] Berdasarkan uraian tersebut, maka syarat pembantuan adalah sebagai berikut: pembantuan harus dilakukan dengan sengaja; pembantu harus mengetahui jenis kejahatan yang dikehendaki oleh pembuat pelaksana dan untuk kejahatan itu ia memberikan bantuan bukan terhadap kejahatan lain; dan kesengajaan pembantu ditujukan untuk memudahkan atau memperlancarkan pembuat pelaksana melakukan kejahatan, artinya kesengajaan pembantu bukan merupakan unsur delik dan pembantu tidak melaksanakan anasir delik.', 93: 'Akan tetapi jika pelaku utama dibebaskan dari tuduhan maka dengan sendirinya tiada masalah pertanggungjawaban pula bagi pembantu.', 94: "['(1) dalam hal pembantuan, maksimum pidana pokok terhadap kejahatan, dikurangi sepertiga. biro hukum dan humas badan urusan administrasi mahkamah agung-ri\\x01 \\x01', '(2) jika kejahatan diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, dijatuhkan pidana penjara paling lama lima belas tahun.', '(3) pidana tambahan bagi pembantuan sama dengan kejahatannya sendiri.']", 95: '[8] Jadi pada prinsipnya, pertanggungjawaban pembantu lebih ringan dari pembuat, karena pembantuan bersifat accesoir, artinya untuk adanya pembantuan harus ada orang yang melakukan kejahatan sebagai orang yang dibantu.', 4: 'Undang-Undang ini mulai berlaku setelah 3 (tiga) tahun terhitung sejak tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.', 37: "['(1) pidana denda paling banyak ditetapkan berdasarkan: a. kategori i, rp1.000.000,00 (satu juta rupiah); b. kategori ii, rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah); c. kategori iii, rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah); d. kategori iv, rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah); e. kategori v, rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah); f. kategori vi, rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah); g. kategori vii, rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah); dan h. kategori viii, rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah).']", 96: 'Huruf a Dalam ketentuan ini, pembantuan dilakukan sebelum dan sejak pelaksanaan Tindak Pidana dengan memberikan kesempatan, sarana, maupun keterangan.', 97: 'Dalam ketentuan ini, memberi bantuan pada waktu Tindak Pidana dilakukan hampir terdapat kesamaan dengan turut serta melakukan Tindak Pidana. Dalam turut serta melakukan Tindak Pidana terdapat kerja sama yang erat antarmereka yang turut serta melakukan Tindak Pidana, tetapi dalam pembantuan melakukan Tindak Pidana, kerja sama antara pelaku Tindak Pidana dan orang yang membantu tidak seerat kerja sama dalam turut serta melakukan Tindak Pidana.'} |
Saya sering membaca kasus kekerasan seksual yang dialami perempuan maupun laki-laki. Apa itu kekerasan seksual apa saja jenis-jenis tindak pidana kekerasan seksual? | ULASAN LENGKAP . Apa yang Dimaksud dengan Kekerasan Seksual? Kekerasan seksual dapat diartikan sebagai terjadinya pendekatan seksual yang tidak diinginkan oleh seseorang terhadap orang lain. Pendekatan seksual ini dapat terjadi dalam berbagai bentuk baik itu fisik maupun verbal. [1] Saat ini, Indonesia memiliki peraturan khusus tentang tindak pidana kekerasan seksual, yaitu UU TPKS . Merujuk Pasal 1 angka 1 UU TPKS , yang dimaksud dengan tindak pidana kekerasan seksual adalah segala perbuatan yang memenuhi unsur tindak pidana sebagaimana diatur dalam undang-undang ini dan perbuatan seksual lainnya sebagaimana diatur dalam undang-undang sepanjang ditentukan dalam undang-undang ini. Kekerasan seksual dapat dialami baik oleh perempuan maupun laki-laki, atau dapat disebut sebagai korban. Definisi korban dalam UU TPKS adalah orang yang mengalami penderitaan fisik, mental, kerugian ekonomi, dan/atau kerugian sosial yang diakibatkan tindak pidana kekerasan seksual. [2] Jenis-jenis Kekerasan Seksual Menurut Pasal 4 UU TPKS Jenis-jenis kekerasan seksual secara hukum dapat mengacu ketentuan dalam Pasal 4 UU TPKS . Dari bunyi Pasal 4 ayat (1) UU TPKS , tindak pidana kekerasan seksual terdiri atas: pelecehan seksual nonfisik, yaitu pernyataan, gerak tubuh, atau aktivitas yang tidak patut dan mengarah kepada seksualitas dengan tujuan merendahkan atau mempermalukan; [3] pelecehan seksual fisik; pemaksaan kontrasepsi; pemaksaan sterilisasi; pemaksaan perkawinan; penyiksaan seksual; eksploitasi seksual; perbudakan seksual; dan kekerasan seksual berbasis elektronik. Lebih lanjut, Pasal 4 ayat (2) UU TPKS menerangkan bahwa tindak pidana kekerasan seksual juga meliputi: perkosaan; perbuatan cabul; persetubuhan terhadap anak, perbuatan cabul terhadap anak, dan/atau eksploitasi seksual terhadap anak; perbuatan melanggar kesusilaan yang bertentangan dengan kehendak korban; pornografi yang melibatkan anak atau pornografi yang secara eksplisit memuat kekerasan dan eksploitasi seksual; pemaksaan pelacuran; tindak pidana perdagangan orang yang ditujukan untuk eksploitasi seksual; kekerasan seksual dalam lingkup rumah tangga; tindak pidana pencucian uang yang tindak pidana asalnya merupakan tindak pidana kekerasan seksual; dan tindak pidana lain yang dinyatakan secara tegas sebagai tindak pidana kekerasan seksual sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan. Sanksi Pidana Pelaku Kekerasan Seksual Pelecehan Seksual Nonfisik Setiap orang yang melakukan perbuatan seksual secara nonfisik yang ditujukan terhadap tubuh, keinginan seksual, dan/atau organ reproduksi dengan maksud merendahkan harkat dan martabat seseorang berdasarkan seksualitas dan/atau kesusilaannya, dapat dipidana penjara paling lama 9 bulan dan/atau pidana denda paling banyak Rp10 juta. [4] Pelecehan Seksual Fisik Dipidana karena pelecehan seksual fisik , setiap orang yang melakukan perbuatan seksual secara fisik yang ditujukan terhadap tubuh, keinginan seksual, dan/atau organ reproduksi dengan maksud: merendahkan harkat dan martabat seseorang berdasarkan seksualitas dan/atau kesusilaannya yang tidak termasuk dalam ketentuan pidana lain yang lebih berat, dipidana penjara paling lama 4 tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp50 juta. [5] menempatkan seseorang di bawah kekuasaannya secara melawan hukum, baik di dalam maupun di luar perkawinan , dipidana penjara paling lama 12 tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp300 juta. [6] Kemudian, setiap orang yang menyalahgunakan kedudukan, wewenang, kepercayaan, atau perbawa yang timbul dari tipu muslihat atau hubungan keadaan atau memanfaatkan kerentanan, ketidaksetaraan atau ketergantungan seseorang, memaksa atau dengan penyesatan menggerakkan orang itu untuk melakukan atau membiarkan dilakukan persetubuhan atau perbuatan cabul dengannya atau dengan orang lain , dipidana dengan pidana penjara paling lama 12 tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp300 juta. [7] Sebagai informasi, pelecehan seksual nonfisik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 dan Pasal 6 huruf a UU TPKS merupakan delik aduan . [8] Namun, ketentuan ini tidak berlaku bagi korban penyandang disabilitas atau anak. [9] Pemaksaan Kontrasepsi Setiap orang yang melakukan perbuatan memaksa orang lain menggunakan alat kontrasepsi dengan kekerasan atau ancaman kekerasan, penyalahgunaan kekuasaan, penyesatan, penipuan, membuat atau memanfaatkan kondisi tidak berdaya yang dapat membuat kehilangan fungsi reproduksinya untuk sementara waktu, dipidana karena pemaksaan kontrasepsi , dengan pidana penjara maksimal 5 tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp50 juta. [10] Pemaksaan Sterilisasi Setiap orang yang melakukan perbuatan memaksa orang lain menggunakan alat kontrasepsi dengan kekerasan atau ancaman kekerasan, penyalahgunaan kekuasaan, penyesatan, penipuan, membuat atau memanfaatkan kondisi tidak berdaya yang dapat membuat kehilangan fungsi reproduksinya secara tetap, dipidana karena pemaksaan sterilisasi , dengan pidana penjara paling lama 9 tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp200 juta. [11] Pemaksaan Perkawinan Setiap orang yang secara melawan hukum memaksa, menempatkan seseorang di bawah kekuasaannya atau orang lain, atau menyalahgunakan kekuasaannya untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perkawinan dengannya atau dengan orang lain, dipidana karena pemaksaan perkawinan , dengan pidana penjara maksimal 9 tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp200 juta. [12] Sebagai informasi, termasuk juga pemaksaan perkawinan, yaitu perkawinan anak, pemaksaan perkawinan dengan mengatasnamakan praktik budaya, atau pemaksaan perkawinan korban dengan pelaku perkosaan. [13] Penyiksaan Seksual Sepanjang penelusuran kami, penyiksaan seksual dalam UU TPKS secara spesifik mengatur tentang penyiksaan yang dilakukan oleh pejabat. Menurut Pasal 11 UU TPKS , pejabat atau orang yang bertindak dalam kapasitas sebagai pejabat resmi, atau orang yang bertindak karena digerakkan atau sepengetahuan pejabat melakukan kekerasan seksual terhadap orang dengan tujuan: intimidasi untuk memperoleh informasi atau pengakuan dari orang tersebut atau pihak ketiga; persekusi atau memberikan hukuman terhadap perbuatan yang telah dicurigai atau dilakukannya; dan/atau mempermalukan atau merendahkan martabat atas alasan diskriminasi dan/atau seksual dalam segala bentuknya, dipidana karena penyiksaan seksual , dengan pidana penjara maksimal 12 tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp300 juta. Eksploitasi Seksual Setiap orang dengan kekerasan atau ancaman kekerasan atau dengan menyalahgunakan kedudukan, wewenang, kepercayaan, perbawa yang timbul dari tipu muslihat atau hubungan keadaan, kerentanan, ketidaksetaraan, ketidakberdayaan, ketergantungan seseorang, penjeratan hutang atau memberi bayaran atau manfaat dengan maksud untuk mendapatkan keuntungan, atau memanfaatkan organ tubuh seksual atau organ tubuh lain dari orang itu yang ditujukan terhadap keinginan seksual dengannya atau dengan orang lain, dipidana karena eksploitasi seksual , dengan pidana penjara maksimal 15 tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp1 miliar. [14] Perbudakan Seksual Berdasarkan Pasal 13 UU TPKS , setiap orang secara melawan hukum menempatkan seseorang di bawah kekuasaannya atau orang lain dan menjadikannya tidak berdaya dengan maksud mengeksploitasinya secara seksual, dipidana karena perbudakan seksual , dengan pidana penjara paling lama 15 tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp1 miliar. Kekerasan Seksual Berbasis Elektronik Selanjutnya, menurut Pasal 14 ayat (1) UU TPKS , setiap orang yang tanpa hak: melakukan perekaman dan/atau mengambil gambar atau tangkapan layar yang bermuatan seksual di luar kehendak atau tanpa persetujuan orang yang menjadi objek perekaman atau gambar atau tangkapan layar; mentransmisikan informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang bermuatan seksual di luar kehendak penerima yang ditujukan terhadap keinginan seksual; dan/atau melakukan penguntitan dan/atau pelacakan menggunakan sistem elektronik terhadap orang yang menjadi objek dalam informasi/dokumen elektronik untuk tujuan seksual, dipidana karena melakukan kekerasan seksual berbasis elektronik , dengan pidana penjara paling lama 4 tahun dan/atau denda paling banyak Rp200 juta. Namun, jika perbuatan di atas dilakukan dengan maksud untuk melakukan pemerasan atau pengancaman, memaksa, atau menyesatkan dan/atau memperdaya seseorang supaya melakukan, membiarkan dilakukan, atau tidak melakukan sesuatu, dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 tahun dan/atau denda paling banyak Rp300 juta. [15] Penting untuk diketahui, kekerasan seksual berbasis elektronik sebagaimana dimaksud pada Pasal 14 ayat (1) merupakan delik aduan , kecuali korban adalah anak atau penyandang disabilitas. [16] Kemudian, jika perbuatan pada Pasal 14 ayat (1) huruf a dan b dilakukan demi kepentingan umum atau untuk pembelaan atas dirinya sendiri dari tindak pidana kekerasan seksual, tidak dapat dipidana . [17] Adapun jika korban kekerasan seksual berbasis elektronik sebagaimana dimaksud pada Pasal 14 ayat (1) huruf a dan b merupakan anak atau penyandang disabilitas , adanya kehendak atau persetujuan korban tidak menghapuskan tuntutan pidana . [18] Selanjutnya, berdasarkan penelusuran kami, jenis-jenis kekerasan seksual dalam Pasal 4 ayat (2) UU TPKS, ancaman pidananya diatur dalam ketentuan-ketentuan yang berbeda, misalnya: Perkosaan, perbuatan cabul, perbuatan melanggar kesusilaan, pemaksaan pelacuran, diatur dalam KUHP lama yang masih berlaku pada saat artikel ini diterbitkan atau UU 1/2023 tentang KUHP baru yang mulai berlaku 3 tahun terhitung sejak tanggal diundangkan, [19] yakni pada tahun 2026. Persetubuhan terhadap anak, perbuatan cabul terhadap anak, eksploitasi seksual terhadap anak, diatur dalam UU Perlindungan Anak dan perubahannya. Sedangkan pornografi yang melibatkan orang dewasa maupun anak diatur dalam UU Pornografi . Tindak pidana perdagangan orang diatur dalam UU TPPO . Kekerasan seksual dalam lingkup rumah tangga diatur dalam UU PKDRT . Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. Dasar Hukum : Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ; Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak ; Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga ; Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang ; Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi ; Undang-Undang Nomor 35 tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak ; Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak ; Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Menjadi Undang-Undang ; Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual ; Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana . Referensi : Rosania Paradiaz dan Eko Soponyono. Perlindungan hukum Terhadap Korban Pelecehan Seksual . Jurnal Pembangunan Hukum Indonesia, Vol. 4, No. 1, 2022. [1] Rosania Paradiaz dan Eko Soponyono. Perlindungan hukum Terhadap Korban Pelecehan Seksual . Jurnal Pembangunan Hukum Indonesia, Vol. 4, No. 1, 2022, hal. 62 [2] Pasal 1 angka 4 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (“UU TPKS”) [3] Penjelasan Pasal 5 UU TPKS [4] Pasal 5 UU TPKS [5] Pasal 6 huruf a UU TPKS [6] Pasal 6 huruf b UU TPKS [7] Pasal 6 huruf c UU TPKS [8] Pasal 7 ayat (1) UU TPKS [9] Pasal 7 ayat (2) UU TPKS [10] Pasal 8 UU TPKS [11] Pasal 9 UU TPKS [12] Pasal 10 ayat (1) UU TPKS [13] Pasal 10 ayat (2) UU TPKS [14] Pasal 12 UU TPKS [15] Pasal 14 ayat (2) UU TPKS [16] Pasal 14 ayat (3) UU TPKS [17] Pasal 14 ayat (4) UU TPKS [18] Pasal 14 ayat (5) UU TPKS [19] Pasal 624 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana TAGS pelecehan pelecehan seksual kekerasan seksual potd | {110: 'Kekerasan seksual dapat diartikan sebagai terjadinya pendekatan seksual yang tidak diinginkan oleh seseorang terhadap orang lain. Pendekatan seksual ini dapat terjadi dalam berbagai bentuk baik itu fisik maupun verbal', 55: '4. korban adalah orang yang mengalami penderitaan frsik, mental, kerugian ekonomi, dan f atau kerugian sosial yang diakibatkan tindak pidana kekerasan seksual', 111: "Yang dimaksud dengan 'perbuatan seksual secara nonfisik' adalah pernyataan, gerak tubuh, atau aktivitas yang tidak patut dan mengarah kepada seksualitas dengan tujuan merendahkan atau mempermalukan.", 112: 'pasal 5 setiap orang yang melakukan perbuatan seksual secara nonfisik yang ditujukan terhadap tubuh, keinginan seksual, dan/atau organ reproduksi dengan maksud merendahkan harkat dan martabat seseorzrng berdasarkan seksualitas dan/atau kesusilaannya, dipidana karena pelecehan seksual nonfisik, dengan pidana penjara paling lama 9 (sembilan) bulan dan/ atau pidana denda paling banyak rp10.00o.000,00 (sepuluh juta rupiah).', 113: 'pasal 6 dipidana karena pelecehan seksual frsik: a. setiap orang yang melakukan perbuatan seksual secara ftsik yang ditqjukan terhadap tubuh, keinginan seksual, dan/ atau organ reproduksi dengan maksud merendahkan harkat dan martabat seseorang berdasarkan seksualitas dan/atau kesusilaannya yang tidak termasuk dalam ketentuan pidana lain yang lebih berat dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/ atau pidana denda paling banyak rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah). b. setiap orang yang melakukan perbuatan seksual secara fisik yarrg ditujukan terhadap tubuh, keinginan seksual, dan/ atau organ reproduksi dengan maksud menempatkan seseorang di bawah kekuasaannya secara melawan hukum, baik di dalam maupun di luar perkawinan dengan pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun dan/ atau pidana denda paling banyak rp300.o00.00o,00 (tiga ratus juta rupiah). sk no 146008 a presiden repijblik inoonesia -9- c. setiap orang yang menyalahgunakan kedudukan, wewenang, kepercayaan, atau perbawa yang timbul dari tipu muslihat atau hubungan keadaan atau memanfaatkan kerentanan, ketidaksetaraan atau ketergantungan seseorang, memaksa atau dengan penyesatan menggerakkan orang itu untuk melakukan atau membiarkan dilakukan persetubuhan atau perbuatan cabul dengannya atau dengan orang lain, dipidana dengan pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun dan/ atau pidana denda paling banyak rp300.00o.00o,00 (tiga ratus juta rupiah).', 114: 'pasal 6 dipidana karena pelecehan seksual frsik: a. setiap orang yang melakukan perbuatan seksual secara ftsik yang ditqjukan terhadap tubuh, keinginan seksual, dan/ atau organ reproduksi dengan maksud merendahkan harkat dan martabat seseorang berdasarkan seksualitas dan/atau kesusilaannya yang tidak termasuk dalam ketentuan pidana lain yang lebih berat dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/ atau pidana denda paling banyak rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah). b. setiap orang yang melakukan perbuatan seksual secara fisik yarrg ditujukan terhadap tubuh, keinginan seksual, dan/ atau organ reproduksi dengan maksud menempatkan seseorang di bawah kekuasaannya secara melawan hukum, baik di dalam maupun di luar perkawinan dengan pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun dan/ atau pidana denda paling banyak rp300.o00.00o,00 (tiga ratus juta rupiah). sk no 146008 a presiden repijblik inoonesia -9- c. setiap orang yang menyalahgunakan kedudukan, wewenang, kepercayaan, atau perbawa yang timbul dari tipu muslihat atau hubungan keadaan atau memanfaatkan kerentanan, ketidaksetaraan atau ketergantungan seseorang, memaksa atau dengan penyesatan menggerakkan orang itu untuk melakukan atau membiarkan dilakukan persetubuhan atau perbuatan cabul dengannya atau dengan orang lain, dipidana dengan pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun dan/ atau pidana denda paling banyak rp300.00o.00o,00 (tiga ratus juta rupiah).', 115: 'pasal 6 dipidana karena pelecehan seksual frsik: a. setiap orang yang melakukan perbuatan seksual secara ftsik yang ditqjukan terhadap tubuh, keinginan seksual, dan/ atau organ reproduksi dengan maksud merendahkan harkat dan martabat seseorang berdasarkan seksualitas dan/atau kesusilaannya yang tidak termasuk dalam ketentuan pidana lain yang lebih berat dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/ atau pidana denda paling banyak rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah). b. setiap orang yang melakukan perbuatan seksual secara fisik yarrg ditujukan terhadap tubuh, keinginan seksual, dan/ atau organ reproduksi dengan maksud menempatkan seseorang di bawah kekuasaannya secara melawan hukum, baik di dalam maupun di luar perkawinan dengan pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun dan/ atau pidana denda paling banyak rp300.o00.00o,00 (tiga ratus juta rupiah). sk no 146008 a presiden repijblik inoonesia -9- c. setiap orang yang menyalahgunakan kedudukan, wewenang, kepercayaan, atau perbawa yang timbul dari tipu muslihat atau hubungan keadaan atau memanfaatkan kerentanan, ketidaksetaraan atau ketergantungan seseorang, memaksa atau dengan penyesatan menggerakkan orang itu untuk melakukan atau membiarkan dilakukan persetubuhan atau perbuatan cabul dengannya atau dengan orang lain, dipidana dengan pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun dan/ atau pidana denda paling banyak rp300.00o.00o,00 (tiga ratus juta rupiah).', 116: "['(1) pelecehan seksual nonfisik sebagaimana dimaksud dalam pasal 5 dan pelecehan seksual fisik sebagaimana dimaksud dalam pasal 6 huruf a merupakan delik aduan.']", 117: "['(1) pelecehan seksual nonfisik sebagaimana dimaksud dalam pasal 5 dan pelecehan seksual fisik sebagaimana dimaksud dalam pasal 6 huruf a merupakan delik aduan.']", 118: 'pasal 8 setiap orang yang melakukan perbuatan memaksa orang lain menggunakan alat kontrasepsi dengan kekerasan atau ancaman kekerasan, penyalahgunaan kekuasaan, penyesatan, penipuan, membuat atau memanfaatkan kondisi tidaf< berdaya yang dapat membuat kehilangan fungsi reproduksinya untuk sementara waktu, dipidana karena pemaksaan kontrasepsi, dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/ atau pidana denda paling banyak rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah). sk no 146009a presiden repuelik indonesia -10-', 119: 'pasal 9 setiap orang yang melakukan perbuatan memaksa orang lain menggunakan alat kontrasepsi dengan kekerasan atau ancaman kekerasan, penyalahgunaan kekuasaan, penyesatan, penipuan, membuat atau memanfaatkan kondisi tidak berdaya yang dapat membuat kehilangan fungsi reproduksinya secara tetap, dipidana karena pemaksaan sterilisasi, dengan pidana penjara paling lama 9 (sembilan) tahun dan/atau pidana denda paling banyak rp200.ooo.000,oo (dua ratus juta rupiah).', 120: "['(1) setiap orang secara melawan hukum memaksa, menempatkan seseorang di bawah kekrlasaannya atau orang lain, atau kekuasaannya untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perkawinan dengannya atau dengan orang lain, dipidana karena pemaksaan perkawinan, dengan pidana penjara paling lama 9 (sembilan) tahun dan/ atau pidana denda paling banyak rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).']", 121: "['(1) setiap orang secara melawan hukum memaksa, menempatkan seseorang di bawah kekrlasaannya atau orang lain, atau kekuasaannya untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perkawinan dengannya atau dengan orang lain, dipidana karena pemaksaan perkawinan, dengan pidana penjara paling lama 9 (sembilan) tahun dan/ atau pidana denda paling banyak rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).']", 122: 'pasal 12 setiap orang dengan kekerasan atau ancaman kekerasan atau dengan menyalahgunakan kedudukan, wewenang, kepercayaan, perbawa yang timbul dari tipu muslihat atau hubungan keadaan, kerentanan, ketidaksetaraan, ketidakberdayaan, ketergantungan seseorang, penjeratan hutang atau memberi bayaran atau manfaat dengan maksud untuk mendapatkan keuntungan, atau memanfaatkan organ tubuh seksual atau organ tubuh lain dari orang itu yang ditujukan terhadap keinginan seksual dengannya atau dengan orang lain, dipidana karena eksploitasi seksual, dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan/atau pidana denda paling banyak rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). sk no 146011a presiden republik indonesia -t2-', 123: "['(1) setiap orang yang tanpa hak: a. melakukan perekaman dan/ atau mengambil gambar atau tangkapan layar yang bermuatan seksual di luar kehendak atau tanpa persetqjuan orang yang menjadi objek perekaman atau gambar atau tangkapan layar; b. mentransmisikan informasi elektronik dan/ atau dokumen elektronik yang bermuatan seksual di luar kehendak penerima yang ditujukan terhadap keinginan seksual; dan/atau c. melakukan penguntitan dan/ atau pelacakan menggunakan sistem elektronik terhadap orang yang menjadi obyek dalam informasi/dokumen elektronik untuk tujuan seksual, dipidana karena melakukan kekerasan seksual berbasis elektronik, dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/ atau denda paling banyak rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).', '(2) dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan maksud: a. untuk melakukan pemerasan atau pengancaman, memaksa; atau sk no 146012a presiden republik indonesia b. menyesatkan dan/atau memperdaya, seseorang supaya melakukan, membiarkan dilakukan, atau tidak melakukan sesuatu, dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak rp300.00o.000,00 (tiga ratus juta rupiah).', '(3) kekerasan seksual berbasis elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan delik aduan, kecuali korban adalah anak atau penyandang disabilitas.', '(4) dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf b dilakukan demi kepentingan umum atau untuk pembelaan atas dirinya sendiri dari tindak pidana kekerasan seksual, tidak dapat dipidana.']", 124: "['(1) setiap orang yang tanpa hak: a. melakukan perekaman dan/ atau mengambil gambar atau tangkapan layar yang bermuatan seksual di luar kehendak atau tanpa persetqjuan orang yang menjadi objek perekaman atau gambar atau tangkapan layar; b. mentransmisikan informasi elektronik dan/ atau dokumen elektronik yang bermuatan seksual di luar kehendak penerima yang ditujukan terhadap keinginan seksual; dan/atau c. melakukan penguntitan dan/ atau pelacakan menggunakan sistem elektronik terhadap orang yang menjadi obyek dalam informasi/dokumen elektronik untuk tujuan seksual, dipidana karena melakukan kekerasan seksual berbasis elektronik, dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/ atau denda paling banyak rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).', '(2) dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan maksud: a. untuk melakukan pemerasan atau pengancaman, memaksa; atau sk no 146012a presiden republik indonesia b. menyesatkan dan/atau memperdaya, seseorang supaya melakukan, membiarkan dilakukan, atau tidak melakukan sesuatu, dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak rp300.00o.000,00 (tiga ratus juta rupiah).', '(3) kekerasan seksual berbasis elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan delik aduan, kecuali korban adalah anak atau penyandang disabilitas.', '(4) dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf b dilakukan demi kepentingan umum atau untuk pembelaan atas dirinya sendiri dari tindak pidana kekerasan seksual, tidak dapat dipidana.']", 125: "['(1) setiap orang yang tanpa hak: a. melakukan perekaman dan/ atau mengambil gambar atau tangkapan layar yang bermuatan seksual di luar kehendak atau tanpa persetqjuan orang yang menjadi objek perekaman atau gambar atau tangkapan layar; b. mentransmisikan informasi elektronik dan/ atau dokumen elektronik yang bermuatan seksual di luar kehendak penerima yang ditujukan terhadap keinginan seksual; dan/atau c. melakukan penguntitan dan/ atau pelacakan menggunakan sistem elektronik terhadap orang yang menjadi obyek dalam informasi/dokumen elektronik untuk tujuan seksual, dipidana karena melakukan kekerasan seksual berbasis elektronik, dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/ atau denda paling banyak rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).', '(2) dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan maksud: a. untuk melakukan pemerasan atau pengancaman, memaksa; atau sk no 146012a presiden republik indonesia b. menyesatkan dan/atau memperdaya, seseorang supaya melakukan, membiarkan dilakukan, atau tidak melakukan sesuatu, dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak rp300.00o.000,00 (tiga ratus juta rupiah).', '(3) kekerasan seksual berbasis elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan delik aduan, kecuali korban adalah anak atau penyandang disabilitas.', '(4) dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf b dilakukan demi kepentingan umum atau untuk pembelaan atas dirinya sendiri dari tindak pidana kekerasan seksual, tidak dapat dipidana.']", 126: "['(1) setiap orang yang tanpa hak: a. melakukan perekaman dan/ atau mengambil gambar atau tangkapan layar yang bermuatan seksual di luar kehendak atau tanpa persetqjuan orang yang menjadi objek perekaman atau gambar atau tangkapan layar; b. mentransmisikan informasi elektronik dan/ atau dokumen elektronik yang bermuatan seksual di luar kehendak penerima yang ditujukan terhadap keinginan seksual; dan/atau c. melakukan penguntitan dan/ atau pelacakan menggunakan sistem elektronik terhadap orang yang menjadi obyek dalam informasi/dokumen elektronik untuk tujuan seksual, dipidana karena melakukan kekerasan seksual berbasis elektronik, dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/ atau denda paling banyak rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).', '(2) dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan maksud: a. untuk melakukan pemerasan atau pengancaman, memaksa; atau sk no 146012a presiden republik indonesia b. menyesatkan dan/atau memperdaya, seseorang supaya melakukan, membiarkan dilakukan, atau tidak melakukan sesuatu, dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak rp300.00o.000,00 (tiga ratus juta rupiah).', '(3) kekerasan seksual berbasis elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan delik aduan, kecuali korban adalah anak atau penyandang disabilitas.', '(4) dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf b dilakukan demi kepentingan umum atau untuk pembelaan atas dirinya sendiri dari tindak pidana kekerasan seksual, tidak dapat dipidana.']", 20: 'Undang-Undang ini mulai berlaku setelah 3 (tiga) tahun terhitung sejak tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.'} |
Saya pernah ikut ospek di kampus dan itu cukup mengagetkan saya sendiri, karena di ospek tersebut ada acara bentak-bentak, maki-maki, bahkan ada juga yang main tangan (memukul), walaupun pukulan tersebut tidak mengakibatkan luka berat. Pertanyaannya, apakah hal tersebut bisa dipidanakan? Alasan mereka sih melakukan hal tersebut untuk melatih mental kita mahasiswa. | ULASAN LENGKAP dari artikel dengan judul Apakah Perploncoan di Kampus Bisa Dipidanakan? yang dibuat oleh M. Naufal Fileindi, S.H. & Anandito Utomo, S.H. dan pertama kali dipublikasikan pada 30 Juli 2012. Artikel ini dibuat berdasarkan KUHP lama dan UU 1/2023 tentang KUHP yang diundangkan pada tanggal 2 Januari 2023. . Orientasi Studi dan Pengenalan Kampus Orientasi Studi dan Pengenalan Kampus (“ospek”) pada dasarnya merupakan kegiatan Pengenalan Kehidupan Kampus bagi Mahasiswa Baru (“PKKMB”) yang penyelenggaraannya merujuk pada Panduan Pengenalan Kehidupan Kampus bagi Mahasiswa Baru (PKKMB) 2024 (“Panduan PKKMB 2024”) , dan diterbitkan oleh Direktorat Pembelajaran dan Kemahasiswaan . Selain itu, ospek juga bertujuan untuk memberikan pengenalan awal bagi mahasiswa baru terhadap berbagai aspek kehidupan perguruan tinggi seperti statuta universitas, peraturan akademik, sistem kurikulum, cara belajar di perguruan tinggi, etika mahasiswa, dan organisasi kemahasiswaan. Di samping itu, ospek dapat menjadi tempat memperkenalkan pimpinan universitas, fakultas, dan jurusan/program studi. Oleh karena itu, ospek bagi mahasiswa baru merupakan kegiatan yang sangat penting sebagai gerbang masuk menuju kehidupan kampus yang sekaligus sebagai awal langkah pengenalan dan pengembangan budaya akademis. [1] Masih bersumber dari Panduan PKKMB 2024, tujuan pelaksanaan PKKMB ini adalah untuk menyiapkan mahasiswa baru melewati proses transisi menjadi mahasiswa yang dewasa dan mandiri, mempercepat proses adaptasi mahasiswa dengan lingkungan yang baru, dan memberikan bekal untuk keberhasilannya menempuh pendidikan di perguruan tinggi (hal. 2). Kemudian, dalam pelaksanaan PKKMB, kampus/perguruan tinggi tidak diperbolehkan mengembangkan model pengenalan kampus sesuai dengan interpretasi masing-masing sehingga terjadi penyimpangan antara lain berbentuk aktivitas perundungan oleh mahasiswa senior, atribut kegiatan yang membebani mahasiswa baru, kekerasan fisik , dan psikis . Kegiatan yang menyimpang dapat berakhir dengan adanya korban jiwa yang tentu saja dapat menimbulkan kecemasan, kekhawatiran, dan ketakutan bagi mahasiswa baru, orang tua, dan Masyarakat (hal. 3). Terdapat juga asas-asas pelaksanaan PKKMB yang terdiri atas (hal. 4): asas keterbukaan, yaitu semua kegiatan PKKMB dilakukan secara terbuka, baik dalam hal pembiayaan, materi/substansi kegiatan, dan berbagai informasi waktu maupun tempat penyelenggaraan kegiatan; asas demokratis, yaitu semua kegiatan dilakukan dengan berdasarkan kesetaraan semua pihak, dengan menghormati hak dan kewajiban masing-masing pihak yang terlibat dalam kegiatan PKKMB; dan asas humanis, yaitu kegiatan PKKMB dilakukan berdasarkan kemanusiaan yang adil dan beradab, dan prinsip persaudaraan, serta antikekerasan . Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa seharusnya dalam penyelenggaraan PKKMB tidak boleh disertai dengan kekerasan fisik, psikis atau bahkan perundungan . Lantas, apa hukumnya jika terjadi kekerasan dalam ospek, dalam hal ini bentak-bentak, maki-maki, dan main tangan (memukul)? Delik Pencemaran Nama Baik Terhadap tindakan bentakan maupun makian saat ospek, jika bentakan dan makian ditujukan untuk menyerang nama baik seseorang dengan menuduhkan sesuatu hal , pelaku berpotensi dijerat pasal pencemaran nama baik yang terdapat dalam Pasal 310 ayat (1) KUHP lama yang masih berlaku pada saat artikel ini diterbitkan jo. Putusan MK No. 78/PUU-XXI/2023 atau Pasal 433 ayat (1) UU 1/2023 tentang KUHP baru yang mulai berlaku 3 tahun terhitung sejak tanggal diundangkan, [2] yakni pada tahun 2026. Pasal 310 ayat (1) KUHP jo. Putusan MK No. 78/PUU-XXI/2023 Pasal 433 ayat (1) UU 1/2023 Barang siapa sengaja menyerang kehormatan atau nama baik seseorang dengan menuduhkan sesuatu hal dengan cara lisan , yang maksudnya terang supaya hal itu diketahui umum, diancam karena pencemaran dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau pidana denda paling banyak Rp4,5 juta. [3] Setiap orang dengan lisan menyerang kehormatan atau nama baik orang lain dengan cara menuduhkan suatu hal , dengan maksud supaya hal tersebut diketahui umum, dipidana karena pencemaran, dengan pidana penjara paling lama 9 bulan atau pidana denda paling banyak kategori II, yaitu Rp10 juta. [4] Terkait dengan Pasal 310 KUHP, R. Soesilo pada bukunya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal (hal. 225-226) menjelaskan bahwa tindakan “menghina” adalah menyerang kehormatan dan nama baik seseorang, yang diserang itu biasanya merasa malu. Sedangkan “kehormatan” yang diserang di sini hanya kehormatan nama baik, bukan “kehormatan” dalam lapangan seksual atau kehormatan yang dapat dicemarkan karena tersinggung anggota kemaluannya dalam lingkungan nafsu birahi. Supaya dapat dihukum atas dasar pasal ini, maka penghinaan itu harus dilakukan dengan cara menuduh seseorang telah melakukan perbuatan tertentu dengan maksud tuduhan itu diketahui secara umum (banyak orang). Adapun menurut Penjelasan Pasal 433 ayat (1) UU 1/2023 , sifat dari perbuatan pencemaran adalah jika perbuatan penghinaan yang dilakukan dengan cara menuduh, baik secara lisan, tulisan, maupun dengan gambar, yang menyerang kehormatan dan nama baik seseorang, sehingga merugikan orang tersebut. Perbuatan yang dituduhkan tidak perlu harus suatu tindak pidana. Objek tindak pidana menurut ketentuan dalam pasal ini adalah orang perseorangan. Sedangkan, penistaan terhadap lembaga pemerintah atau sekelompok orang tidak termasuk ketentuan pasal ini. Patut dicatat, baik tindak pidana Pasal 310 KUHP maupun Pasal 433 UU 1/2023 tidak dituntut jika tidak ada pengaduan dari korban tindak pidana. [5] : Bunyi Pasal 310 KUHP Pasca Putusan MK No. 78/PUU-XXI/2023 Delik Penghinaan Ringan Kemudian, jika bentuk penghinaan (dalam hal ini bentakan dan makian) tidak bersifat pencemaran atau tidak memuat tuduhan suatu perbuatan , maka pelaku berpotensi dijerat pasal penghinaan ringan sebagai berikut. Pasal 315 KUHP Pasal 436 UU 1/2023 Tiap-tiap penghinaan dengan sengaja yang tidak bersifat pencemaran atau pencemaran tertulis yang dilakukan terhadap seseorang, baik di muka umum dengan lisan atau tulisan, maupun di muka orang itu sendiri dengan lisan atau perbuatan, atau dengan surat yang dikirimkan atau diterimakan kepadanya, diancam karena penghinaan ringan dengan pidana penjara paling lama 4 bulan 2 minggu atau pidana denda paling banyak Rp4,5 juta. [6] Penghinaan yang tidak bersifat pencemaran atau pencemaran tertulis yang dilakukan terhadap orang lain baik di muka umum dengan lisan atau tulisan, maupun di muka orang yang dihina tersebut secara lisan atau dengan perbuatan atau dengan tulisan yang dikirimkan atau diterimakan kepadanya, dipidana karena penghinaan ringan dengan pidana penjara paling lama 6 bulan atau pidana denda paling banyak kategori II, yaitu sebesar Rp10 juta. [7] R. Soesilo pada buku yang sama menjelaskan bahwa apabila penghinaan dilakukan dengan tidak memuat tuduhan suatu perbuatan , misalnya dengan mengatakan “anjing”, “asu”, “sundel”, “bajingan” dan sebagainya , maka masuk pasal 315 KUHP dan dinamakan penghinaan ringan. (hal. 228) Kemudian, disarikan dari artikel Hukumnya Melabrak Orang Lain , agar pelaku bisa dihukum, kata-kata penghinaan harus dilakukan di depan umum, baik secara tertulis atau lisan. Jika tidak dilakukan di depan umum , supaya pelaku dapat dihukum, maka: Orang yang dihina harus berada disitu melihat dan mendengarnya sendiri. Bila dilakukan dengan surat atau tulisan, maka harus dialamatkan atau disampaikan kepada yang dihina. Kata-kata atau kalimat yang sifatnya dapat disebut menghina tergantung tempat dan waktu, seperti mengucapkan maling kepada pencuri. Penghinaan yang dilakukan dengan perbuatan seperti meludahi di mukanya, suatu sodokan, dorongan, tempelengan, dorongan yang sebenarnya merupakan penganiayaan, tetapi bila dilakukan tidak seberapa keras, dapat menimbulkan pula penghinaan. Penjelasan tersebut selaras dengan Penjelasan Pasal 436 UU 1/2023 , yaitu ketentuan ini mengatur penghinaan yang dilakukan dengan mengeluarkan perkataan yang tidak senonoh terhadap orang lain. Penghinaan tersebut dilakukan di muka umum dengan lisan atau tulisan, atau di muka orang yang dihina itu sendiri baik secara lisan, tulisan, maupun dengan perbuatan atau dengan tulisan yang dikirimkan kepadanya. Sebagai informasi, ketentuan hukum penghinaan ringan merupakan delik aduan , yakni perkara penghinaan terjadi jika ada pihak yang mengadu. Selengkapnya dapat Anda baca dalam Bunyi Pasal 315 KUHP tentang Penghinaan Ringan . Delik Penganiayaan Terhadap tindakan pemukulan mahasiswa baru saat ospek, pelaku pemukulan berpotensi untuk dijerat pasal penganiayaan ringan sebagai berikut. Pasal 352 ayat (1) KUHP Pasal 471 ayat (1) UU 1/2023 Kecuali yang tersebut dalam pasal 353 dan 356, maka penganiayaan yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau pencarian , diancam, sebagai penganiayaan ringan, dengan pidana penjara paling lama tiga bulan atau pidana denda paling banyak Rp4,5 juta. [8] Pidana dapat ditambah sepertiga bagi orang yang melakukan kejahatan itu terhadap orang yang bekerja padanya, atau menjadi bawahannya Selain penganiayaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 467 dan Pasal 470, penganiayaan yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan profesi jabatan atau mata pencaharian , dipidana karena penganiayaan ringan, dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) Bulan atau pidana denda paling banyak kategori II, yaitu sebesar Rp10 juta. [9] Dari bunyi pasal penganiayaan ringan di atas, pada intinya, dapat disimpulkan bahwa baik dalam Pasal 352 KUHP maupun Pasal 471 UU 1/2023, tindak pidana disebut penganiayaan ringan karena penganiayaan ini tidak menyebabkan luka atau penyakit dan tidak menyebabkan korban tidak bisa menjalankan aktivitas sehari-harinya . Unsur pasal penganiayaan ringan dan penjelasan selengkapnya dapat Anda temukan dalam Begini Bunyi Pasal 352 KUHP tentang Penganiayaan Ringan . Namun, sebagai informasi, jika ternyata korban pemukulan mengalami luka berat hingga kematian , pelaku dapat dijerat Pasal 351 KUHP atau Pasal 466 UU 1/2023 . Penjelasan tindak pidana penganiayaan yang berakibat luka berat dan mati dapat Anda baca selengkapnya dalam Ini Bunyi Pasal 351 KUHP tentang Penganiayaan . Pada praktiknya, penegak hukum dapat mengenakan pasal-pasal berlapis terhadap suatu tindak pidana yang memenuhi unsur-unsur perbuatan pencemaran nama baik, penghinaan, dan penganiayaan , sebagaimana diatur dalam KUHP atau UU 1/2023. Artinya, bila memang unsur-unsur tindak pidananya terpenuhi, penegak hukum dapat menggunakan pasal-pasal tersebut, atau penegak hukum dapat mengajukan dakwaan secara alternatif . Berdasarkan artikel Bentuk-bentuk Surat Dakwaan , dakwaan alternatif digunakan jika belum didapat kepastian tentang tindak pidana mana yang paling tepat dapat dibuktikan . : Surat Dakwaan: Pengertian, Fungsi, dan Jenisnya Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. Dasar Hukum : Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ; Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ; Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2012 tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda dalam KUHP . Putusan : Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 78/PUU-XXI/2023 . Referensi : Dedi Pramono (et.al). Model Program Pengenalan Kampus untuk Mengembangkan Kesiapan Karir Mahasiswa. Prosiding Seminar Nasional Pagelaran Pendidikan Dasar Nasional (PPND) 2019, Vol. 1, No. 1, 2019; R. Soesilo. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal , Bogor: Politeia, 1995; Panduan Pengenalan Kehidupan Kampus bagi Mahasiswa Baru (PKKMB) 2024 , yang diakses pada 17 September 2024, pukul 14.50 WIB. [1] Dedi Pramono (et.al). Model Program Pengenalan Kampus untuk Mengembangkan Kesiapan Karir Mahasiswa. Prosiding Seminar Nasional Pagelaran Pendidikan Dasar Nasional (PPND) 2019, Vol. 1, No. 1, 2019, hal. 308 [2] Pasal 624 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“UU 1/2023”) [3] Pasal 3 Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2012 tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda dalam KUHP (“Perma 2/2012”), denda dilipatgandakan menjadi 1.000 kali [4] Pasal 79 ayat (1) huruf b UU 1/2023 [5] Pasal 319 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan Pasal 440 UU 1/2023 [6] Pasal 3 Perma 2/2012, denda dilipatgandakan menjadi 1.000 kali [7] Pasal 79 ayat (1) huruf b UU 1/2023 [8] Pasal 3 Perma 2/2012, denda dilipatgandakan menjadi 1.000 kali [9] Pasal 79 ayat (1) huruf b UU 1/2023 TAGS kampus penganiayaan pencemaran nama baik penghinaan | {127: 'Oleh karena itu, ospek bagi mahasiswa baru merupakan kegiatan yang sangat penting sebagai gerbang masuk menuju kehidupan kampus yang sekaligus sebagai awal langkah pengenalan dan pengembangan budaya akademis.', 128: 'Undang-Undang ini mulai berlaku setelah 3 (tiga) tahun terhitung sejak tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.', 129: 'Tiap jumlah maksimum hukuman denda yang diancamkan dalam KUHP kecuali pasal 303 ayat 1 dan ayat 2, 303 bis ayat 1 dan ayat 2, dilipatgandakan menjadi 1.000 (seribu) kall,', 37: "['(1) pidana denda paling banyak ditetapkan berdasarkan: a. kategori i, rp1.000.000,00 (satu juta rupiah); b. kategori ii, rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah); c. kategori iii, rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah); d. kategori iv, rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah); e. kategori v, rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah); f. kategori vi, rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah); g. kategori vii, rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah); dan h. kategori viii, rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah).']", 130: 'pasal 319 setiap orang yang secara melawan hukum merusak, menghancurkan, atau membuat tidak dapat dipakai bangunan listrik atau mengakibatkan fungsi bangunan tersebut terganggu, atau menggagalkan atau mempersulit usaha penyelamatan atau perbaikan bangunan tersebut, dipidana dengan: a. pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak kategori v, jika perbuatan tersebut mengakibatkan rintangan atau kesulitan dalam mengalirkan tenaga listrik untuk kepentingan umum; b. pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun, jika perbuatan tersebut mengakibatkan bahaya umum bagi orang atau barang; c. pidana penjara paling lama 9 (sembilan) tahun, jika perbuatan tersebut mengakibatkan luka berat; atau d. pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun, jika perbuatan tersebut mengakibatkan matinya orang.', 131: 'Tiap jumlah maksimum hukuman denda yang diancamkan dalam KUHPkecuali pasal 303 ayat 1 dan ayat 2, 303 bis ayat 1 dan ayat 2, dilipatgandakan menjadi 1.000 (seribu) kall,'} |
End of preview. Expand
in Dataset Viewer.
Pertanyaan-Jawaban-Dasar_Hukum (Question-Answer-Legal_Basis)
Topic
Hukum Pidana Republik Indonesia (Criminal Law)
Date range
November 2013 - October 2024
Source
Question-Answer-Legal basis reference: Klinik Hukumonline.com
Legal basis Sources: Indonesia Official Statutory documents (from sites such as: Peraturan BPK, Peraturan.go.id, Paralegal, etc.), Books, and others (articles, expert's opinions, etc)
- Downloads last month
- 127