question
stringlengths 22
1.58k
| answer
stringlengths 2.46k
21.9k
| context
stringlengths 26
245k
|
---|---|---|
Apa pasal yang bisa menjerat pengurus yayasan filantropi yang menyalahgunakan dana donasi? Apakah penyelewengan atau penyalahgunaan dana donasi yayasan swasta itu bisa dikategorikan sebagai korupsi? Apakah masyarakat dapat melaporkan kasus tersebut kepada KPK? | ULASAN LENGKAP Bisakah Penyalahgunaan Dana Donasi Dijerat Pasal Tipikor? Untuk menjawab pertanyaan Anda mengenai apakah penyalahgunaan dana donasi yayasan swasta bisa dikategorikan sebagai korupsi, maka terlebih dahulu harus dipahami pengertian korupsi. Dalam perspektif yuridis normatif, pengertian tindak pidana korupsi mengacu pada U U 31/1999 sebagai berikut: Pasal 2 ayat (1) UU 31/1999 jo. Putusan MK No. 25/PUU-XIV/2016 (hal. 116) Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang merugikan keuangan negara atau perekonomian negara , dipidana penjara dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). Pasal 3 UU 31/1999 jo. Putusan MK No. 25/PUU-XIV/2016 (hal. 116) Setiap orang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang merugikan keuangan negara atau perekonomian negara , dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan atau denda paling sedikit Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). Berdasarkan rumusan kedua pasal tersebut, unsur merugikan keuangan negara atau perekonomian negara merupakan syarat mutlak serta bersifat imperatif dalam tindak pidana korupsi. Adapun, makna dari merugikan keuangan negara adalah sebagai berikut: Kerugian yang sudah dapat dihitung jumlahnya berdasarkan hasil temuan instansi yang berwenang atau akuntan publik yang ditunjuk; [1] Kekurangan uang, surat berharga, dan barang, yang nyata dan pasti jumlahnya sebagai akibat perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai. [2] Sementara itu, dana donasi yang Anda maksud dikelola oleh yayasan yang secara definisi berarti badan hukum yang terdiri atas kekayaan yang dipisahkan dan diperuntukkan untuk mencapai tujuan tertentu di bidang sosial, keagamaan, dan kemanusiaan, yang tidak mempunyai anggota. [3] Artinya, secara kelembagaan, pada dasarnya yayasan tidak berhubungan dengan keuangan negara. Oleh karena itu, suatu perbuatan dapat dikategorikan sebagai tindak pidana korupsi apabila perbuatan tersebut menimbulkan kerugian keuangan negara secara nyata dan dapat dihitung jumlahnya . Jika tidak berhubungan dengan keuangan negara atau tidak menimbulkan kerugian keuangan negara, maka tidak dapat dikategorikan sebagai suatu tindak pidana korupsi . Meski demikian, terdapat dua kemungkinan untuk menentukan penyalahgunaan dana donasi termasuk korupsi atau tidak, yaitu ada atau tidaknya hubungan kemitraan atau kerja sama dengan pemerintah atau penyelenggara negara dalam menjalankan kegiatan yayasan filantropi yang mengelola dana donasi tersebut . Apabila yayasan filantropi tersebut menjalin hubungan kerja sama dengan pemerintah atau penyelenggara negara berdasarkan suatu perjanjian dan dalam pelaksanaan perjanjian tersebut terdapat kerugian keuangan negara, maka berpotensi menjadi tindak pidana korupsi. Karena Anda tidak menjelaskan dalam pertanyaan, kami asumsikan bahwa yayasan filantropi yang Anda maksud adalah badan hukum swasta yang tidak terikat dengan perjanjian atau kemitraan dengan pemerintah, sehingga pelaku penyalahgunaan dana donasi tidak dapat dijerat pasal tindak pidana korupsi. Sehingga, tidak dapat dilaporkan ke KPK. Jerat Pasal Penyalahgunaan Dana Donasi oleh Pengurus Yayasan Filantropi Selanjutnya, merujuk pada penjelasan di atas, apabila penyalahgunaan dana donasi yayasan filantropi tersebut tidak berhubungan dengan kerugian keuangan negara, maka petinggi atau pengurus yayasan tersebut dapat dilaporkan ke kepolisian dengan menggunakan pasal penggelapan, penggelapan dalam jabatan, penipuan, dan/atau tindak pidana pencucian uang (“TPPU”). Tindak pidana penggelapan, penggelapan dalam jabatan, dan penipuan, diatur di dalam KUHP lama yang masih berlaku saat artikel ini diterbitkan dan UU 1/2023 tentang KUHP baru yang baru berlaku 3 tahun sejak tanggal diundangkan, [4] yaitu tahun 2026, sebagai berikut: KUHP UU 1/2023 Pasal 372 KUHP (Penggelapan) Barang siapa dengan sengaja dan melawan hukum memiliki barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang lain, tetapi yang ada dalam kekuasaannya bukan karena kejahatan diancam karena penggelapan, dengan pidana penjara paling lama 4 tahun atau pidana denda paling banyak Rp900 ribu. [5] Pasal 486 UU 1/2023 (Penggelapan) Setiap orang yang secara melawan hukum memiliki suatu barang yang sebagian atau seluruhnya milik orang lain, yang ada dalam kekuasaannya bukan karena tindak pidana, dipidana karena penggelapan, dengan pidana penjara paling lama 4 tahun atau pidana denda paling banyak kategori IV yaitu Rp200 juta. [6] Pasal 374 KUHP (Penggelapan dalam Jabatan) Penggelapan yang dilakukan oleh orang yang penguasaannya terhadap barang disebabkan karena adanya hubungan kerja atau karena pencarian atau karena mendapat upah untuk itu, diancam dengan pidana penjara paling lama 5 tahun. Pasal 488 UU 1/2023 (Penggelapan dalam Jabatan) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 486 dilakukan oleh orang yang penguasaannya terhadap barang tersebut karena ada hubungan kerja, karena profesinya, atau karena mendapat upah untuk penguasaan barang tersebut, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun atau pidana denda paling banyak kategori V yaitu Rp 500 juta. [7] Pasal 378 KUHP (Penipuan) Barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, dengan memakai nama palsu atau martabat palsu, dengan tipu muslihat, ataupun rangkaian kebohongan, menggerakkan orang lain untuk menyerahkan barang sesuatu kepadanya, atau supaya memberi hutang maupun menghapuskan piutang diancam karena penipuan dengan pidana penjara paling lama 4 tahun. Pasal 492 UU 1/2023 (Penipuan) Setiap orang yang dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum dengan memakai nama palsu atau kedudukan palsu, menggunakan tipu muslihat atau rangkaian kata bohong, menggerakkan orang supaya menyerahkan suatu barang, memberi utang, membuat pengakuan utang, atau menghapus piutang, dipidana karena penipuan, dengan pidana penjara paling lama 4 tahun atau pidana denda paling banyak kategori V yaitu Rp500 juta. [8] Selain ketentuan sebagaimana dijelaskan di atas, penyalahgunaan dana donasi yang dilakukan oleh pengurus yayasan filantropi juga dapat dijerat pasal TPPU, sebagai berikut: Pasal 3 UU TPPU Setiap Orang yang menempatkan, mentransfer, mengalihkan, membelanjakan, membayarkan, menghibahkan, menitipkan, membawa ke luar negeri, mengubah bentuk, menukarkan dengan mata uang atau surat berharga atau perbuatan lain atas Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dengan tujuan menyembunyikan atau menyamarkan asal usul Harta Kekayaan dipidana karena tindak pidana Pencucian Uang dengan pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah). Untuk menjerat pelaku dengan Pasal 3 UU TPPU, aparat penegak hukum akan menelusuri secara keseluruhan dugaan penyalahgunaan dana donasi tersebut dengan memperhatikan 3 tahapan TPPU, yaitu: [9] Placement (penempatan) Upaya menempatkan uang yang berasal dari tindak pidana ke dalam sistem keuangan atau lembaga yang terkait dengan keuangan. Tahap ini adalah tahap pertama dalam proses pemisahan harta kekayaan hasil kejahatan dari sumber kejahatannya. [10] Misalnya apakah dana donasi yang disalahgunakan pengurus yayasan tersebut dikonversi ke dalam sistem perbankan (pembelian cek, giro, deposito atau pembelian valas), sehingga seolah-olah asal-usul uang tersebut berasal dari hasil yang sah. Layering (pemisahan/pelapisan) Upaya memisahkan hasil tindak pidana dari sumbernya melalui beberapa tahap transaksi keuangan untuk menyembunyikan atau menyamarkan asal-usul dana. [11] Sebagai contoh, dana donasi yang disalahgunakan itu dipindahkan dari satu bank ke bank lain, hingga beberapa kali. Selain itu, dapat juga dana dipecah-pecah hingga jumlahnya tidak terdeteksi misalnya membeli barang-barang bernilai tinggi seperti rumah, mobil, atau berlian, bahkan mengubah bentuk mata uang. Integration (penggabungan) Upaya menggunakan hasil harta kekayaan hasil tindak pidana yang telah ditempatkan ( placement ) dan atau pelapisan ( layering ) nampak seolah-olah sebagai harta kekayaan yang sah, untuk kegiatan bisnis yang halal atau membiayai kembali kegiatan kejahatannya. [12] Umumnya pelaku mengadakan kegiatan-kegiatan resmi (pengalihan) dari hasil placement atau layering , sehingga seolah-olah harta yang didapatkan tidak ada hubungannya sama sekali antara dana yang dicucinya. Pada tahap ini, uang yang telah dicuci tersebut dimasukkan kembali ke dalam sirkulasi dengan bentuk yang sejalan dengan aturan hukum agar mendapatkan legitimate explanation . Kemudian, untuk dapat dilakukan penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap TPPU, pada dasarnya tidak wajib dibuktikan terlebih dahulu tindak pidana asalnya . Hal ini diatur di dalam Pasal 69 UU TPPU. Dengan demikian, pelaku penyalahgunaan dana donasi dapat langsung dilaporkan atas dasar Pasal 3 UU TPPU, meski belum dibuktikan tindak pidana asalnya (penipuan, penggelapan, atau penggelapan dalam jabatan). Perkaya riset hukum Anda dengan analisis hukum terbaru dwibahasa, serta koleksi terjemahan peraturan yang terintegrasi dalam Hukumonline Pro, pelajari lebih lanjut di sini . Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. Dasar Hukum : Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ; Undang-Undang Nomor Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi ; Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan ; Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi ; Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan ; Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan ; Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang ; Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ; Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2012 tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda dalam KUHP . Putusan : Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 25/PUU-XIV/2016 . Referensi: Tim Riset PPATK. Tipologi Pencucian Uang Berdasarkan Putusan Pengadilan Atas Perkara Tindak Pidana Pencucian Uang. Jakarta: Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan, 2018. [1] Penjelasan Pasal 32 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi [2] Pasal 1 angka 15 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan [3] Pasal 1 angka 1 Undang-Undang 16 Tahun 2001 tentang Yayasan [4] Pasal 624 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“UU 1/2023”) [5] Pasal 3 Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2012 tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda dalam KUHP , denda dikalikan 1.000 [6] Pasal 79 ayat (1) huruf d UU 1/2023 [7] Pasal 79 ayat (1) huruf e UU 1/2023 [8] Pasal 79 ayat (1) huruf e UU 1/2023 [9] Tim Riset PPATK. Tipologi Pencucian Uang Berdasarkan Putusan Pengadilan Atas Perkara Tindak Pidana Pencucian Uang. Jakarta: Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan, 2018, hal. 6 [10] Tim Riset PPATK. Tipologi Pencucian Uang Berdasarkan Putusan Pengadilan Atas Perkara Tindak Pidana Pencucian Uang. Jakarta: Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan, 2018, hal. 6 [11] Tim Riset PPATK. Tipologi Pencucian Uang Berdasarkan Putusan Pengadilan Atas Perkara Tindak Pidana Pencucian Uang. Jakarta: Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan, 2018, hal. 6 [12] Tim Riset PPATK. Tipologi Pencucian Uang Berdasarkan Putusan Pengadilan Atas Perkara Tindak Pidana Pencucian Uang. Jakarta: Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan, 2018, hal. 6 TAGS tppu tipikor yayasan | {1: 'Yang dimaksud dengan “secara nyata telah ada kerugian keuangan negara” adalah kerugian yang sudah dapat dihitung jumlahnya berdasarkan hasil temuan instansi yang berwenang atau akuntan publik yang ditunjuk. Ayat (2) Yang dimaksud dengan “putusan bebas” adalah putusan pengadilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 191 ayat (1) dan ayat (2) Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.', 2: '15. kerugian negara/daerah adalah kekurangan uang, surat berharga, dan barang, yang nyata dan pasti jumlahnya sebagai akibat perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai.', 3: 'pasal 1 dalam undang-undang ini yang dimaksud dengan: 1. yayasan adalah badan hukum yang terdiri atas kekayaan yang dipisahkan dan diperuntukkan untuk mencapai tujuan tertentu di bidang sosial, keagamaan, dan kemanusiaan, yang tidak mempunyai anggota. 2. pengadilan adalah pengadilan negeri yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan yayasan. 3. kejaksaan adalah kejaksaan negeri yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan yayasan. 4. akuntan publik adalah akuntan yang memiliki izin untuk menjalankan pekerjaan sebagai akuntan publik. 5. hari adalah hari kerja. 6. menteri adalah menteri kehakiman dan hak asasi manusia.', 4: 'Undang-Undang ini mulai berlaku setelah 3 (tiga) tahun terhitung sejak tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.', 5: 'Tiap jumlah maksimum hukuman denda yang diancamkan dalam KUHP kecuali pasal 303 ayat 1 dan ayat 2, 303 bis ayat 1 dan ayat 2, dilipatgandakan menjadi 1.000 (seribu) kall,', 6: "['(1) pidana denda paling banyak ditetapkan berdasarkan: a. kategori i, rp1.000.000,00 (satu juta rupiah); b. kategori ii, rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah); c. kategori iii, rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah); d. kategori iv, rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah); e. kategori v, rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah); f. kategori vi, rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah); g. kategori vii, rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah); dan h. kategori viii, rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah).']", 7: "['(1) pidana denda paling banyak ditetapkan berdasarkan: a. kategori i, rp1.000.000,00 (satu juta rupiah); b. kategori ii, rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah); c. kategori iii, rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah); d. kategori iv, rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah); e. kategori v, rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah); f. kategori vi, rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah); g. kategori vii, rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah); dan h. kategori viii, rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah).']", 8: '2.1.1 TAHAPAN PENCUCIAN UANG; 1. Penempatan (placement) Merupakan upaya menempatkan uang yang berasal dari tindak pidana ke dalam sistem keuangan (financial system) atau lembaga yang terkait dengan keuangan. Tahap penempatan merupakan tahap pertama dalam proses pemisahan harta kekayaan hasil kejahatan dari sumber kejahatannya. 2. Pemisahan/pelapisan (layering) Merupakan upaya memisahkan hasil tindak pidana dari sumbernya melalui beberapa tahap transaksi keuangan untuk menyembunyikan atau menyamarkan asal-usul dana. Dalam kegiatan ini terdapat proses pemindahan dana dari beberapa rekening atau lokasi tertentu ke tempat lain melalui serangkaian transaksi yang kompleks dan didesain untuk menyamarkan dan menghilangkan jejak sumber dana tersebut. 3. Penggabungan (integration) Merupakan upaya menggunakan harta kekayaan hasil tindak pidana yang telah ditempatkan (placement) dan atau dilakukan pelapisan (layering) yang nampak seolah-olah sebagai harta kekayaan yang sah, untuk kegiatan bisnis yang halal atau membiayai kembali kegiatan kejahatannya.'} |
Bagaimana ketentuan overmacht dalam hukum pidana? Lalu, apa yang dimaksud hukum pidana sebagai ultimum remedium? | ULASAN LENGKAP dari artikel dengan judul Tentang Overmacht dan Hukum Pidana sebagai Ultimum Remedium yang dibuat oleh Anandito Utomo, S.H. dan dipublikasikan pada 19 Agustus 2016. Artikel ini dibuat berdasarkan KUHP lama dan UU 1/2023 tentang KUHP yang diundangkan pada tanggal 2 Januari 2023. . Pengertian Overmacht Sebelum menjawab pertanyaan Anda tentang bagaimana ketentuan overmacht dalam hukum pidana, sebaiknya kita pahami terlebih dahulu pengertian overmacht . Alfitra dalam bukunya Hapusnya Hak Menuntut dan Menjalankan Pidana (hal.63) menjelaskan bahwa dalam Memorie van Toelichting (“WvT”), daya paksa (overmacht) dijelaskan sebagai setiap kekuatan, dorongan, dan paksaan yang tidak dapat dilawan. Frasa dorongan (gedrongen) merujuk pada tekanan psikis, sedangkan paksaan (dwang) merujuk pada tekanan fisik. Adapun, overmacht dapat menjadi dasar peniadaan pidana . Sedangkan menurut Fitri Wahyuni dalam bukunya Dasar-dasar Hukum Pidana di Indonesia (hal. 76), overmacht adalah daya paksa relatif (vis compulsive) seperti keadaan darurat . Dalam MvT, daya paksa dilukiskan sebagai kekuatan dan setiap daya paksa orang berada dalam dwangpositie (posisi terjepit) . Daya paksa ini merupakan daya paksa psikis yang berasal dari luar dari si pelaku dan daya paksa tersebut lebih kuat dari padanya. Ketentuan Overmacht dalam KUHP Kemudian, overmacht atau daya paksa diatur dalam Pasal 48 KUHP lama yang masih berlaku saat artikel ini diterbitkan, sebagai berikut: Barang siapa melakukan perbuatan karena pengaruh daya paksa, tidak dipidana. Sepanjang penelusuran kami, dalam KUHP tidak dijelaskan apa yang dimaksud dengan daya paksa . Namun, untuk mengetahui batasan ruang lingkup berlakunya overmacht , R. Sugandhi dalam bukunya yang berjudul Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Berikut Penjelasannya mengatakan bahwa kalimat “karena pengaruh daya paksa” harus diartikan, baik pengaruh daya paksaan batin, maupun lahir, rohani, maupun jasmani. Daya paksa yang tidak dapat dilawan adalah kekuatan yang lebih besar, yakni kekuasaan yang pada umumnya tidak mungkin dapat ditentang . Mengenai kekuasaan ini dapat dibedakan dalam 3 macam, yaitu: Kekuasaan yang Bersifat Mutlak Kekuasaan yang bersifat mutlak berarti orang itu tidak dapat berbuat lain . Ia mengalami sesuatu yang sama sekali tidak dapat dielakkan. Misalnya, seseorang yang dipegang kemudian dilemparkan orang yang lebih kuat ke jendela kaca sehingga kacanya pecah dan mengakibatkan kejahatan merusak barang orang lain. Dalam peristiwa ini orang yang tenaganya lemah itu tidak dapat dihukum karena yang melakukan ialah orang yang lebih kuat. [1] Kekuasaan yang Bersifat Relatif Kekuasaan atau kekuatan yang memaksa orang itu tidak mutlak, tidak penuh. Orang yang dipaksa itu masih punya kesempatan untuk memilih mana yang akan dilakukan . Perbedaan kekuasaan yang bersifat mutlak dan yang bersifat relatif ialah bahwa pada yang mutlak, dalam segala sesuatunya orang yang memaksa itu sendirilah yang berbuat semaunya. Sedangkan pada yang relatif, orang yang dipaksa itulah yang melakukan karena dalam paksaan kekuatan. [2] Misalnya A ditodong dengan pistol oleh B, disuruh membakar rumah. Apabila A tidak segera membakar rumah itu, maka pistol yang ditodongkan kepadanya tersebut akan ditembakkan. Dalam pikiran, memang mungkin A menolak perintah itu sehingga ia ditembak mati. Akan tetapi apabila ia menuruti perintah itu, ia akan melakukan tindak pidana kejahatan. Walaupun demikian, ia tidak dapat dihukum karena adanya paksaan tersebut. [3] Kekuasaan yang Merupakan suatu Keadaan Darurat Pada keadaan darurat, orang yang terpaksa itu sendirilah yang memilih peristiwa pidana mana yang akan ia lakukan . Bedanya dengan kekuasaan yang bersifat relatif, orang itu tidak memilih, sebab orang yang mengambil prakarsa ialah orang yang memaksa. [4] Contohnya, terjadi kecelakaan kapal yaitu kapal meledak dengan mendadak, sehingga penumpangnya masing-masing harus menolong dirinya sendiri. Seorang penumpang beruntung dapat mengapung dengan sebuah papan kayu yang hanya dapat menampung seorang saja. Kemudian datang penumpang lain yang juga ingin menyelamatkan dirinya. Padanya tiada sebuah alat pun yang dapat dipakai untuk menyelamatkan diri. Ia lalu meraih papan kayu yang telah dipakai untuk mengapung oleh orang yang terdahulu dari dia. Orang yang terdahulu itu lalu mendorong orang tersebut hingga tenggelam dan mati. Karena dalam keadaan darurat, maka orang itu tidak dapat dihukum. Penjelasan selengkapnya dapat Anda baca dalam artikel Daya Paksa dan Pembelaan Terpaksa sebagai Alasan Penghapus Pidana . Overmacht = Alasan Pemaaf atau Alasan Pembenar? Kemudian, menurut Fitri Wahyuni , tidak ada kesatuan pendapat di antara para ahli hukum pidana untuk menggolongkan daya paksa apakah sebagai alasan pembenar ataukah alasan pemaaf . Adapun beberapa postulat terkait daya paksa tersebut adalah: [5] Quod alias non fuit licitum necessitas licitum facit . Artinya keadaan terpaksa memperbolehkan apa yang tadinya dilarang oleh hukum. In casu extremae necessitates omnia sunt communia . Artinya keadaan terpaksa, tindakan yang diambil dipandang perlu. Necessitas quod cogit defendit . Artinya keadaan terpaksa melindungi apa yang harus diperbuat. Necessitas sub lege non non continetur, quia quod alias non est licitum necessitas facit licitum . Artinya keadaan terpaksa tidak ditahan oleh hukum, perbuatan yang dilarang oleh hukum, namun dilakukan dalam keadaaan terpaksa maka perbuatan tersebut dianggap sah. Sebagaimana kami sampaikan, penyebab seseorang tidak dapat dipidana dikelompokan menjadi dua yaitu dasar pemaaf (schulduitsluitings-gronderi) dan dasar pembenar (rechtvaardingingsgronderi) . Dalam hal ini, Alfitra menggolongkan overmacht sebagai alasan pembenar dalam hukum pidana (hal. 54). Alasan pemaaf bersifat subjektif dan melekat pada diri orang tersebut, dan ditentukan berdasarkan sikap batin orang tersebut pada saat sebelum atau akan melakukan suatu tindak pidana. Berikut yang dapat dikategorikan sebagai alasan pemaaf: [6] tidak mampu bertanggung jawab, misalnya ketika pelaku memiliki kondisi kejiwaan yang abnormal; pembelaan terpaksa yang melampaui batas; menjalankan perintah jabatan yang tidak sah namun dengan iktikad baik. Sedangkan alasan pembenar merupakan sifat objektif yang berasal dari faktor eksternal atau diluar suasana batin seseorang. Berikut yang termasuk alasan pembenar: [7] daya paksa ; pembelaan terpaksa; menjalankan perintah undang-undang; menjalankan perintah jabatan yang sah. Berbeda dengan pendapat sebelumnya, Moeljatno dan Van Hattum memandang daya memaksa itu sebagai alasan pemaaf . Van Hattum mengatakan bahwa perbuatan yang terpaksa dilakukan karena keadaan, patut dimaafkan. Demikian halnya dengan seorang sopir taksi yang takut kehilangan nyawanya, karena ditodong oleh orang yang berpistol di belakangnya, melanggar undang-undang (mengendarai mobil dengan kecepatan yang melebihi batas maksimal). Perbuatan sopir itu melawan hukum, tetapi patut untuk dimaafkan karena padanya tidak dapat diharapkan untuk mempertaruhkan nyawanya. [8] Sehingga, pada intinya, di antara para penulis tidak ada kesatuan pendapat apakah daya memaksa dalam Pasal 48 KUHP itu adalah alasan pembenar atau alasan pemaaf. [9] Ketentuan Overmacht dalam UU 1/2023 Selanjutnya, dalam UU 1/2023 tentang KUHP baru yang berlaku 3 tahun sejak tanggal diundangkan, [10] yaitu 2026, overmacht diatur dalam Pasal 42 , sebagai berikut: Setiap Orang yang melakukan Tindak Pidana tidak dipidana karena: dipaksa oleh kekuatan yang tidak dapat ditahan; atau dipaksa oleh adanya ancaman, tekanan, atau kekuatan yang tidak dapat dihindari Lebih lanjut, menurut Penjelasan Pasal 42 UU 1/2023 , ketentuan ini berkenaan dengan daya paksa yang dibagi menjadi paksaan mutlak dan paksaan relatif . Yang dimaksud dengan "dipaksa oleh kekuatan yang tidak dapat ditahan" atau paksaan mutlak adalah keadaan yang menyebabkan pelaku tidak mempunyai pilihan lain, kecuali melakukan perbuatan tersebut. Karena keadaan yang ada pada diri pelaku maka tidak mungkin baginya untuk menolak atau memilih ketika melakukan perbuatan tersebut. [11] Sedangkan "dipaksa oleh adanya ancaman, tekanan, atau kekuatan yang tidak dapat dihindari" atau paksaan relatif adalah: [12] ancaman, tekanan, atau kekuatan tersebut menurut akal sehat tidak dapat diharapkan bahwa ia dapat mengadakan perlawanan; dan apabila kepentingan yang dikorbankan seimbang atau sedikit lebih daripada kepentingan yang diselamatkan. Tekanan kejiwaan dari luar merupakan syarat utama . Mungkin pula seseorang mengalami tekanan kejiwaan, tetapi bukan karena sesuatu yang datang dari luar, melainkan karena keberatan yang didasarkan kepada pertimbangan pikirannya sendiri. Hal yang demikian tidak merupakan alasan pemaaf yang dapat menghapuskan pidananya. [13] Dengan demikian, dapat kami simpulkan bahwa overmacht adalah hal yang datangnya dari luar, mempengaruhi seseorang yang mengalaminya sehingga orang tersebut tidak memiliki opsi lain untuk membela dirinya. Keberadaan daya paksa menjadi penting karena dapat menentukan dan menjadi dasar peniadaan hukuman pidana. Pengertian Ultimum Remedium Menjawab pertanyaan Anda tentang apa yang dimaksud hukum pidana sebagai ultimum remedium , Sudikno Mertokusumo dalam bukunya Penemuan Hukum: Sebuah Pengantar (hal. 128) mengartikan ultimum remedium adalah sebagai alat terakhir . Selain itu, ada pendapat yang mengatakan bahwa ultimum remedium tidak hanya suatu istilah, tetapi juga merupakan suatu asas hukum . Sebagai contoh, Yasonna Laoly dalam berita berjudul Perlu Penegasan Norma Ultimum Remedium Soal Pengenaan Sanksi di Aturan Turunan UU Cipta Kerja (hal. 1) menerangkan ultimum remedium merupakan asas hukum yang biasa dipakai dan diartikan sebagai penerapan sanksi pidana menjadi sanksi pamungkas (terakhir) dalam penegakan hukum. Ultimum remedium juga dapat diartikan sebagai upaya terakhir penegakan hukum, apabila segala upaya seperti perdamaian telah ditempuh. Artinya perkara diutamakan untuk diselesaikan melalui jalur kekeluargaan terlebih dahulu. [14] Dengan demikian, ultimum remedium adalah salah satu asas dalam hukum pidana Indonesia yang mengatakan bahwa hukum pidana hendaklah dijadikan upaya terakhir penegakan hukum. Asas ultimum remedium bermakna apabila suatu perkara dapat diselesaikan melalui jalur lain (kekeluargaan, negosiasi, mediasi, perdata, atau hukum administrasi) hendaklah jalur lain tersebut terlebih dahulu dilakukan. : Arti Ultimum Remedium sebagai Sanksi Pamungkas Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. Dasar Hukum : Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ; Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana . Referensi : Alfitra. Hapusnya Hak Menuntut dan Menjalankan Pidana . Jakarta Timur: Penerbit Raih Asa Sukses, 2014; Fitri Wahyuni. Dasar-dasar Hukum Pidana di Indonesia . Tangerang Selatan: PT Nusantara Persada Utama, 2017. Sudikno Mertokusumo. Penemuan Hukum: Sebuah Pengantar . Yogyakarta: Liberty, 2006; Sudaryono dan Natangsa Surbakti. Hukum Pidana: Dasar-dasar Hukum Pidana berdasarkan KUHP dan RUU KUHP . Surakarta: Muhammadiyah University Press, 2017, hal. 245; R. Sugandhi. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Berikut Penjelasannya . Surabaya: Usaha Nasional, 1980; Mas Putra Zenno Januarsyah. Penerapan Prinsip Ultimum Remedium dalam Tindak Pidana Korupsi. Jurnal Yudisial, Vol. 10, No. 3, 2017 [1] R. Sugandhi. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Berikut Penjelasannya . Surabaya: Usaha Nasional, 1980, hal. 54-55 [2] R. Sugandhi. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Berikut Penjelasannya . Surabaya: Usaha Nasional, 1980, hal. 55 [3] R. Sugandhi. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Berikut Penjelasannya . Surabaya: Usaha Nasional, 1980, hal. 55 [4] R. Sugandhi. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Berikut Penjelasannya . Surabaya: Usaha Nasional, 1980, hal. 55 [5] Fitri Wahyuni. Dasar-dasar Hukum Pidana di Indonesia . Tangerang Selatan: PT Nusantara Persada Utama, 2017, hal. 83 [6] Alfitra. Hapusnya Hak Menuntut dan Menjalankan Pidana . Jakarta Timur: Penerbit Raih Asa Sukses, 2014, hal. 54 [7] Alfitra. Hapusnya Hak Menuntut dan Menjalankan Pidana . Jakarta Timur: Penerbit Raih Asa Sukses, 2014, hal. 54 [8] Sudaryono dan Natangsa Surbakti. Hukum Pidana: Dasar-dasar Hukum Pidana berdasarkan KUHP dan RUU KUHP . Surakarta: Muhammadiyah University Press, 2017, hal. 245 [9] Sudaryono dan Natangsa Surbakti. Hukum Pidana: Dasar-dasar Hukum Pidana berdasarkan KUHP dan RUU KUHP . Surakarta: Muhammadiyah University Press, 2017, hal. 245 [10] Pasal 624 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“UU 1/2023”) [11] Penjelasan Pasal 42 huruf a UU 1/2023 [12] Penjelasan Pasal 42 huruf b UU 1/2023 [13] Penjelasan Pasal 42 huruf b UU 1/2023 [14] Mas Putra Zenno Januarsyah. Penerapan Prinsip Ultimum Remedium dalam Tindak Pidana Korupsi. Jurnal Yudisial, Vol. 10, No. 3, 2017, hal. 257 TAGS overmacht ultimum remedium | {9: 'Dalam peristiwa ini orang yang tenaganya lemah itu tidak dapat dihukum karena yang melakukan ialah orang yang lebih kuat.', 10: 'R. Sugandhi, *Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Berikut Penjelasannya*, Usaha Nasional, Surabaya, 1980, hlm. 55:** Buku ini membahas Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Dalam konteks pembahasan *overmacht*, Sugandhi menjelaskan bahwa frasa "karena pengaruh daya paksa" mencakup paksaan lahir dan batin, jasmani dan rohani. Daya paksa yang tak tertahankan adalah kekuatan yang jauh lebih besar, umumnya tak mungkin ditentang. Ia membedakan tiga jenis kekuasaan paksa: mutlak (tak ada pilihan lain), relatif (masih ada pilihan, namun tertekan), dan keadaan darurat (orang yang tertekan sendiri yang memilih tindakan).', 11: 'Adapun beberapa postulat terkait daya paksa tersebut adalah:', 12: 'Berikut yang dapat dikategorikan sebagai alasan pemaaf:', 13: 'Sudaryono dan Natangsa Surbakti, *Hukum Pidana: Dasar-dasar Hukum Pidana berdasarkan KUHP dan RUU KUHP*, Muhammadiyah University Press, Surakarta, 2017, hlm. 245:** Buku ini membahas hukum pidana, khususnya terkait KUHP dan RUU KUHP. Bagian yang relevan menjelaskan bahwa tekanan kejiwaan dari luar merupakan syarat utama untuk pembenar *overmacht*. Tekanan kejiwaan internal, berdasarkan pertimbangan pribadi, bukan alasan pemaaf yang menghapuskan pidana. Oleh karena itu, *overmacht* harus berasal dari faktor eksternal yang memaksa seseorang tanpa pilihan lain.', 4: 'Undang-Undang ini mulai berlaku setelah 3 (tiga) tahun terhitung sejak tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.', 14: 'Yang dimaksud dengan dipaksa oleh kekuatan yang tidak dapat ditahan atau paksaan mutlak adalah keadaan yang menyebabkan pelaku tidak mempunyai pilihan lain, kecuali melakukan perbuatan tersebut. Karena keadaan yang ada pada diri pelaku maka tidak mungkin baginya untuk menolak atau memilih ketika melakukan perbuatan tersebut.', 15: 'Yang dimaksud dengan dipaksa oleh adanya ancaman, tekanan, atau kekuatan yang tidak dapat dihindari atau paksaan relatif adalah: 1. ancaman, tekanan, atau kekuatan tersebut menurut akal sehat tidak dapat diharapkan bahwa ia dapat mengadakan perlawanan; dan 2. apabila kepentingan yang dikorbankan seimbang atau sedikit lebih daripada kepentingan yang diselamatkan. Tekanan kejiwaan dari luar merupakan syarat utama. Mungkin pula seseorang mengalami tekanan kejiwaan, tetapi bukan karena sesuatu yang datang dari luar, melainkan karena keberatan yang didasarkan kepada pertimbangan pikirannya sendiri. Hal yang demikian tidak merupakan alasan pemaaf yang dapat menghapuskan pidananya.', 16: 'Artikel ini membahas penerapan prinsip *ultimum remedium* dalam konteks tindak pidana, khususnya penggelapan. Penulis, Mas Putra Zenno Januarsyah, dalam jurnalnya yang diterbitkan tahun 2017, menganalisis prinsip *ultimum remedium* dalam konteks tindak pidana korupsi. Meskipun fokusnya berbeda (korupsi bukan penggelapan), prinsipnya—bahwa tuntutan pidana merupakan jalan terakhir setelah upaya damai ditempuh— relevan dengan kasus penggelapan dalam konteks keluarga. Artikel tersebut mungkin menjelaskan secara detail bagaimana prinsip ini diterapkan dalam sistem peradilan, memberikan contoh kasus, dan menjelaskan implikasinya pada proses penegakan hukum. Meskipun fokus utamanya bukan penggelapan keluarga, prinsip *ultimum remedium* yang dibahas dapat diterapkan pada konteks tersebut.'} |
Saya ingin menanyakan bila laki-laki dan perempuan berpacaran kemudian dengan alasan suka sama suka mereka melakukan hubungan suami istri sejak keduanya berumur 17 tahun dan 20 tahun, meskipun perempuan tidak hamil, apakah bisa melaporkan si laki laki ke kantor polisi? Apa hukum laki-laki yang tidak mau bertanggung jawab? Dan apakah ada waktu maksimal atau daluwarsa dalam kasus ini? Jika perempuannya melaporkan ketika ia telah berusia 27 tahun, masih bisakah diproses? | ULASAN LENGKAP kedua dari artikel dengan judul Daluarsa Jeratan Pidana untuk Pacar yang Tidak Mau Bertanggung Jawab yang dibuat oleh Tri Jata Ayu Pramesti, S.H. dan pertama kali dipublikasikan pada 3 Juli 2014, kemudian dimutakhirkan pertama kali pada 22 Februari 2018. . Pasal Persetubuhan Anak di Bawah 18 Tahun Sebelumnya, kami mengasumsikan bahwa sepasang kekasih yang Anda maksud tersebut adalah perempuan berusia 17 tahun dan laki-laki berusia 20 tahun yang telah melakukan persetubuhan dan keduanya belum terikat perkawinan. Menurut R. Soesilo , sebagaimana dikutip A. A. Risma Purnama Dewi, dkk dalam jurnal berjudul Tindak Pidana Persetubuhan Terhadap Anak di Bawah Umur , persetubuhan dikatakan terjadi ketika ada persatuan antara kelamin laki-laki dengan kelamin perempuan sampai mengeluarkan air mani. Persetubuhan dapat dikatakan sebagai hubungan intim yang dilakukan untuk mendapatkan keturunan (hal. 12). Lantas, bisakah menuntut pacar yang tidak mau bertanggung jawab? Disarikan dari artikel Hukumnya Jika Pacar Tak Mau Bertanggung Jawab Menikahi , apabila kedua orang yang melakukan perbuatan hubungan badan layaknya suami-istri tersebut adalah orang dewasa dengan kesadaran penuh, maka tidak dapat dilakukan penuntutan pidana terhadap laki–laki yang tersebut. Namun, lain halnya apabila salah satu dari pasangan kekasih tersebut masih dalam usia yang tergolong anak, maka pihak yang dewasa dapat dijerat dengan UU Perlindungan Anak dan perubahannya. Adapun, yang dimaksud dengan “anak” menurut Pasal 1 angka 1 UU 35/2014 adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun , termasuk anak yang masih dalam kandungan. Hal ini sebagaimana diatur di dalam Pasal 76D UU 35/2014 yang berbunyi: Setiap Orang dilarang melakukan Kekerasan atau ancaman Kekerasan memaksa Anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain. Terhadap pelaku persetubuhan anak diancam sanksi pidana berdasarkan Pasal 81 ayat (1) dan (2) Perppu 1/2016 yang berbunyi : Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76D dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah). Ketentuan pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku pula bagi setiap Orang yang dengan sengaja melakukan tipu muslihat , serangkaian kebohongan, atau membujuk Anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain. Dengan demikian, kami berpendapat bahwa hukum laki-laki yang tidak mau bertanggung jawab jika telah menyetubuhi pacar yang masih berada di bawah 18 tahun adalah pidana penjara paling singkat 5 tahun dan paling lama 15 tahun dan denda paling banyak Rp5 miliar. Walaupun dalam kasus tersebut Anda menyebutkan persetubuhan dilakukan atas dasar suka sama suka, tetapi dalam Pasal 81 ayat (2) Perppu 1/2016 terdapat frasa “membujuk anak melakukan persetubuhan dengannya” yang tidak membenarkan perilaku pria berusia 20 tahun menyetubuhi anak di bawah 18 tahun. Maka dari itu, pria tersebut dapat dituntut berdasarkan Pasal 81 ayat (2) Perppu 1/2016 jo. Pasal 76D UU 35/2014 . Daluwarsa Penuntutan Pidana Untuk mengetahui daluwarsa masa penuntutan kasus yang Anda alami, kita dapat mengacu aturan dalam Pasal 78 KUHP lama yang masih berlaku pada saat artikel ini diterbitkan sebagai berikut: Kewenangan menuntut pidana hapus karena daluwarsa: terhadap semua pelanggaran dan kejahatan yang dilakukan dengan percetakan, sesudah 1 tahun; terhadap kejahatan yang diancam dengan pidana denda, pidana kurungan, atau pidana penjara paling lama 3 tahun , sesudah 6 tahun ; terhadap kejahatan yang diancam dengan pidana penjara lebih dari 3 tahun , sesudah 12 tahun ; terhadap kejahatan yang diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, sesudah 18 tahun . Bagi orang yang pada saat melakukan perbuatan umurnya belum 18 tahun, masing-masing tenggang daluwarsa di atas dikurangi menjadi 1/3. Selanjutnya, aturan daluwarsa dalam Pasal 136 ayat (1) UU 1/2023 yang berlaku 3 tahun sejak tanggal diundangkan, [1] yaitu 2026, adalah sebagai berikut: Kewenangan penuntutan dinyatakan gugur karena kedaluwarsa apabila: setelah melampaui waktu 3 tahun untuk tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara paling lama 1 tahun dan/atau hanya denda paling banyak kategori III yaitu Rp50 juta; [2] setelah melampaui waktu 6 tahun untuk tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara di atas 1 tahun dan paling lama 3 tahun ; setelah melampaui waktu 12 tahun untuk tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara di atas 3 tahun dan paling lama 7 tahun ; setelah melampaui waktu 18 tahun untuk tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara di atas 7 tahun dan paling lama 15 tahun ; dan setelah melampaui waktu 20 tahun untuk tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara paling lama 20 tahun, pidana penjara seumur hidup, atau pidana mati . Dalam hal tindak pidana dilakukan oleh anak, tenggang waktu gugurnya kewenangan untuk menuntut karena kedaluwarsa sebagaimana dimaksud di atas dikurangi menjadi 1/3. Oleh karena pasal yang menjerat pelaku persetubuhan anak sebagaimana dimaksud Pasal 81 ayat (1) dan (2) Perppu 1/2016 diancam dengan pidana penjara paling singkat 5 tahun dan paling lama 15 tahun, maka daluwarsa penuntutan terhadap laki-laki tersebut adalah 12 tahun menurut KUHP lama. Sedangkan menurut UU 1/2023 , masa daluwarsanya yaitu setelah 18 tahun. Dengan demikian, apabila perempuan tersebut ingin melaporkan laki-laki itu setelah berusia 27 tahun atau 10 tahun setelah peristiwa itu terjadi, maka penuntutan terhadap sang laki-laki masih dapat dilakukan. Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. Dasar Hukum: Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ; Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak ; Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak ; Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak ; Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Menjadi Undang-Undang ; Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana . Referensi: A. A. Risma Purnama Dewi, dkk. Tindak Pidana Persetubuhan Terhadap Anak di Bawah Umur . Jurnal Analogi Hukum, Vol. 1 No. 1, 2019. [1] Pasal 624 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“UU 1/2023”) [2] Pasal 79 ayat (1) huruf c UU 1/2023 TAGS zina persetubuhan anak daluwarsa pacaran pidana | {4: 'Undang-Undang ini mulai berlaku setelah 3 (tiga) tahun terhitung sejak tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.', 25: "['(1) pidana denda paling banyak ditetapkan berdasarkan: a. kategori i, rp1.000.000,00 (satu juta rupiah); b. kategori ii, rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah); c. kategori iii, rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah); d. kategori iv, rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah); e. kategori v, rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah); f. kategori vi, rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah); g. kategori vii, rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah); dan h. kategori viii, rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah).']"} |
Saya seorang pria yang sudah beristri. Sayangnya, pernikahan kami tidak tercatat di KUA atau dengan kata lain nikah siri. Suatu ketika, saya memergoki istri saya sedang berselingkuh hingga melakukan hubungan badan. Apakah saya bisa mempidanakan mereka? Mohon bantu jawab pertanyaan saya. | ULASAN LENGKAP Artikel ini dibuat berdasarkan KUHP lama dan UU 1/2023 tentang KUHP yang diundangkan pada tanggal 2 Januari 2023. Seluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata – mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihat Pernyataan Penyangkalan selengkapnya). . Nikah Siri Sebelumnya, perlu diketahui terlebih dahulu arti dari perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. [1] Berdasarkan Pasal 2 UU Perkawinan , perkawinan yang sah adalah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya. Selain itu, tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Hal ini selaras dengan ketentuan Pasal 5 ayat (1) KHI yang mengatur bahwa agar terjaminnya ketertiban perkawinan bagi masyarakat Islam, setiap perkawinan harus dicatat. Kemudian, Anda menyebutkan bahwa pernikahan Anda tidak tercatat di kantor urusan agama (“KUA”). Oleh karena itu, kami mengasumsikan bahwa pernikahan Anda adalah nikah siri yang hanya sah menurut tata cara agama Islam. Namun, istilah nikah siri sebenarnya tidak dikenal dalam hukum positif di Indonesia. Jika merujuk pada Kamus Besar Bahasa Indonesia , yang dimaksud dengan nikah siri adalah pernikahan yang hanya disaksikan oleh seorang modin dan saksi, tidak melalui KUA, menurut agama Islam sudah sah . Dari pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa nikah siri merupakan pernikahan yang sah dan memenuhi ketentuan rukun nikah menurut agama Islam, namun tidak dicatatkan ke KUA. Meski sah secara agama, namun nikah siri tidak dianggap sah di mata hukum. Dengan demikian, dalam kasus Anda, pernikahan siri Anda dengan istri Anda hanya sah secara agama, namun tidak dianggap sah secara hukum. Tindak Pidana Perzinaan Dalam menjawab pertanyaan Anda, harus dijelaskan terlebih dahulu mengenai aturan tentang tindak pidana perzinaan sebagaimana diatur dalam Pasal 284 ayat (1) KUHP lama yang masih berlaku pada saat artikel ini diterbitkan, atau Pasal 411 ayat (1) UU 1/2023 tentang KUHP baru yang berlaku terhitung 3 tahun sejak tanggal diundangkan, [2] yakni pada tahun 2026, yang berbunyi: Pasal 284 ayat (1) KUHP Pasal 411 ayat (1) UU 1/2023 Diancam dengan pidana penjara paling lama 9 bulan: Seorang pria yang telah kawin melakukan gendak ( overspel ), padahal diketahui bahwa Pasal 27 BW berlaku baginya. Seorang wanita yang telah kawin yang melakukan gendak , padahal diketahui bahwa Pasal 27 BW berlaku baginya. Seorang pria yang turut serta melakukan perbuatan itu, padahal diketahuinya bahwa yang turut bersalah telah kawin. Seorang wanita yang telah kawin yang turut serta melakukan perbuatan itu, padahal diketahui olehnya bahwa yang turut bersalah telah kawin dan Pasal 27 BW berlaku baginya. Setiap orang yang melakukan persetubuhan dengan orang yang bukan suami atau istrinya , dipidana karena perzinaan, dengan pidana penjara paling lama 1 tahun atau pidana denda paling banyak kategori II, yaitu sebesar Rp10 juta. [3] Terkait Pasal 284 ayat (1) KUHP, R. Soesilo dalam bukunya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal (hal. 209) menggunakan istilah “ zina ” untuk menerangkan gendak. Adapun yang dimaksud dengan zina adalah persetubuhan yang dilakukan oleh laki-laki atau perempuan yang telah kawin dengan perempuan atau laki-laki yang bukan istri atau suaminya. Supaya masuk pasal ini, maka persetubuhan itu harus dilakukan dengan suka sama suka, tidak boleh ada paksaan dari salah satu pihak. Selanjutnya dalam pasal tersebut, disebutkan mengenai Pasal 27 KUH Perdata , yang berbunyi: Pada waktu yang sama, seorang lelaki hanya boleh terikat perkawinan dengan satu orang perempuan saja dan seorang perempuan hanya dengan satu orang lelaki saja. : Bunyi Pasal 284 KUHP tentang Perzinaan Terkait dengan perkawinan, sebagaimana asas lex specialis derogat legi generali , maka kita harus merujuk pada UU Perkawinan sebagai peraturan yang lebih khusus mengatur mengenai perkawinan yang mengesampingkan peraturan yang lebih umum yaitu KUH Perdata. Maka dalam hal ini perkawinan yang dimaksud pada Pasal 27 KUH Perdata adalah perkawinan yang sah menurut UU Perkawinan dan perubahannya . Selain itu, jika ditelusuri mengenai arti perkawinan dalam KUHP baru, Penjelasan Pasal 402 UU 1/2023 menegaskan bahwa yang dimaksud dengan perkawinan adalah perkawinan antara laki-laki dan perempuan berdasarkan undang-undang mengenai perkawinan . Merujuk pada penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa pada kasus Anda, seorang istri siri yang selingkuh tidak dapat dipidana . Hal ini karena pernikahan yang Anda dan istri siri Anda laksanakan tidak sah di mata hukum, dan hanya sah di mata agama saja. Oleh karena itu, Anda sebagai suami siri tidak dapat melaporkan istri siri Anda atas dasar perzinaan. Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. Dasar Hukum: Kitab Undang-Undang Hukum Perdata ; Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ; Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan ; Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan ; Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ; Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam . Referensi: R. Soesilo. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal . Bogor: Politeia, 1991; Nikah siri , yang diakses pada 13 Agustus 2024, pukul 15.16 WIB. [1] Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan [2] Pasal 624 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“UU 1/2023”) [3] Pasal 79 ayat 1 huruf b UU 1/2023 TAGS nikah siri perzinaan zina | {26: 'pasal 1 perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan ketuhanan yang mahaesa.', 4: 'Undang-Undang ini mulai berlaku setelah 3 (tiga) tahun terhitung sejak tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.', 27: "['(1) pidana denda paling banyak ditetapkan berdasarkan: a. kategori i, rp1.000.000,00 (satu juta rupiah); b. kategori ii, rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah); c. kategori iii, rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah); d. kategori iv, rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah); e. kategori v, rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah); f. kategori vi, rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah); g. kategori vii, rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah); dan h. kategori viii, rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah).']"} |
Belum lama, kasus penganiayaan ketum parpol kepada selebgram diduga terjadi. Menurut berita yang beredar, jika penganiayaan terbukti, pelaku bisa dijerat Pasal 351 ayat (1) KUHP atas dasar penganiayaan biasa atau Pasal 352 ayat (1) KUHP atas dasar penganiayaan ringan. Kemudian, viral video seleb TikTok yang diduga terlibat KDRT. Adapun pelaku KDRT bisa dipidana berdasarkan Pasal 44 ayat (1) UU PKDRT.
Setahu saya, baik Pasal 351 ayat (1) dan Pasal 352 ayat (1) KUHP, serta Pasal 44 ayat (1) UU PKDRT mengatur pidana penjara dan denda. Pertanyaan saya, kemanakah uang pidana denda dibayarkan? Dalam arti lain, kemanakah uang denda itu nanti akan diberikan oleh terdakwa? Apakah korban yang dirugikan mendapatkan uang dari denda tersebut? | ULASAN LENGKAP dari artikel dengan judul sama yang dibuat oleh Mutiara Nora Peace Hasibuan, S.H. dan pertama kali dipublikasikan pada 15 Februari 2023. Artikel ini dibuat berdasarkan KUHP lama dan UU 1/2023 tentang KUHP yang diundangkan pada tanggal 2 Januari 2023. . Apa itu Pidana Denda? Dalam menjawab pertanyaan Anda, kami berasumsi bahwa yang Anda tanyakan berkaitan dengan pihak yang berwenang menerima uang dari pidana denda. Lantas, apa itu pidana denda? Pidana denda adalah sejumlah uang yang wajib dibayarkan terpidana berdasarkan putusan pengadilan. [1] Pidana denda merupakan satu dari pidana pokok dalam stelsel pidana Indonesia, yang diancamkan dan terutama ditujukan terhadap harta kekayaan atau harta benda dari seseorang pelaku karena melanggar ketentuan undang-undang hukum pidana yang berlaku, [2] dengan membayar sejumlah uang atau harta kekayaan tertentu agar dirasakan sebagai suatu kerugian oleh pembuatnya sendiri sehingga ketertiban di masyarakat itu pulih kembali. [3] Selain itu, arti lain dari pidana denda adalah hukuman berupa kewajiban bagi seseorang yang telah melanggar larangan dalam rangka mengembalikan keseimbangan hukum atau menebus kesalahan dengan pembayaran sejumlah uang tertentu. [4] Selanjutnya, Muladi dan Barda Nawawi Arief berpendapat, dalam sistem KUHP lama yang pada saat artikel ini diterbitkan masih berlaku, pidana denda dipandang sebagai jenis pidana pokok yang paling ringan . Pertama , hal ini dapat dilihat dari kedudukan berurut-urutan pidana pokok dalam Pasal 10 KUHP . Kedua , pada umumnya pidana denda penjara atau kurungan. Sedikit sekali tindak pidana yang hanya diancam dengan pidana denda. Ketiga , jumlah ancaman pidana denda di dalam KUHP pada umumnya relatif ringan. [5] Selain itu, pidana denda diancamkan atau dijatuhkan terhadap delik-delik ringan, berupa pelanggaran atau kejahatan ringan. Oleh karena itu, pidana denda merupakan satu-satunya pidana yang dapat dipikul oleh orang lain selain terpidana. Jadi, tidak ada larangan jika denda secara sukarela dibayar oleh orang lain atas nama terpidana, walaupun denda dijatuhkan terhadap terpidana pribadi. [6] Selain diatur dalam ketentuan Pasal 10 KUHP lama, pidana denda juga diatur dalam Pasal 65 UU 1/2023 tentang KUHP baru yang berlaku 3 tahun setelah diundangkan, [7] yaitu pada tahun 2026. Contoh Pidana Denda dalam KUHP dan UU 1/2023 Berkaitan dengan kasus penganiayaan ketum parpol kepada selebgram yang diduga terjadi, jika terbukti terjadi penganiayaan biasa , maka pelaku berpotensi dijerat pasal berikut: Pasal 351 ayat (1) KUHP Pasal 466 ayat (1) UU 1/2023 Penganiayaan diancam dengan pidana penjara paling lama 2 tahun 8 bulan atau pidana denda paling banyak Rp4,5 juta . [8] Setiap orang yang melakukan penganiayaan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 tahun 6 bulan atau pidana denda paling banyak kategori III, yaitu Rp50 juta . [9] Namun, jika yang terjadi adalah penganiayaan ringan , maka pelaku berpotensi dipidana dengan pasal berikut: Pasal 352 ayat (1) KUHP Pasal 471 ayat (1) UU 1/2023 Kecuali yang tersebut dalam pasal 353 dan 356, maka penganiayaan yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau pencarian, diancam, sebagai penganiayaan ringan , dengan pidana penjara paling lama 3 bulan atau pidana denda paling banyak Rp4,5 juta . [10] Pidana dapat ditambah sepertiga bagi orang yang melakukan kejahatan itu terhadap orang yang bekerja padanya, atau menjadi bawahannya. Selain penganiayaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 467 dan Pasal 470, penganiayaan yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan profesi jabatan atau mata pencaharian, dipidana karena penganiayaan ringan , dengan pidana penjara paling lama 6 bulan atau pidana denda paling banyak kategori II, yaitu Rp10 juta . [11] : Perbedaan Pasal Penganiayaan Ringan dan Penganiayaan Berat Terkait dengan pidana denda dalam KUHP, Mahkamah Agung telah memberikan penyesuaian atas jumlah besarnya pidana denda dalam KUHP yang dimuat di dalam ketentuan Pasal 3 Perma 2/2012 yaitu jumlah maksimum hukuman denda yang diancamkan dalam KUHP kecuali Pasal 303 ayat 1 dan ayat 2, 303 bis ayat 1 dan ayat 2, dikalikan 1.000. Sedangkan dalam KUHP baru sudah diatur secara terperinci dalam Pasal 79 UU 1/2023 . Contoh Pidana Denda di Luar KUHP dan UU 1/2023 Selain diatur di dalam KUHP dan UU 1/2023, pidana denda juga diatur di dalam peraturan perundang-undangan yang memuat pidana denda. Terhadap pidana denda yang diatur di luar KUHP dan UU 1/2023 , maka ketentuan jumlah pidana dendanya sesuai dengan ketentuan dalam undang-undang yang bersangkutan . Sebagai contoh, terhadap kasus seleb TikTok yang diduga terlibat KDRT, kita dapat merujuk pada UU PKDRT . Pada dasarnya, setiap orang dilarang melakukan kekerasan dalam rumah tangga terhadap orang dalam lingkup rumah tangganya, salah satunya dengan cara kekerasan fisik . [12] Adapun orang yang melakukan perbuatan kekerasan fisik dalam lingkup rumah tangga dapat dipidana penjara paling lama 5 tahun atau denda paling banyak Rp15 juta , sebagaimana diatur dalam Pasal 44 ayat (1) UU PKDRT . Kemanakah Uang Pidana Denda Dibayarkan? Menjawab pertanyaan mengenai pidana denda diberikan kepada siapa, dapat kami sampaikan bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 42 KUHP , secara tegas menyatakan bahwa segala biaya untuk pidana penjara dan pidana kurungan dipikul oleh negara, dan segala pendapatan dari pidana denda dan perampasan menjadi milik negara . Hal ini juga ditegaskan dalam PP 37/2024 yang memuat ketentuan jenis penerimaan negara bukan pajak yang berlaku pada kejaksaan RI, salah satunya meliputi penerimaan pembayaran denda tindak pidana . [13] Berdasarkan Penjelasan Pasal 1 ayat (1) huruf c PP 37/2024 , yang dimaksud dengan denda tindak pidana adalah pidana pokok yang harus dibayar oleh terpidana dengan jumlah dan dalam jangka waktu yang ditentukan serta ditetapkan dalam putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap atas penanganan perkara tindak pidana umum, penanganan perkara tindak pidana khusus, dan penangan perkara koneksitas. Seluruh penerimaan negara bukan pajak yang berlaku pada kejaksaan RI (termasuk denda tindak pidana) wajib disetor ke kas negara . [14] Dengan demikian, menjawab pertanyaan Anda pidana denda masuk kemana yaitu ke kas negara dan tidak diberikan kepada korban . Perkaya riset hukum Anda dengan analisis hukum terbaru dwibahasa, serta koleksi terjemahan peraturan yang terintegrasi dalam Hukumonline Pro, pelajari lebih lanjut di sini . Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. Dasar Hukum : Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ; Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga ; Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ; Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 2024 tentang Jenis dan Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berlaku pada Kejaksaan Republik Indonesia ; Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2012 tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda dalam KUHP . Referensi : Aisah. Eksistensi Pidana Denda Menurut Sistem KUHP. Lex Crimen, Vol. 4, No. 1, 2015; Fernando I. Kansil. Sanksi Pidana dalam Sistem Pemidanaan Menurut KUHP dan di Luar KUHP. Lex Crimen, Vol. 3, No. 3, 2014 I.A. Budivaja dan Y. Bandrio, Eksistensi Pidana Denda di dalam Penerapannya, Jurnal Hukum, Vol. 19, No. 19, 2010; Muladi dan Barda Nawawi Arief. Teori-Teori dan Kebijakan Pidana. Edisi Revisi. Bandung: Alumni, 1992. [1] Pasal 78 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“UU 1/2023”) [2] I.A. Budivaja dan Y. Bandrio, Eksistensi Pidana Denda di dalam Penerapannya, Jurnal Hukum, Vol. 19, No. 19 2010, hal. 78. [3] Aisah. Eksistensi Pidana Denda Menurut Sistem KUHP. Lex Crimen, Vol. 4, No. 1, 2015, hal. 215 [4] Aisah. Eksistensi Pidana Denda Menurut Sistem KUHP. Lex Crimen, Vol. 4, No. 1, 2015, hal. 216 [5] Muladi dan Barda Nawawi Arief. Teori-Teori dan Kebijakan Pidana. Edisi Revisi. Bandung: Alumni, 1992, hal. 177-178 [6] Fernando I. Kansil. Sanksi Pidana dalam Sistem Pemidanaan Menurut KUHP dan di Luar KUHP. Lex Crimen, Vol. 3, No. 3, 2014, hal. 29 [7] Pasal 624 UU 1/2023 [8] Pasal 3 Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2012 tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda dalam KUHP (“Perma 2/2012”), denda dikali 1.000 kali [9] Pasal 79 ayat (1) huruf c UU 1/2023 [10] Pasal 3 Perma 2/2012, denda dikali 1.000 kali [11] Pasal 79 ayat (1) huruf b UU 1/2023 [12] Pasal 5 huruf a Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga [13] Pasal 1 ayat (1) huruf c Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 2024 tentang Jenis dan Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berlaku Pada Kejaksaan Republik Indonesia (“PP 37/2024”) [14] Pasal 2 PP 37/2024 TAGS kuhp pidana denda | {28: "['(1) pidana denda merupakan sejumlah uang yang wajib dibayar oleh terpidana berdasarkan putusan pengadilan.']", 29: '[1] Pidana denda merupakan satu dari pidana pokok dalam stelsel pidana Indonesia, yang diancamkan dan terutama ditujukan terhadap harta kekayaan atau harta benda dari seseorang pelaku karena melanggar ketentuan undang-undang hukum pidana yang berlaku,', 30: '[1] Pidana denda merupakan satu dari pidana pokok dalam stelsel pidana Indonesia, yang diancamkan dan terutama ditujukan terhadap harta kekayaan atau harta benda dari seseorang pelaku karena melanggar ketentuan undang-undang hukum pidana yang berlaku,[2] dengan membayar sejumlah uang atau harta kekayaan tertentu agar dirasakan sebagai suatu kerugian oleh pembuatnya sendiri sehingga ketertiban di masyarakat itu pulih kembali.', 31: 'Dalam artikel ilmiahnya yang berjudul "Eksistensi Pidana Denda Menurut Sistem KUHP" yang diterbitkan di jurnal Lex Crimen, Volume 4, Nomor 1 tahun 2015, halaman 216, Aisah membahas eksistensi pidana denda dalam sistem KUHP. Penulis menganalisis kedudukan dan peran pidana denda sebagai salah satu pidana pokok, mengurai karakteristiknya, serta membandingkannya dengan pidana lain seperti pidana penjara. Analisis Aisah kemungkinan mencakup perkembangan hukum pidana di Indonesia terkait pidana denda, mencakup aspek yuridis dan implementasinya dalam praktik peradilan. Artikel ini mungkin juga membahas pandangan dan pendapat para ahli hukum pidana mengenai pidana denda.', 32: 'jumlah ancaman pidana denda di dalam KUHP pada umumnya relatif ringan.', 33: 'Jadi, tidak ada larangan jika denda secara sukarela dibayar oleh orang lain atas nama terpidana, walaupun denda dijatuhkan terhadap terpidana pribadi.', 34: 'Undang-Undang ini mulai berlaku setelah 3 (tiga) tahun terhitung sejak tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.', 35: 'Tiap jumlah maksimum hukuman denda yang diancamkan dalam KUHP kecuali pasal 303 ayat 1 dan ayat 2, 303 bis ayat 1 dan ayat 2, dilipatgandakan menjadi 1.000 (seribu) kall,', 25: "['(1) pidana denda paling banyak ditetapkan berdasarkan: a. kategori i, rp1.000.000,00 (satu juta rupiah); b. kategori ii, rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah); c. kategori iii, rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah); d. kategori iv, rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah); e. kategori v, rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah); f. kategori vi, rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah); g. kategori vii, rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah); dan h. kategori viii, rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah).']", 36: 'Tiap jumlah maksimum hukuman denda yang diancamkan dalam KUHP kecuali pasal 303 ayat 1 dan ayat 2, 303 bis ayat 1 dan ayat 2, dilipatgandakan menjadi 1.000 (seribu) kall,', 37: "['(1) pidana denda paling banyak ditetapkan berdasarkan: a. kategori i, rp1.000.000,00 (satu juta rupiah); b. kategori ii, rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah); c. kategori iii, rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah); d. kategori iv, rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah); e. kategori v, rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah); f. kategori vi, rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah); g. kategori vii, rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah); dan h. kategori viii, rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah).']", 38: 'pasal 5 setiap orang dilarang melakukan kekerasan dalam rumah tangga terhadap orang dalam lingkup rumah tangganya, dengan cara : a. kekerasan fisik; b. kekerasan psikis; c. kekerasan seksual; atau d. penelantaran rumah tangga.', 39: '(i) Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang berlaku pada Kejaksaan Republik Indonesia meliputi penerimaan dari: a. pembayaran uang pengganti tindak pidana korupsi; biaya perkara tindak pidana; denda tindak pidana; d. pembayaran denda tindak pidana pelanggaran lalu lintas dan angkutan jalan; e. pembayaran denda tindak pidana pelanggaran peraturan daerah; f. uang rampasan negara; g. hasil penjualan barang rElmpasan negara; h. hasil penjualan benda sita eksekusi; i. hasil penjualan barang bukti yang tida} diambil oleh yang berhak; j. hasil penjualan barang temuan; k. uang temuan; l. hasil pengembalian kerugian keuangan negara; m, hasil pemulihan kerugian keuangan negara dan/ atau perekonomian negara; n. hasil kerja sama di bidang hukum; o. sisa uang titipan pembayaran denda yang tidak diambil oleh pelanggar; p. pembayaran denda dan biaya perkara pelanggaran lalu lintas dan angkutan jalan yang sudah diterbitkan penghapusan piutang; q. denda damai; dan r. hasil penjualan benda sita eksekusi yang belum dilelang sampai dengan terpidana meninggal dunia namun piutang uang pengganti telah dihapus dari neraca laporan keuangan.', 40: 'Seluruh Penerimaan Negara Bukan Pajak yang berlaku pada Kejaksaan Republik Indonesia wajib disetor ke Kas Negara.'} |
Dalam kasus BLBI, dikabarkan bahwa debitur dan obligor yang tidak membayar utang ke pemerintah dapat dijerat pasal korupsi. Apakah benar logika hukum seperti ini? Bukankah harusnya utang-piutang tetap masuk dalam ranah perdata dan bukan pidana? | ULASAN LENGKAP Seluk Beluk Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) Sebelum menjawab pertanyaan Anda, kami akan menjelaskan terlebih dahulu mengenai Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (“BLBI”) dan penyelesaian piutang yang timbul dari BLBI. BLBI adalah fasilitas bantuan dana yang diberikan oleh Bank Indonesia yang digunakan untuk menjaga kestabilan sistem pembayaran dan sektor perbankan agar tidak terganggu karena ketidakseimbangan ( mismatch ) antara penerimaan dan penarikan dana pada bank-bank, baik jangka pendek maupun jangka panjang. [1] Pemberian BLBI dilakukan oleh pemerintah terhadap korporasi atau perseorangan pada saat terjadi krisis sektor keuangan tahun 1997. [2] Sehingga, dasar hukum pelaksanaan BLBI saat itu adalah Pasal 32 ayat (3) UU 13/1968 yang berbunyi: Bank dapat pula memberikan kredit likuiditas kepada bank-bank untuk mengatasi kesulitan likuiditas dalam keadaan darurat . Akan tetapi, UU 13/1968 saat ini sudah tidak berlaku karena telah dicabut oleh UU 23/1999 tentang Bank Indonesia. Dikarenakan BLBI masuk ke dalam piutang negara [3] dengan selisih tagihan piutang menurut pemerintah dengan jumlah kewajiban yang diakui oleh debitur mencapai lebih dari Rp100 miliar, maka penyelesaian piutang negara tunduk pada ketentuan Pasal 36 ayat (2) huruf c UU Perbendaharaan Negara yang menyatakan bahwa penyelesaian piutang yang menyangkut piutang negara ditetapkan oleh presiden, setelah mendapat pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat, jika bagian piutang negara yang tidak disepakati lebih dari Rp100 miliar. Presiden kemudian membentuk Badan Penyehatan Perbankan Nasional (“BPPN”) melalui Keppres 27/1998 dan dinyatakan berakhir tugasnya pada 27 Februari 2004. [4] BPPN mengambil alih hak tagih ( cessie ) terhadap bank penerima BLBI dari Bank Indonesia (“BI”). Seluruh utang BLBI dijadikan satu kemudian dilakukan novasi (pembaharuan utang). Utang lama antara BI dengan bank telah hapus dan menjadi utang baru antara bank dengan BPPN. [5] BPPN saat itu melaksanakan laporan pemeriksaan hukum ( due diligence ) yang dilakukan atas aspek hukum dan keuangan dari bank yang berada di bawah pengelolaan BPPN. Atas hasil laporan due diligence yang telah dilakukan, BPPN membentuk kerangka kerja yang digunakan untuk memaksimalkan pengembalian dana negara berupa BLBI yang telah tersalurkan kepada bank, yaitu Program Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham (“PKPS”). [6] Program PKPS tersebut bertujuan untuk menyelesaikan perkara di luar pengadilan ( out of court settlement ). Salah satu bentuk penyelesaiannya adalah dengan mengadakan perjanjian Master Settlement and Acquisition Agreement (“MSAA”) atau Master Refinancing and Note Issuance Agreement (“MRNIA”) serta Akta Pengakuan Utang (“APU”) dengan para mantan pemegang saham bank (obligor) yang berada di bawah kendali BPPN. [7] Penyelesaian perkara BLBI dalam prosesnya menemui banyak permasalahan, seperti penggunaan klausul release and discharge dalam MSAA, MRNIA, dan APU yang diinterpretasikan sebagai dasar hukum bagi pemberian kebebasan terhadap pemegang saham bank-bank yang bermasalah (obligor) yang telah melanggar ketentuan Batas Maksimum Pemberian Kredit (“BMPK”). [8] Klausula release and discharge memberi BPPN diskresi yang begitu luas, termasuk untuk membebaskan pemegang saham, bank, debitur, direktur, dan komisaris dari tanggung jawab perdata ( civil liability ), dan dalam tingkatan tertentu tanggung jawab pidana ( criminal liability ). [9] Sementara itu, klausul release and discharge tidak diatur dalam pranata hukum di Indonesia. Menurut Jusuf L. Indradewa , di Indonesia yang dikenal dan biasa digunakan adalah pemberian acquit et decharge dalam rangka pelepasan dan pembebasan tanggung jawab direksi dan dewan komisaris perseroan terbatas yang selalu diikuti penegasan, bila kemudian ternyata telah terjadi tindak pidana selama masa jabatannya, maka akan dilakukan penuntutan sesuai dengan ketentuan produk hukum pidana. [10] Selanjutnya, tujuan dari pemberian klausul release and discharge adalah sebagai penyelesaian utang BLBI dan pelanggaran BMPK dengan pembebasan dari semua tuntutan hukum, termasuk aspek pidananya . Klausula release and discharge ini juga ditindaklanjuti oleh pemerintah dengan mengeluarkan Inpres 8/2002 melalui kerangka MSAA, MRNIA, dan APU. Debitur dan Obligor BLBI Tidak Bayar Piutang Negara, Pasti Dipidana? Penggunaan MSAA dan MRNIA merupakan keputusan pemerintah yang didasarkan oleh pertimbangan tertentu, namun baik MSAA dan MRNIA sebenarnya tidak memiliki dasar hukum. Meski demikian, baik MSAA maupun MRNIA merupakan perjanjian yang tunduk pada ketentuan hukum perdata, yaitu Pasal 1338 KUH Perdata yang menegaskan bahwa seluruh perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi yang membuatnya ( pacta sunt servanda ). Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa pemerintah memiliki hubungan hukum yang bersifat kontraktual dengan obligor, dimana pemerintah mempunyai kedudukan sejajar dengan obligor tanpa memandang kedudukan di luar kontrak. Pada perkara utang-piutang yang lahir dari perjanjian, pihak yang tidak mampu untuk memenuhi suatu prestasi atau kewajiban pada prinsipnya tidak dapat dijatuhi pidana. Hal ini sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 19 ayat (2) UU HAM yang menyatakan bahwa tidak seorangpun boleh dipidana penjara atau kurungan karena alasan tidak mampu memenuhi kewajiban dalam perjanjian utang piutang. Namun, tidak serta merta pihak yang terlibat dalam suatu perjanjian utang-piutang tersebut bebas dari pertanggungjawaban pidana. Untuk itu, harus dilihat syarat-syarat sah dalam perjanjian yang termuat dalam Pasal 1320 KUH Perdata , yakni: sepakat mereka yang mengikatkan dirinya; kecakapan untuk membuat suatu perikatan; suatu sebab-sebab tertentu; dan suatu sebab yang halal. Pada syarat perjanjian yang pertama, yaitu adanya kesepakatan antar kedua belah pihak, merujuk Pasal 1321 KUH Perdata , kesepakatan tersebut haruslah bebas dari paksaan ( dwang ), kekhilafan ( dwaling ), maupun penipuan ( bedrog ). Apabila terdapat salah satu atau lebih kondisi yang disebutkan di atas, maka mengakibatkan perjanjian menjadi batal demi hukum. Selain itu, pihak yang bersangkutan dapat dituntut secara pidana ketika terdapat unsur penipuan yang dilakukan salah satu pihak dalam perjanjian. : Bunyi dan Unsur Pasal 378 KUHP tentang Penipuan Selanjutnya, mengenai permasalahan penjatuhan pidana korupsi atas perkara penyelesaian sengketa BLBI, dapat kami sampaikan bahwa pengusutan terhadap dugaan tindak pidana korupsi tentu dapat saja dilakukan apabila ditemukan adanya penyelewengan atau penyalahgunaan dana BLBI oleh para obligor untuk kepentingan pribadi yang menyebabkan kerugian keuangan negara , sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) UU 31/1999 jo. Putusan MK No. 25/PUU-XIV/2016 . : Jenis-Jenis Korupsi dan Hukumnya di Indonesia Namun demikian, pengusutan perkara pidana ini tidak menghapuskan kewajiban obligor yang terdapat dalam MSAA dan MRNIA , dikarenakan terdapat perbedaan hubungan hukum antara pemerintah dengan obligor pada aspek perdata dan pidana. Hubungan hukum antara pemerintah dengan obligor pada aspek pidana tidak didasarkan pada perjanjian MSAA dan MRNIA, namun terjadi atas perbuatan hukum debitur yang melanggar hukum pidana. Ketentuan release and discharge yang terdapat pada MSAA dan MRNIA tidak dapat membebaskan obligor dari pertanggungjawaban pidana, apabila terdapat niat jahat ( mens rea ) yang dibarengi dengan perbuatan pidana ( actus reus ) dengan menyimpangi MSAA dan MRNIA untuk menyalahgunakan dana BLBI. Namun demikian, apabila tidak terdapat kecurangan ataupun penyimpangan yang dilakukan oleh obligor, maka sejatinya obligor dapat dibebaskan dari pertanggungjawaban pidana. Berdasarkan analisis dan uraian di atas, menjawab pertanyaan Anda, dapat kami sampaikan bahwa tidak serta-merta debitur maupun obligor yang tidak dapat melunasi utang dalam perkara BLBI dapat terbebas dari tindak pidana korupsi. Debitur maupun obligor dapat dimintai pertanggungjawaban pidana apabila terdapat perbuatan dari debitur maupun obligor yang dikualifikasikan sebagai tindak pidana korupsi. Apabila dalam prosesnya tidak ditemukan adanya perbuatan pidana yang dilakukan oleh debitur maupun obligor, maka baik debitur maupun obligor tidak dapat dikenakan pertanggungjawaban secara pidana. Perkaya riset hukum Anda dengan analisis hukum terbaru dwibahasa, serta koleksi terjemahan peraturan yang terintegrasi dalam Hukumonline Pro, pelajari lebih lanjut di sini . Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. Dasar Hukum: Kitab Undang-Undang Hukum Perdata ; Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia ; Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia ; Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi ; Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi ; Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara ; Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia ; Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009 Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia Menjadi Undang-Undang ; Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan ; Keputusan Presiden Nomor 27 Tahun 1998 tentang Pembentukan Badan Penyehatan Perbankan Nasional ; Instruksi Presiden Nomor 8 Tahun 2002 tentang Pemberian Jaminan Kepastian Hukum Kepada Debitur yang Telah Menyelesaikan Kewajibannya atau Tindakan Hukum Kepada Debitur yang Tidak Menyelesaikan Kewajibannya Berdasarkan Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham ; Keputusan Presiden Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pengakhiran Tugas dan Pembubaran Badan Penyehatan Perbankan Nasional ; Keputusan Presiden Nomor 6 Tahun 2021 tentang Satuan Tugas Penanganan Hak Tagih Negara Dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia ; Keputusan Presiden Nomor 16 Tahun 2021 tentang Perubahan atas Keputusan Presiden Nomor 6 Tahun 2021 tentang Satuan Tugas Penanganan Hak Tagih Negara Dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia ; Keputusan Presiden Nomor 30 Tahun 2023 tentang Perubahan Kedua atas Keputusan Presiden Nomor 6 Tahun 2021 tentang Satuan Tugas Penanganan Hak Tagih Negara Dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia . Putusan: Putusan Mahkamah Konstitus Nomor 25/PUU-XIV/2016 . Referensi : Ari Wahyudi Hertanto. Master Settlement and Acquisition Agreement (MSAA) dan Master Refinancing and Note Issuance Agreement (MRNIA) Dalam Perspektif Hukum Perdata . Jurnal Hukum dan Pembangunan; Devi Andani. Release and Discharge sebagai Bentuk Tanggung Jawab Pribadi Pemegang Saham Utang BLBI. Lex Renaissance No. 1 Vol. 3 Januari 2018; Erna Herlinda. Release and Discharge dalam Perspektif Hukum Keuangan Publik . Laporan Penelitian, FH USU, 2004; Soehandjono & Associates. Studi Hukum Bantuan Likuiditas Bank Indonesia dan BLBI Suatu Tinjauan dan Penilaian Aspek Ekonom, Keuangan dan Hukum . Jakarta: Bank Indonesia, 2002. [1] Soehandjono & Associates. Studi Hukum Bantuan Likuiditas Bank Indonesia dan BLBI Suatu Tinjauan dan Penilaian Aspek Ekonom, Keuangan dan Hukum . Jakarta: Bank Indonesia, 2002, hal. 9 [2] Konsiderans Menimbang Keputusan Presiden Nomor 6 Tahun 2021 tentang Satuan Tugas Penanganan Hak Tagih Negara Dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia [3] Lihat Pasal 1 Keputusan Presiden Nomor 16 Tahun 2021 tentang Perubahan atas Keputusan Presiden Nomor 6 Tahun 2021 tentang Satuan Tugas Penanganan Hak Tagih Negara Dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia [4] Pasal 1 angka 1 Keputusan Presiden Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pengakhiran Tugas dan Pembubaran Badan Penyehatan Perbankan Nasional [5] Devi Andani. Release and Discharge sebagai Bentuk Tanggung Jawab Pribadi Pemegang Saham Utang BLBI. Lex Renaissance No. 1 Vol. 3 Januari 2018, hal. 5 [6] Ari Wahyudi Hertanto. Master Settlement and Acquisition Agreement (MSAA) dan Master Refinancing and Note Issuance Agreement (MRNIA) Dalam Perspektif Hukum Perdata . Jurnal Hukum dan Pembangunan, 2005, hal. 434 [7] Ari Wahyudi Hertanto. Master Settlement and Acquisition Agreement (MSAA) dan Master Refinancing and Note Issuance Agreement (MRNIA) Dalam Perspektif Hukum Perdata . Jurnal Hukum dan Pembangunan, 2005, hal. 434 – 435 [8] Ari Wahyudi Hertanto. Master Settlement and Acquisition Agreement (MSAA) dan Master Refinancing and Note Issuance Agreement (MRNIA) Dalam Perspektif Hukum Perdata . Jurnal Hukum dan Pembangunan, 2005, hal. 435 – 436 [9] Ari Wahyudi Hertanto. Master Settlement and Acquisition Agreement (MSAA) dan Master Refinancing and Note Issuance Agreement (MRNIA) Dalam Perspektif Hukum Perdata . Jurnal Hukum dan Pembangunan, 2005, hal. 444 [10] Erna Herlinda. Release and Discharge dalam Perspektif Hukum Keuangan Publik . Laporan Penelitian, FH USU, 2004, hal. 3 TAGS debitur likuidasi bank indonesia | {41: 'BLBI adalah fasilitas bantuan dana yang diberikan oleh Bank Indonesia yang digunakan untuk menjaga kestabilan sistem pembayaran dan sektor perbankan agar tidak terganggu karena ketidakseimbangan (mismatch) antara penerimaan dan penarikan dana pada bank-bank, baik jangka pendek maupun jangka panjang.', 42: 'bahwa pada saat terjadi krisis sektor keuangan tahun 1997, Pemerintah telah memberikan Bantuan Likuiditas Bank lndonesia terhadap korporasi atau perseorangan yang kemudian pelaksanaan pemulihannya dilakukan oleh Badan Penyehatan Perbankan Nasional yang dibentuk berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 27 Tahun 1998 tentang Pembentukan Badan Penyehatan Perbankan Nasional', 43: 'Dalam rangka penanganan dan pemulihan hak negara berupa hak tagih negara atas sisa piutang negara dari pengelolaan eks Badan Penyehatan Perbankan Nasional dan Bank Dalam Likuidasi termasuk Bantuan Likuiditas Bank Indonesia maupun aset properti, dibentuk Satuan Tugas Penanganan Hak Tagih Negara Dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia yang selanjutnya disebut Satgas Penanganan Hak Tagih Negara Dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia.', 44: 'Badan Penyehatan Perbankan Nasional atau BPPN yang dibentuk berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 27 Tahun 1998 dan yang selanjutnya ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 1999 tentang Badan Penyehatan Perbankan Nasional sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2001, terhitung mulai tanggal 27 Pebruari 2004 dinyatakan berakhir tugasnya.', 45: 'Utang lama antara BI dengan bank telah hapus dan menjadi utang baru antara bank dengan BPPN.', 46: 'Atas hasil laporan due diligence yang telah dilakukan, BPPN membentuk kerangka kerja yang digunakan untuk memaksimalkan pengembalian dana negara berupa BLBI yang telah tersalurkan kepada bank, yaitu Program Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham (“PKPS”).', 47: 'Salah satu bentuk penyelesaiannya adalah dengan mengadakan perjanjian Master Settlement and Acquisition Agreement (“MSAA”) atau Master Refinancing and Note Issuance Agreement (“MRNIA”) serta Akta Pengakuan Utang (“APU”) dengan para mantan pemegang saham bank (obligor) yang berada di bawah kendali BPPN.', 48: 'Ari Wahyudi Hertanto dalam jurnal Hukum dan Pembangunan tahun 2005, halaman 435-436, membahas *Master Settlement and Acquisition Agreement* (MSAA) dan *Master Refinancing and Note Issuance Agreement* (MRNIA) dari perspektif hukum perdata. Artikel ini kemungkinan mengkaji landasan hukum perdata dari kedua perjanjian tersebut dalam konteks penyelesaian utang BLBI, menganalisis ketentuan Pasal 1338 KUH Perdata (pacta sunt servanda) dan implikasinya terhadap hubungan hukum antara pemerintah dan obligor. Penulis mungkin juga membahas kelebihan dan kekurangan MSAA dan MRNIA sebagai mekanisme penyelesaian utang serta implikasi hukumnya bagi para pihak yang terlibat.', 49: '[8] Klausula release and discharge memberi BPPN diskresi yang begitu luas, termasuk untuk membebaskan pemegang saham, bank, debitur, direktur, dan komisaris dari tanggung jawab perdata (civil liability), dan dalam tingkatan tertentu tanggung jawab pidana (criminal liability).', 50: 'Indradewa, di Indonesia yang dikenal dan biasa digunakan adalah pemberian acquit et decharge dalam rangka pelepasan dan pembebasan tanggung jawab direksi dan dewan komisaris perseroan terbatas yang selalu diikuti penegasan, bila kemudian ternyata telah terjadi tindak pidana selama masa jabatannya, maka akan dilakukan penuntutan sesuai dengan ketentuan produk hukum pidana.'} |
Belakangan ini, netizen digemparkan dengan kasus asusila guru terhadap murid. Pertama, video guru di Gorontalo yang viral karena berhubungan seks dengan siswinya. Kedua, guru ngaji di Tangsel yang lecehkan 8 muridnya. Ketiga, guru BK di Pekalongan diduga lecehkan muridnya juga, dan masih banyak lagi kasus guru melecehkan siswa. Saya mau bertanya, apa sanksi hukum yang dapat dikenakan terhadap guru yang lecehkan muridnya? | ULASAN LENGKAP Artikel ini dibuat berdasarkan KUHP lama dan UU 1/2023 tentang KUHP yang diundangkan pada tanggal 2 Januari 2023. Seluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata – mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihat Pernyataan Penyangkalan selengkapnya). . Tindak Pidana Kekerasan Seksual Terhadap Anak Tindakan bersetubuh, asusila, dan pelecehan yang terjadi antara guru dan muridnya termasuk pada ranah tindak pidana kekerasan seksual . Berdasarkan Pasal 1 angka 1 UU TPKS , yang dimaksud dengan tindak pidana kekerasan seksual adalah segala perbuatan yang memenuhi unsur tindak pidana sebagaimana diatur dalam undang-undang ini dan perbuatan seksual lainnya sebagaimana diatur dalam undang-undang sepanjang ditentukan dalam undang-undang ini. Adapun yang dimaksud dengan korban adalah orang yang mengalami penderitaan fisik, mental, kerugian ekonomi, dan/atau kerugian sosial yang diakibatkan tindak pidana kekerasan seksual. [1] Sedangkan, anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. [2] Tindak pidana kekerasan seksual sendiri berdasarkan ketentuan Pasal 4 ayat (1) UU TPKS terdiri atas: pelecehan seksual nonfisik; pelecehan seksual fisik ; pemaksaan kontrasepsi; pemaksaan sterilisasi; pemaksaan perkawinan; penyiksaan seksual; eksploitasi seksual; perbudakan seksual; dan Kekerasan seksual berbasis elektronik Selain jenis tindak pidana kekerasan seksual yang diatur dalam ketentuan Pasal 4 ayat (1) UU TPKS, terdapat juga tindak pidana kekerasan seksual lainnya. Contohnya persetubuhan terhadap anak , perbuatan cabul terhadap anak , dan/atau eksploitasi seksual terhadap anak . [3] Tindakan persetubuhan dengan anak dikenal juga sebagai istilah statutory rape . Artinya, walaupun tindakan kekerasan seksual yang dilakukan orang dewasa tidak menggunakan kekerasan atau memaksa, secara hukum tindakan-tindakan tersebut masuk dalam kategori tindak pidana pemerkosaan terhadap anak. [4] : Jerat Pidana Pasal Pelecehan Seksual dan Pembuktiannya Lantas, apa sanksi hukum yang dapat dikenakan terhadap guru yang lecehkan muridnya? Jerat Pidana Pelecehan Seksual dalam UU TPKS Berdasarkan Pasal 6 huruf c UU TPKS , setiap orang yang menyalahgunakan kedudukan , wewenang , kepercayaan, atau perbawa yang timbul dari tipu muslihat atau hubungan keadaan atau memanfaatkan kerentanan, ketidaksetaraan atau ketergantungan seseorang, memaksa atau dengan penyesatan menggerakkan orang itu untuk melakukan atau membiarkan dilakukan persetubuhan atau perbuatan cabul dengannya atau dengan orang lain, dipidana penjara maksimal 12 tahun dan/atau pidana denda maksimal Rp300 juta . Lalu, pidana yang dikenakan terhadap oknum guru ditambah 1/3 karena: [5] pelecehan seksual fisik dilakukan oleh pendidik atau tenaga kependidikan, atau tenaga profesional lain yang mendapatkan mandat untuk melakukan penanganan, pelindungan, dan pemulihan; dan pelecehan seksual fisik dilakukan terhadap anak. : Jenis-jenis Kekerasan Seksual Menurut Pasal 4 UU TPKS Jerat Pidana Pelecehan Seksual dalam KUHP dan UU 1/2023 Berdasarkan KUHP lama yang masih berlaku pada saat artikel ini diterbitkan, tidak mengatur secara spesifik mengenai persetubuhan dengan anak ( statutory rape ), melainkan hanya mengatur tentang tindak pidana perkosaan secara umum dalam Pasal 285 , dan perkosaan terhadap wanita tidak berdaya dalam Pasal 286 . Akan tetapi, dalam UU 1/2023 tentang KUHP baru yang mulai berlaku 3 tahun terhitung sejak tanggal diundangkan, [6] yaitu pada tahun 2026, mengatur secara spesifik persetubuhan dengan anak. Hal ini dapat ditemukan pada Pasal 473 ayat (1) jo. ayat (2) huruf b UU 1/2023 , yaitu termasuk tindak pidana perkosaan dan dipidana penjara maksimal 12 tahun meliputi perbuatan persetubuhan dengan anak . Selengkapnya mengenai tindak pidana perkosaan terhadap anak dalam UU 1/2023, dapat Anda baca di artikel Bunyi Pasal 285 KUHP tentang Perkosaan . Jerat Pidana Pelecehan Seksual dalam UU Perlindungan Anak Selain itu, terdapat juga sanksi pidana yang termuat dalam UU Perlindungan Anak dan perubahannya. Berdasarkan Pasal 76D UU 35/2014 , setiap orang dilarang melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain. Adapun orang yang melanggar tersebut dipidana penjara minimal 5 tahun dan denda maksimal Rp5 miliar . [7] Ketentuan pidana ini berlaku pula bagi setiap orang yang dengan sengaja melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain. [8] Kemudian, jika tindak pidana dilakukan oleh orang tua, wali, orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga, pengasuh anak, pendidik , tenaga kependidikan , aparat yang menangani perlindungan anak, atau dilakukan oleh lebih dari satu orang secara bersama-sama, pidananya ditambah 1/3 . [9] Lebih lanjut, jika tindak pidana menimbulkan korban lebih dari 1 orang, mengakibatkan luka berat, gangguan jiwa, penyakit menular, terganggu atau hilangnya fungsi reproduksi, dan/atau korban meninggal dunia, pelaku dipidana mati , seumur hidup , atau pidana penjara minimal 10 tahun dan maksimal 20 tahun . [10] Selain dikenai pidana sebagaimana dimaksud di atas, pelaku dapat dikenai pidana tambahan berupa pengumuman identitas pelaku , juga tindakan berupa kebiri kimia dan pemasangan alat pendeteksi elektronik . [11] Sebagai informasi, disarikan dari Pelaku Persetubuhan Karena Suka Sama Suka, Bisakah Dituntut? , UU Perlindungan Anak dan perubahannya tidak mengenal istilah suka sama suka untuk persetubuhan dan pencabulan terhadap anak . Meskipun dilakukan atas dasar suka sama suka, posisi anak tetap sebagai korban walaupun anak yang minta berhubungan badan atau dicabuli oleh orang lain. Terhadap keberadaan pasal-pasal dalam UU TPKS, KUHP, UU 1/2023, dan UU Perlindungan Anak dan perubahannya, dapat diterapkan doktrin lex specialis derogat legi generali , yang artinya hukum khusus menyampingkan hukum umum. [12] Dalam kasus hukum pidana, terdapat tindak pidana umum yang diatur dalam KUHP, dan tindak pidana khusus yang pengaturan hukumnya berada di luar KUHP. Menyambung kasus hukum yang Anda tanyakan, tindak pidana khusus contohnya pelecehan seksual terhadap anak diatur dalam UU Perlindungan Anak dan perubahannya. Pada kasus ini, UU Perlindungan Anak dan perubahannya memiliki karakteristik unsur yang lebih spesifik dibandingkan UU TPKS, KUHP, dan UU 1/2023. Walau demikian, dalam praktiknya penyidik dapat mengenakan pasal berlapis terhadap suatu tindak pidana yang memenuhi unsur-unsur pelecehan seksual fisik sebagaimana diatur dalam UU TPKS, KUHP dan UU 1/2023 serta UU Perlindungan Anak dan perubahannya. Artinya, jika unsur-unsur tindak pidananya terpenuhi, penyidik dapat menggunakan pasal-pasal tersebut. Sanksi Pelanggaran Kewajiban Guru Selanjutnya, karena pelaku merupakan seorang guru, maka terdapat sanksi lain yang terdapat dalam ketentuan UU 14/2005 . Guru sebagai pendidik memiliki kedudukan sebagai tenaga profesional pada jenjang pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan anak usia dini pada jalur pendidikan formal yang diangkat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. [13] Dalam melaksanakan tugas keprofesionalannya ini, seorang guru berkewajiban untuk: [14] merencanakan pembelajaran, melaksanakan proses pembelajaran yang bermutu, serta menilai dan mengevaluasi hasil pembelajaran; meningkatkan dan mengembangkan kualifikasi akademik dan kompetensi secara berkelanjutan sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni; bertindak objektif dan tidak diskriminatif atas dasar pertimbangan jenis kelamin, agama, suku, ras, dan kondisi fisik tertentu, atau latar belakang keluarga, dan status sosial ekonomi peserta didik dalam pembelajaran; menjunjung tinggi peraturan perundang-undangan, hukum, dan kode etik guru, serta nilai-nilai agama dan etika ; dan memelihara dan memupuk persatuan dan kesatuan bangsa. Karena guru wajib menjunjung tinggi peraturan perundangan, hukum, dan kode etik, serta nilai-nilai agama dan etika, oleh karena itu, menurut hemat kami, tindakan persetubuhan dan/atau pelecehan seksual yang dilakukan guru terhadap muridnya telah melanggar kewajiban tersebut. Guru yang diangkat oleh pemerintah atau pemerintah daerah yang tidak menjalankan kewajiban di atas dapat dikenai sanksi sesuai dengan peraturan perundang-undangan , berupa: [15] teguran; peringatan tertulis; penundaan pemberian hak guru; penurunan pangkat; pemberhentian dengan hormat; atau pemberhentian tidak dengan hormat. Selain itu, bagi guru yang diangkat oleh penyelenggara pendidikan atau satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh masyarakat yang tidak menjalankan kewajiban di atas, dapat dikenai sanksi sesuai dengan perjanjian kerja atau kesepakatan . [16] : Perlindungan Hukum Terhadap Anak Korban Kekerasan Seksual Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. Dasar Hukum : Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ; Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak ; Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen ; Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak ; Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak ; Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Menjadi Undang-Undang ; Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual ; Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana . Referensi : Kurnia Indriyanti Purnama Sari et. al . Kekerasan Seksual. Bandung: Media Sains Indonesia, 2022; Shinta Agustina. Implementasi Asas Lex Specialis Derogat Legi Generali dalam Sistem Peradilan Pidana . Jurnal Masalah-Masalah Hukum FH Universitas Diponegoro, Vol 44, No. 4, 2015. [1] Pasal 1 angka 4 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (“UU TPKS”) [2] Pasal 1 angka 5 UU TPKS [3] Pasal 4 ayat (2) huruf c UU TPKS [4] Kurnia Indriyanti Purnama Sari (et. al). Kekerasan Seksual. Bandung: Media Sains Indonesia, 2022, hal. 110 [5] Pasal 15 ayat (1) huruf b dan g UU TPKS [6] Pasal 624 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“UU 1/2023”) [7] Pasal 81 ayat (1) Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (“Perppu 1/2016”) [8] Pasal 81 ayat (2) Perppu 1/2016 [9] Pasal 81 ayat (3) Perppu 1/2016 [10] Pasal 81 ayat (5) Perppu 1/2016 [11] Pasal 81 ayat (6) dan (7) Perppu 1/2016 [12] Shinta Agustina. Implementasi Asas Lex Specialis Derogat Legi Generali dalam Sistem Peradilan Pidana . Jurnal Masalah-Masalah Hukum FH Universitas Diponegoro, Vol 44, No. 4, 2015, hal. 504 [13] Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen (“UU 14/2005”) [14] Pasal 20 UU 14/2005 [15] Pasal 77 ayat (1) dan (2) UU 14/2005 [16] Pasal 77 ayat (4) UU 14/2005 TAGS pelecehan seksual kekerasan seksual perlindungan anak | {55: '4. korban adalah orang yang mengalami penderitaan frsik, mental, kerugian ekonomi, dan f atau kerugian sosial yang diakibatkan tindak pidana kekerasan seksual', 56: '5. anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan', 57: "['(1) tindak pidana kekerasan seksual terdiri atas: a. pelecehan seksual nonfisik; b. pelecehan seksual fisik; d sk no 146006a presiden republik indonesia -7 - c. pemaksaan kontrasepsi; d. pemaksaan sterilisasi; e. pemaksaan perkawinan; f. penyiksaan seksual; g. eksploitasi seksual; h. perbudakan seksual; dan i. kekerasan seksual berbasis elektronik.']", 58: 'Doktrin lex specialis derogat legi generali menyatakan hukum khusus mengesampingkan hukum umum. Dalam kasus ini, UU Perlindungan Anak lebih spesifik dibanding UU TPKS, KUHP, dan UU 1/2023.', 59: "['(1) pidana sebagaimana dimaksud dalam pasal 5 , pasal 6 , dan pasal 8 sampai dengan pasal 14 ditambah 1/3 (satu per tiga), jika: a. dilakukan dalam lingkup keluarga; b. dilakukan oleh tenaga kesehatan, tenaga medis, pendidik, tenaga kependidikan, atau tenaga profesional lain yang mendapatkan mandat untuk melakukan penanganan, pelindungan, dan pemulihan; sk no 146013 a c. dilakukan presiden republik indonesia c. dilakukan oleh pegawai, pengurus, atau petugas terhadap orang yang dipercayakan atau diserahkan padanya untuk dijaga; d. dilakukan oleh pejabat publik, pemberi kerja, atasan, atau pengurus terhadap orang yang dipekerjakan atau bekerja dengannya; e. dilakukan lebih dari i (satu) kali atau dilakukan terhadap lebih dari 1 (satu) orang; f. dilakukan oleh 2 (dua) orang atau lebih dengan bersekutu; g. dilakukan terhadap anak; h. dilakukan terhadap penyandang disabilitas; i. dilakukan terhadap perempuan hamil; j. dilakukan terhadap seseorang dalam keadaan pingsan atau tidak berdaya; k. dilakukan terhadap seseorang dalam keadaan darurat, keadaan bahaya, situasi konflik, bencana, atau perang; l. dilakukan dengan menggunakan sarana elektronik; m. korban mengalami luka berat, berdampak psikologis berat, atau penyakit menular; n. mengakibatkan terhentinya dan/ atau rusaknya fungsi reproduksi; dan/ atau o. mengakibatkan korban meninggal dunia.']", 4: 'Undang-Undang ini mulai berlaku setelah 3 (tiga) tahun terhitung sejak tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.', 60: '(1) Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76D dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).', 61: '(2) Ketentuan pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku pula bagi setiap orang yang dengan sengaja melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk Anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain.', 62: '(3) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh orang tua, wali, orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga, pengasuh anak, pendidik, tenaga kependidikan, aparat yang menangani perlindungan anak, atau dilakukan oleh lebih dari satu orang secara bersama-sama, pidananya ditambah 1/3 (sepertiga) dari ancaman pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1).', 63: '(5) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76D menimbulkan korban lebih dari 1 (satu) orang, mengakibatkan luka berat, gangguan jiwa, penyakit menular, terganggu atau hilangnya fungsi reproduksi, dan/atau korban meninggal dunia, pelaku dipidana mati, seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat 10 (sepuluh) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun.', 64: '(6) Selain dikenai pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5), pelaku dapat dikenai pidana tambahan berupa pengumuman identitas pelaku.', 65: '**[8] Asas lex specialis derogat legi generali:** Asas ini menyatakan bahwa hukum khusus (seperti UU Perlindungan Anak) mengesampingkan hukum umum (KUHP) jika terjadi pertentangan dalam kasus yang sama. Dalam kasus penganiayaan anak, UU Perlindungan Anak lebih spesifik dan menjadi dasar hukum utama.', 66: "['(1) guru mempunyai kedudukan sebagai tenaga profesional pada jenjang pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan anak usia dini pada jalur pendidikan formal yang diangkat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.']", 67: 'pasal 20 dalam melaksanakan tugas keprofesionalan, guru berkewajiban : a. merencanakan pembelajaran, melaksanakan proses pembelajaran yang bermutu, serta menilai dan mengevaluasi hasil pembelajaran; b. meningkatkan dan mengembangkan kualifikasi akadernik dan kompetensi secara berkelanjutan sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni; c. bertindak … c. bertindak objektif dan tidak diskriminatif atas dasar pertimbangan jenis kelamin, agama, suku, ras, dan kondisi fisik tertentu, atau latar belakang keluarga, dan status sosial ekonomi peserta didik dalam pembelajaran; d. menjunjung tinggi peraturan perundang-undangan, hukum, dan kode etik guru, serta nilai-nilai agama dan etika; dan e. memelihara dan memupuk persatuan dan kesatuan bangsa. bagian ketiga wajib kerja dan ikatan dinas', 68: "['(1) guru yang diangkat oleh pemerintah atau pemerintah daerah yang tidak menjalankan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam pasal 20 dikenai sanksi sesuai dengan peraturan perundang-undangan.', '(2) sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa: a. teguran; b. peringatan tertulis; c. penundaan pemberian hak guru; d. penurunan pangkat; e. pemberhentian dengan hormat; atau f. pemberhentian tidak dengan hormat.', '(3) guru yang berstatus ikatan dinas sebagaimana dimaksud dalam pasal 22 yang tidak melaksanakan tugas sesuai dengan perjanjian kerja atau kesepakatan kerja bersama diberi sanksi sesuai dengan perjanjian ikatan dinas.', '(4) guru . . . (4) guru yang diangkat oleh penyelenggara pendidikan atau satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh masyarakat yang tidak menjalankan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam pasal 20 dikenai sanksi sesuai dengan perjanjian kerja atau kesepakatan kerja bersama.', '(5) guru yang melakukan pelanggaran kode elik dikenai sanksi oleh organisasi profesi.']", 69: "['(1) guru yang diangkat oleh pemerintah atau pemerintah daerah yang tidak menjalankan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam pasal 20 dikenai sanksi sesuai dengan peraturan perundang-undangan.', '(2) sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa: a. teguran; b. peringatan tertulis; c. penundaan pemberian hak guru; d. penurunan pangkat; e. pemberhentian dengan hormat; atau f. pemberhentian tidak dengan hormat.', '(3) guru yang berstatus ikatan dinas sebagaimana dimaksud dalam pasal 22 yang tidak melaksanakan tugas sesuai dengan perjanjian kerja atau kesepakatan kerja bersama diberi sanksi sesuai dengan perjanjian ikatan dinas.', '(4) guru . . . (4) guru yang diangkat oleh penyelenggara pendidikan atau satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh masyarakat yang tidak menjalankan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam pasal 20 dikenai sanksi sesuai dengan perjanjian kerja atau kesepakatan kerja bersama.', '(5) guru yang melakukan pelanggaran kode elik dikenai sanksi oleh organisasi profesi.']"} |
Apakah suatu perjanjian yang merupakan suatu peristiwa hukum perdata dapat berubah menjadi hukum pidana seperti penipuan? | ULASAN LENGKAP dari artikel dengan judul Pidana Bisa Jadi Perdata? yang dibuat oleh Si Pokrol dan pertama kali dipublikasikan pada 30 Desember 2009. . Perbedaan Hukum Pidana dan Hukum Perdata Untuk menjawab pertanyaan Anda, terlebih dahulu perlu dibahas mengenai perbedaan antara hukum pidana dengan hukum perdata. Menurut R. Soeroso dalam bukunya Pengantar Ilmu Hukum (hal. 195) hukum pidana merupakan bagian dari hukum publik, yaitu hukum yang mengatur tiap-tiap hubungan di antara negara atau alat-alat negara sebagai pendukung kekuasaan penguasa di satu pihak dengan warga negara pada umumnya di lain pihak atau setiap hukum yang hubungan di antara negara dan alat-alat perlengkapannya, begitu pula perhubungan antara alat-alat perlengkapan negara yang satu dengan alat-alat perlengkapan negara yang lainnya. Sedangkan, hukum perdata termasuk pada bagian hukum privat, yaitu hukum yang menjamin adanya kepastian di dalam hubungan antara orang yang satu dengan yang lain, di mana keduanya sebagai anggota masyarakat dan menjamin adanya kepastian dalam hubungan antara seseorang dengan pemerintah. [1] Adapun yang dimaksud dengan hukum pidana menurut J. B. Daliyo dalam bukunya Pengantar Hukum Indonesia (hal. 88) adalah hukum yang mengatur tentang pelanggaran dan kejahatan terhadap kepentingan umum. Pelanggaran dan kejahatan tersebut diancam dengan hukuman yang merupakan penderitaan atau siksaan bagi yang bersangkutan. Sementara itu, hukum perdata menurut Abdul Kadir Muhammad dalam bukunya Pengantar Hukum Perdata (hal. 2) adalah segala aturan hukum yang mengatur hubungan hukum antara orang yang satu dengan orang yang lain dalam hidup bermasyarakat. : Intisari Perbedaan Hukum Pidana dan Perdata Berdasarkan penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa perbedaan mendasar antara hukum perdata dan pidana adalah hukum perdata mengatur hubungan hukum antara orang yang satu dengan orang yang lain (bersifat privat). Sedangkan, hukum pidana adalah hukum yang mengatur tentang pelanggaran dan kejahatan terhadap kepentingan umum yang diancam dengan hukuman berupa penderitaan (bersifat publik). Pada dasarnya terdapat pemisahan yang jelas antara hukum perdata dan pidana dimana masalah hukum perdata tidak dapat menjadi masalah hukum pidana. Akan tetapi, dalam beberapa kasus terkadang perkara perdata berubah menjadi perkara pidana. Lantas, apa faktor yang menyebabkan perkara perdata jadi pidana? Apakah Perdata Bisa Jadi Pidana? Disarikan dari artikel Faktor yang Membuat Kasus Perdata Berubah Menjadi Pidana , suatu perkara perdata dapat berubah menjadi tindak pidana ketika terdapat unsur-unsur pidana yang muncul pada perkara perdata tersebut. Pada tindak pidana harus memiliki unsur perbuatan terhadap pelaku, yang perbuatan ini sudah memenuhi ketentuan pelanggaran hukum. Contoh kasus perdata jadi pidana yang sering terjadi adalah kasus jual beli atau utang piutang antar individu. Pada kasus tersebut, perselisihan antara dua pihak yang melakukan perjanjian merupakan kasus perdata, yaitu wanprestasi. Namun, perkara tersebut bisa menyeret salah satu pihak ke ranah hukum pidana karena ada unsur penipuan. Batasan antara wanprestasi dengan penipuan dijelaskan oleh Yahman dalam buku Karakteristik Wanprestasi dan Tindak Pidana Penipuan (hal. 258) yaitu terletak pada tempus delicti atau waktu ketika perjanjian atau kontrak itu ditutup atau perjanjian/kontrak ditandatangani. Apabila adanya tipu muslihat, rangkaian kata bohong atau keadaan palsu, martabat palsu dari salah satu pihak terjadi setelah kontrak ditandatangani ( post factum ), maka perbuatan itu merupakan wanprestasi. Sedangkan, jika terjadi sebelum kontrak ditandatangani, maka perbuatan itu merupakan suatu perbuatan penipuan . Lebih lanjut, kaidah hukum dalam Yurisprudensi MA No. 4/Yur/Pid/2018 menegaskan bahwa para pihak yang tidak memenuhi kewajiban dalam perjanjian yang dibuat secara sah bukan penipuan, namun wanprestasi yang masuk ranah keperdataan, kecuali jika perjanjian itu didasari dengan iktikad buruk atau iktikad tidak baik . Sehingga, kesimpulan kami adalah faktor yang bisa menyebabkan suatu kasus perdata yaitu wanprestasi menjadi kasus pidana yakni penipuan yaitu adanya iktikad buruk dalam perjanjian yang dibuat para pihak. Mahkamah Agung menjelaskan dalam yurisprudensi tersebut bahwa jika perjanjian dibuat dan didasari iktikad buruk atau tidak baik, niat jahat untuk merugikan orang lain, maka perbuatan tersebut bukan merupakan wanprestasi, melainkan tindak pidana penipuan. Contohnya dalam kasus utang piutang, dalam melakukan transaksi atau pemesanan, menggunakan nama palsu atau jabatan palsu, hubungan hukum keperdataan yang tidak didasari dengan kejujuran dan iktikad buruk untuk merugikan orang lain adalah penipuan. : Apakah Kasus Wanprestasi Bisa Dilaporkan Jadi Penipuan? Contoh Kasus Untuk mempermudah pemahaman Anda terkait penjelasan di atas, kami akan memberikan contoh kasus perdata jadi pidana pada Putusan MA No. 960 K/Pid/2016 . Dalam putusan tersebut dijelaskan bahwa terdakwa yang merupakan seorang pebisnis, mengunjungi temannya yaitu korban yang juga merupakan seorang pebisnis. Terdakwa menjelaskan bahwa maksud kunjungannya itu adalah untuk meminta modal kepada terdakwa sebesar Rp10.500.0000 karena perusahaan terdakwa sedang kesulitan. Terdakwa dalam meminta modal ini memberikan jaminan suatu hotel yang bernilai Rp30 miliar (hal. 1-2). Permintaan terdakwa ini pun oleh korban disetujui. Akan tetapi, ternyata baru diketahui bahwa hotel tersebut bukan milik terdakwa dan hal ini mengakibatkan korban merasa tertipu dan meminta terdakwa untuk mengembalikan uang korban. Akhirnya, terdakwa memberikan kembali uang korban dalam bentuk cek (hal. 3). Akan tetapi pada saat korban mau mencairkan cek tersebut ke bank, ternyata cek tersebut kosong. Oleh karena itu, terdakwa dilaporkan oleh korban ke pihak kepolisian (hal. 4). Atas perbuatannya tersebut, terdakwa secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana penipuan Pasal 378 KUHP dan dijatuhi pidana selama 8 bulan (hal. 18). Dalam kasus tersebut, awalnya perkara hukum yang terjadi antara kedua pihak merupakan perkara perdata yaitu utang piutang dengan jaminan hotel, dimana terdakwa telah melakukan wanprestasi terhadap korban. Akan tetapi, akibat dari tindakan tipu muslihat, rangkaian kata bohong atau keadaan palsu, martabat palsu yang dilakukan oleh terdakwa, maka perkara tersebut berubah menjadi perkara pidana. Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. Dasar Hukum: Kitab Undang-Undang Hukum Pidana . Putusan: Yurisprudensi Mahkamah Agung Nomor 4/Yur/Pid/2018; Putusan Mahkamah Agung Nomor 960 K/Pid/2016 . Referensi: Abdulkadir Muhammad. Hukum Pengantar Indonesia . Bandung: Citra Aditya Bakti, 2019; B. Daliyo. Pengantar Hukum Indonesia . Jakarta: Prenhallindo, 2017; Soeroso. Pengantar Ilmu Hukum . Jakarta: SInar Grafika, 2019; Karakteristik Wanprestasi dan Tindak Pidana Penipuan . Jakarta: Prenadamedia Group, 2014. [1] R. Soeroso. Pengantar Ilmu Hukum . Jakarta: SInar Grafika, 2019, hal. 200 TAGS hukum perdata tindak pidana hukum pidana | {70: 'Sedangkan, hukum perdata termasuk pada bagian hukum privat, yaitu hukum yang menjamin adanya kepastian di dalam hubungan antara orang yang satu dengan yang lain, di mana keduanya sebagai anggota masyarakat dan menjamin adanya kepastian dalam hubungan antara seseorang dengan pemerintah.'} |
Apakah pelaku kejahatan kepada mayat seperti mutilasi dan memperkosa mayat digolongkan sebagai pembunuhan dan pemerkosaan orang yang tidak berdaya atau digolongkan pengrusakan benda? | ULASAN LENGKAP kedua dari artikel dengan judul sama yang dibuat oleh Tri Jata Ayu Pramesti, S.H. dan pertama kali dipublikasikan pada 5 Januari 2016, yang pertama kali dimutakhirkan pada 24 November 2021. Artikel ini dibuat berdasarkan KUHP lama dan UU 1/2023 tentang KUHP yang diundangkan pada tanggal 2 Januari 2023. . Pengertian Mutilasi Mutilasi berdasarkan KBBI adalah proses atau tindakan memotong-motong (biasanya) tubuh manusia atau hewan. Adapun menurut Cambridge English Dictionary , mutilasi atau dalam Bahasa Inggris “ mutilation ” adalah: The act of damaging something severely, especially by violently removing a part. Artinya, mutilasi adalah tindakan merusak sesuatu dengan parah, terutama dengan melepas suatu bagian secara kasar. Jadi, kata "mutilasi" tidak selalu identik dengan manusia atau hewan. Kata ini lebih identik dengan pekerjaan memotong-motong atau memilah sesuatu menjadi bagian-bagian yang lebih kecil. Dalam konteks hukum pidana, pengertian mutilasi tergambar dalam Black’s Law Dictionary , yaitu the act of cutting off or permanently damaging a body part, esp. an essential one . Lebih lanjut, Helinä Häkkänen-Nyholm (et. al.) dalam Homicides with Mutilation of the Victim’s Body menggunakan definisi mutilasi sebagai berikut (hal. 933): Human mutilation is defined as “the act of depriving an individual of a limb, member, or other important part of the body; or deprival of an organ: severe disfigurement” and it covers term “dismemberment”. Jika diterjemahkan secara bebas, pada intinya mutilasi adalah tindakan menghilangkan atau memotong anggota badan atau bagian penting lainnya dari tubuh seseorang atau pencabutan organ. Pasal Pembunuhan KUHP dan UU 1/2023 Sepanjang penelusuran kami, dalam KUHP lama yang pada saat artikel ini diterbitkan masih berlaku dan UU 1/2023 tentang KUHP baru yang berlaku 3 tahun sejak tanggal diundangkan [1] yaitu tahun 2026, tidak ada ketentuan khusus mengenai mutilasi . Namun, perbuatan mutilasi biasanya merujuk pada pembunuhan berencana atau pembunuhan yang diikuti, disertai, atau didahului oleh suatu perbuatan . Bisa juga hanya merujuk pada pembunuhan biasa . Berikut bunyi pasalnya: KUHP UU 1/2023 Pasal 338 Barang siapa dengan sengaja merampas nyawa orang lain , diancam karena pembunuhan dengan pidana penjara paling lama 15 tahun. Pasal 458 ayat (1) Setiap orang yang merampas nyawa orang lain , dipidana karena pembunuhan , dengan pidana penjara paling lama 15 tahun. Pasal 339 Pembunuhan yang diikuti , disertai atau didahului oleh suatu perbuatan pidana , yang dilakukan dengan maksud untuk mempersiapkan atau mempermudah pelaksanaannya, atau untuk melepaskan diri sendiri maupun peserta lainnya dari pidana dalam hal tertangkap tangan, ataupun untuk memastikan penguasaan barang yang diperolehnya secara melawan hukum, diancam dengan pidana penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu paling lama 20 tahun. Pasal 458 ayat (3) Pembunuhan yang diikuti , disertai , atau didahului oleh suatu tindak pidana yang dilakukan dengan maksud untuk mempersiapkan atau mempermudah pelaksanaannya, atau untuk melepaskan diri sendiri atau peserta lainnya dari pidana dalam hal tertangkap tangan, atau untuk memastikan penguasaan barang yang diperolehnya secara melawan hukum, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling lama 20 tahun. Pasal 340 Barang siapa dengan sengaja dan dengan rencana terlebih dahulu merampas nyawa orang lain , diancam karena pembunuhan dengan rencana , dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu paling lama 20 tahun. Pasal 459 Setiap orang yang dengan rencana terlebih dahulu merampas nyawa orang lain , dipidana karena pembunuhan berencana , dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling lama 20 tahun. Selengkapnya mengenai tiga jenis pembunuhan tersebut dapat Anda baca dalam artikel Jerat Pasal Pembunuhan Mutilasi dalam KUHP . Contoh Kasus Mutilasi Sebagai contoh, kita dapat merujuk pada Putusan MA No. 24PK/Pid/2003 dan Putusan MA No. 108PK/Pid/2007 . Dalam kedua putusan Mahkamah Agung di atas mengenai kekerasan memutilasi bagian-bagian tubuh korban, hakim sama sekali tak menyinggung istilah mutilasi. Adapun dalam Putusan MA No. 24PK/Pid/2003, hakim hanya menyatakan menolak permohonan peninjauan kembali terdakwa (hal. 15), dan dengan demikian menguatkan putusan Pengadilan Tinggi Jakarta bahwa terdakwa bersalah melakukan tindak pidana pembunuhan berencana (hal. 11). Sedangkan dalam kasus mutilasi dalam Putusan MA No. 108PK/PID/2007, permohonan peninjauan kembali dinyatakan tidak dapat diterima, sehingga putusan Pengadilan Negeri Sekayu yang menyatakan terdakwa dihukum karena secara bersama-sama melakukan pembunuhan berencana tetap berlaku mengikat (hal. 4). Padahal, dalam dakwaan penuntut umum dijelaskan bahwa para pelaku telah melakukan mutilasi terhadap tubuh korban dan menguburkan korban tanpa bagian kepala (hal. 2). Lalu, bagaimana hukumnya jika perbuatan mutilasi itu tidak diawali dengan membunuh korban , tapi hanya memotong-motong mayat ? Bisakah pelaku dijerat dengan pasal merusak barang atau pencurian? Mutilasi Mayat = Pencurian? Pada dasarnya, perlu diketahui terlebih dahulu bagaimana bunyi pasal pencurian dan pasal perusakan barang sebagai berikut: KUHP UU 1/2023 Pasal 362 Barang siapa mengambil barang sesuatu , yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain , dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum , diancam karena pencurian , dengan pidana penjara paling lama 5 tahun atau pidana denda paling banyak Rp900 ribu. [2] Pasal 476 Setiap orang yang mengambil suatu barang yang sebagian atau seluruhnya milik orang lain , dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum , dipidana karena pencurian , dengan pidana penjara paling lama 5 tahun atau pidana paling banyak kategori V, yaitu sebesar Rp500 juta. [3] Pasal 406 ayat (1) Barang siapa dengan sengaja dan melawan hukum menghancurkan , merusakkan , membikin tak dapat dipakai atau menghilangkan barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian milik orang lain , diancam dengan pidana penjara paling lama 2 tahun 8 bulan atau pidana denda paling banyak Rp4,5 juta. [4] Pasal 521 Setiap orang yang secara melawan hukum merusak , menghancurkan , membuat tidak dapat dipakai , atau menghilangkan barang yang gedung atau seluruhnya milik orang lain , dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 tahun 6 bulan atau pidana denda paling banyak kategori IV, yaitu sebesar Rp200 juta. [5] Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan kerugian yang nilainya tidak lebih dari Rp500 ribu, pelaku tindak pidana dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 bulan atau pidana denda paling banyak kategori II, yaitu sebesar Rp10 juta. [6] Menjawab pertanyaan Anda, R. Soesilo dalam bukunya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal (hal. 150) menjelaskan bahwa mayat bukanlah suatu harta benda atau barang milik orang . Oleh karena itu, peraturan tentang pencurian, merusak barang dan sebagainya tidak berlaku dalam hal ini. Namun menurut Tri Jata Ayu Pramesti (penulis sebelumnya), pendapat berbeda diungkapkan oleh Is Heru Permana , Ketua LBH Kosgoro Kabupaten Banyumas pada saat itu yang menjelaskan bahwa dalam hukum pidana, mayat manusia merupakan milik ahli warisnya , sehingga orang yang mengambil mayat manusia secara melawan hukum berarti telah mengambil mayat itu dari pemiliknya , yaitu ahli warisnya . Sehingga, dapat dikatakan ia telah melakukan pencurian mayat sebagaimana diatur dalam Pasal 362 KUHP atau Pasal 476 UU 1/2023. Jadi, ada kemungkinan pelaku bisa dijerat pasal pencurian, bukan pasal perusakan barang. Kemungkinan lain, jika perbuatan memutilasi mayat tersebut didahului dengan perbuatan mengeluarkan mayat dari kuburan dengan melawan hak (tidak mempunyai hak untuk melakukan tindakan tersebut), pelaku dapat dijerat pasal berikut: Pasal 180 KUHP Pasal 271 UU 1/2023 Barang siapa dengan sengaja dan melawan hukum menggali atau mengambil jenazah atau memindahkan atau mengangkut jenazah yang sudah digali atau diambil , diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan atau pidana denda paling banyak Rp4,5 juta. [7] Setiap orang yang secara melawan hukum menggali atau membongkar makam , mengambil , memindahkan , atau mengangkut jenazah , dan/atau memperlakukan jenazah secara tidak beradab , dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 tahun atau pidana denda paling banyak kategori III, yaitu sebesar Rp50 juta. [8] Dengan demikian, kami menyimpulkan bahwa pengaturan tentang perbuatan mutilasi mayat yang tidak diawali dengan membunuh korban, seperti mencuri mayat kemudian dipotong-potong, tidak diatur secara gamblang di dalam KUHP maupun UU 1/2023. Jerat Hukum Pelaku Perkosaan Mayat Menjawab pertanyaan berikutnya tentang perkosaan terhadap mayat, KUHP dan UU 1/2023 mengatur larangan perkosaan secara umum yang dilakukan terhadap seseorang yang masih hidup, antara lain: Pasal 285 KUHP dan Pasal 473 UU 1/2023 tentang perkosaan secara umum; Pasal 286 KUHP dan Pasal 473 ayat (1) dan (2) huruf c UU 1/2023 tentang perkosaan terhadap wanita tidak berdaya . Tapi, bagaimana jika yang diperkosa adalah mayat? Apa jerat hukum bagi pelaku? Mengenai perkosaan mayat, Abdul Aziz Nasihudin yang pernah menjabat sebagai Dekan Fakultas Hukum Universitas Soedirman Purwokerto, menerangkan bahwa pelaku perkosaan mayat sulit dijerat dengan pasal-pasal yang ada dalam KUHP. Sebab, tidak ada pasal yang secara tegas mengatur mengenai pemerkosaan terhadap mayat. Adapun yang diatur dalam KUHP terbatas pada perbuatan menyetubuhi orang yang tidak berdaya. Dalam hal ini, berarti pelaku hanya dapat dijerat jika korban merupakan manusia yang masih hidup, namun dalam kondisi tidak berdaya, bukan mayat yang sudah tidak berdaya. Selain itu, penegak hukum tidak memiliki yurisprudensi yang kuat sebagai acuan untuk menghukum pelaku kasus pemerkosaan mayat. Walau demikian, pada Pasal 271 UU 1/2023 yang disebutkan di atas, terdapat frasa “memperlakukan jenazah secara tidak beradab”. Sayangnya, tidak terdapat penjelasan lebih lanjut mengenai apa yang dimaksud dengan memperlakukan jenazah secara tidak beradab. Namun menurut hemat kami, jika memperkosa jenazah termasuk pada memperlakukan jenazah secara tidak beradab, maka pelaku pemerkosaan jenazah dapat dijerat dengan Pasal 271 UU 1/2023 dengan pidana penjara maksimal 2 tahun atau pidana denda paling maksimal Rp50 juta. Contoh Kasus Perkosaan Mayat Sebagai contoh kasus perkosaan mayat, kita dapat merujuk pada Putusan MA No. 1483/K/Pid/2013 . Dalam putusan ini, majelis hakim kasasi mengubah hukuman terdakwa dari penjara seumur hidup menjadi hukuman mati (hal. 24). Salah satu pertimbangannya adalah karena terdakwa telah melakukan tiga kejahatan sekaligus, yaitu pembunuhan berencana , memperkosa mayat dan pencurian sepeda motor korban (hal. 22). Namun, di dalam amar putusannya, hakim kasasi hanya menghukum terdakwa atas perbuatan pembunuhan berencana (hal. 24). Perkaya riset hukum Anda dengan analisis hukum terbaru dwi bahasa, serta koleksi terjemahan peraturan yang terintegrasi dalam Hukumonline Pro, pelajari lebih lanjut di sini . Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. Dasar Hukum : Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ; Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ; Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2012 tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda dalam KUHP . Referensi : Helinä Häkkänen-Nyholm (et. al) . Homicides with Mutilation of the Victim’s Body. J. Forensic Sci, Vol. 54, No. 4, Juli 2009; R.Soesilo. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal. Bogor: Politeia, 1991; Mutilasi , yang diakses pada 1 Oktober 2024, pukul 11.00 WIB; Mutilation , yang diakses pada 1 Oktober 2024, pukul 11.15 WIB. Putusan : Putusan Mahkamah Agung Nomor 24 PK/Pid/2003 ; Putusan Mahkamah Agung Nomor 108 PK/Pid/2007 ; Putusan Mahkamah Agung Nomor 1483/K/Pid/2013 . [1] Pasal 624 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“UU 1/2023”) [2] Pasal 3 Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2012 tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda dalam KUHP (“Perma 2/2012”), denda dikali 1.000 [3] Pasal 79 ayat (1) huruf e UU 1/2023 [4] Pasal 3 Perma 2/2012, denda dikali 1.000 [5] Pasal 79 ayat (1) huruf d UU 1/2023 [6] Pasal 79 ayat (1) huruf b UU 1/2023 [7] Pasal 3 Perma 2/2012, denda dikali 1.000 [8] Pasal 79 ayat (1) huruf c UU 1/2023 TAGS mayat perkosaan mutilasi | {4: 'Undang-Undang ini mulai berlaku setelah 3 (tiga) tahun terhitung sejak tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.', 71: 'Tiap jumlah maksimum hukuman denda yang diancamkan dalam KUHP kecuali pasal 303 ayat 1 dan ayat 2, 303 bis ayat 1 dan ayat 2, dilipatgandakan menjadi 1.000 (seribu) kall,', 7: "['(1) pidana denda paling banyak ditetapkan berdasarkan: a. kategori i, rp1.000.000,00 (satu juta rupiah); b. kategori ii, rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah); c. kategori iii, rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah); d. kategori iv, rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah); e. kategori v, rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah); f. kategori vi, rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah); g. kategori vii, rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah); dan h. kategori viii, rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah).']", 72: 'Tiap jumlah maksimum hukuman denda yang diancamkan dalam KUHP kecuali pasal 303 ayat 1 dan ayat 2, 303 bis ayat 1 dan ayat 2, dilipatgandakan menjadi 1.000 (seribu) kall,', 6: "['(1) pidana denda paling banyak ditetapkan berdasarkan: a. kategori i, rp1.000.000,00 (satu juta rupiah); b. kategori ii, rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah); c. kategori iii, rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah); d. kategori iv, rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah); e. kategori v, rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah); f. kategori vi, rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah); g. kategori vii, rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah); dan h. kategori viii, rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah).']", 37: "['(1) pidana denda paling banyak ditetapkan berdasarkan: a. kategori i, rp1.000.000,00 (satu juta rupiah); b. kategori ii, rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah); c. kategori iii, rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah); d. kategori iv, rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah); e. kategori v, rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah); f. kategori vi, rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah); g. kategori vii, rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah); dan h. kategori viii, rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah).']", 25: "['(1) pidana denda paling banyak ditetapkan berdasarkan: a. kategori i, rp1.000.000,00 (satu juta rupiah); b. kategori ii, rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah); c. kategori iii, rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah); d. kategori iv, rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah); e. kategori v, rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah); f. kategori vi, rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah); g. kategori vii, rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah); dan h. kategori viii, rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah).']"} |
Siapa pihak berwenang yang menilai berapa besar kerugian negara dalam kasus korupsi? Apakah hakim bisa berpendapat sendiri terhadap nilai kerugian keuangan negara dalam perkara tindak pidana korupsi (tipikor)? | ULASAN LENGKAP dari artikel dengan judul Pihak yang Berwenang Menilai Kerugian Negara dalam Kasus Korupsi yang dibuat oleh Alfin Sulaiman, S.H., M.H. dan pertama kali dipublikasikan pada 27 September 2016. Secara sederhana dalam Pasal 1 angka 22 UU 1/2004 mendefinisikan kerugian negara/daerah sebagai kekurangan uang, surat berharga, dan barang, yang nyata dan pasti jumlahnya sebagai akibat perbuatan melawan hukum baik sengaja ataupun lalai. Lebih lanjut, penjelasan Pasal 32 ayat (1) UU 31/1999 menegaskan bahwa yang dimaksud dengan secara nyata telah ada kerugian keuangan negara adalah kerugian yang sudah dapat dihitung jumlahnya berdasarkan hasil temuan instansi yang berwenang atau akuntan publik yang ditunjuk . Terkait dengan itu, ada berbagai regulasi yang dapat dijadikan rujukan dalam menilai wewenang suatu lembaga tertentu untuk melakukan penghitungan dan/atau penetapan kerugian keuangan negara dalam perkara tindak pidana korupsi (tipikor), yaitu: Aspek Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Status Hukum Kelembagaan Negara Lembaga negara yang bertugas untuk memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara sebagaimana dimaksud dalam UUD 1945. [1] Aparat pengawasan intern pemerintah yang berada di bawah dan bertanggung jawab langsung kepada presiden. [2] Lembaga negara dalam rumpun kekuasaan eksekutif yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun. [3] Lingkup Wewenang Menghitung, menilai dan/atau menetapkan jumlah kerugian negara sebagai pengejawantahan langsung dari UUD 1945. Limitatif apabila memperoleh mandat dari BPK dan terbatas pada menghitung kerugian keuangan negara. KPK bukan hanya dapat berkoordinasi dengan BPKP dan BPK dalam rangka pembuktian suatu tipikor, melainkan dapat juga berkoordinasi dengan instansi lain, bahkan bisa membuktikan sendiri di luar temuan BPK dan BPKP . Kewenangan BPK Pasal 10 ayat (1) UU BPK secara tegas mengatur bahwa BPK menilai dan/atau menetapkan jumlah kerugian negara yang diakibatkan oleh perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai yang dilakukan oleh bendahara, pengelola Badan Usaha Milik Negara/Badan Usaha Milik Daerah, dan lembaga atau badan lain yang menyelenggarakan pengelolaan keuangan negara. Bahwa dalam rangka menilai kerugian keuangan negara dan/atau penetapan pihak yang berkewajiban membayar ganti kerugian tersebut ditetapkan dengan keputusan BPK. [4] Implementasi dari wewenang untuk menilai dan/atau menetapkan jumlah kerugian negara tersebut juga diatur lebih lanjut ke dalam Pasal 11 UU BPK yang pada pokoknya menjabarkan mengenai wewenang BPK untuk memberikan pertimbangan atas penyelesaian kerugian negara/daerah yang ditetapkan oleh pemerintah pusat/pemerintah daerah dan/atau memberikan keterangan ahli dalam proses peradilan mengenai kerugian negara/daerah. : Cara Menentukan Kerugian Keuangan Negara dalam Kasus Korupsi Kewenangan BPKP Bahwa selaras dengan kualifikasi BPKP sebagai aparat pengawasan intern pemerintah, secara khusus dalam Pasal 48 s.d. Pasal 50 PP 60/2008 dijabarkan mengenai: Pengawasan intern oleh aparat pengawasan intern pemerintah yang mencakup: audit; reviu; evaluasi; pemantauan; dan kegiatan pengawasan lainnya. Audit terdiri atas: Audit kinerja merupakan audit atas pengelolaan keuangan negara dan pelaksanaan tugas dan fungsi instansi pemerintah yang terdiri atas aspek kehematan, efisiensi, dan efektivitas. Audit dengan tujuan tertentu antara lain audit investigatif, audit atas penyelenggaraan SPIP, dan audit atas hal-hal lain di bidang keuangan. Bahwa kemudian Pasal 3 huruf e Perpres 20/2023 mengatur penyelenggaraan fungsi oleh BPKP dalam hal pengawasan terhadap perencanaan dan pelaksanaan program dan/atau kegiatan yang dapat menghambat kelancaran pembangunan, audit atas penyesuaian harga, audit klaim, audit investigatif terhadap kasus-kasus penyimpangan yang berindikasi merugikan keuangan negara/daerah, audit penghitungan kerugian keuangan negara/daerah , pemberian keterangan ahli, dan upaya pencegahan korupsi . Seluruh wewenang BPKP sebagai aparat pengawasan intern tersebut di atas tidak dapat serta merta direalisasikan, karena sejatinya BPKP harus terlebih dahulu menerima mandat dari BPK untuk melakukan penghitungan dan/atau penilaian kerugian keuangan negara, sebagaimana penegasan yang diatur dalam Peraturan BPK 3/2022 . Bahwa kualifikasi tersebut diperjelas melalui Pasal 6 ayat (1) jo. Pasal 4 ayat (1) Peraturan BPK 3/2022 yang menyatakan BPK dapat menggunakan pemeriksa dan/atau tenaga ahli dari luar BPK yang bekerja untuk dan atas nama BPK dalam melaksanakan pemeriksaan keuangan negara, meliputi: pemeriksa dari aparat pengawasan intern ; pemeriksa dari KAP yang terdiri atas akuntan publik dan TKPP. Kemudian dalam Pasal 7 Peraturan BPK 3/2022 dijelaskan mengenai pemeriksaan yang dilakukan oleh pemeriksa yang dapat berupa pemeriksaan atas laporan keuangan, pemeriksaan kinerja, dan pemeriksaan dengan tujuan tertentu. Kemudian ditegaskan kembali dalam Pasal 11 ayat (1) dan (2) Peraturan BPK 3/2022 bahwa BPK dapat menggunakan pemeriksa dari aparat pengawasan intern. Penggunaan pemeriksa dari aparat pengawasan intern dilakukan berdasarkan kesepakatan antara BPK dan aparat pengawasan intern. Kewenangan KPK Bahwa pada dasarnya tugas dan wewenang KPK dalam rangka pemberantasan korupsi didasari oleh aturan yuridis Pasal 6 huruf b UU 19/2019 , yang secara khusus mengamanatkan dilakukannya koordinasi dengan instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi dan instansi yang bertugas melaksanakan pelayanan publik. Kemudian bagian penjelasan dari UU KPK tersebut memperluas makna dari “instansi yang berwenang” termasuk BPK, BPKP, Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara, inspektorat pada departemen atau lembaga pemerintah non-departemen. Hal tersebut kemudian ditekankan kembali sebagaimana pertimbangan Putusan MK No. 31/PUU-X/2012 yang menegaskan bahwa KPK bukan hanya dapat berkoordinasi dengan BPKP dan BPK dalam rangka pembuktian suatu tindak pidana korupsi, melainkan dapat juga berkoordinasi dengan instansi lain, bahkan bisa membuktikan sendiri di luar temuan BPKP dan BPK, misalnya dengan mengundang ahli atau dengan meminta bahan dari inspektorat jenderal atau badan yang mempunyai fungsi yang sama dengan itu dari masing-masing instansi pemerintah, bahkan dari pihak-pihak lain (termasuk dari perusahaan), yang dapat menunjukkan kebenaran materiil dalam penghitungan kerugian keuangan negara dan/atau dapat membuktikan perkara yang sedang ditanganinya (hal . 53). Siapa yang Berwenang Menyatakan Kerugian Keuangan Negara? Pada praktiknya pengadilan menjadi muara terakhir dari penanganan dan penyelesaian perkara tipikor, mulai dari tingkat pertama (Pengadilan Negeri), kasasi bahkan melalui peninjauan kembali di Mahkamah Agung. Fakta yang tak terelakkan adalah mengenai perbedaan pandangan dan/atau penafsiran terhadap lembaga yang berwenang untuk menetapkan nilai kerugian keuangan negara tersebut dan lebih khusus lagi perbedaan terkait nilai penghitungan kerugian keuangan negara. Bahwa dalam perkembangannya diatur lebih lanjut melalui poin ke-6 SEMA 4/2016 , yang menegaskan sebagai berikut: Instansi yang berwenang menyatakan ada tidaknya kerugian keuangan Negara adalah Badan Pemeriksa Keuangan yang memiliki kewenangan konstitusional sedangkan instansi lainnya seperti Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan/Inspektorat/Satuan Kerja Perangkat Daerah tetap berwenang melakukan pemeriksaan dan audit pengelolaan keuangan Negara namun tidak berwenang menyatakan atau men-declare adanya kerugian keuangan Negara. Dalam hal tertentu Hakim berdasarkan fakta persidangan dapat menilai adanya kerugian Negara dan besarnya kerugian Negara . Dengan diterbitkannya SEMA 4/2016 ini tentu menjadi legitimasi penting yang memberikan kepastian hukum terhadap wewenang untuk menyatakan ( declare ) ada tidaknya kerugian keuangan negara oleh BPK dan secara tidak langsung menunjukkan esensi penting keyakinan hakim yang didasari oleh fakta persidangan dalam memutus dan mengadili perkara. Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. Dasar Hukum: Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi ; Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi ; Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi ; Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara ; Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan; Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Menjadi Undang-Undang ; Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi ; Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2008 tentang Sistem Pengendalian Intern Pemerintah ; Peraturan Presiden Nomor 192 Tahun 2014 tentang Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan ; Peraturan Presiden Nomor 20 Tahun 2023 tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden Nomor 192 Tahun 2014 tentang Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan ; Peraturan Badan Pemeriksa Keuangan Nomor 3 Tahun 2022 tentang Pemeriksaan Keuangan Negara oleh Pemeriksa dan/atau Tenaga Ahli dari Luar Badan Pemeriksa Keuangan dan Akuntan Publik Berdasarkan Ketentuan Peraturan Perundang-undangan ; Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2016 tentang Pemberlakuan Rumusan Hasil Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung Tahun 2016 sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas Bagi Pengadilan . Putusan : Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 31/PUU-X/2012 . [1] Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan (“UU BPK”) [2] Pasal 1 ayat (4) Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2008 tentang Sistem Pengendalian Intern Pemerintah jo. Pasal 1 ayat (1) dan (2) Peraturan Presiden Nomor 192 Tahun 2014 tentang Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan [3] Pasal 3 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi [4] Pasal 10 ayat (2) UU BPK TAGS tindak pidana korupsi korupsi badan pemeriksa keuangan kerugian negara | {73: '1. badan pemeriksa keuangan, yang selanjutnya disingkat bpk, adalah lembaga negara yang bertugas untuk memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara sebagaimana dimaksud dalam undang-undang dasar negara republik indonesia tahun 1945', 74: '4. badan pengawasan keuangan dan pembangunan, yang selanjutnya disingkat bpkp, adalah aparat pengawasan intern pemerintah yang bertanggung jawab langsung kepada presiden', 75: 'pasal 3 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut pasal 3 komisi pemberantasan korupsi adalah lembaga negara dalam rumpun kekuasaan eksekutif yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun. 3. ketentuan', 76: "['(1) bpk menilai dan/atau menetapkan jumlah kerugian negara yang diakibatkan oleh perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai yang dilakukan oleh bendahara, pengelola badan usaha milik negara/ badan usaha milik daerah, dan lembaga atau badan lain yang menyelenggarakan pengelolaan keuangan negara.', '(2) penilaian kerugian keuangan negara dan/atau penetapan pihak yang berkewajiban membayar ganti kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan keputusan bpk.', '(3) untuk menjamin pelaksanaan pembayaran ganti kerugian, bpk berwenang memantau: a. penyelesaian ganti kerugian negara/daerah yang ditetapkan oleh pemerintah terhadap pegawai negeri bukan bendahara dan pejabat lain; b. pelaksanaan pengenaan ganti kerugian negara/daerah kepada bendahara, pengelola badan usaha milik negara/badan usaha milik daerah, dan lembaga atau badan lain yang mengelola keuangan negara yang telah ditetapkan oleh bpk; dan c. pelaksanaan pengenaan ganti kerugian negara/daerah yang ditetapkan berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.']"} |
Apakah pemberian grasi dari presiden bisa dicabut kemudian? Siapa dan UU apa yang memperbolehkan pencabutan grasi tersebut? Terima kasih hukumonline. | ULASAN LENGKAP kedua dari artikel dengan judul Apakah Pemberian Grasi dari Presiden Bisa Dicabut? yang dibuat oleh Ilman Hadi, S.H. dan pertama kali dipublikasikan pada 22 November 2012 dan dimutakhirkan pertama kali oleh Tri Jata Ayu Pramesti, S.H. pada 8 Januari 2017. . Apa itu Grasi? Grasi merupakan salah satu hak yang dimiliki oleh presiden sebagaimana disebutkan dalam Pasal 14 ayat (1) UUD 1945 : Presiden memberi grasi dan rehabilitasi dengan memperhatikan pertimbangan Mahkamah Agung. Lalu, apa yang dimaksud grasi presiden? Grasi adalah pengampunan berupa perubahan, peringanan, pengurangan, atau penghapusan pelaksanaan pidana kepada terpidana yang diberikan oleh presiden. [1] Berdasarkan pengertian grasi di atas, diketahui bentuk pemberian grasi dari presiden dapat berupa: [2] peringanan atau perubahan jenis pidana; pengurangan jumlah pidana; atau penghapusan pelaksanaan pidana. Syarat Grasi Jika seorang terpidana ingin memperoleh grasi, maka perlu mengajukan permohonan grasi. Apa saja syaratnya? Pertama, grasi diajukan sendiri oleh terpidana, kuasanya, atau keluarga terpidana (suami/istri, anak kandung, orang tua kandung, atau saudara kandung) kepada presiden atas persetujuan terpidana. Kecuali terpidana dijatuhi hukuman mati, permohonan grasi oleh keluarga terpidana bisa tanpa persetujuan terpidana. [3] Kedua, permohonan grasi diajukan secara tertulis yang ditujukan kepada presiden dengan memberikan salinan permohonannya kepada pengadilan tingkat pertama yang memutus perkaranya untuk diteruskan kepada Mahkamah Agung. Terpidana juga dapat mengajukan grasi melalui Kepala Lembaga Pemasyarakatan (“Lapas”) tempat ia menjalani pidana. [4] Ketiga, setiap terpidana hanya memperoleh kesempatan untuk mengajukan grasi sebanyak 1 kali [5] dengan ketentuan setelah putusan pengadilan memperoleh kekuatan hukum tetap berupa: [6] pidana mati, pidana seumur hidup, atau pidana penjara paling rendah 2 tahun. Adapun, yang dimaksud dengan “putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap” adalah: [7] putusan pengadilan tingkat pertama yang tidak diajukan banding atau kasasi dalam waktu yang ditentukan oleh KUHAP; putusan pengadilan tingkat banding yang tidak diajukan kasasi dalam waktu yang ditentukan oleh KUHAP; atau putusan kasasi. Selanjutnya, presiden berhak untuk mengabulkan atau menolak permohonan grasi yang diajukan oleh terpidana setelah mendapatkan pertimbangan dari Mahkamah Agung . [8] Dalam jangka waktu paling lambat 30 hari sejak tanggal diterimanya salinan permohonan, Mahkamah Agung mengirimkan pertimbangan tertulis kepada presiden . [9] Kemudian, grasi diberikan atau ditolak oleh presiden dalam jangka waktu paling lambat 3 bulan sejak diterimanya pertimbangan Mahkamah Agung . [10] Lantas, adakah batas waktu pengajuan grasi oleh terpidana? Pasca Putusan MK No. 107/PUU-XIII/2015 ketentuan Pasal 7 ayat (2) UU 5/2010 tentang jangka waktu maksimal 1 tahun untuk mengajukan permohonan grasi dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat (hal. 80). Dengan demikian, kini terpidana dapat mengajukan permohonan grasi kapan saja . Bisakah Pemberian Grasi Presiden Dicabut? Dalam memberikan atau menolak permohonan grasi, presiden mengeluarkan keputusan presiden (“keppres”) setelah memperhatikan pertimbangan Mahkamah Agung. [11] Disarikan dari artikel Perbedaan Keppres, Perpres, Inpres, dan Penpres , keppres dari masa ke masa merupakan produk hukum yang dapat memiliki sifat mengatur ( regeling ) dan bersifat (beschikking ). Namun, saat ini , keppres hanya merupakan tindakan hukum pemerintah yang bersifat individual dan konkret ( beschikking ) . Kemudian, menjawab pertanyaan Anda apakah pemberian grasi oleh presiden dapat dicabut kembali, dapat kami sampaikan bahwa secara normatif, dalam ketentuan UU Grasi dan perubahannya yaitu UU 5/2010 , tidak diatur mengenai pencabutan grasi yang telah diberikan oleh presiden kepada terpidana. Namun, di dalam teori hukum administrasi negara berlaku asas contrarius actus. Disarikan dari artikel Mengenal Apa Itu Asas Contrarius Actus , makna dari asas contrarius actus adalah keadaan di mana suatu badan atau pejabat tata usaha negara menerbitkan keputusan tata usaha negara yang mana dengan sendirinya badan atau pejabat yang bersangkutan berwenang pula untuk membatalkannya . Jika suatu keputusan tata usaha negara terdapat kekeliruan administratif atau cacat yuridis, maka pejabat atau instansi yang mengeluarkannya berhak untuk mencabut keputusan tersebut. Dengan demikian, suatu keppres pemberian grasi pada dasarnya dapat dilakukan oleh presiden atas dasar asas contrarius actus. Adapun, instrumen hukum untuk mencabut keppres adalah dengan menerbitkan keppres pencabutan. Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. Dasar Hukum : Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 ; Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2002 tentang Grasi ; Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2010 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2002 tentang Grasi . Putusan : Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 107/PUU-XIII/2015 . [1] Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2002 tentang Grasi (“UU Grasi”) [2] Pasal 4 ayat (2) UU Grasi [3] Pasal 6 UU Grasi dan penjelasannya [4] Pasal 8 UU Grasi [5] Pasal 2 ayat (3) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2010 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2002 tentang Grasi (“UU 5/2010”) [6] Pasal 2 ayat (2) UU 5/2010 [7] Penjelasan Pasal 2 ayat (1) UU 5/2010 [8] Pasal 4 ayat (1) UU Grasi [9] Pasal 10 UU 5/2010 [10] Pasal 11 ayat (3) UU Grasi [11] Pasal 11 ayat (1) dan (2) UU Grasi TAGS hukumonline presiden grasi hukum klinik klinik hukumonline pidana | {77: 'Dalam Undang-Undang ini, yang dimaksud dengan : 1. Grasi adalah pengampunan berupa perubahan, peringanan, pengurangan, atau penghapusan pelaksanaan pidana kepada terpidana yang diberikan oleh Presiden. 2. Terpidana adalah seseorang yang dipidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.', 78: '(2) Pemberian grasi oleh Presiden dapat berupa : a. peringanan atau perubahan jenis pidana; b. pengurangan jumlah pidana; atau c. penghapusan pelaksanaan pidana.', 79: '(1) Permohonan grasi oleh terpidana atau kuasa hukumnya diajukan kepada Presiden. (2) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diajukan oleh keluarga terpidana, dengan persetujuan terpidana. (3) Dalam hal terpidana dijatuhi pidana mati, permohonan grasi dapat diajukan oleh keluarga terpidana tanpa persetujuan terpidana. ;; Yang dimaksud dengan keluarga adalah isteri atau suami, anak kandung, orang tua kandung, atau saudara sekandung terpidana.', 80: '(1) Permohonan grasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 dan Pasal 7 diajukan secara tertulis oleh terpidana, kuasa hukumnya, atau keluarganya, kepada Presiden. (2) Salinan permohonan grasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada pengadilan yang memutus perkara pada tingkat pertama untuk diteruskan kepada Mahkamah Agung. (3) Permohonan grasi dan salinannya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dapat disampaikan oleh terpidana melalui Kepala Lembaga Pemasyarakatan tempat terpidana menjalani pidana. (4) Dalam hal permohonan grasi dan salinannya diajukan melalui Kepala Lembaga Pemasyarakatan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Kepala Lembaga Pemasyarakatan menyampaikan permohonan grasi tersebut kepada Presiden dan salinannya dikirimkan kepada pengadilan yang memutus perkara pada tingkat pertama paling lambat 7 (tujuh) hari terhitung sejak diterimanya permohonan grasi dan salinannya.', 81: '(3) Permohonan grasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat diajukan 1 (satu) kali. ', 82: '(2) Putusan pemidanaan yang dapat dimohonkan grasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah pidana mati, pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara paling rendah 2 (dua) tahun. ', 83: 'Kata “dapat” dalam ketentuan ini dimaksudkan untuk memberikan kebebasan kepada terpidana untuk menggunakan atau tidak menggunakan hak untuk mengajukan permohonan grasi sesuai dengan Undang-Undang ini. Yang dimaksud dengan “putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap” adalah : 1. putusan pengadilan tingkat pertama yang tidak diajukan banding atau kasasi dalam waktu yang ditentukan oleh Undang-Undang tentang Hukum Acara Pidana; 2. putusan pengadilan tingkat banding yang tidak diajukan kasasi dalam waktu yang ditentukan oleh Undang-Undang tentang Hukum Acara Pidana; atau 3. putusan kasasi. Yang dimaksud dengan ”pengadilan” adalah pengadilan di lingkungan peradilan umum atau pengadilan di lingkungan peradilan militer yang memutus perkara pidana.', 84: '(1) Presiden berhak mengabulkan atau menolak permohonan grasi yang diajukan terpidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 setelah mendapat pertimbangan dari Mahkamah Agung.', 85: 'Dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal diterimanya salinan permohonan dan berkas perkara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9, Mahkamah Agung mengirimkan pertimbangan tertulis kepada Presiden.', 86: '(3) Jangka waktu pemberian atau penolakan grasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) paling lambat 3 (tiga) bulan terhitung sejak diterimanya pertimbangan Mahkamah Agung', 87: '(1) Presiden memberikan keputusan atas permohonan grasi setelah memperhatikan pertimbangan Mahkamah Agung.'} |
Apakah membantu orang untuk berbuat kejahatan bisa dipenjara? Dimana aturan tentang pembantuan tindak pidana tercantum? Mohon penjelasannya. | ULASAN LENGKAP Artikel ini dibuat berdasarkan KUHP lama dan UU 1/2023 tentang KUHP yang diundangkan pada tanggal 2 Januari 2023. . Pasal 56 KUHP tentang Pembantuan dan Unsur-unsurnya Pembantuan atau medeplichtige diartikan sebagai ada dua pihak yang terdiri dari dua orang atau lebih, pertama , pelaku atau pembuat (de hoofd dader) , kedua , pembantu atau medeplichtige . Adapun terdapat istilah omne principale trahit ad se accessorium , yang artinya di mana ada pelaku utama, di situ ada pelaku pembantu. [1] Pembantuan diatur dalam Pasal 56 KUHP lama yang masih berlaku pada saat artikel ini diterbitkan, yang berbunyi: Dipidana sebagai pembantu kejahatan : mereka yang sengaja memberi bantuan pada waktu kejahatan dilakukan; mereka yang sengaja memberi kesempatan, sarana atau keterangan untuk melakukan kejahatan. Pada dasarnya, intensitas peranan pembantu jauh lebih santun daripada pembuat sehingga dari segi pertanggungjawaban pidananya dibedakan antara keduanya. Dengan demikian, perbuatan membantu tersebut sifatnya menolong atau memberi sokongan . Dalam hal ini, tidak boleh merupakan perbuatan pelaksanaan. Jika telah melakukan perbuatan pelaksanaan, pelaku telah termasuk mededader (turut serta melakukan) bukan lagi membantu. [2] Perbuatan membantu adalah perbuatan yang bersifat memudahkan si pelaku melakukan kejahatannya yang dapat terdiri atas berbagai bentuk atau jenis, baik materil atau imaterial. [3] Kemudian, jika memperhatikan rumusan Pasal 56 KUHP, unsur subjektif dari pembantuan adalah unsur sikap batin dalam bentuk kesengajaan dan unsur objektifnya adalah perbuatan memberi bantuan . Unsur subjektif artinya si pembantu memang mengetahui atau mempunyai keinsyafan bahwa perbuatannya itu dapat mempermudah atau dapat mendukung dilakukannya suatu kejahatan oleh pembuat pelaksana. Perbuatan untuk mempermudah atau dapat mendukung dilakukannya suatu kejahatan oleh pembuat pelaksana memang dikehendaki oleh orang yang memberi bantuan. Jadi, kesengajaan hanya ditujukan untuk mempermudah dilakukannya kejahatan dan bukan ditujukan pada pelaksanaan kejahatan sebagai perwujudan unsur delik. [4] Sedangkan unsur objektif artinya perbuatan yang dilakukan oleh pembantu hanyalah bersifat mempermudah pelaksanaan kejahatan, bukan sebagai bentuk perbuatan yang mengarah secara langsung pada pelaksanaan unsur delik. Sebab jika hal ini dilakukan maka bukan termasuk bentuk pembantuan ( medeplichtige ) melainkan pembuat pelaksana. [5] Berdasarkan uraian tersebut, maka syarat pembantuan adalah sebagai berikut: [6] pembantuan harus dilakukan dengan sengaja; pembantu harus mengetahui jenis kejahatan yang dikehendaki oleh pembuat pelaksana dan untuk kejahatan itu ia memberikan bantuan bukan terhadap kejahatan lain; dan kesengajaan pembantu ditujukan untuk memudahkan atau memperlancarkan pembuat pelaksana melakukan kejahatan, artinya kesengajaan pembantu bukan merupakan unsur delik dan pembantu tidak melaksanakan anasir delik. Adapun bentuk-bentuk pembantuan dalam Pasal 56 KUHP terdiri dari: pembantuan pada saat kejahatan dilakukan ( Pasal 56 ke-1 KUHP ); dan pembantuan sebelum kejahatan dilakukan dengan memberi kesempatan , sarana atau keterangan ( Pasal 56 ke-2 KUHP ). Pertanggungjawaban Pidana Pembantuan Menurut ketentuan Pasal 57 ayat (1) KUHP , pembantu dipidana dengan pidana pengurangan 1/3 maksimum ancaman pidana bagi kejahatan yang bersangkutan . Namun, jika kejahatan itu diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, maka pada pembantu dikenakan pidana penjara maksimal 15 tahun , sebagaimana diatur dalam Pasal 57 ayat (2) KUHP . Kemudian, jika pelaku utama hanya sebatas percobaan melakukan kejahatan, maka tanggung jawab pembantu adalah pembantuan pada percobaan melakukan kejahatan. Akan tetapi jika pelaku utama dibebaskan dari tuduhan maka dengan sendirinya tiada masalah pertanggungjawaban pula bagi pembantu. [7] Selanjutnya, penting untuk diketahui bahwa pidana tambahan bagi pembantuan sama dengan kejahatannya sendiri. Lalu, dalam menentukan pidana bagi pembantu, yang diperhitungkan hanya perbuatan yang sengaja dipermudah atau diperlancar olehnya, beserta akibat-akibatnya. [8] Jadi pada prinsipnya, pertanggungjawaban pembantu lebih ringan dari pembuat , karena pembantuan bersifat accesoir , artinya untuk adanya pembantuan harus ada orang yang melakukan kejahatan sebagai orang yang dibantu. [9] : Bisakah Dipidana Jika Tak Sengaja Membantu Tindak Pidana? Pasal 21 UU 1/2023 tentang Pembantuan Ketentuan mengenai pembantuan juga diatur dalam Pasal 21 UU 1/2023 tentang KUHP baru yang mulai berlaku 3 tahun terhitung sejak tanggal diundangkan, [10] yakni pada tahun 2026 sebagai berikut: Setiap Orang dipidana sebagai pembantu Tindak Pidana jika dengan sengaja: memberi kesempatan, sarana, atau keterangan untuk melakukan Tindak Pidana; atau memberi bantuan pada waktu Tindak Pidana dilakukan. Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku untuk pembantuan melakukan Tindak Pidana yang hanya diancam dengan pidana denda paling banyak kategori II . Pidana untuk pembantuan melakukan Tindak Pidana paling banyak 2/3 (dua per tiga) dari maksimum ancaman pidana pokok untuk Tindak Pidana yang bersangkutan. Pembantuan melakukan Tindak Pidana yang diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun. Pidana tambahan untuk pembantuan melakukan Tindak Pidana sama dengan pidana tambahan untuk Tindak Pidana yang bersangkutan. Sebagai informasi, kategori II yang terdapat dalam Pasal 21 ayat (2) UU 1/2023 adalah tindak pidana yang hanya diancam dengan pidana denda paling banyak Rp10 juta. [11] Kemudian, dalam ketentuan Pasal 21 ayat (1) huruf a UU 1/2023 , pembantuan dilakukan sebelum dan sejak pelaksanaan tindak pidana dengan memberikan kesempatan, sarana, maupun keterangan. [12] Lalu, dalam ketentuan Pasal 21 ayat (1) huruf b UU 1/2023 , memberi bantuan pada waktu tindak pidana dilakukan hampir terdapat kesamaan dengan turut serta melakukan tindak pidana. Dalam turut serta melakukan tindak pidana terdapat kerja sama yang erat antar mereka yang turut serta melakukan tindak pidana, tetapi dalam pembantuan melakukan tindak pidana, kerja sama antara pelaku tindak pidana dan orang yang membantu tidak seerat kerja sama dalam turut serta melakukan tindak pidana. [13] : Perbedaan Turut Serta dan Pembantuan Tindak Pidana Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. Dasar Hukum : Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ; Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana . Referensi : Andi Sofyan dan Nur Azisa. Hukum Pidana . Makassar: Pustaka Pena Press, 2016; Fitri Wahyuni. Dasar-Dasar Hukum Pidana di Indonesia . Tangerang Selatan: PT Nusantara Persada Utama, 2017; Leden Marpaung. Asas-Teori-Praktik Hukum Pidana . Jakarta: Sinar Grafika, Jakarta, 2012; R. Sianturi. Asas-Asas Hukum Pidana dan Penerapannya . Jakarta: Alumni Ahaem-Petehaem, 1986. [1] Fitri Wahyuni. Dasar-Dasar Hukum Pidana di Indonesia . Tangerang Selatan: PT Nusantara Persada Utama. 2017, hal. 128 [2] Andi Sofyan dan Nur Azisa. Hukum Pidana . Makassar: Pustaka Pena Press, 2016, hal. 198 [3] Leden Marpaung. Asas-Teori-Praktik Hukum Pidana . Jakarta: Sinar Grafika, Jakarta, 2012, hal. 90 [4] Leden Marpaung. Asas-Teori-Praktik Hukum Pidana . Jakarta: Sinar Grafika, Jakarta, 2012, hal. 90 [5] Andi Sofyan dan Nur Azisa. Hukum Pidana . Makassar: Pustaka Pena Press, 2016, hal. 199 [6] Andi Sofyan dan Nur Azisa. Hukum Pidana . Makassar: Pustaka Pena Press, 2016, hal. 199-200 [7] S.R. Sianturi. Asas-Asas Hukum Pidana dan Penerapannya . Jakarta: Alumni Ahaem-Petehaem, 1986, hal. 375 [8] Pasal 57 ayat (3) dan (4) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”) [9] Andi Sofyan dan Nur Azisa. Hukum Pidana . Makassar: Pustaka Pena Press, 2016, hal. 201-202 [10] Pasal 624 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“UU 1/2023”) [11] Pasal 79 ayat (1) huruf b UU 1/2023 [12] Penjelasan Pasal 21 ayat (1) huruf a UU 1/2023 [13] Penjelasan Pasal 21 ayat (1) huruf b UU 1/2023 TAGS potd tindak pidana kuhp | {88: 'istilh omne principale trahit ad se accessorium, yang memiliki arti di mana ada pelaku utama, di situ ada pelaku pembantu', 89: 'Jika telah melakukan perbuatan pelaksanaan, pelaku telah termasuk mededader (turut serta melakukan) bukan lagi membantu.', 90: 'Dalam buku "Asas-Teori-Praktik Hukum Pidana" karya Leden Marpaung (2012, hal. 90), dijelaskan prinsip pertanggungjawaban pembantu (medeplichtige) dalam hukum pidana. Pembantuan bersifat aksesoris, artinya keberadaan pembantu bergantung pada adanya pelaku utama. Oleh karena itu, pertanggungjawaban pidana pembantu lebih ringan dibandingkan pelaku utama karena perannya yang lebih kecil dan hanya membantu mempermudah kejahatan. Konsekuensinya, pidana yang dijatuhkan pada pembantu mempertimbangkan hanya perbuatan yang secara sengaja dipermudah atau diperlancar olehnya, beserta akibat-akibatnya.', 91: 'Sebab jika hal ini dilakukan maka bukan termasuk bentuk pembantuan (medeplichtige) melainkan pembuat pelaksana.', 92: '[5] Berdasarkan uraian tersebut, maka syarat pembantuan adalah sebagai berikut: pembantuan harus dilakukan dengan sengaja; pembantu harus mengetahui jenis kejahatan yang dikehendaki oleh pembuat pelaksana dan untuk kejahatan itu ia memberikan bantuan bukan terhadap kejahatan lain; dan kesengajaan pembantu ditujukan untuk memudahkan atau memperlancarkan pembuat pelaksana melakukan kejahatan, artinya kesengajaan pembantu bukan merupakan unsur delik dan pembantu tidak melaksanakan anasir delik.', 93: 'Akan tetapi jika pelaku utama dibebaskan dari tuduhan maka dengan sendirinya tiada masalah pertanggungjawaban pula bagi pembantu.', 94: "['(1) dalam hal pembantuan, maksimum pidana pokok terhadap kejahatan, dikurangi sepertiga. biro hukum dan humas badan urusan administrasi mahkamah agung-ri\\x01 \\x01', '(2) jika kejahatan diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, dijatuhkan pidana penjara paling lama lima belas tahun.', '(3) pidana tambahan bagi pembantuan sama dengan kejahatannya sendiri.']", 95: '[8] Jadi pada prinsipnya, pertanggungjawaban pembantu lebih ringan dari pembuat, karena pembantuan bersifat accesoir, artinya untuk adanya pembantuan harus ada orang yang melakukan kejahatan sebagai orang yang dibantu.', 4: 'Undang-Undang ini mulai berlaku setelah 3 (tiga) tahun terhitung sejak tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.', 37: "['(1) pidana denda paling banyak ditetapkan berdasarkan: a. kategori i, rp1.000.000,00 (satu juta rupiah); b. kategori ii, rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah); c. kategori iii, rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah); d. kategori iv, rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah); e. kategori v, rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah); f. kategori vi, rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah); g. kategori vii, rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah); dan h. kategori viii, rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah).']", 96: 'Huruf a Dalam ketentuan ini, pembantuan dilakukan sebelum dan sejak pelaksanaan Tindak Pidana dengan memberikan kesempatan, sarana, maupun keterangan.', 97: 'Dalam ketentuan ini, memberi bantuan pada waktu Tindak Pidana dilakukan hampir terdapat kesamaan dengan turut serta melakukan Tindak Pidana. Dalam turut serta melakukan Tindak Pidana terdapat kerja sama yang erat antarmereka yang turut serta melakukan Tindak Pidana, tetapi dalam pembantuan melakukan Tindak Pidana, kerja sama antara pelaku Tindak Pidana dan orang yang membantu tidak seerat kerja sama dalam turut serta melakukan Tindak Pidana.'} |
Saya sering membaca kasus kekerasan seksual yang dialami perempuan maupun laki-laki. Apa itu kekerasan seksual apa saja jenis-jenis tindak pidana kekerasan seksual? | ULASAN LENGKAP . Apa yang Dimaksud dengan Kekerasan Seksual? Kekerasan seksual dapat diartikan sebagai terjadinya pendekatan seksual yang tidak diinginkan oleh seseorang terhadap orang lain. Pendekatan seksual ini dapat terjadi dalam berbagai bentuk baik itu fisik maupun verbal. [1] Saat ini, Indonesia memiliki peraturan khusus tentang tindak pidana kekerasan seksual, yaitu UU TPKS . Merujuk Pasal 1 angka 1 UU TPKS , yang dimaksud dengan tindak pidana kekerasan seksual adalah segala perbuatan yang memenuhi unsur tindak pidana sebagaimana diatur dalam undang-undang ini dan perbuatan seksual lainnya sebagaimana diatur dalam undang-undang sepanjang ditentukan dalam undang-undang ini. Kekerasan seksual dapat dialami baik oleh perempuan maupun laki-laki, atau dapat disebut sebagai korban. Definisi korban dalam UU TPKS adalah orang yang mengalami penderitaan fisik, mental, kerugian ekonomi, dan/atau kerugian sosial yang diakibatkan tindak pidana kekerasan seksual. [2] Jenis-jenis Kekerasan Seksual Menurut Pasal 4 UU TPKS Jenis-jenis kekerasan seksual secara hukum dapat mengacu ketentuan dalam Pasal 4 UU TPKS . Dari bunyi Pasal 4 ayat (1) UU TPKS , tindak pidana kekerasan seksual terdiri atas: pelecehan seksual nonfisik, yaitu pernyataan, gerak tubuh, atau aktivitas yang tidak patut dan mengarah kepada seksualitas dengan tujuan merendahkan atau mempermalukan; [3] pelecehan seksual fisik; pemaksaan kontrasepsi; pemaksaan sterilisasi; pemaksaan perkawinan; penyiksaan seksual; eksploitasi seksual; perbudakan seksual; dan kekerasan seksual berbasis elektronik. Lebih lanjut, Pasal 4 ayat (2) UU TPKS menerangkan bahwa tindak pidana kekerasan seksual juga meliputi: perkosaan; perbuatan cabul; persetubuhan terhadap anak, perbuatan cabul terhadap anak, dan/atau eksploitasi seksual terhadap anak; perbuatan melanggar kesusilaan yang bertentangan dengan kehendak korban; pornografi yang melibatkan anak atau pornografi yang secara eksplisit memuat kekerasan dan eksploitasi seksual; pemaksaan pelacuran; tindak pidana perdagangan orang yang ditujukan untuk eksploitasi seksual; kekerasan seksual dalam lingkup rumah tangga; tindak pidana pencucian uang yang tindak pidana asalnya merupakan tindak pidana kekerasan seksual; dan tindak pidana lain yang dinyatakan secara tegas sebagai tindak pidana kekerasan seksual sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan. Sanksi Pidana Pelaku Kekerasan Seksual Pelecehan Seksual Nonfisik Setiap orang yang melakukan perbuatan seksual secara nonfisik yang ditujukan terhadap tubuh, keinginan seksual, dan/atau organ reproduksi dengan maksud merendahkan harkat dan martabat seseorang berdasarkan seksualitas dan/atau kesusilaannya, dapat dipidana penjara paling lama 9 bulan dan/atau pidana denda paling banyak Rp10 juta. [4] Pelecehan Seksual Fisik Dipidana karena pelecehan seksual fisik , setiap orang yang melakukan perbuatan seksual secara fisik yang ditujukan terhadap tubuh, keinginan seksual, dan/atau organ reproduksi dengan maksud: merendahkan harkat dan martabat seseorang berdasarkan seksualitas dan/atau kesusilaannya yang tidak termasuk dalam ketentuan pidana lain yang lebih berat, dipidana penjara paling lama 4 tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp50 juta. [5] menempatkan seseorang di bawah kekuasaannya secara melawan hukum, baik di dalam maupun di luar perkawinan , dipidana penjara paling lama 12 tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp300 juta. [6] Kemudian, setiap orang yang menyalahgunakan kedudukan, wewenang, kepercayaan, atau perbawa yang timbul dari tipu muslihat atau hubungan keadaan atau memanfaatkan kerentanan, ketidaksetaraan atau ketergantungan seseorang, memaksa atau dengan penyesatan menggerakkan orang itu untuk melakukan atau membiarkan dilakukan persetubuhan atau perbuatan cabul dengannya atau dengan orang lain , dipidana dengan pidana penjara paling lama 12 tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp300 juta. [7] Sebagai informasi, pelecehan seksual nonfisik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 dan Pasal 6 huruf a UU TPKS merupakan delik aduan . [8] Namun, ketentuan ini tidak berlaku bagi korban penyandang disabilitas atau anak. [9] Pemaksaan Kontrasepsi Setiap orang yang melakukan perbuatan memaksa orang lain menggunakan alat kontrasepsi dengan kekerasan atau ancaman kekerasan, penyalahgunaan kekuasaan, penyesatan, penipuan, membuat atau memanfaatkan kondisi tidak berdaya yang dapat membuat kehilangan fungsi reproduksinya untuk sementara waktu, dipidana karena pemaksaan kontrasepsi , dengan pidana penjara maksimal 5 tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp50 juta. [10] Pemaksaan Sterilisasi Setiap orang yang melakukan perbuatan memaksa orang lain menggunakan alat kontrasepsi dengan kekerasan atau ancaman kekerasan, penyalahgunaan kekuasaan, penyesatan, penipuan, membuat atau memanfaatkan kondisi tidak berdaya yang dapat membuat kehilangan fungsi reproduksinya secara tetap, dipidana karena pemaksaan sterilisasi , dengan pidana penjara paling lama 9 tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp200 juta. [11] Pemaksaan Perkawinan Setiap orang yang secara melawan hukum memaksa, menempatkan seseorang di bawah kekuasaannya atau orang lain, atau menyalahgunakan kekuasaannya untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perkawinan dengannya atau dengan orang lain, dipidana karena pemaksaan perkawinan , dengan pidana penjara maksimal 9 tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp200 juta. [12] Sebagai informasi, termasuk juga pemaksaan perkawinan, yaitu perkawinan anak, pemaksaan perkawinan dengan mengatasnamakan praktik budaya, atau pemaksaan perkawinan korban dengan pelaku perkosaan. [13] Penyiksaan Seksual Sepanjang penelusuran kami, penyiksaan seksual dalam UU TPKS secara spesifik mengatur tentang penyiksaan yang dilakukan oleh pejabat. Menurut Pasal 11 UU TPKS , pejabat atau orang yang bertindak dalam kapasitas sebagai pejabat resmi, atau orang yang bertindak karena digerakkan atau sepengetahuan pejabat melakukan kekerasan seksual terhadap orang dengan tujuan: intimidasi untuk memperoleh informasi atau pengakuan dari orang tersebut atau pihak ketiga; persekusi atau memberikan hukuman terhadap perbuatan yang telah dicurigai atau dilakukannya; dan/atau mempermalukan atau merendahkan martabat atas alasan diskriminasi dan/atau seksual dalam segala bentuknya, dipidana karena penyiksaan seksual , dengan pidana penjara maksimal 12 tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp300 juta. Eksploitasi Seksual Setiap orang dengan kekerasan atau ancaman kekerasan atau dengan menyalahgunakan kedudukan, wewenang, kepercayaan, perbawa yang timbul dari tipu muslihat atau hubungan keadaan, kerentanan, ketidaksetaraan, ketidakberdayaan, ketergantungan seseorang, penjeratan hutang atau memberi bayaran atau manfaat dengan maksud untuk mendapatkan keuntungan, atau memanfaatkan organ tubuh seksual atau organ tubuh lain dari orang itu yang ditujukan terhadap keinginan seksual dengannya atau dengan orang lain, dipidana karena eksploitasi seksual , dengan pidana penjara maksimal 15 tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp1 miliar. [14] Perbudakan Seksual Berdasarkan Pasal 13 UU TPKS , setiap orang secara melawan hukum menempatkan seseorang di bawah kekuasaannya atau orang lain dan menjadikannya tidak berdaya dengan maksud mengeksploitasinya secara seksual, dipidana karena perbudakan seksual , dengan pidana penjara paling lama 15 tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp1 miliar. Kekerasan Seksual Berbasis Elektronik Selanjutnya, menurut Pasal 14 ayat (1) UU TPKS , setiap orang yang tanpa hak: melakukan perekaman dan/atau mengambil gambar atau tangkapan layar yang bermuatan seksual di luar kehendak atau tanpa persetujuan orang yang menjadi objek perekaman atau gambar atau tangkapan layar; mentransmisikan informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang bermuatan seksual di luar kehendak penerima yang ditujukan terhadap keinginan seksual; dan/atau melakukan penguntitan dan/atau pelacakan menggunakan sistem elektronik terhadap orang yang menjadi objek dalam informasi/dokumen elektronik untuk tujuan seksual, dipidana karena melakukan kekerasan seksual berbasis elektronik , dengan pidana penjara paling lama 4 tahun dan/atau denda paling banyak Rp200 juta. Namun, jika perbuatan di atas dilakukan dengan maksud untuk melakukan pemerasan atau pengancaman, memaksa, atau menyesatkan dan/atau memperdaya seseorang supaya melakukan, membiarkan dilakukan, atau tidak melakukan sesuatu, dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 tahun dan/atau denda paling banyak Rp300 juta. [15] Penting untuk diketahui, kekerasan seksual berbasis elektronik sebagaimana dimaksud pada Pasal 14 ayat (1) merupakan delik aduan , kecuali korban adalah anak atau penyandang disabilitas. [16] Kemudian, jika perbuatan pada Pasal 14 ayat (1) huruf a dan b dilakukan demi kepentingan umum atau untuk pembelaan atas dirinya sendiri dari tindak pidana kekerasan seksual, tidak dapat dipidana . [17] Adapun jika korban kekerasan seksual berbasis elektronik sebagaimana dimaksud pada Pasal 14 ayat (1) huruf a dan b merupakan anak atau penyandang disabilitas , adanya kehendak atau persetujuan korban tidak menghapuskan tuntutan pidana . [18] Selanjutnya, berdasarkan penelusuran kami, jenis-jenis kekerasan seksual dalam Pasal 4 ayat (2) UU TPKS, ancaman pidananya diatur dalam ketentuan-ketentuan yang berbeda, misalnya: Perkosaan, perbuatan cabul, perbuatan melanggar kesusilaan, pemaksaan pelacuran, diatur dalam KUHP lama yang masih berlaku pada saat artikel ini diterbitkan atau UU 1/2023 tentang KUHP baru yang mulai berlaku 3 tahun terhitung sejak tanggal diundangkan, [19] yakni pada tahun 2026. Persetubuhan terhadap anak, perbuatan cabul terhadap anak, eksploitasi seksual terhadap anak, diatur dalam UU Perlindungan Anak dan perubahannya. Sedangkan pornografi yang melibatkan orang dewasa maupun anak diatur dalam UU Pornografi . Tindak pidana perdagangan orang diatur dalam UU TPPO . Kekerasan seksual dalam lingkup rumah tangga diatur dalam UU PKDRT . Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. Dasar Hukum : Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ; Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak ; Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga ; Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang ; Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi ; Undang-Undang Nomor 35 tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak ; Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak ; Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Menjadi Undang-Undang ; Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual ; Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana . Referensi : Rosania Paradiaz dan Eko Soponyono. Perlindungan hukum Terhadap Korban Pelecehan Seksual . Jurnal Pembangunan Hukum Indonesia, Vol. 4, No. 1, 2022. [1] Rosania Paradiaz dan Eko Soponyono. Perlindungan hukum Terhadap Korban Pelecehan Seksual . Jurnal Pembangunan Hukum Indonesia, Vol. 4, No. 1, 2022, hal. 62 [2] Pasal 1 angka 4 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (“UU TPKS”) [3] Penjelasan Pasal 5 UU TPKS [4] Pasal 5 UU TPKS [5] Pasal 6 huruf a UU TPKS [6] Pasal 6 huruf b UU TPKS [7] Pasal 6 huruf c UU TPKS [8] Pasal 7 ayat (1) UU TPKS [9] Pasal 7 ayat (2) UU TPKS [10] Pasal 8 UU TPKS [11] Pasal 9 UU TPKS [12] Pasal 10 ayat (1) UU TPKS [13] Pasal 10 ayat (2) UU TPKS [14] Pasal 12 UU TPKS [15] Pasal 14 ayat (2) UU TPKS [16] Pasal 14 ayat (3) UU TPKS [17] Pasal 14 ayat (4) UU TPKS [18] Pasal 14 ayat (5) UU TPKS [19] Pasal 624 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana TAGS pelecehan pelecehan seksual kekerasan seksual potd | {110: 'Kekerasan seksual dapat diartikan sebagai terjadinya pendekatan seksual yang tidak diinginkan oleh seseorang terhadap orang lain. Pendekatan seksual ini dapat terjadi dalam berbagai bentuk baik itu fisik maupun verbal', 55: '4. korban adalah orang yang mengalami penderitaan frsik, mental, kerugian ekonomi, dan f atau kerugian sosial yang diakibatkan tindak pidana kekerasan seksual', 111: "Yang dimaksud dengan 'perbuatan seksual secara nonfisik' adalah pernyataan, gerak tubuh, atau aktivitas yang tidak patut dan mengarah kepada seksualitas dengan tujuan merendahkan atau mempermalukan.", 112: 'pasal 5 setiap orang yang melakukan perbuatan seksual secara nonfisik yang ditujukan terhadap tubuh, keinginan seksual, dan/atau organ reproduksi dengan maksud merendahkan harkat dan martabat seseorzrng berdasarkan seksualitas dan/atau kesusilaannya, dipidana karena pelecehan seksual nonfisik, dengan pidana penjara paling lama 9 (sembilan) bulan dan/ atau pidana denda paling banyak rp10.00o.000,00 (sepuluh juta rupiah).', 113: 'pasal 6 dipidana karena pelecehan seksual frsik: a. setiap orang yang melakukan perbuatan seksual secara ftsik yang ditqjukan terhadap tubuh, keinginan seksual, dan/ atau organ reproduksi dengan maksud merendahkan harkat dan martabat seseorang berdasarkan seksualitas dan/atau kesusilaannya yang tidak termasuk dalam ketentuan pidana lain yang lebih berat dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/ atau pidana denda paling banyak rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah). b. setiap orang yang melakukan perbuatan seksual secara fisik yarrg ditujukan terhadap tubuh, keinginan seksual, dan/ atau organ reproduksi dengan maksud menempatkan seseorang di bawah kekuasaannya secara melawan hukum, baik di dalam maupun di luar perkawinan dengan pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun dan/ atau pidana denda paling banyak rp300.o00.00o,00 (tiga ratus juta rupiah). sk no 146008 a presiden repijblik inoonesia -9- c. setiap orang yang menyalahgunakan kedudukan, wewenang, kepercayaan, atau perbawa yang timbul dari tipu muslihat atau hubungan keadaan atau memanfaatkan kerentanan, ketidaksetaraan atau ketergantungan seseorang, memaksa atau dengan penyesatan menggerakkan orang itu untuk melakukan atau membiarkan dilakukan persetubuhan atau perbuatan cabul dengannya atau dengan orang lain, dipidana dengan pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun dan/ atau pidana denda paling banyak rp300.00o.00o,00 (tiga ratus juta rupiah).', 114: 'pasal 6 dipidana karena pelecehan seksual frsik: a. setiap orang yang melakukan perbuatan seksual secara ftsik yang ditqjukan terhadap tubuh, keinginan seksual, dan/ atau organ reproduksi dengan maksud merendahkan harkat dan martabat seseorang berdasarkan seksualitas dan/atau kesusilaannya yang tidak termasuk dalam ketentuan pidana lain yang lebih berat dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/ atau pidana denda paling banyak rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah). b. setiap orang yang melakukan perbuatan seksual secara fisik yarrg ditujukan terhadap tubuh, keinginan seksual, dan/ atau organ reproduksi dengan maksud menempatkan seseorang di bawah kekuasaannya secara melawan hukum, baik di dalam maupun di luar perkawinan dengan pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun dan/ atau pidana denda paling banyak rp300.o00.00o,00 (tiga ratus juta rupiah). sk no 146008 a presiden repijblik inoonesia -9- c. setiap orang yang menyalahgunakan kedudukan, wewenang, kepercayaan, atau perbawa yang timbul dari tipu muslihat atau hubungan keadaan atau memanfaatkan kerentanan, ketidaksetaraan atau ketergantungan seseorang, memaksa atau dengan penyesatan menggerakkan orang itu untuk melakukan atau membiarkan dilakukan persetubuhan atau perbuatan cabul dengannya atau dengan orang lain, dipidana dengan pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun dan/ atau pidana denda paling banyak rp300.00o.00o,00 (tiga ratus juta rupiah).', 115: 'pasal 6 dipidana karena pelecehan seksual frsik: a. setiap orang yang melakukan perbuatan seksual secara ftsik yang ditqjukan terhadap tubuh, keinginan seksual, dan/ atau organ reproduksi dengan maksud merendahkan harkat dan martabat seseorang berdasarkan seksualitas dan/atau kesusilaannya yang tidak termasuk dalam ketentuan pidana lain yang lebih berat dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/ atau pidana denda paling banyak rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah). b. setiap orang yang melakukan perbuatan seksual secara fisik yarrg ditujukan terhadap tubuh, keinginan seksual, dan/ atau organ reproduksi dengan maksud menempatkan seseorang di bawah kekuasaannya secara melawan hukum, baik di dalam maupun di luar perkawinan dengan pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun dan/ atau pidana denda paling banyak rp300.o00.00o,00 (tiga ratus juta rupiah). sk no 146008 a presiden repijblik inoonesia -9- c. setiap orang yang menyalahgunakan kedudukan, wewenang, kepercayaan, atau perbawa yang timbul dari tipu muslihat atau hubungan keadaan atau memanfaatkan kerentanan, ketidaksetaraan atau ketergantungan seseorang, memaksa atau dengan penyesatan menggerakkan orang itu untuk melakukan atau membiarkan dilakukan persetubuhan atau perbuatan cabul dengannya atau dengan orang lain, dipidana dengan pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun dan/ atau pidana denda paling banyak rp300.00o.00o,00 (tiga ratus juta rupiah).', 116: "['(1) pelecehan seksual nonfisik sebagaimana dimaksud dalam pasal 5 dan pelecehan seksual fisik sebagaimana dimaksud dalam pasal 6 huruf a merupakan delik aduan.']", 117: "['(1) pelecehan seksual nonfisik sebagaimana dimaksud dalam pasal 5 dan pelecehan seksual fisik sebagaimana dimaksud dalam pasal 6 huruf a merupakan delik aduan.']", 118: 'pasal 8 setiap orang yang melakukan perbuatan memaksa orang lain menggunakan alat kontrasepsi dengan kekerasan atau ancaman kekerasan, penyalahgunaan kekuasaan, penyesatan, penipuan, membuat atau memanfaatkan kondisi tidaf< berdaya yang dapat membuat kehilangan fungsi reproduksinya untuk sementara waktu, dipidana karena pemaksaan kontrasepsi, dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/ atau pidana denda paling banyak rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah). sk no 146009a presiden repuelik indonesia -10-', 119: 'pasal 9 setiap orang yang melakukan perbuatan memaksa orang lain menggunakan alat kontrasepsi dengan kekerasan atau ancaman kekerasan, penyalahgunaan kekuasaan, penyesatan, penipuan, membuat atau memanfaatkan kondisi tidak berdaya yang dapat membuat kehilangan fungsi reproduksinya secara tetap, dipidana karena pemaksaan sterilisasi, dengan pidana penjara paling lama 9 (sembilan) tahun dan/atau pidana denda paling banyak rp200.ooo.000,oo (dua ratus juta rupiah).', 120: "['(1) setiap orang secara melawan hukum memaksa, menempatkan seseorang di bawah kekrlasaannya atau orang lain, atau kekuasaannya untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perkawinan dengannya atau dengan orang lain, dipidana karena pemaksaan perkawinan, dengan pidana penjara paling lama 9 (sembilan) tahun dan/ atau pidana denda paling banyak rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).']", 121: "['(1) setiap orang secara melawan hukum memaksa, menempatkan seseorang di bawah kekrlasaannya atau orang lain, atau kekuasaannya untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perkawinan dengannya atau dengan orang lain, dipidana karena pemaksaan perkawinan, dengan pidana penjara paling lama 9 (sembilan) tahun dan/ atau pidana denda paling banyak rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).']", 122: 'pasal 12 setiap orang dengan kekerasan atau ancaman kekerasan atau dengan menyalahgunakan kedudukan, wewenang, kepercayaan, perbawa yang timbul dari tipu muslihat atau hubungan keadaan, kerentanan, ketidaksetaraan, ketidakberdayaan, ketergantungan seseorang, penjeratan hutang atau memberi bayaran atau manfaat dengan maksud untuk mendapatkan keuntungan, atau memanfaatkan organ tubuh seksual atau organ tubuh lain dari orang itu yang ditujukan terhadap keinginan seksual dengannya atau dengan orang lain, dipidana karena eksploitasi seksual, dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan/atau pidana denda paling banyak rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). sk no 146011a presiden republik indonesia -t2-', 123: "['(1) setiap orang yang tanpa hak: a. melakukan perekaman dan/ atau mengambil gambar atau tangkapan layar yang bermuatan seksual di luar kehendak atau tanpa persetqjuan orang yang menjadi objek perekaman atau gambar atau tangkapan layar; b. mentransmisikan informasi elektronik dan/ atau dokumen elektronik yang bermuatan seksual di luar kehendak penerima yang ditujukan terhadap keinginan seksual; dan/atau c. melakukan penguntitan dan/ atau pelacakan menggunakan sistem elektronik terhadap orang yang menjadi obyek dalam informasi/dokumen elektronik untuk tujuan seksual, dipidana karena melakukan kekerasan seksual berbasis elektronik, dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/ atau denda paling banyak rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).', '(2) dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan maksud: a. untuk melakukan pemerasan atau pengancaman, memaksa; atau sk no 146012a presiden republik indonesia b. menyesatkan dan/atau memperdaya, seseorang supaya melakukan, membiarkan dilakukan, atau tidak melakukan sesuatu, dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak rp300.00o.000,00 (tiga ratus juta rupiah).', '(3) kekerasan seksual berbasis elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan delik aduan, kecuali korban adalah anak atau penyandang disabilitas.', '(4) dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf b dilakukan demi kepentingan umum atau untuk pembelaan atas dirinya sendiri dari tindak pidana kekerasan seksual, tidak dapat dipidana.']", 124: "['(1) setiap orang yang tanpa hak: a. melakukan perekaman dan/ atau mengambil gambar atau tangkapan layar yang bermuatan seksual di luar kehendak atau tanpa persetqjuan orang yang menjadi objek perekaman atau gambar atau tangkapan layar; b. mentransmisikan informasi elektronik dan/ atau dokumen elektronik yang bermuatan seksual di luar kehendak penerima yang ditujukan terhadap keinginan seksual; dan/atau c. melakukan penguntitan dan/ atau pelacakan menggunakan sistem elektronik terhadap orang yang menjadi obyek dalam informasi/dokumen elektronik untuk tujuan seksual, dipidana karena melakukan kekerasan seksual berbasis elektronik, dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/ atau denda paling banyak rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).', '(2) dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan maksud: a. untuk melakukan pemerasan atau pengancaman, memaksa; atau sk no 146012a presiden republik indonesia b. menyesatkan dan/atau memperdaya, seseorang supaya melakukan, membiarkan dilakukan, atau tidak melakukan sesuatu, dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak rp300.00o.000,00 (tiga ratus juta rupiah).', '(3) kekerasan seksual berbasis elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan delik aduan, kecuali korban adalah anak atau penyandang disabilitas.', '(4) dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf b dilakukan demi kepentingan umum atau untuk pembelaan atas dirinya sendiri dari tindak pidana kekerasan seksual, tidak dapat dipidana.']", 125: "['(1) setiap orang yang tanpa hak: a. melakukan perekaman dan/ atau mengambil gambar atau tangkapan layar yang bermuatan seksual di luar kehendak atau tanpa persetqjuan orang yang menjadi objek perekaman atau gambar atau tangkapan layar; b. mentransmisikan informasi elektronik dan/ atau dokumen elektronik yang bermuatan seksual di luar kehendak penerima yang ditujukan terhadap keinginan seksual; dan/atau c. melakukan penguntitan dan/ atau pelacakan menggunakan sistem elektronik terhadap orang yang menjadi obyek dalam informasi/dokumen elektronik untuk tujuan seksual, dipidana karena melakukan kekerasan seksual berbasis elektronik, dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/ atau denda paling banyak rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).', '(2) dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan maksud: a. untuk melakukan pemerasan atau pengancaman, memaksa; atau sk no 146012a presiden republik indonesia b. menyesatkan dan/atau memperdaya, seseorang supaya melakukan, membiarkan dilakukan, atau tidak melakukan sesuatu, dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak rp300.00o.000,00 (tiga ratus juta rupiah).', '(3) kekerasan seksual berbasis elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan delik aduan, kecuali korban adalah anak atau penyandang disabilitas.', '(4) dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf b dilakukan demi kepentingan umum atau untuk pembelaan atas dirinya sendiri dari tindak pidana kekerasan seksual, tidak dapat dipidana.']", 126: "['(1) setiap orang yang tanpa hak: a. melakukan perekaman dan/ atau mengambil gambar atau tangkapan layar yang bermuatan seksual di luar kehendak atau tanpa persetqjuan orang yang menjadi objek perekaman atau gambar atau tangkapan layar; b. mentransmisikan informasi elektronik dan/ atau dokumen elektronik yang bermuatan seksual di luar kehendak penerima yang ditujukan terhadap keinginan seksual; dan/atau c. melakukan penguntitan dan/ atau pelacakan menggunakan sistem elektronik terhadap orang yang menjadi obyek dalam informasi/dokumen elektronik untuk tujuan seksual, dipidana karena melakukan kekerasan seksual berbasis elektronik, dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/ atau denda paling banyak rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).', '(2) dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan maksud: a. untuk melakukan pemerasan atau pengancaman, memaksa; atau sk no 146012a presiden republik indonesia b. menyesatkan dan/atau memperdaya, seseorang supaya melakukan, membiarkan dilakukan, atau tidak melakukan sesuatu, dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak rp300.00o.000,00 (tiga ratus juta rupiah).', '(3) kekerasan seksual berbasis elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan delik aduan, kecuali korban adalah anak atau penyandang disabilitas.', '(4) dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf b dilakukan demi kepentingan umum atau untuk pembelaan atas dirinya sendiri dari tindak pidana kekerasan seksual, tidak dapat dipidana.']", 20: 'Undang-Undang ini mulai berlaku setelah 3 (tiga) tahun terhitung sejak tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.'} |
Saya pernah ikut ospek di kampus dan itu cukup mengagetkan saya sendiri, karena di ospek tersebut ada acara bentak-bentak, maki-maki, bahkan ada juga yang main tangan (memukul), walaupun pukulan tersebut tidak mengakibatkan luka berat. Pertanyaannya, apakah hal tersebut bisa dipidanakan? Alasan mereka sih melakukan hal tersebut untuk melatih mental kita mahasiswa. | ULASAN LENGKAP dari artikel dengan judul Apakah Perploncoan di Kampus Bisa Dipidanakan? yang dibuat oleh M. Naufal Fileindi, S.H. & Anandito Utomo, S.H. dan pertama kali dipublikasikan pada 30 Juli 2012. Artikel ini dibuat berdasarkan KUHP lama dan UU 1/2023 tentang KUHP yang diundangkan pada tanggal 2 Januari 2023. . Orientasi Studi dan Pengenalan Kampus Orientasi Studi dan Pengenalan Kampus (“ospek”) pada dasarnya merupakan kegiatan Pengenalan Kehidupan Kampus bagi Mahasiswa Baru (“PKKMB”) yang penyelenggaraannya merujuk pada Panduan Pengenalan Kehidupan Kampus bagi Mahasiswa Baru (PKKMB) 2024 (“Panduan PKKMB 2024”) , dan diterbitkan oleh Direktorat Pembelajaran dan Kemahasiswaan . Selain itu, ospek juga bertujuan untuk memberikan pengenalan awal bagi mahasiswa baru terhadap berbagai aspek kehidupan perguruan tinggi seperti statuta universitas, peraturan akademik, sistem kurikulum, cara belajar di perguruan tinggi, etika mahasiswa, dan organisasi kemahasiswaan. Di samping itu, ospek dapat menjadi tempat memperkenalkan pimpinan universitas, fakultas, dan jurusan/program studi. Oleh karena itu, ospek bagi mahasiswa baru merupakan kegiatan yang sangat penting sebagai gerbang masuk menuju kehidupan kampus yang sekaligus sebagai awal langkah pengenalan dan pengembangan budaya akademis. [1] Masih bersumber dari Panduan PKKMB 2024, tujuan pelaksanaan PKKMB ini adalah untuk menyiapkan mahasiswa baru melewati proses transisi menjadi mahasiswa yang dewasa dan mandiri, mempercepat proses adaptasi mahasiswa dengan lingkungan yang baru, dan memberikan bekal untuk keberhasilannya menempuh pendidikan di perguruan tinggi (hal. 2). Kemudian, dalam pelaksanaan PKKMB, kampus/perguruan tinggi tidak diperbolehkan mengembangkan model pengenalan kampus sesuai dengan interpretasi masing-masing sehingga terjadi penyimpangan antara lain berbentuk aktivitas perundungan oleh mahasiswa senior, atribut kegiatan yang membebani mahasiswa baru, kekerasan fisik , dan psikis . Kegiatan yang menyimpang dapat berakhir dengan adanya korban jiwa yang tentu saja dapat menimbulkan kecemasan, kekhawatiran, dan ketakutan bagi mahasiswa baru, orang tua, dan Masyarakat (hal. 3). Terdapat juga asas-asas pelaksanaan PKKMB yang terdiri atas (hal. 4): asas keterbukaan, yaitu semua kegiatan PKKMB dilakukan secara terbuka, baik dalam hal pembiayaan, materi/substansi kegiatan, dan berbagai informasi waktu maupun tempat penyelenggaraan kegiatan; asas demokratis, yaitu semua kegiatan dilakukan dengan berdasarkan kesetaraan semua pihak, dengan menghormati hak dan kewajiban masing-masing pihak yang terlibat dalam kegiatan PKKMB; dan asas humanis, yaitu kegiatan PKKMB dilakukan berdasarkan kemanusiaan yang adil dan beradab, dan prinsip persaudaraan, serta antikekerasan . Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa seharusnya dalam penyelenggaraan PKKMB tidak boleh disertai dengan kekerasan fisik, psikis atau bahkan perundungan . Lantas, apa hukumnya jika terjadi kekerasan dalam ospek, dalam hal ini bentak-bentak, maki-maki, dan main tangan (memukul)? Delik Pencemaran Nama Baik Terhadap tindakan bentakan maupun makian saat ospek, jika bentakan dan makian ditujukan untuk menyerang nama baik seseorang dengan menuduhkan sesuatu hal , pelaku berpotensi dijerat pasal pencemaran nama baik yang terdapat dalam Pasal 310 ayat (1) KUHP lama yang masih berlaku pada saat artikel ini diterbitkan jo. Putusan MK No. 78/PUU-XXI/2023 atau Pasal 433 ayat (1) UU 1/2023 tentang KUHP baru yang mulai berlaku 3 tahun terhitung sejak tanggal diundangkan, [2] yakni pada tahun 2026. Pasal 310 ayat (1) KUHP jo. Putusan MK No. 78/PUU-XXI/2023 Pasal 433 ayat (1) UU 1/2023 Barang siapa sengaja menyerang kehormatan atau nama baik seseorang dengan menuduhkan sesuatu hal dengan cara lisan , yang maksudnya terang supaya hal itu diketahui umum, diancam karena pencemaran dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau pidana denda paling banyak Rp4,5 juta. [3] Setiap orang dengan lisan menyerang kehormatan atau nama baik orang lain dengan cara menuduhkan suatu hal , dengan maksud supaya hal tersebut diketahui umum, dipidana karena pencemaran, dengan pidana penjara paling lama 9 bulan atau pidana denda paling banyak kategori II, yaitu Rp10 juta. [4] Terkait dengan Pasal 310 KUHP, R. Soesilo pada bukunya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal (hal. 225-226) menjelaskan bahwa tindakan “menghina” adalah menyerang kehormatan dan nama baik seseorang, yang diserang itu biasanya merasa malu. Sedangkan “kehormatan” yang diserang di sini hanya kehormatan nama baik, bukan “kehormatan” dalam lapangan seksual atau kehormatan yang dapat dicemarkan karena tersinggung anggota kemaluannya dalam lingkungan nafsu birahi. Supaya dapat dihukum atas dasar pasal ini, maka penghinaan itu harus dilakukan dengan cara menuduh seseorang telah melakukan perbuatan tertentu dengan maksud tuduhan itu diketahui secara umum (banyak orang). Adapun menurut Penjelasan Pasal 433 ayat (1) UU 1/2023 , sifat dari perbuatan pencemaran adalah jika perbuatan penghinaan yang dilakukan dengan cara menuduh, baik secara lisan, tulisan, maupun dengan gambar, yang menyerang kehormatan dan nama baik seseorang, sehingga merugikan orang tersebut. Perbuatan yang dituduhkan tidak perlu harus suatu tindak pidana. Objek tindak pidana menurut ketentuan dalam pasal ini adalah orang perseorangan. Sedangkan, penistaan terhadap lembaga pemerintah atau sekelompok orang tidak termasuk ketentuan pasal ini. Patut dicatat, baik tindak pidana Pasal 310 KUHP maupun Pasal 433 UU 1/2023 tidak dituntut jika tidak ada pengaduan dari korban tindak pidana. [5] : Bunyi Pasal 310 KUHP Pasca Putusan MK No. 78/PUU-XXI/2023 Delik Penghinaan Ringan Kemudian, jika bentuk penghinaan (dalam hal ini bentakan dan makian) tidak bersifat pencemaran atau tidak memuat tuduhan suatu perbuatan , maka pelaku berpotensi dijerat pasal penghinaan ringan sebagai berikut. Pasal 315 KUHP Pasal 436 UU 1/2023 Tiap-tiap penghinaan dengan sengaja yang tidak bersifat pencemaran atau pencemaran tertulis yang dilakukan terhadap seseorang, baik di muka umum dengan lisan atau tulisan, maupun di muka orang itu sendiri dengan lisan atau perbuatan, atau dengan surat yang dikirimkan atau diterimakan kepadanya, diancam karena penghinaan ringan dengan pidana penjara paling lama 4 bulan 2 minggu atau pidana denda paling banyak Rp4,5 juta. [6] Penghinaan yang tidak bersifat pencemaran atau pencemaran tertulis yang dilakukan terhadap orang lain baik di muka umum dengan lisan atau tulisan, maupun di muka orang yang dihina tersebut secara lisan atau dengan perbuatan atau dengan tulisan yang dikirimkan atau diterimakan kepadanya, dipidana karena penghinaan ringan dengan pidana penjara paling lama 6 bulan atau pidana denda paling banyak kategori II, yaitu sebesar Rp10 juta. [7] R. Soesilo pada buku yang sama menjelaskan bahwa apabila penghinaan dilakukan dengan tidak memuat tuduhan suatu perbuatan , misalnya dengan mengatakan “anjing”, “asu”, “sundel”, “bajingan” dan sebagainya , maka masuk pasal 315 KUHP dan dinamakan penghinaan ringan. (hal. 228) Kemudian, disarikan dari artikel Hukumnya Melabrak Orang Lain , agar pelaku bisa dihukum, kata-kata penghinaan harus dilakukan di depan umum, baik secara tertulis atau lisan. Jika tidak dilakukan di depan umum , supaya pelaku dapat dihukum, maka: Orang yang dihina harus berada disitu melihat dan mendengarnya sendiri. Bila dilakukan dengan surat atau tulisan, maka harus dialamatkan atau disampaikan kepada yang dihina. Kata-kata atau kalimat yang sifatnya dapat disebut menghina tergantung tempat dan waktu, seperti mengucapkan maling kepada pencuri. Penghinaan yang dilakukan dengan perbuatan seperti meludahi di mukanya, suatu sodokan, dorongan, tempelengan, dorongan yang sebenarnya merupakan penganiayaan, tetapi bila dilakukan tidak seberapa keras, dapat menimbulkan pula penghinaan. Penjelasan tersebut selaras dengan Penjelasan Pasal 436 UU 1/2023 , yaitu ketentuan ini mengatur penghinaan yang dilakukan dengan mengeluarkan perkataan yang tidak senonoh terhadap orang lain. Penghinaan tersebut dilakukan di muka umum dengan lisan atau tulisan, atau di muka orang yang dihina itu sendiri baik secara lisan, tulisan, maupun dengan perbuatan atau dengan tulisan yang dikirimkan kepadanya. Sebagai informasi, ketentuan hukum penghinaan ringan merupakan delik aduan , yakni perkara penghinaan terjadi jika ada pihak yang mengadu. Selengkapnya dapat Anda baca dalam Bunyi Pasal 315 KUHP tentang Penghinaan Ringan . Delik Penganiayaan Terhadap tindakan pemukulan mahasiswa baru saat ospek, pelaku pemukulan berpotensi untuk dijerat pasal penganiayaan ringan sebagai berikut. Pasal 352 ayat (1) KUHP Pasal 471 ayat (1) UU 1/2023 Kecuali yang tersebut dalam pasal 353 dan 356, maka penganiayaan yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau pencarian , diancam, sebagai penganiayaan ringan, dengan pidana penjara paling lama tiga bulan atau pidana denda paling banyak Rp4,5 juta. [8] Pidana dapat ditambah sepertiga bagi orang yang melakukan kejahatan itu terhadap orang yang bekerja padanya, atau menjadi bawahannya Selain penganiayaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 467 dan Pasal 470, penganiayaan yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan profesi jabatan atau mata pencaharian , dipidana karena penganiayaan ringan, dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) Bulan atau pidana denda paling banyak kategori II, yaitu sebesar Rp10 juta. [9] Dari bunyi pasal penganiayaan ringan di atas, pada intinya, dapat disimpulkan bahwa baik dalam Pasal 352 KUHP maupun Pasal 471 UU 1/2023, tindak pidana disebut penganiayaan ringan karena penganiayaan ini tidak menyebabkan luka atau penyakit dan tidak menyebabkan korban tidak bisa menjalankan aktivitas sehari-harinya . Unsur pasal penganiayaan ringan dan penjelasan selengkapnya dapat Anda temukan dalam Begini Bunyi Pasal 352 KUHP tentang Penganiayaan Ringan . Namun, sebagai informasi, jika ternyata korban pemukulan mengalami luka berat hingga kematian , pelaku dapat dijerat Pasal 351 KUHP atau Pasal 466 UU 1/2023 . Penjelasan tindak pidana penganiayaan yang berakibat luka berat dan mati dapat Anda baca selengkapnya dalam Ini Bunyi Pasal 351 KUHP tentang Penganiayaan . Pada praktiknya, penegak hukum dapat mengenakan pasal-pasal berlapis terhadap suatu tindak pidana yang memenuhi unsur-unsur perbuatan pencemaran nama baik, penghinaan, dan penganiayaan , sebagaimana diatur dalam KUHP atau UU 1/2023. Artinya, bila memang unsur-unsur tindak pidananya terpenuhi, penegak hukum dapat menggunakan pasal-pasal tersebut, atau penegak hukum dapat mengajukan dakwaan secara alternatif . Berdasarkan artikel Bentuk-bentuk Surat Dakwaan , dakwaan alternatif digunakan jika belum didapat kepastian tentang tindak pidana mana yang paling tepat dapat dibuktikan . : Surat Dakwaan: Pengertian, Fungsi, dan Jenisnya Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. Dasar Hukum : Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ; Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ; Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2012 tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda dalam KUHP . Putusan : Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 78/PUU-XXI/2023 . Referensi : Dedi Pramono (et.al). Model Program Pengenalan Kampus untuk Mengembangkan Kesiapan Karir Mahasiswa. Prosiding Seminar Nasional Pagelaran Pendidikan Dasar Nasional (PPND) 2019, Vol. 1, No. 1, 2019; R. Soesilo. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal , Bogor: Politeia, 1995; Panduan Pengenalan Kehidupan Kampus bagi Mahasiswa Baru (PKKMB) 2024 , yang diakses pada 17 September 2024, pukul 14.50 WIB. [1] Dedi Pramono (et.al). Model Program Pengenalan Kampus untuk Mengembangkan Kesiapan Karir Mahasiswa. Prosiding Seminar Nasional Pagelaran Pendidikan Dasar Nasional (PPND) 2019, Vol. 1, No. 1, 2019, hal. 308 [2] Pasal 624 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“UU 1/2023”) [3] Pasal 3 Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2012 tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda dalam KUHP (“Perma 2/2012”), denda dilipatgandakan menjadi 1.000 kali [4] Pasal 79 ayat (1) huruf b UU 1/2023 [5] Pasal 319 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan Pasal 440 UU 1/2023 [6] Pasal 3 Perma 2/2012, denda dilipatgandakan menjadi 1.000 kali [7] Pasal 79 ayat (1) huruf b UU 1/2023 [8] Pasal 3 Perma 2/2012, denda dilipatgandakan menjadi 1.000 kali [9] Pasal 79 ayat (1) huruf b UU 1/2023 TAGS kampus penganiayaan pencemaran nama baik penghinaan | {127: 'Oleh karena itu, ospek bagi mahasiswa baru merupakan kegiatan yang sangat penting sebagai gerbang masuk menuju kehidupan kampus yang sekaligus sebagai awal langkah pengenalan dan pengembangan budaya akademis.', 128: 'Undang-Undang ini mulai berlaku setelah 3 (tiga) tahun terhitung sejak tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.', 129: 'Tiap jumlah maksimum hukuman denda yang diancamkan dalam KUHP kecuali pasal 303 ayat 1 dan ayat 2, 303 bis ayat 1 dan ayat 2, dilipatgandakan menjadi 1.000 (seribu) kall,', 37: "['(1) pidana denda paling banyak ditetapkan berdasarkan: a. kategori i, rp1.000.000,00 (satu juta rupiah); b. kategori ii, rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah); c. kategori iii, rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah); d. kategori iv, rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah); e. kategori v, rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah); f. kategori vi, rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah); g. kategori vii, rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah); dan h. kategori viii, rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah).']", 130: 'pasal 319 setiap orang yang secara melawan hukum merusak, menghancurkan, atau membuat tidak dapat dipakai bangunan listrik atau mengakibatkan fungsi bangunan tersebut terganggu, atau menggagalkan atau mempersulit usaha penyelamatan atau perbaikan bangunan tersebut, dipidana dengan: a. pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak kategori v, jika perbuatan tersebut mengakibatkan rintangan atau kesulitan dalam mengalirkan tenaga listrik untuk kepentingan umum; b. pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun, jika perbuatan tersebut mengakibatkan bahaya umum bagi orang atau barang; c. pidana penjara paling lama 9 (sembilan) tahun, jika perbuatan tersebut mengakibatkan luka berat; atau d. pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun, jika perbuatan tersebut mengakibatkan matinya orang.', 131: 'Tiap jumlah maksimum hukuman denda yang diancamkan dalam KUHPkecuali pasal 303 ayat 1 dan ayat 2, 303 bis ayat 1 dan ayat 2, dilipatgandakan menjadi 1.000 (seribu) kall,'} |
Beberapa waktu lalu, ramai dibincangkan salah satu paslon gubernur/wakil gubernur independen yang akan maju dalam kontestasi pilkada mencatut KTP warga sebagai syarat mendaftarkan diri ke KPU. Adakah sanksi bagi paslon yang mencatut KTP masyarakat itu? | ULASAN LENGKAP . KTP-el sebagai Syarat Calon Kepala Daerah Independen Calon gubernur/wakil gubernur, calon bupati/wakil bupati, dan calon wali kota/wakil wali kota menjadi peserta pemilu apabila diusulkan oleh partai politik, gabungan partai politik, atau perseorangan yang didaftarkan atau mendaftar ke Komisi Pemilihan Umum (“KPU”) provinsi atau kabupaten/kota. [1] Pasangan calon (“paslon”) perseorangan menjadi peserta pemilihan kepala daerah (“pilkada”) jika didukung oleh sejumlah orang . [2] Untuk bisa mendaftarkan diri sebagai calon gubernur dan calon wakil gubernur, maka pasangan calon harus memenuhi syarat dukungan jumlah penduduk yang mempunyai hak pilih dan termuat dalam daftar pemilih tetap (“DPT”) pada pemilihan umum atau pilkada sebelumnya yang paling akhir di daerah bersangkutan, dengan syarat sebagai berikut: [3] Provinsi dengan jumlah penduduk yang termuat pada daftar pemilih tetap sampai dengan 2 juta jiwa harus didukung paling sedikit 10%; Provinsi dengan jumlah penduduk yang termuat pada daftar pemilih tetap lebih dari 2 juta jiwa sampai dengan 6 juta jiwa harus didukung paling sedikit 8,5%; Provinsi dengan jumlah penduduk yang termuat pada daftar pemilih tetap lebih dari 6 juta jiwa sampai dengan 12 juta jiwa harus didukung paling sedikit 7,5%; Provinsi dengan jumlah penduduk yang termuat pada daftar pemilih tetap lebih dari 12 juta jiwa harus didukung paling sedikit 6,5%; dan Jumlah dukungan tersebar di lebih dari 50% jumlah kabupaten/kota di provinsi dimaksud. Dukungan sebagaimana dimaksud di atas dibuat dalam bentuk surat dukungan yang disertai dengan fotokopi Kartu Tanda Penduduk Elektronik (“KTP-e”) atau surat keterangan yang diterbitkan Disdukcapil yang menerangkan bahwa penduduk tersebut berdomisili di wilayah administratif yang sedang menyelenggarakan pilkada paling singkat 1 tahun dan tercantum dalam DPT pemilu sebelumnya di provinsi atau kabupaten/kota dimaksud. [4] Sebagai catatan, frasa “ dan termuat ” serta “ dan tercantum ” pada ketentuan Pasal 41 ayat (1) dan ayat (3) UU 10/2016 di atas, berdasarkan Putusan MK No. 54/PUU-XIV/2016 (hal. 81 – 82) dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai bukan mengacu pada nama yang termuat/tercantum dalam DPT melainkan pada jumlah penduduk yang telah memiliki hak pilih . Berdasarkan ketentuan di atas, maka dapat dipahami bahwa syarat untuk maju menjadi calon gubernur/wakil gubernur perseorangan harus didukung sejumlah orang sesuai ketentuan UU 10/2016 dan dibuktikan dengan fotokopi KTP-el. Adakah Sanksi Administratif bagi Paslon yang Mencatut KTP-el? Lantas, adakah sanksi administratif bagi paslon gubernur/wakil gubernur yang sengaja mencatut KTP-el warga tanpa seizin yang bersangkutan menurut UU 1/2015 dan perubahannya? Sepanjang penelusuran kami, tidak terdapat ketentuan mengenai sanksi administratif yang secara spesifik mengancam paslon perseorangan yang mencatut KTP-el. UU 8/2015 hanya mengatur sanksi administratif bagi paslon dalam Pasal 53 ayat (4) berupa denda sebesar Rp20 miliar bagi paslon gubernur/wakil gubernur jika mengundurkan diri setelah ditetapkan oleh KPU provinsi. Meski demikian, merujuk pada Peraturan KPU 8/2024 , apabila terdapat pencatutan KTP-el dalam rangka menghimpun dukungan kepada paslon perseorangan, maka masyarakat yang terdaftar sebagai pendukung dapat memberikan tanggapan terhadap keberadaannya sebagai pendukung paslon yang bersangkutan . [5] Tanggapan masyarakat tersebut disampaikan kepada KPU provinsi atau kabupaten/kota secara tertulis disertai dengan bukti identitas diri dan dapat melampirkan bukti yang relevan. [6] Kemudian, KPU akan melakukan verifikasi terhadap tanggapan masyarakat tersebut. Apabila hasil verifikasi menyatakan tanggapan masyarakat itu terbukti kebenarannya, maka KPU provinsi dan KPU kabupaten/kota mengurangi dukungan hasil verifikasi kebenaran tanggapan masyarakat. [7] Jerat Hukum Catut KTP Warga untuk Maju Pilkada Mencatut KTP warga tanpa seizin yang bersangkutan untuk menjadi paslon perseorangan dalam pilkada termasuk ke dalam tindak pidana. Pasal 185A ayat (1) UU 10/2016 menyatakan bahwa setiap orang yang dengan sengaja memalsukan daftar dukungan terhadap calon perseorangan dipidana dengan pidana penjara paling singkat 36 bulan dan paling lama 72 bulan dan denda paling sedikit Rp36 juta dan paling banyak Rp72 juta. Apabila pencatutan KTP itu dilakukan oleh penyelenggara pilkada (seperti anggota KPU) dipidana dengan pidana yang sama dengan Pasal 185A ayat (1) UU 10/2016 dengan ditambah 1/3 dari ancaman pidana maksimumnya. [8] Selain dalam UU 10/2016 mencatut KTP-el orang tanpa izin juga dapat dijerat dengan UU PDP . Paslon perseorangan dalam UU PDP dapat dikategorikan sebagai pengendali data pribadi yang mempunyai tanggung jawab pelindungan data pribadi ketika melakukan pemrosesan data. Mengapa demikian? Pengendali data pribadi menurut Pasal 1 angka 4 UU PDP adalah setiap orang , badan publik, dan organisasi internasional yang bertindak sendiri-sendiri atau bersama-sama dalam melakukan pemrosesan data pribadi atas nama pengendali data pribadi. Adapun, yang dimaksud dengan “setiap orang” dalam pengertian pengendali data pribadi di atas adalah orang perseorangan atau korporasi. [9] Ketika melakukan pemrosesan data pribadi seperti KTP-el, dalam proses pemerolehan dan pengumpulan serta memperlihatkan ke pihak lain, maka pengendali data pribadi wajib mendapatkan persetujuan yang sah secara eksplisit dari subjek data pribadi (pemilik identitas). [10] Bentuk persetujuan pemrosesan data pribadi pun perlu dilakukan melalui persetujuan tertulis atau terekam baik secara elektronik ataupun nonelektronik yang memiliki kekuatan hukum yang sama. [11] Jika persetujuan antara subjek dan pengendali data pribadi tidak memenuhi ketentuan tersebut, maka dinyatakan batal demi hukum. [12] Atas perbuatan mencatut KTP-el warga tanpa izin, berdasarkan Pasal 67 ayat (1) dan (3) UU PDP dapat dijerat pidana sebagai berikut: 1. Setiap orang yang dengan sengaja dan melawan hukum memperoleh atau mengumpulkan data pribadi yang bukan miliknya dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain yang dapat mengakibatkan kerugian subjek data pribadi dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp5 miliar . 3. Setiap orang yang dengan sengaja dan melawan hukum menggunakan data pribadi yang bukan miliknya dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp5 miliar . Di samping sanksi pidana, UU PDP juga mengatur sanksi administratif apabila paslon perseorangan selaku pengendali data pribadi tidak mendapatkan persetujuan yang sah dari pemilik identitas/subjek data pribadi berupa: [13] peringatan tertulis; penghentian sementara semua kegiatan pemrosesan data pribadi; penghapusan atau pemusnahan data pribadi; dan/atau denda administratif. Selain itu, paslon perseorangan yang mencatut KTP-el warga tanpa izin bisa digugat dan membayar ganti rugi . Hal ini diatur di dalam Pasal 12 ayat (1) UU PDP yang menyatakan bahwa subjek data pribadi berhak menggugat dan menerima ganti rugi atas pelanggaran pemrosesan data pribadi tentang dirinya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Perkaya riset hukum Anda dengan analisis hukum terbaru dwi bahasa, serta koleksi terjemahan peraturan yang terintegrasi dalam Hukumonline Pro, pelajari lebih lanjut di sini . Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. Dasar Hukum : Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang ; Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang ; Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang ; Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2020 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang Menjadi Undang-Undang ; Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2022 tentang Pelindungan Data Pribadi ; Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 8 Tahun 2024 tentang Pencalonan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota ; Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 10 Tahun 2024 tentang Perubahan atas Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 8 Tahun 2024 tentang Pencalonan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota . Putusan : Putusan Mahkamah Konstitus Nomor 54/PUU-XIV/2016 . [1] Pasal 1 angka 3 dan 4 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang (“UU 8/2015”) [2] Pasal 39 huruf b UU 8/2015 [3] Pasal 41 ayat (1) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang (“UU 10/2016”) [4] Pasal 41 ayat (3) UU 10/2016 [5] Pasal 89 ayat (1) Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 8 Tahun 2024 tentang Pencalonan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota (“Peraturan KPU 8/2024”) [6] Pasal 89 ayat (2) Peraturan KPU 8/2024 [7] Pasal 90 ayat (1) dan (4) Peraturan KPU 8/2024 [8] Pasal 185A ayat (2) UU 10/2016 [9] Pasal 1 angka 7 Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2022 tentang Pelindungan Data Pribadi (“UU PDP”) [10] Pasal 20 ayat (1) dan (2) huruf a, Pasal 16 ayat (1) dan penjelasannya UU PDP [11] Pasal 22 ayat (1), (2), dan (3) UU PDP [12] Pasal 22 ayat (5) UU PDP [13] Pasal 57 ayat (1) dan ayat (2) UU PDP TAGS ktp e-ktp uu pdp ktp elektronik paslon | {132: '3. Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur adalah peserta Pemilihan yang diusulkan oleh partai politik, gabungan partai politik, atau perseorangan yang didaftarkan atau mendaftar di Komisi Pemilihan Umum Provinsi. 4. Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati, Calon Walikota dan Calon Wakil Walikota adalah peserta Pemilihan yang diusulkan oleh partai politik, gabungan partai politik, atau perseorangan yang didaftarkan atau mendaftar di Komisi Pemilihan Umum Kabupaten/Kota.', 133: 'pasal 39 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: pasal 39 peserta pemilihan adalah: a. pasangan calon gubernur dan calon wakil gubernur, pasangan calon bupati dan calon wakil bupati, serta pasangan calon walikota dan calon wakil walikota yang diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik; dan/atau b. pasangan calon perseorangan yang didukung oleh sejumlah orang. 23. ketentuan', 134: '(1) Calon perseorangan dapat mendaftarkan diri sebagai Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur jika memenuhi syarat dukungan jumlah penduduk yang mempunyai hak pilih dan termuat dalam daftar pemilih tetap pada pemilihan umum atau Pemilihan sebelumnya yang paling akhir di daerah bersangkutan, dengan ketentuan: a. provinsi dengan jumlah penduduk yang termuat pada daftar pemilih tetap sampai dengan 2.000.000 (dua juta) jiwa harus didukung paling sedikit 10% (sepuluh persen); b. provinsi dengan jumlah penduduk yang termuat pada daftar pemilih tetap lebih dari 2.000.000 (dua juta) jiwa sampai dengan 6.000.000 (enam juta) jiwa harus didukung paling sedikit 8,5% (delapan setengah persen); c. provinsi dengan jumlah penduduk yang termuat pada daftar pemilih tetap lebih dari 6.000.000 (enam juta) jiwa sampai dengan 12.000.000 (dua belas juta) jiwa harus didukung paling sedikit 7,5% (tujuh setengah persen); d. provinsi dengan jumlah penduduk yang termuat pada daftar pemilih tetap lebih dari 12.000.000 (dua belas juta) jiwa harus didukung paling sedikit 6,5% (enam setengah persen); dan e. jumlah dukungan sebagaimana dimaksud pada huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d tersebar di lebih dari 50% (lima puluh persen) jumlah kabupaten/kota di Provinsi dimaksud.', 135: '(3) Dukungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dibuat dalam bentuk surat dukungan yang disertai dengan fotokopi Kartu Tanda Penduduk Elektronik atau surat keterangan yang diterbitkan oleh dinas kependudukan dan catatan sipil yang menerangkan bahwa penduduk tersebut berdomisili di wilayah administratif yang sedang menyelenggarakan Pemilihan paling singkat 1 (satu) tahun dan tercantum dalam Daftar Pemilih Tetap Pemilihan umum sebelumnya di provinsi atau kabupaten/kota dimaksud.', 136: '(1) Masyarakat yang terdaftar sebagai pendukung dapat memberikan tanggapan terhadap keberadaannya sebagai pendukung Pasangan Calon perseorangan.', 137: "['(1) Masyarakat yang terdaftar sebagai pendukung dapat memberikan tanggapan terhadap keberadaannya sebagai pendukung Pasangan Calon perseorangan. ', '(2) Tanggapan masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/kota dengan menggunakan formulir Model TANGGAPAN.MASYARAKAT.KWK secara tertulis disertai dengan bukti identitas diri dan dapat dilampirkan bukti yang relevan.', '(3) Ketentuan mengenai formulir Model TANGGAPAN.MASYARAKAT.KWK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tercantum dalam Lampiran XII yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Komisi ini.']", 138: "['(1) KPU Kabupaten/Kota dapat melakukan verifikasi kebenaran terhadap tanggapan masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 89. ', '(2) KPU Kabupaten/Kota menuangkan hasil verifikasi kebenaran terhadap tanggapan masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ke dalam berita acara verifikasi tanggapan masyarakat. ', '(3) KPU Kabupaten/Kota menyampaikan hasil verifikasi kebenaran tanggapan masyarakat terkait Pasangan Calon gubernur dan wakil gubernur kepada KPU Provinsi. ', '(4) Dalam hal hasil verifikasi kebenaran terhadap tanggapan masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (3) terbukti kebenarannya, KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota mengurangi dukungan hasil verifikasi kebenaran tanggapan masyarakat.']", 139: '(2) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh penyelenggara Pemilihan dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dengan ditambah 1/3 (sepertiga) dari ancaman pidana maksimumnya.', 140: '7. setiap orang adalah orang perseorangan atau korporasi', 141: "['(1) Pemrosesan Data Pribadi meliputi: ' a. pemerolehan dan pengumpulan; b. pengolahan dan penganalisisan; c. penyimpanan; d. perbaikan dan pembaruan; e. penampilan, pengumuman, transfer, penyebarluasan, atau pengungkapan; dan/ atau f. penghapusan atau pemusnahan.', '(1) Pengendali Data Pribadi wajib memiliki dasar pemrosesan Data Pribadi. (2) Dasar pernmsesan Data Pribadi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. persetujuan yang sah secara eksplisit dari Subjek Data Pribadi untuk 1 (satu) atau beberapa tujuan tertentu yang telah disampaikan oleh Pengendali Data Pribadi kepada Subjek Data Pribadi;', 'Yang dimaksud dengan penampilan adalah perbuatan memperlihatkan Data Pribadi untuk tujuan tertentu dan pihak-pihak tertentu. Yang dimaksud dengan pemberitahuan sebuah Informasi yang ditujukan kepada orang banyak dan bersifat umum. Yang dimaksud dengan transfer adalah perpindahan, pengiriman, dan/atau penggandaan Data Pribadi baik secara elektronik maupun nonelektronik dari Pengendali Data Pribadi kepada pihak lain.']", 142: "['(1) persetujuan pemrosesan data pribadi dilakukan melalui persetujuan tertulis atau terekam.', '(2) persetqiuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat disampaikan secara elektronik atau nonelektronik.', '(3) persetqjuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mempunyai kekuatan hukum yang sama.', '(4). dalam hal persetqluan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat tujuan lain, permintaan persetqjuan harus memenuhi ketentuan: a. dapat dibedakan secara jelas dengan hal lainnya; b. dibuat dengan forrnat yang dapat dipahami dan mudah diakses; dan c. menggunalan bahasa yang sederhana dan jelas.']", 143: "['(1) persetujuan pemrosesan data pribadi dilakukan melalui persetujuan tertulis atau terekam.', '(2) persetqiuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat disampaikan secara elektronik atau nonelektronik.', '(3) persetqjuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mempunyai kekuatan hukum yang sama.', '(4). dalam hal persetqluan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat tujuan lain, permintaan persetqjuan harus memenuhi ketentuan: a. dapat dibedakan secara jelas dengan hal lainnya; b. dibuat dengan forrnat yang dapat dipahami dan mudah diakses; dan c. menggunalan bahasa yang sederhana dan jelas.']", 144: "['(1) pelanggaran terhadap ketentuan pasal 20 ayat (1), pasal 21 , pasal 24 , pasal 25 ayat', '(2), pasal 26 ayat', '(3), pasal 27 , pasal 28 , pasal 29 , pasal 30 , pasal 31 , pasal 32 ayat (1), pasal 33 , pasal 34 ayat (1), pasal 35 , pasal 36 , pasal 37 , pasal 38 , pasal 39 ayat (1), pasal 40 ayat (1), pasal 41 ayat (1) dan ayat (3), pasal 42 ayat (1), pasal 43 ayat (1), pasal 44 ayat (1), pasal 45 , pasal 46 ayat (1) dan ayat (3), pasal 47 , pasal 48 ayat (1), pasal 49 , pasal 51 ayat (1) dan ayat (5), pasal 52 , pasal 53 ayat (1), pasal 55 ayat (2), dan pasal 56 ayat (2) sampai dengan ayat', '(4) dikenai sanksi administratif. (2) sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa: a. peringatan tertulis; b. penghentian sementara kegiatan pemrosesan data pribadi; c. penghapusan atau pemusnahan data pribadi; dan/atau d. denda administratif. (3) sanksi administratif berupa denda administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf d paling tinggi 2 (dua) persen dari pendapatan tahunan atau penerimaan tahunan terhadap variabel pelanggaran. (4) penjatuhan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diberikan oleh lembaga.']"} |
Apa yang dimaksud dengan "dan/atau" dalam peraturan perundang-undangan? Misalnya Pasal 310 ayat 3 UU LLAJ, yang berbunyi: | ULASAN LENGKAP dari artikel dengan judul Penggunaan dan Penafsiran “dan/atau” dalam Peraturan Perundang-undangan yang dibuat oleh Tri Jata Ayu Pramesti, S.H. dan pertama kali dipublikasikan pada 23 Juli 2013. . Makna “dan/atau” Pertama-tama, perlu kita ketahui definisi dari masing-masing dan maupun atau. Berdasarkan KBBI , dan adalah kata penghubung satuan bahasa (kata, frasa, klausa, dan kalimat) yang setara, termasuk tipe yang sama serta memiliki fungsi tidak berbeda. Sedangkan, atau adalah kata penghubung untuk menandai pilihan di antara beberapa hal (pilihan). Kemudian, merujuk pada Buku Praktis Bahasa Indonesia 2 yang diterbitkan oleh Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional (hal. 55), kata penghubung dan/atau dapat diperlakukan sebagai dan , dapat juga diperlakukan sebagai atau . Tanda miring itu mengandung arti pilihan . Sebagai contoh, A dan/atau B yang berarti: A dan B; atau A atau B Oleh karena itu, cara penulisan yang benar untuk maksud pernyataan di atas adalah “dan/atau”, bukan “dan atau”. Cara penulisan “dan atau” tidak dapat dibenarkan. Kesalahan penulisan tanda penghubung tersebut pada umumnya disebabkan oleh anggapan bahwa tidak ada perbedaan antara bahasa Indonesia ragam lisan dan ragam tulis. Akibatnya, orang menuliskan apa yang terdengar (ragam lisan), bukan apa yang seharusnya ditulis. Di dalam ragam tulis, kelengkapan tanda baca sangat diperlukan agar apa yang dituliskan itu tidak ditafsirkan lain . Makna kalimat ragam lisan dapat didukung oleh situasi pembicaraan, sedangkan dalam ragam tulis tidak didukung hal itu. Penggunaan kata “dan/atau” ini meresap dalam bahasa hukum. Ahli hukum menggunakannya dalam semua tipe konteks hukum mencakup undang-undang, kontrak, dan gugatan. Kata “dan/atau” memiliki makna yang pasti dan memberikan ahli hukum cara yang efisien untuk menyatakan pilihan antara salah satu proposisi atau dua proposisi secara bersamaan . [1] Lantas, bagaimana jika kata “dan/atau” diterapkan pada peraturan perundang-undangan? Penggunaan “dan/atau” di Peraturan Perundang-Undangan Menjawab pertanyaan Anda, penggunaan kata penghubung “dan/atau” pada peraturan perundang-undangan ini sebagai contoh diterapkan dalam Pasal 310 ayat (3) UU LLAJ , yang berbunyi: Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor yang karena kelalaiannya mengakibatkan Kecelakaan Lalu Lintas dengan korban luka berat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 229 ayat (4), dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah). Jadi, dapat diartikan bahwa terhadap orang yang melanggar pasal tersebut, terdapat 2 kemungkinan , yaitu: dipidana dengan pidana penjara maksimal 5 tahun dan denda maksimal Rp10 juta; atau dipidana penjara maksimal 5 tahun atau denda maksimal Rp10 juta. Pada akhirnya, yang menentukan apakah orang yang melanggar pasal tersebut dijatuhi sanksi pidana salah satu (penjara saja atau denda saja) atau keduanya dijatuhkan bersamaan adalah pertimbangan hakim di persidangan. : 11 Hal yang Wajib Dipertimbangkan Hakim dalam Pemidanaan Penggunaan “dan/atau” dalam Kasus A’aan Efendi dan Dyah Ochtorina Susanti dalam tulisannya Makna dan Problematik Penggunaan Term “dan”, “atau”, “dan/atau”, “kecuali” dan “selain” dalam Undang-Undang , sebagaimana mengutip Doonan dan Foster (hal. 400 – 401), menyatakan bahwa masalah utama yang timbul dari penggunaan kata penghubung “dan/atau” adalah bahwa hal itu tida k menunjukkan dengan tepat makna yang dimaksudkan di balik suatu ketentua n, dan hal ini pada akhirnya dapat mengakibatkan ketentuan tersebut ditafsirkan memiliki arti yang lebih luas atau lebih sempit dari yang sebenarnya dimaksudkan . Sebagai contoh, kasus dalam Putusan MA 2442 K/PID.SUS/2009 mengenai perkara korupsi yang menyangkut penerapan Pasal 3 UU 31/1999 . Pasal tersebut menerapkan ketentuan pidana yang menggunakan kata penghubung “dan/atau”. Singkatnya, hakim pada Mahkamah Agung menjatuhkan pidana penjara 1 tahun dan denda Rp12 juta secara bersamaan (hal. 35). Adapun alasan pidana penjara atas pelanggaran UU 31/1999 itu bersifat imperatif , jadi pengadilan tidak dapat hanya menjatuhkan pidana denda saja. Kemudian, kasus kedua dalam Putusan MA No. 13 K/PID.SUS/2011 mengenai perkara cukai. Pada putusan sebelumnya (Putusan PN Magetan No. 42/PID.B/2010/PN.Mgt), terdakwa dituntut dengan pidana penjara selama 2 tahun dan pidana denda sebesar Rp1 juta berdasarkan Pasal 54 jo. Pasal 29 ayat (1) UU 39/2007 . Pasal tersebut juga menerapkan ketentuan pidana yang menggunakan kata penghubung “dan/atau”. Akan tetapi, terdakwa pada putusan PT hanya dijatuhi pidana denda sebesar Rp1,3 juta (hal. 2). Pada akhirnya di tingkat kasasi, MA hanya menjatuhkan pidana denda kepada terdakwa dengan alasan pidana denda adalah alternatif dari pidana penjara (hal. 6). Menurut putusan di atas, adanya dua pertimbangan yang berbeda untuk permasalahan hukum yang sama ini tentunya membuat ketidakpastian mengenai apakah sanksi pidana yang dirumuskan dalam bentuk ”penjara dan/atau denda” bermakna bahwa pidana penjara bersifat imperatif atau alternatif. Namun pada akhirnya, menurut hemat kami, hakimlah yang mempertimbangkan sesuai dengan jenis pidananya. Untuk kasus korupsi, pidana penjara itu bersifat imperatif. Artinya, terdakwa tidak dapat hanya dijatuhi pidana denda saja, tetapi juga harus dijatuhi bersamaan dengan pidana penjara. Untuk kasus cukai, pidana denda merupakan alternatif dari pidana penjara sehingga hakim dapat menjatuhkan salah satunya saja. Dengan mengacu pada dua gambaran kasus di atas, maka menurut hemat kami, pelanggaran terhadap UU LLAJ seperti yang Anda tanyakan juga bergantung pada pertimbangan hakim di pengadilan nantinya. Hakimlah yang menilai apakah penerapan pasal mengenai ketentuan pidana yang menggunakan kata penghubung “dan/atau” ini diterapkan secara imperatif atau alternatif. Perkaya riset hukum Anda dengan analisis hukum terbaru dwibahasa, serta koleksi terjemahan peraturan yang terintegrasi dalam Hukumonline Pro, pelajari lebih lanjut di sini . Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. Dasar Hukum : Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1995 tentang Cukai ; Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi ; Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi ; Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2007 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1995 tentang Cukai ; Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan ; Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja Menjadi Undang-Undang Putusan : Putusan Mahkamah Agung Nomor 2442 K/PID.SUS/2009 ; Putusan Mahkamah Agung No. 13 K/PID.SUS/2011 . Referensi : Buku Praktis Bahasa Indonesia 2 , Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional, 2007; A’an Efendi dan Dyah Ochtorina Susanti. Makna dan Problematik Penggunaan Term “dan”, “atau”, “dan/atau”, “kecuali” dan “selain” dalam Undang-Undang . Jurnal Legislasi Indonesia, Vol. 17, No. 4, Desember 2020; KBBI, atau , yang diakses pada 12 September 2024, pukul 10.43 WIB; KBBI, dan , yang diakses pada 12 September 2024, pukul 10.30 WIB. [1] A’an Efendi dan Dyah Ochtorina Susanti. Makna dan Problematik Penggunaan Term “dan”, “atau”, “dan/atau”, “kecuali” dan “selain” dalam Undang-Undang . Jurnal Legislasi Indonesia, Vol. 17, No. 4, Desember 2020, hal. 400 TAGS uu lalu lintas dan angkutan jalan uu tipikor ilmu hukum | {145: 'Kata “dan/atau” memiliki makna yang pasti dan memberikan ahli hukum cara yang efisien untuk menyatakan pilihan antara salah satu proposisi atau dua proposisi secara bersamaan.'} |
Setahu saya karyawan-karyawan dan petinggi BUMN biasanya juga sering diperiksa KPK. Mengapa demikian dan seberapa besar sebenarnya risiko bagi karyawan petinggi BUMN untuk diciduk KPK? Apakah kerugian dalam BUMN termasuk kerugian negara? | ULASAN LENGKAP Pengertian BUMN Sebelum menjawab pertanyaan Anda, dapat kami sampaikan bahwa yang dimaksud dengan Badan Usaha Milik Negara (“BUMN”) berdasarkan Pasal 1 ayat (1) UU BUMN adalah badan usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh negara melalui penyertaan secara langsung yang berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan. Berdasarkan ketentuan Pasal 1 ayat (1) UU BUMN tersebut, maka secara sederhana BUMN adalah perusahaan yang di dalamnya terdapat modal negara. Dalam menyelenggarakan tujuan-tujuan tersebut, BUMN memperoleh modalnya dari kekayaan negara yang dipisahkan , sebagaimana diatur dalam Pasal 4 ayat (1) UU BUMN . Adapun yang dimaksud dengan kekayaan negara yang dipisahkan adalah pemisahan kekayaan negara dari APBN untuk dijadikan penyertaan modal negara pada BUMN, untuk selanjutnya pembinaan dan pengelolaannya tidak lagi didasarkan pada sistem APBN, melainkan didasarkan pada prinsip-prinsip perusahaan yang sehat. [1] Kemudian, jika dilihat dari komposisi kepemilikan modalnya, terdapat dua jenis BUMN yaitu: Persero atau perusahaan perseroan yaitu BUMN yang berbentuk perseroan terbatas yang mayoritas modalnya (minimal 51%) dimiliki oleh negara dan tujuan utamanya mengejar keuntungan. [2] Contoh: PT Pertamina (Persero); Perum atau perusahaan umum yaitu BUMN yang seluruh modalnya dimiliki oleh negara dan tidak terbagi atas saham, yang bertujuan untuk kemanfaatan umum berupa penyediaan barang dan/atau saja dan sekaligus mengejar keuntungan berdasarkan prinsip pengelolaan perusahaan. [3] Contoh: Perum Peruri. Bisakah Direksi BUMN Dijerat Pasal Korupsi? Tindak pidana korupsi diatur dalam Pasal 2 ayat (1) UU 31/1999 jo. Putusan MK No. 25/PUU-XIV/2016 (hal. 116) adalah suatu tindakan yang melawan hukum untuk memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, yang merugikan keuangan negara atau perekonomian negara . Selanjutnya, menurut Pasal 3 UU 31/1999 jo. Putusan MK No. 25/PUU-XIV/2016 (hal. 116) termasuk juga sebagai suatu tindak pidana korupsi apabila ada unsur menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan dengan tujuan untuk memperkaya/menguntungkan diri sendiri dan merugikan keuangan negara atau perekonomian negara. Lantas, apakah direksi atau karyawan BUMN termasuk sebagai penyelenggara negara sebagaimana dimaksud pasal tindak pidana korupsi di atas? Pasal 2 UU 28/1999 dan penjelasannya menerangkan bahwa yang termasuk ke dalam kategori penyelenggara negara antara lain: Pejabat negara pada lembaga tertinggi negara; Pejabat negara pada lembaga tinggi negara; Menteri; Gubernur; Hakim; Pejabat negara lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku; dan Pejabat lain yang memiliki fungsi strategis dalam kaitannya dengan penyelenggara negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku meliputi salah satunya direksi, komisaris, dan pejabat struktural pada BUMN dan BUMD . Oleh karena itu, apabila direksi, komisaris atau pejabat struktural BUMN lainnya melakukan tindakan melawan hukum dengan tujuan untuk memperkaya diri atau orang lain atau suatu korporasi, dan mengakibatkan kerugian keuangan negara atau perekonomian negara dapat dijerat dengan pasal-pasal tindak pidana korupsi sebagaimana dijelaskan di atas. Salah satu contoh kasus korupsi yang menjerat direksi BUMN adalah lain kasus PT ASABRI (Persero). Mengutip artikel Dua Eks Dirut Asabri Divonis 20 Tahun Penjara , terdakwa melakukan investasi saham, reksadana, medium term note (MTN) atau surat jangka menengah dan investasi lainnya yang berisiko tinggi. Kerja sama melalui produk reksadana yang memiliki kinerja tidak baik dan mengalami penurunan harga tersebut mengakibatkan kerugian negara senilai kurang lebih Rp22,788 triliun. Berdasarkan contoh kasus di atas, dapat dipahami bahwa meskipun dalam menjalankan usahanya sehari-hari dilaksanakan berdasarkan prinsip-prinsip perusahaan yang sehat, namun karena modal BUMN berasal dari kekayaan milik negara, maka keputusan-keputusan dan tindakan-tindakan yang dilakukan oleh pejabat BUMN memiliki risiko baik secara langsung maupun tidak langsung terhadap keuangan atau perekonomian negara. Apakah Setiap Kerugian BUMN Dianggap Korupsi? Lantas, Anda apakah kerugian dalam BUMN termasuk kerugian negara dan otomatis direksi atau pejabat strukturalnya dijerat pasal tindak pidana korupsi? Untuk menjawab pertanyaan tersebut, perlu dipahami bahwa BUMN yang berbentuk persero tidak semua modalnya berasal dari kekayaan negara karena hanya disyaratkan minimal 51%. BUMN persero tersebut tidak hanya tunduk pada UU BUMN, melainkan juga tunduk pada segala ketentuan dan prinsip-prinsip yang berlaku bagi perseroan terbatas dalam UU PT . [4] Oleh sebab itu, kerugian yang dialami oleh BUMN akibat dari keputusan bisnis yang diambil oleh direksi, Pasal 97 ayat (5) UU PT pada dasarnya mengatur suatu bentuk perlindungan terhadap direksi yang menimbulkan kerugian bagi perseroan, sebagai berikut: Anggota Direksi tidak dapat dipertanggungjawabkan atas kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat (3) apabila dapat membuktikan: kerugian tersebut bukan karena kesalahan atau kelalaiannya; telah melakukan pengurusan dengan itikad baik dan kehati-hatian untuk kepentingan dan sesuai dengan maksud dan tujuan Perseroan; tidak mempunyai benturan kepentingan baik langsung maupun tidak langsung atas tindakan pengurusan yang mengakibatkan kerugian; dan telah mengambil tindakan untuk mencegah timbul atau berlanjutnya kerugian tersebut. Dalam hukum perseroan terbatas, perlindungan terhadap direksi yang menimbulkan kerugian bagi perseroan sebagaimana Pasal 97 ayat (5) UU PT di atas dikenal sebagai prinsip business judgement rule . Dikutip dari Penerapan Doktrin Business Judgement Rule di Indonesia , prinsip business judgement rule adalah suatu konsep di mana direksi perseroan tidak dapat dibebankan tanggung jawab secara hukum atas keputusan yang diambilnya , walaupun keputusan tersebut menimbulkan kerugian bagi perusahaan, sepanjang keputusan itu dilakukan dengan iktikad baik, tujuan dan cara yang benar, dasar yang rasional, dan kehati-hatian . Apabila ditinjau dari komposisi kepemilikan saham suatu BUMN persero, negara merupakan pemegang saham mayoritas atau bahkan pemegang saham keseluruhan dari BUMN. Maka dari itu, kerugian yang dialami oleh suatu BUMN sering kali dianggap sebagai sebuah kerugian negara mengingat adanya penyertaan modal negara dalam BUMN tersebut . Adapun, definisi dari kerugian negara diatur dalam Pasal 1 angka 15 UU BPK adalah kekurangan uang, surat berharga, dan barang, yang nyata dan pasti jumlahnya sebagai akibat dari perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai. Pembuktian kerugian negara dalam kasus tindak pidana korupsi dilakukan dengan menggunakan hasil pemeriksaan dan perhitungan dari BPK selaku lembaga yang berwenang untuk menilai dan/atau menetapkan jumlah kerugian negara, sebagaimana di atur dalam Pasal 10 ayat (1) UU BPK . : Cara Menentukan Kerugian Keuangan Negara dalam Kasus Korupsi Namun, karena pada hakikatnya setiap kegiatan usaha pasti memiliki risiko, termasuk juga risiko kerugian, maka UU PT telah memberikan perlindungan kepada direksi BUMN dalam setiap keputusan bisnis yang diambil melalui prinsip business judgement rule . Dengan demikian, seorang direksi BUMN tidak dapat serta merta bertanggung jawab atas kerugian yang diderita BUMN akibat dari keputusan bisnis yang diambilnya, selama telah memenuhi ketentuan dalam Pasal 97 ayat (5) UU PT. Contoh kasus mengenai hubungan antara prinsip business judgement rule dengan tindak pidana korupsi di lingkungan BUMN dapat Anda simak dalam Putusan MA No. 121 K/Pid.Sus/2020 . Terdakwa adalah direktur utama PT Pertamina (Persero) periode 2009-2014 yang mana telah menerima penawaran terkait dengan investasi participating interest (“PI”) di Blok BMG Australia tanpa melakukan pembahasan atau kajian terlebih dahulu dan menyetujui PI yang belum ada due diligence serta analisa risiko yang ditangantangani dengan penandatanganan sale purchase agreement yang belum mendapatkan persetujuan dari bagian legal dan dewan komisaris (hal. 34). Atas perbuatan terdakwa tersebut, jaksa penuntut umum dalam mendakwa bahwa terdakwa memperkaya rock oil company limited (ROC Ltd) Australia sehingga merugikan keuangan negara Rp568.066.000.000,- berdasarkan laporan kantor akuntan publik (hal. 34). Namun, dalam pertimbangannya, majelis hakim kasasi menilai bahwa langkah-langkah yang dilakukan oleh terdakwa tidak keluar dari ranah business judgement rule , yang ditandai dengan tiadanya unsur kecurangan ( freud ), benturan kepentingan ( conflict of interest ), perbuatan melawan hukum dan kesalahan yang disengaja (hal. 38). Oleh karena itu, terdakwa diputus lepas dari segala tuntutan hukum (hal. 40). Dengan demikian, dapat kami simpulkan bahwa kerugian yang diderita oleh BUMN tidak serta-merta dapat memenuhi rumusan delik tindak pidana korupsi yang menyebabkan kerugian keuangan negara . Perlu dibuktikan terlebih dahulu apakah kerugian yang terjadi ditimbulkan dari suatu perbuatan melawan hukum atau tidak . Apabila kerugian tersebut timbul dari suatu keputusan bisnis yang diambil oleh direksi BUMN, selama direksi tersebut memenuhi syarat dalam Pasal 97 ayat (5) UU PT tentang prinsip business judgement rule , maka kerugian tersebut tidak dapat dipertanggungjawabkan terhadapnya, termasuk juga pertanggungjawaban secara pidana. Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. Dasar Hukum : Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme ; Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi ; Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1991 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi ; Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara ; Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan ; Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas ; Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja ; Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja Menjadi Undang-Undang . Reference : Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 25/PUU-XIV/2016 ; Putusan Mahkamah Agung Nomor 121 K/Pid.Sus/2020 . [1] Penjelasan Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara (“UU BUMN”) [2] Pasal 1 angka 2 UU BUMN [3] Pasal 1 angka 4 UU BUMN [4] Lihat Pasal 11 UU BUMN TAGS bumn korupsi tindak pidana korupsi | {146: 'Yang dimaksud dengan dipisahkan adalah pemisahan kekayaan negara dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara untuk dijadikan penyertaan modal negara pada BUMN untuk selanjutnya pembinaan dan pengelolaannya tidak lagi didasarkan pada sistem Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, namun pembinaan dan pengelolaannya didasarkan pada prinsip-prinsip perusahaan yang sehat.', 147: '2. perusahaan perseroan, yang selanjutnya disebut persero, adalah bumn yang berbentuk perseroan terbatas yang modalnya terbagi dalam saham yang seluruh atau paling sedikit 51 % (lima puluh satu persen) sahamnya dimiliki oleh negara republik indonesia yang tujuan utamanya mengejar keuntungan', 148: '4. perusahaan umum, yang selanjutnya disebut perum, adalah bumn yang seluruh modalnya dimiliki negara dan tidak terbagi atas saham, yang bertujuan untuk kemanfaatan umum berupa penyediaan barang dan/atau jasa yang bermutu tinggi dan sekaligus mengejar keuntungan berdasarkan prinsip pengelolaan perusahaan', 149: 'pasal 11 terhadap persero berlaku segala ketentuan dan prinsip-prinsip yang berlaku bagi perseroan terbatas sebagaimana diatur dalam undang-undang nomor 1 tahun 1995 tentang perseroan terbatas. bagian kedua maksud dan tujuan'} |
Apakah seorang pedagang besi tua bisa dikaitkan dengan hukum penadah barang curian? Akan tetapi sebelumnya si pedagang/pembeli sudah menanyakan dulu asal usul barang itu kepada si penjual barang. Terima kasih. | ULASAN LENGKAP dari artikel dengan judul Apakah Penjual Besi Tua Dapat Disebut Sebagai Penadah? yang dibuat oleh Tri Jata Ayu Pramesti, S.H. dan pertama kali dipublikasikan pada 28 November 2014. Artikel ini dibuat berdasarkan KUHP lama dan UU 1/2023 tentang KUHP yang diundangkan pada tanggal 2 Januari 2023. . Pasal Penadahan dan Unsur-unsurnya Untuk menjawab pertanyaan Anda, kita harus mengetahui terlebih dahulu arti dari penadah dan penadahan . Menurut KBBI penadah artinya orang yang menerima atau memperjualbelikan barang-barang curian . Penadahan merupakan salah satu delik atau tindak pidana berdasarkan Pasal 480 KUHP lama yang masih berlaku pada saat artikel ini diterbitkan, yang berbunyi: Diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun atau pidana denda paling banyak sembilan ratus rupiah: Barangsiapa yang membeli, menyewa, menukar, menerima gadai, menerima hadiah, atau untuk menarik keuntungan, menjual, menyewakan, menukarkan, menggadaikan, mengangkut, menyimpan atau menyembunyikan sesuatu benda, yang diketahui atau sepatutnya harus diduga bahwa diperoleh dari kejahatan penadahan ; Barangsiapa yang menarik keuntungan dari hasil sesuatu benda, yang diketahuinya atau sepatutnya harus diduga bahwa diperoleh dari kejahatan. Adapun pidana denda dalam Pasal 480 KUHP di atas diubah menjadi Rp900 ribu berdasarkan Pasal 3 PERMA 2/2012 yang mengalikan denda dalam KUHP sebanyak 1.000 kali. Dalam KUHP baru yaitu UU 1/2023 yang berlaku 3 tahun sejak tanggal diundangkan yaitu tahun 2026, penadahan diatur di dalam Pasal 591 yang berbunyi: Dipidana karena penadahan dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun atau pidana denda paling banyak kategori V, Setiap Orang yang: membeli, menawarkan, menyewa, menukarkan, menerima jaminan atau gadai, menerima hadiah atau untuk menarik keuntungan, menjual, menyewakan, menukarkan, menggadaikan, mengangkut, menyimpan atau menyembunyikan suatu benda yang diketahui atau patut diduga bahwa benda tersebut diperoleh dari Tindak Pidana ; atau menarik keuntungan dari hasil suatu benda, yang diketahui atau patut diduga bahwa benda tersebut diperoleh dari Tindak Pidana. Jumlah denda kategori V dalam pasal penadahan di atas berdasarkan Pasal 79 ayat (1) huruf e UU 1/2023 adalah sebesar Rp500 juta. Penjelasan Pasal 591 UU 1/2023 menerangkan bahwa benda yang dimaksud dalam pasal penadahan di atas adalah benda yang berasal dari tindak pidana, misalnya berasal dari pencurian, penggelapan, atau penipuan. Tindak pidana penggelapan disebut dengan tindak pidana proparte dolus proparte culpa . Adapun, yang dimaksud dengan proparte dolus proparte culpa adalah delik tersebut dapat dilakukan dengan kesengajaan atau culpa lata (kealpaan dan kelalaian). [1] Selanjutnya, R. Soesilo dalam bukunya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal yang menjelaskan mengenai penadahan sebagai berikut (hal. 314-315): Perbuatan yang pada sub 1 dibagi atas dua bagian: membeli, menyewa, dan sebagainya ( tidak perlu dengan maksud hendak mendapat untung ) barang yang diketahuinya atau patut disangkanya diperoleh karena kejahatan; menjual, menukarkan, menggadaikan, dan sebagainya, dengan maksud hendak mendapat untung barang yang diketahuinya atau patut disangkanya diperoleh karena kejahatan Elemen penting pasal ini adalah terdakwa harus mengetahui atau patut dapat menyangka bahwa barang itu asal dari kejahatan . Di sini terdakwa tidak perlu tahu dengan pasti asal barang itu dari kejahatan apa (pencurian, penggelapan, penipuan, pemerasan, uang palsu atau lain-lain), akan tetapi sudah cukup apabila ia patut dapat menyangka (mengira, mencurigai) bahwa barang itu bukan barang “terang” . Untuk membuktikan elemen ini memang sukar, akan tetapi dalam praktik, biasanya dapat dilihat dari keadaan atau cara dibelinya barang itu, misalnya dibeli dengan di bawah harga , dibeli pada waktu malam secara bersembunyi yang menurut ukuran di tempat itu memang mencurigakan. Barang asal dari kejahatan misalnya berasal dari pencurian, penggelapan, penipuan, pemalsuan uang, sekongkol, dan lain-lain. Andi Hamzah dalam buku Hukum Pidana Indonesia (hal. 121) juga menjelaskan bahwa dalam delik penadahan, membeli barang harus merupakan perbuatan sengaja, tetapi apakah barang itu berasal dari kejahatan pembuat tidak perlu mengetahui. Cukup jika ia patut harus menduga . : Pasal 480 KUHP tentang Penadahan Jual Beli Besi Tua = Penadahan? Dalam praktik, jual beli besi tua termasuk kategori jual beli barang bekas/rongsok yang kadang kala sulit untuk mencari tahu asal-usul barangnya. Selain itu, harga besi tua atau barang bekas lainnya kadang-kadang tidak dapat diperkirakan dengan pasti. Namun demikian, pedagang besi tua tetap perlu waspada dari mana asal-usul besi tua itu, setidak-tidaknya pedagang patut menduga asal barangnya . Apabila pedagang besi tua sudah mengetahui dengan pasti besi tua tersebut didapat dari hasil kejahatan seperti pencurian, maka ia dapat dipidana berdasarkan Pasal 480 KUHP atau Pasal 591 UU 1/2023 tentang penadahan. Akan tetapi, apakah penjual besi tua dapat dianggap sebagai penadah meski telah menanyakan asal-usulnya? Untuk menjawab hal tersebut, maka kita dapat membaca Putusan MA No. 459/K/Pid/2016 . Terdakwa adalah pedagang jual beli barang elektronik bekas yang membeli 7 unit monitor komputer bekas seharga total Rp700 ribu dari seorang penjual yang mengaku monitor tersebut adalah milik temannya dan si penjual hanya diminta menjualkan saja (hal. 2, 16). PN Banyumas memutus terdakwa tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana penadahan Pasal 480 ayat (1) KUHP dan membebaskan terdakwa (hal. 3) Majelis hakim kasasi menguatkan putusan PN Banyumas tersebut dengan pertimbangan bahwa terdakwa tidak mengetahui 7 unit monitor komputer bekas tersebut berasal dari kejahatan karena terdakwa terlebih dahulu menanyakan kepada penjual tentang asal-usul monitor tersebut. Selain itu, terdakwa memajang barang bekas yang dibelinya itu di lapak terbuka di Pasar Wage Purwokerto (hal. 16 – 17). Sehingga, perbuatan materiel terdakwa tidak memenuhi unsur tindak pidana Pasal 480 KUHP (hal. 17). Berdasarkan putusan di atas, maka menjawab pertanyaan Anda, selama penjual terbukti tidak mengetahui barang atau besi tua yang dibeli/dijualnya berasal dari kejahatan, maka tidak dipidana dengan pasal penadahan. Salah satu caranya adalah memastikan asal-usul barang bekas atau besi tua yang dibelinya dengan menanyakan terlebih dahulu asal usul barang tersebut. Selain itu, juga harus dibuktikan dengan perbuatan lain yang menunjukkan bahwa pedagang tidak berbohong, misalnya barangnya dipajang di lapak terbuka. Sebagai tips untuk mengantisipasi ada penjual/pemilik besi tua yang tidak jujur terhadap barang yang dijualnya, pedagang dapat mencurigai hal tersebut dengan cara melihat: Harga barang Apabila ditemukan bahwa harga barang tersebut di bawah harga pasar, maka dianggap tidak wajar dan patut dicurigai barang itu didapat dari hasil kejahatan. Latar belakang penjual Suatu kasus penadahan akan menjadi rumit apabila pelaku adalah seorang pedagang, terutama pedagang besi tua. Namun, akan menjadi mudah bila pelaku adalah perorangan (individu) karena seorang pedagang besi tua atau barang bekas memang berhadapan dengan barang-barang yang sudah tidak mempunyai nilai guna sehingga dapat dimanfaatkan untuk melancarkan tindak pidana terhadap harta benda. Seorang pedagang sudah harus patut menduga apabila ada seorang yang tidak dikenal hendak menjual barang kepadanya dengan harga yang murah sehingga pedagang itu bisa mendapatkan keuntungan yang lebih banyak sehingga terjadilah transaksi tanpa melihat risiko. Keterkaitan barang dengan penjual Seorang pedagang seharusnya dapat melihat hubungan antara penjual barang dengan barang yang akan dijual. Contohnya jika ada pelanggannya atau orang lain yang menjual potongan besi namun dia bekerja sebagai kondektur, maka seorang pedagang harus mampu menduga bahwa terdapat kejanggalan dari transaksi yang akan dilakukan. Perkaya riset hukum Anda dengan analisis hukum terbaru dwibahasa, serta koleksi terjemahan peraturan yang terintegrasi dalam Hukumonline Pro, pelajari lebih lanjut di sini . Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. Dasar Hukum : Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ; Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ; Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2012 tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah dalam KUHP . Putusan: Putusan Mahkamah Agung Nomor 459/K/Pid/2016 . Referensi : Andi Hamzah. Hukum Pidana Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika, 2017; Soesilo. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal . Bogor: Politeia, 1991; Penadah , yang diakses pada Rabu, 11 September 2024, pukul 13.01 WIB. [1] Andi Hamzah. Hukum Pidana Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika, 2017, hal. 289 TAGS barang penadahan kuhp | {150: 'Adapun, yang dimaksud dengan proparte dolus proparte culpa adalah delik tersebut dapat dilakukan dengan kesengajaan atau culpa lata (kealpaan dan kelalaian).'} |
Saya ingin tanya soal kasus guru tampar siswa. Kasus yang keluarga saya alami, adik laki-laki saya yang duduk di bangku sekolah kelas 2 SMP (usia 13 tahun) ditampar oleh gurunya di depan murid-murid yang lainnya karena diperingati beberapa kali untuk mencukur rambutnya, namun tidak dilakukan oleh adik saya. Dari peristiwa guru tampar murid ini, pertanyaan saya adalah: | ULASAN LENGKAP kedua dari artikel dengan judul Jika Guru Menampar Siswa Gara-gara Tidak Mencukur Rambut , yang dibuat oleh Liza Elfitri, S.H., M.H. dan dipublikasikan pertama kali pada 6 Maret 2013, kemudian dimutakhirkan pertama kali oleh Sovia Hasanah, S.H. pada 9 November 2017. Seluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata – mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihat Pernyataan Penyangkalan selengkapnya). . Sebelumnya, kami bersimpati atas kejadian yang dialami anak korban, dalam peristiwa ini ialah adik Anda. Selanjutnya, mari kita pahami terlebih dahulu apa yang dimaksud dengan anak. Berdasarkan Pasal 1 angka 1 UU 35/2014 , anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun , termasuk anak yang masih dalam kandungan. Sehingga, adik Anda yang duduk di bangku sekolah kelas 2 SMP (usia 13 tahun) termasuk dalam kategori anak. Tugas, Hak, dan Kewajiban Guru Dalam menjawab pertanyaan Anda, perlu diketahui terlebih dahulu bahwa guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah. [1] Kemudian, dalam melaksanakan tugas keprofesionalannya, guru berkewajiban : [2] merencanakan pembelajaran, melaksanakan proses pembelajaran yang bermutu, serta menilai dan mengevaluasi hasil pembelajaran; meningkatkan dan mengembangkan kualifikasi akademik dan kompetensi secara berkelanjutan sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni; bertindak objektif dan tidak diskriminatif atas dasar pertimbangan jenis kelamin, agama, suku, ras, dan kondisi fisik tertentu, atau latar belakang keluarga, dan status sosial ekonomi peserta didik dalam pembelajaran; menjunjung tinggi peraturan perundang-undangan, hukum, dan kode etik guru, serta nilai-nilai agama dan etika; dan memelihara dan memupuk persatuan dan kesatuan bangsa. Sedangkan hak guru adalah: [3] memperoleh penghasilan di atas kebutuhan hidup minimum dan jaminan kesejahteraan sosial; mendapatkan promosi dan penghargaan sesuai dengan tugas dan prestasi kerja; memperoleh perlindungan dalam melaksanakan tugas dan hak atas kekayaan intelektual; memperoleh kesempatan untuk meningkatkan kompetensi; memperoleh dan memanfaatkan sarana dan prasarana pembelajaran untuk menunjang kelancaran tugas keprofesionalan; memiliki kebebasan dalam memberikan penilaian dan ikut menentukan kelulusan, penghargaan, dan/atau sanksi kepada peserta didik sesuai dengan kaidah pendidikan, kode etik guru, dan peraturan perundang-undangan ; memperoleh rasa aman dan jaminan keselamatan dalam melaksanakan tugas; memiliki kebebasan untuk berserikat dalam organisasi profesi; memiliki kesempatan untuk berperan dalam penentuan kebijakan pendidikan; memperoleh kesempatan untuk mengembangkan dan meningkatkan kualifikasi akademik dan kompetensi; dan/atau memperoleh pelatihan dan pengembangan profesi dalam bidangnya. Berkaitan dengan hak guru memberikan sanksi kepada peserta didiknya, Pasal 39 ayat (1) PP 74/2008 juga menegaskan bahwa guru memiliki kebebasan memberikan sanksi kepada peserta didiknya yang melanggar norma agama, norma kesusilaan, norma kesopanan, peraturan tertulis maupun tidak tertulis yang ditetapkan guru, peraturan tingkat satuan pendidikan, dan peraturan perundang-undangan dalam proses pembelajaran yang berada di bawah kewenangannya. Kemudian, sanksi tersebut dapat berupa teguran dan/atau peringatan, baik lisan maupun tulisan, serta hukuman yang bersifat mendidik sesuai dengan kaedah pendidikan, kode etik guru, dan peraturan perundang-undangan. Pelanggaran terhadap peraturan satuan pendidikan yang dilakukan oleh peserta didik yang pemberian sanksinya berada di luar kewenangan guru , dilaporkan guru kepada pemimpin satuan pendidikan . Lalu, pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan yang dilakukan oleh peserta didik, dilaporkan guru kepada pemimpin satuan pendidikan untuk ditindaklanjuti sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan. [4] Oleh karena itu, dalam menyikapi permasalahan adik Anda, yang pertama kali harus Anda lakukan adalah untuk mencari tahu terkait peraturan sekolah yang mewajibkan siswa laki-laki tidak boleh berambut “gondrong” atau panjang. Kemudian, Anda harus memastikan apakah di dalam peraturan sekolah, saat diadakan “pengecekan rambut”, guru yang melakukan pengecekan diperbolehkan untuk memotong rambut siswa. Langkah ini adalah mencari dasar dari tindakan guru tersebut apakah dilakukan menurut aturan atau tidak, sehingga menjadi alasan bagi Anda untuk melakukan upaya hukum terkait permasalahan yang dialami oleh adik Anda atau sebaliknya memahami bahwa ada peraturan sekolah yang dilanggar oleh adik Anda. Walau demikian, mengenai kasus guru cukur rambut siswa, disarikan dari Hukuman Cukur Rambut Siswa Tak Pantas pada laman Komisi Perlindungan Anak Indonesia (“KPAI”) , dijelaskan bahwa guru yang memberikan hukuman cukur rambut bisa memberi teguran kepada siswa dengan cara yang lebih edukatif. Masih bersumber dari artikel yang sama, dalam praktiknya, tidak sedikit guru yang menghukum murid dengan mencukur rambut, namun tidak sampai tuntas dan tidak secara pantas. Hal tersebut dianggap sebagai punishment /hukuman. Sebagaimana penjelasan di atas, walaupun guru memiliki kebebasan memberikan sanksi kepada peserta didiknya yang melanggar aturan, menurut hemat kami, sebaiknya sanksi tersebut berupa teguran dan/atau peringatan, baik lisan maupun tulisan, serta hukuman yang bersifat mendidik sesuai dengan kaedah pendidikan, kode etik guru, dan peraturan perundang-undangan. Selain itu, sebaiknya hukuman yang diberikan oleh guru sifatnya lebih edukatif , agar sesuai dengan peran guru sebagai agen pembelajaran yang berfungsi untuk meningkatkan mutu pendidikan nasional. : Guru Cukur Rambut Siswa, Bolehkah Secara Hukum? Kekerasan terhadap Anak di Sekolah Atas tindakan guru tampar murid (adik Anda) di depan kelas dan di hadapan teman-temannya sesama siswa adalah suatu tindakan yang salah dan memenuhi unsur delik (tindak pidana). Dengan demikian, orang tua Anda atau Anda dapat melaporkan guru yang bersangkutan (mengingat umur adik Anda masih belum cakap hukum) ke kantor polisi terdekat, di wilayah domisili sekolah dengan sangkaan kekerasan terhadap anak berdasarkan UU Perlindungan Anak dan perubahannya. : Mau Melaporkan Tindak Pidana ke Polisi? Begini Prosedurnya Berdasarkan ketentuan Pasal 54 UU 35/2014 , anak di dalam dan di lingkungan satuan pendidikan wajib mendapatkan perlindungan dari tindak kekerasan fisik , psikis, kejahatan seksual, dan kejahatan lainnya yang dilakukan oleh pendidik, tenaga kependidikan, sesama peserta didik, dan/atau pihak lain. Perlindungan ini dilakukan oleh pendidik, tenaga kependidikan, aparat pemerintah, dan/atau masyarakat. Itu artinya, guru sebagai tenaga pendidik tidak seharusnya melakukan tindakan kekerasan terhadap anak di sekolah. Karena pada dasarnya, setiap orang dilarang menempatkan, membiarkan, melakukan , menyuruh melakukan, atau turut serta melakukan kekerasan terhadap anak , sebagaimana diatur dalam Pasal 76C UU 35/2014 . Pelanggaran atas pasal tersebut dapat dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 tahun 6 bulan dan/atau denda paling banyak Rp72 juta . [5] Jika anak yang mendapatkan kekerasan tersebut mengalami luka berat , maka pelaku dapat dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun dan/atau denda paling banyak Rp100 juta . [6] Lalu, dalam hal anak yang mendapatkan kekerasan meninggal dunia , maka pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 tahun dan/atau denda paling banyak Rp3 miliar . [7] Sanksi Pidana Guru Tampar Murid dalam KUHP Kemudian, menurut hemat kami, dalam kasus guru tampar siswa, sang guru juga dapat dilaporkan atas dasar tindak pidana penganiayaan ringan yang diatur dalam Pasal 352 KUHP lama yang masih berlaku pada saat artikel ini diterbitkan, atau Pasal 471 UU 1/2023 tentang KUHP baru yang mulai berlaku 3 tahun terhitung sejak tanggal diundangkan [8] yakni pada tahun 2026. Pasal 352 KUHP Pasal 471 UU 1/2023 Kecuali yang tersebut dalam Pasal 353 dan 356, maka penganiayaan yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau pencarian, diancam, sebagai penganiayaan tingan, dengan pidana penjara paling lama 3 bulan atau pidana denda paling banyak Rp4.5 juta. [9] Pidana dapat ditambah 1/3 bagi yang melakukan kejahatan itu terhadap orang yang bekerja padanya atau menjadi bawahannya. Percobaan untuk melakukan kejahatan ini tidak dipidana. Selain penganiayaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 467 dan Pasal 470, penganiayaan yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan profesi jabatan atau mata pencaharian, dipidana karena penganiayaan ringan, dengan pidana penjara paling lama 6 bulan atau pidana denda paling banyak kategori II, yaitu Rp10 juta, [10] Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan terhadap orang yang bekerja padanya atau menjadi bawahannya, pidananya dapat ditambah 1/3. Percobaan melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud ayat (1) tidak dipidana. Terkait Pasal 352 KUHP, R. Soesilo pada bukunya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal (hal. 246), menjelaskan bahwa yang termasuk dalam pasal ini ialah penganiayaan yang tidak: menjadikan jatuh sakit (ziek) atau; terhalang untuk melakukan jabatan atau pekerjaannya sehari-hari. Psikologi Anak tentang Penerapan Aturan Sekolah Menurut Sovia Hasanah (penulis sebelumnya), perlu ada komunikasi antara pihak sekolah dengan orang tua siswa terkait penjelasan kondisi fisik, psikologis dan kemampuan siswa dalam menghadapi proses kegiatan belajar mengajar atau kegiatan di sekolah. Kami mengasumsikan, orang tua Anda atau Anda belum menyampaikan kondisi psikologis adik Anda yang sejak kecil trauma (sensitif) bila rambutnya dicukur, yakni setiap kali rambutnya dicukur dia akan menangis. Atas tindakan penamparan oleh guru terhadap adik Anda, segera komunikasikan dan/atau laporkan kepada Kepala Sekolah. Orang tua Anda atau Anda dapat melibatkan pihak ketiga seperti Pengurus Persatuan Orang Tua Murid dan Guru (“POMG”) untuk menyelesaikan permasalahan ini, yang mendorong dijatuhkannya sanksi kepada guru tersebut dan demi mencegah kejadian yang sama terjadi pada siswa lainnya di masa yang akan datang. Langkah ini bisa menjadi prioritas dalam menyelesaikan kasus ini sebelum mengambil keputusan untuk melaporkan guru tersebut ke Kepolisian, sebagaimana yang telah kami sampaikan di atas. Perlu kesadaran semua pihak bahwa anak harus dilindungi dari kekerasan sebagaimana amanah ketentuan Pasal 1 angka 2 UU 35/2014 jo. Pasal 3 UU Perlindungan Anak . Mendorong adik Anda untuk menggunakan sarana wali kelas dan guru konseling sebagai tempat diskusi dan konsultasi bagi setiap kondisi yang dihadapinya selama di sekolah, terutama soal trauma mencukur rambut dan mengembalikan rasa percaya dirinya pasca mendapat perlakuan kurang baik oleh guru di hadapan teman-temannya. Terkait pertanyaan Anda tentang tanggung jawab seorang guru, menurut kami, seorang guru adalah pendidik siswa selama di sekolah. Ekspektasi Anda bahwa tingkat perkembangan siswa itu berbeda sehingga memerlukan “penanganan” yang berbeda terhadap siswa-siswa adalah benar, sehingga kami menyarankan Anda agar memberikan masukan kepada pihak sekolah agar mengaktifkan program-program konseling demi mendapatkan informasi dan cara penanganan yang efektif dan benar terkait potensi (bakat) dan permasalahan siswa sehingga siswa berprestasi dan menempatkan sekolah sebagai tempat paling nyaman kedua setelah rumah. Namun, menurut hemat kami, peran guru bukan segala-galanya, motivasi diri siswa sendiri dan dukungan orang tua serta keluarga tidak kalah pentingnya dalam menjawab setiap permasalahan yang dihadapi oleh seorang siswa. Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. Dasar Hukum : Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ; Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak ; Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen ; Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang perlindungan Anak ; Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang perlindungan Anak ; Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Menjadi Undang-Undang ; Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ; Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2008 tentang Guru ; Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2017 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2008 Tentang Guru ; Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2012 tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda dalam KUHP . Referensi : R. Soesilo. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal . Bogor: Politeia, 1995; Hukuman Cukur Rambut Siswa Tak Pantas pada laman Komisi Perlindungan Anak Indonesia (“KPAI”), yang diakses pada 29 Juli 2024, pukul 15.06 WIB. [1] Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen (“UU 14/2005”) [2] Pasal 20 UU 14/2005 [3] Pasal 14 ayat (1) UU 14/2005 [4] Pasal 39 ayat (2), (3), dan (4) Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2008 tentang Guru (“PP 74/2008”) [5] Pasal 80 ayat (1) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (“UU 35/2014”) [6] Pasal 80 ayat (2) UU 35/2014 [7] Pasal 80 ayat (3) UU 35/2014 [8] Pasal 624 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“UU 1/2023”) [9] Pasal 3 Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2012 tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan Dan Jumlah Denda Dalam KUHP , denda dikali 1.000 kali [10] Pasal 79 ayat (1) huruf b UU 1/2023 TAGS kekerasan anak anak uu perlindungan anak perlindungan anak pidana penganiayaan | {151: '1. guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah', 67: 'pasal 20 dalam melaksanakan tugas keprofesionalan, guru berkewajiban : a. merencanakan pembelajaran, melaksanakan proses pembelajaran yang bermutu, serta menilai dan mengevaluasi hasil pembelajaran; b. meningkatkan dan mengembangkan kualifikasi akadernik dan kompetensi secara berkelanjutan sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni; c. bertindak … c. bertindak objektif dan tidak diskriminatif atas dasar pertimbangan jenis kelamin, agama, suku, ras, dan kondisi fisik tertentu, atau latar belakang keluarga, dan status sosial ekonomi peserta didik dalam pembelajaran; d. menjunjung tinggi peraturan perundang-undangan, hukum, dan kode etik guru, serta nilai-nilai agama dan etika; dan e. memelihara dan memupuk persatuan dan kesatuan bangsa. bagian ketiga wajib kerja dan ikatan dinas', 152: "['(1) dalam melaksanakan tugas keprofesionalan, guru berhak: a. memperoleh … a. memperoleh penghasilan di atas kebutuhan hidup minimum dan jaminan kesejahteraan sosial; b. mendapatkan promosi dan penghargaan sesuai dengan tugas dan prestasi kerja; c. memperoleh perlindungan dalam melaksanakan tugas dan hak atas kekayaan intelektual; d. memperoleh kesempatan untuk meningkatkan kompetensi; e. memperoleh dan memanfaatkan sarana dan prasarana pembelajaran untuk menunjang kelancaran tugas keprofesionalan; f. memiliki kebebasan dalam memberikan penilaian dan ikut menentukan kelulusan, penghargaan, dan/ atau sanksi kepada peserta didik sesuai dengan kaidah pendidikan, kode etik guru, dan peraturan perundang-- undangan; g. memperoleh rasa aman clan jaminan keselarnatan dalam melaksanakan tugas; h. memiliki kebebasan untuk berserikat dalam organisasi profesi; i. memiliki kesempatan untuk berperan dalam penentuan kebijakan pendidikan; j. memperoleh kesempatan untuk mengembangkan dan meningkatkan kualifikasi akademik dan kompetensi; dan / atau k. memperoleh pelatihan dan pengembangan. profesi dalam bidangnya.']", 153: "['(1) guru memiliki kebebasan memberikan sanksi kepada peserta didiknya yang melanggar norma agama, norma kesusilaan, norma kesopanan, peraturan tertulis maupun tidak tertulis yang ditetapkan guru, peraturan tingkat satuan pendidikan, dan peraturan perundang-undangan dalam proses pembelajaran yang berada di bawah kewenangannya.', '(2) sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa teguran dan/atau peringatan, baik lisan maupun tulisan, serta hukuman yang bersifat mendidik sesuai dengan kaedah pendidikan, kode etik guru, dan peraturan perundang-undangan.', '(3) pelanggaran terhadap peraturan satuan pendidikan yang dilakukan oleh peserta didik yang pemberian sanksinya berada di luar kewenangan guru, dilaporkan guru kepada pemimpin satuan pendidikan.']", 154: "['(1) setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 76 c, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun 6 (enam) bulan dan/atau denda paling banyak rp72.000.000,00 (tujuh puluh dua juta rupiah).', '(2) dalam hal anak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) luka berat, maka pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).', '(3) dalam hal anak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mati, maka pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan/atau denda paling banyak rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).']", 155: "['(1) setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 76 c, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun 6 (enam) bulan dan/atau denda paling banyak rp72.000.000,00 (tujuh puluh dua juta rupiah).', '(2) dalam hal anak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) luka berat, maka pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).', '(3) dalam hal anak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mati, maka pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan/atau denda paling banyak rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).']", 156: "['(1) setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 76 c, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun 6 (enam) bulan dan/atau denda paling banyak rp72.000.000,00 (tujuh puluh dua juta rupiah).', '(2) dalam hal anak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) luka berat, maka pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).', '(3) dalam hal anak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mati, maka pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan/atau denda paling banyak rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).']", 4: 'Undang-Undang ini mulai berlaku setelah 3 (tiga) tahun terhitung sejak tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.', 157: 'Tiap jumlah maksimum hukuman denda yang diancamkan dalam KUHP kecuali pasal 303 ayat 1 dan ayat 2, 303 bis ayat 1 dan ayat 2, dilipatgandakan menjadi 1.000 (seribu) kall,', 37: "['(1) pidana denda paling banyak ditetapkan berdasarkan: a. kategori i, rp1.000.000,00 (satu juta rupiah); b. kategori ii, rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah); c. kategori iii, rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah); d. kategori iv, rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah); e. kategori v, rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah); f. kategori vi, rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah); g. kategori vii, rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah); dan h. kategori viii, rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah).']"} |
Apa isi Pasal 185 Ayat 2 KUHAP? Kalau tidak salah soal asas unus testis nullus testis. Mohon penjelasannya, apa makna unus testis nullus testis? Terima kasih | ULASAN LENGKAP dari artikel dengan judul Adagium Unus Testis Nullus Testis dalam Pasal 185 Ayat (2) KUHAP yang dipublikasikan pada 20 Desember 2023. . Bunyi Pasal 185 Ayat (2) KUHAP Pada dasarnya, terdapat adagium hukum unus testis nullus testis yang merupakan suatu pepatah dari bahasa romawi atau dalam bahasa belanda dikenal Een Getuige is Geen Getuige [1] , yang artinya satu saksi bukan merupakan saksi . [2] Adagium ini tercantum dalam Pasal 185 ayat (2) KUHAP yang berbunyi: Keterangan seorang saksi saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah terhadap perbuatan yang didakwakan kepadanya. Namun, dalam memahami Pasal 185 ayat (2) KUHAP, kita juga perlu melihat ketentuan lain dalam Pasal 185 ayat (3) dan (4) KUHAP sebagai berikut. Pasal 185 ayat (3) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tidak berlaku apabila disertai dengan suatu alat bukti yang sah lainnya. Pasal 185 ayat (4) Keterangan beberapa saksi yang berdiri sendiri-sendiri tentang suatu kejadian atau keadaan dapat digunakan sebagai suatu alat bukti yang sah apabila keterangan saksi itu ada hubungannya satu dengan yang lain sedemikian rupa, sehingga dapat membenarkan adanya suatu kejadian atau keadaan tertentu. Lebih lanjut, sebagaimana diterangkan Andi Hamzah dalam bukunya Hukum Acara Pidana Indonesia, Edisi Kedua , ketentuan Pasal 185 ayat (2) KUHAP dapat dibandingkan dengan Pasal 300 ayat (1) HIR yang mengatakan bahwa hakim pengadilan negeri tidak boleh menjatuhkan pidana kepada terdakwa jika terdakwa menyangkal kesalahannya dan hanya ada seorang saksi saja yang memberatkan terdakwa sedangkan tidak ada alat bukti lain (hal. 269). Lalu, menurut D. Simons sebagaimana dikutip Andi Hamzah, satu keterangan saksi yang berdiri sendiri tidak dapat membuktikan seluruh dakwaan, tetapi satu keterangan saksi dapat membuktikan suatu keadaan tersendiri . Ajaran D. Simons tersebut tidak bertentangan dengan Pasal 185 ayat (2) dan (4) KUHAP. [3] Akan tetapi, penting untuk diketahui bahwa dalam KUHAP, unus testis nullus testis hanya berlaku bagi pemeriksaan biasa dan pemeriksaan singkat, dan tidak berlaku bagi pemeriksaan cepat . Hal ini dapat disimpulkan dari Penjelasan Pasal 184 KUHAP yang menerangkan: Dalam acara pemeriksaan cepat, keyakinan hakim cukup didukung satu alat bukti yang sah. : Alat Bukti Sah Menurut Pasal 184 KUHAP Demikian jawaban dari kami terkait isi Pasal 185 ayat (2) KUHAP sebagaimana ditanyakan, semoga bermanfaat. Dasar Hukum : Herzien Inlandsch Reglement (H.I.R) (S. 1941-44) ; Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana . Referensi : Andi Hamzah. Hukum Acara Pidana Indonesia, Edisi Kedua. Jakarta: Sinar Grafika, 2012; Ni Made Yulia Chitta Dewi (et.al). Asas Unus Testis Nullus Testis dalam Tindak Pidana Pemerkosaan Anak. Jurnal Konstruksi Hukum, Vol. 2, No. 1, 2021; Riyanto S Akhmadi. Penerapan Asas Unus Testis Nullus Testis dalam Pasal 55 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga . Wacana Paramarta: Jurnal Ilmu Hukum, Vol. 20, No. 1, 2021. [1] Riyanto S Akhmadi. Penerapan Asas Unus Testis Nullus Testis dalam Pasal 55 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga . Wacana Paramarta: Jurnal Ilmu Hukum, Vol. 20, No. 1, 2021, hal. 64 [2] Ni Made Yulia Chitta Dewi (et.al). Asas Unus Testis Nullus Testis dalam Tindak Pidana Pemerkosaan Anak . Jurnal Konstruksi Hukum, Vol. 2, No. 1, 2021, hal. 192 [3] Andi Hamzah. Hukum Acara Pidana Indonesia, Edisi Kedua . Jakarta: Sinar Grafika, 2012, hal. 269–270 TAGS kuhap saksi kesaksian potd | {158: 'adagium hukum unus testis nullus testis yang merupakan suatu pepatah dari bahasa romawi', 159: 'Een Getuige is Geen Getuige, yang artinya satu saksi bukan merupakan saksi.', 160: 'Simons tersebut tidak bertentangan dengan Pasal 185 ayat (2) dan (4) KUHAP.'} |
Istri mengaku selingkuh tapi tidak sampai berhubungan badan. Hanya ciuman dan meremas payudara. Adakah pidana selingkuh? Jika ada, bisa dijerat dengan undang-undang apa dan pasal berapa? | ULASAN LENGKAP ketiga dari artikel dengan judul Perselingkuhan Tanpa Persetubuhan, Dapatkah Dipidana? yang dibuat oleh Togar S.M. Sijabat, S.H., M.H. dan pertama kali dipublikasikan pada Kamis, 30 April 2020, yang pertama kali dimutakhirkan pada Rabu, 24 Agustus 2022 oleh Bernadetha Aurelia Oktavira, S.H. , kemudian dimutakhirkan kedua kalinya pada 22 Juni 2023. Artikel ini dibuat berdasarkan KUHP lama dan UU 1/2023 tentang KUHP yang diundangkan pada tanggal 2 Januari 2023. . Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. [1] Dengan perkawinan, dua orang yang berlainan jenis diikat secara lahir, batin, dan hukum dalam suatu ikatan. Ikatan lahir terkait dengan hubungan biologis, ikatan badaniah. Artinya, dalam perkawinan, suami dan istri hanya dapat melakukan hubungan biologis di antara mereka berdua saja. Sedangkan ikatan batin adalah suatu ikatan yang datang dari lubuk hati seseorang, lubuk hati yang suci sesuai dengan ajaran agama masing-masing. Baik suami dan istri bertekad membentuk mahligai rumah tangga, dalam keadaan suka maupun duka. Karena diatur secara agama, timbul tanggung jawab moral berupa kejujuran, kesetiaan, ketulusan, dan pengorbanan, yang mutlak diperlukan dalam suatu perkawinan. Adapun ikatan hukum adalah adanya hak dan kewajiban yang secara hukum melekat kepada pria dengan wanita, berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan. Karena perkawinan itu sifatnya ikatan lahir dan batin, perbuatan dusta, pengkhianatan, mau menang sendiri, dan kemunafikan harus dihindari dan bahkan amat pantang untuk dilakukan. Istri Selingkuh Dikaitkan dengan perkawinan, pihak istri mengakui telah berselingkuh dengan pria lain, walau belum berhubungan badan. Menurut hemat kami, ini merupakan perbuatan yang mengingkari prinsip perkawinan. Padahal suami istri memikul kewajiban yang luhur untuk menegakkan rumah tangga yang menjadi sendi dasar dari susunan masyarakat. [2] Suami istri juga wajib saling cinta mencintai, hormat menghormati, setia, dan memberi bantuan lahir batin yang satu kepada yang lain. [3] Dalam Pasal 83 ayat (1) KHI , diterangkan pula kewajiban bagi seorang istri untuk berbakti lahir dan batin kepada suami dalam batas-batas yang dibenarkan oleh hukum Islam. Istri dapat dianggap nusyuz (durhaka) jika ia tidak mau melaksanakan kewajiban-kewajiban tersebut, kecuali dengan alasan yang sah. [4] Jika suami atau istri melalaikan kewajibannya, masing-masing dapat mengajukan gugatan kepada pengadilan. [5] Gugatan yang dimaksud adalah gugatan perceraian. Untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan, bahwa antara suami istri itu tidak akan dapat hidup rukun sebagai suami istri. [6] Adanya salah satu pihak yang berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan sendiri dapat menjadi salah satu alasan perceraian. [7] Pidana Selingkuh dalam KUHP Terkait pidana selingkuh, KUHP lama yang masih berlaku pada saat artikel ini diterbitkan mengatur secara khusus adanya sanksi pidana bagi istri yang melakukan perzinaan. Pasal 284 ayat (1) KUHP berbunyi: Diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan: 1. a. Seorang pria yang telah kawin yang melakukan mukah (overspel) padahal diketahui bahwa pasal 27 BW berlaku baginya; b. Seorang wanita yang telah kawin yang melakukan mukah. 2. a. Seorang pria yang turut serta melakukan perbuatan itu, padahal diketahuinya bahwa yang turut bersalah telah kawin. 3. Seorang wanita yang telah kawin yang turut serta melakukan perbuatan itu, padahal diketahui olehnya bahwa yang turut bersalah telah kawin dan Pasal 27 BW berlaku baginya. Namun mengenai pasal ini, R. Soesilo dalam bukunya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal (hal. 209), menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan zina adalah persetubuhan yang dilakukan oleh laki-laki atau perempuan yang telah kawin dengan perempuan atau laki-laki yang bukan istri atau suaminya. Pidana Selingkuh dalam KUHP Baru Demikian pula ketentuan dalam KUHP Baru atau UU 1/2023 yang berlaku 3 tahun sejak tanggal diundangkan [8] yaitu 2026 mendatang, yang menerangkan bahwa setiap orang yang melakukan persetubuhan dengan orang yang bukan suaminya dapat diancam dengan pidana perzinaan dengan ancaman pidana penjara 1 tahun atau denda Rp10 juta. Hal ini sebagaimana ketentuan Pasal 411 UU 1/2023 yang berbunyi: (1)Setiap Orang yang melakukan persetubuhan dengan orang yang bukan suami atau istrinya, dipidana karena perzinaan , dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau pidana denda paling banyak kategori II. (2)Terhadap tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dilakukan penuntutan kecuali atas pengaduan: suami atau istri bagi orang yang terikat perkawinan. Orang Tua atau anaknya bagi orang yang tidak terikat perkawinan. (3)Terhadap pengaduan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak berlaku ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25, Pasal 26, dan Pasal 30. (4)Pengaduan dapat ditarik kembali selama pemeriksaan di sidang pengadilan belum dimulai. Penjelasan Pasal 411 UU 1/2023 menerangkan lebih lanjut mengenai apa yang dimaksud dengan “bukan suami atau istrinya” dalam Pasal 411 UU/2023 sebagai berikut: laki-laki yang berada dalam ikatan perkawinan melakukan persetubuhan dengan perempuan yang bukan istrinya; perempuan yang berada dalam ikatan perkawinan melakukan persetubuhan dengan laki-laki yang bukan suaminya; laki-laki yang tidak dalam ikatan perkawinan melakukan persetubuhan dengan perempuan, padahal diketahui bahwa perempuan tersebut berada dalam ikatan perkawinan; perempuan yang tidak dalam ikatan perkawinan melakukan persetubuhan dengan laki-laki, padahal diketahui bahwa laki-laki tersebut berada dalam ikatan perkawinan; atau laki-laki dan perempuan yang masing-masing tidak terikat dalam perkawinan melakukan persetubuhan. Selain pidana perzinaan sebagaimana dimaksud Pasal 411 UU 1/2023 di atas, pidana selingkuh dalam KUHP baru dapat dikaitkan pula dengan perbuatan kohabitasi yang selengkapnya dapat Anda baca dalam artikel Pasal yang Menjerat Pelaku Kohabitasi . Oleh karena itu, menurut hemat kami, istri Anda hanya dapat dipidana jika perselingkuhan tersebut melibatkan kohabitasi (menurut KUHP baru) atau hubungan badan (telah terjadi penetrasi alat kelamin). Jika hanya berciuman dan meremas payudara, keduanya tidak dapat dijatuhi pidana selingkuh. Demikian jawaban kami terkait pidana selingkuh bagi istri sebagaimana ditanyakan, semoga bermanfaat. Dasar Hukum : Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ; Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan ; Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ; Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam . Referensi : R. Soesilo. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal. Bogor: Politeia, 1991. [1] Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (“UU Perkawinan”) [2] Pasal 30 UU Perkawinan [3] Pasal 33 UU Perkawinan [4] Pasal 84 ayat (1) Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam (“KHI”) [5] Pasal 34 ayat (3) UU Perkawinan [6] Pasal 39 ayat (2) UU Perkawinan [7] Penjelasan Pasal 39 ayat (2) huruf a UU Perkawinan [8] Pasal 624 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana TAGS kuhp persetubuhan selingkuh zina | {161: 'pasal 1 perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan ketuhanan yang mahaesa.', 162: 'pasal 30 suami isteri memikul kewajiban yang luhur untuk menegakkan rumah tangga yang menjadi sendi dasar dari susunan masyarakat.', 163: 'pasal 33 suami isteri wajib saling cinta-mencintai hormat-menghormati, setia dan memberi bantuan lahir bathin yang satu kepada yang lain.', 164: '(1) Isteri dapat dianggap nusyuz jika ia tidak mau melaksanakan kewajiban-kewajiban sebagaimana dimaksud dalam pasal 83 ayat (1) kecuali dengan alasan yang sah.', 165: "['(1) suami wajib melindungi isterinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya.', '(2) isteri wajib mengatur urusan rumah-tangga sebaik-baiknya.']", 166: "['(1) perceraian hanya dapat dilakukan didepan sidang pengadilan setelah pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak.', '(2) untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan, bahwa antara suami isteri itu tidak akan dapat hidup rukun sebagai suami isteri.']", 167: "['(1) perceraian hanya dapat dilakukan didepan sidang pengadilan setelah pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak.', '(2) untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan, bahwa antara suami isteri itu tidak akan dapat hidup rukun sebagai suami isteri.' , '(2) Alasan-alasan yang dapat dijadikan dasar untuk perceraian adalah: a. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabok, pemadat, penjudi dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan;']", 20: 'Undang-Undang ini mulai berlaku setelah 3 (tiga) tahun terhitung sejak tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.'} |
Akhir-akhir ini saya melihat video yang beredar di media sosial menunjukkan mobil ambulans yang terhalangi oleh seorang pengendara wanita yang hendak melakukan putar balik. Sebenarnya adakah hukum yang mengatur mengenai larangan untuk menghalangi ambulans di jalan? | ULASAN LENGKAP . Hak Utama Ambulans Untuk menjawab pertanyaan Anda, kami akan menerangkan terlebih dahulu mengenai pengertian dan tujuan dari lalu lintas dan angkutan jalan (“LLAJ). Berdasarkan Pasal 1 angka 1 UU LLAJ , LLAJ adalah satu kesatuan sistem yang terdiri atas lalu lintas, angkutan jalan, jaringan lalu lintas dan angkutan jalan, prasarana lalu lintas dan angkutan jalan, kendaraan, pengemudi, pengguna jalan, serta pengelolaannya. Penyelenggaraan LLAJ ini memiliki tujuan untuk: [1] terwujudnya pelayanan lalu lintas dan angkutan jalan yang aman, selamat, tertib , lancar, dan terpadu dengan moda angkutan lain untuk mendorong perekonomian nasional, memajukan kesejahteraan umum, memperkukuh persatuan dan kesatuan bangsa, serta mampu menjunjung tinggi martabat bangsa; terwujudnya etika berlalu lintas dan budaya bangsa; dan terwujudnya penegakan hukum dan kepastian hukum bagi masyarakat. Dari penjelasan di atas, dapat dilihat bahwa salah satu tujuan LLAJ adalah ketertiban, yaitu suatu keadaan berlalu lintas yang berlangsung secara teratur sesuai dengan hak dan kewajiban setiap pengguna jalan . [2] Adapun yang dimaksud dengan pengguna jalan adalah orang yang menggunakan jalan untuk berlalu lintas. [3] Selanjutnya, kami berpendapat bahwa ambulans pada dasarnya merupakan salah satu dari banyak pengguna jalan. Berdasarkan KBBI, ambulans adalah kendaraan (mobil dan sebagainya) yang dilengkapi peralatan medis untuk mengangkut orang sakit, korban kecelakaan dan sebagainya. Akan tetapi, berbeda dengan pengguna jalan lainnya, ambulans pada umumnya memiliki lampu isyarat dan/atau sirene yang dinyalakan pada kondisi tertentu, seperti kondisi gawat darurat. Secara hukum, kendaraan bermotor memang diperbolehkan untuk dilengkapi lampu isyarat dan/atau sirene untuk kepentingan tertentu. Adapun, lampu isyarat terdiri atas beberapa warna, antara lain merah , biru, dan kuning [4] Dalam konteks ambulans, lampu isyarat yang digunakan adalah warna merah dan sirine . Selain ambulans, terdapat juga kendaraan bermotor lain yang menggunakan lampu isyarat merah dan sirine yaitu kendaraan tahanan, pengawalan tentara nasional Indonesia, pemadam kebakaran, palang merah, rescue , dan jenazah. [5] Fungsi dari lampu isyarat berwarna merah dan sirine adalah sebagai tanda kendaraan bermotor tersebut memiliki hak utama . [6] Adapun, yang dimaksud kendaraan bermotor yang memiliki hak utama adalah kendaraan bermotor yang mendapat prioritas dan wajib didahulukan dari pengguna jalan lain . [7] Selanjutnya, mengenai hak utama pengguna jalan diurutkan berdasarkan ketentuan Pasal 134 UU LLAJ sebagai berikut: kendaraan pemadam kebakaran yang sedang melaksanakan tugas; ambulans yang mengangkut orang sakit; kendaraan untuk memberikan pertolongan pada kecelakaan lalu lintas; kendaraan pimpinan Lembaga Negara Republik Indonesia; kendaraan pimpinan dan pejabat dan pejabat negara asing serta lembaga internasional yang menjadi tamu negara; iring-iringan pengantar jenazah; dan konvoi dan/atau kendaraan untuk kepentingan tertentu menurut pertimbangan petugas Kepolisian Negara Republik Indonesia. Kendaraan yang mendapat hak utama seperti di atas harus dikawal oleh petugas kepolisian dan/atau menggunakan isyarat lampu merah atau biru dan bunyi sirine . [8] Jika mengetahui adanya pengguna jalan yang memiliki hak utama, petugas kepolisian melakukan pengamanan. [9] Selain itu, alat pemberi isyarat lalu lintas dan rambu lalu lintas tidak berlaku bagi kendaraan yang mendapatkan hak utama . [10] Jerat Pasal Menghalangi Ambulans di Jalan Lantas, menghalangi ambulans kena pasal berapa? Bagi setiap orang yang mengemudikan kendaraan bermotor di jalan yang melanggar ketentuan mengenai penggunaan atau hak utama bagi kendaraan bermotor yang menggunakan alat peringatan dengan bunyi dan sinar sebagaimana dimaksud Pasal 59 dan Pasal 134 UU LLAJ dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 bulan atau denda paling banyak Rp250 ribu . Ketentuan ini termaktub di dalam Pasal 287 ayat (4) UU LLAJ . Lalu jika pengendara yang menghalangi kendaraan yang memiliki hak utama tersebut mengemudikan kendaraannya dengan cara atau keadaan yang membahayakan bagi nyawa atau barang, maka dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 tahun atau denda paling banyak Rp3 juta . [11] Oleh karena itu, bagi pengendara yang menghalangi ambulans di jalan, dapat disanksi berdasarkan ketentuan di atas. Hal ini karena ambulans merupakan kendaraan yang memiliki hak utama, artinya harus mendapatkan prioritas dan wajib didahulukan dari pengguna jalan lain. Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. Dasar Hukum Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan ; Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja ; Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja Menjadi Undang-Undang . Referensi Ambulans , yang diakses pada Rabu, 3 September 2024, pukul 16.24 WIB. [1] Pasal 3 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (“UU LLAJ”) [2] Pasal 1 angka 32 UU LLAJ [3] Pasal 1 angka 27 UU LLAJ [4] Pasal 59 ayat (1) UU LLAJ [5] Pasal 59 ayat (5) huruf b UU LLAJ [6] Pasal 59 ayat (3) UU LLAJ [7] Penjelasan Pasal 59 ayat (3) UU LLAJ [8] Pasal 135 ayat (1) UU LLAJ [9] Pasal 135 ayat (2) UU LLAJ [10] Pasal 135 ayat (3) UU LLAJ [11] Pasal 311 ayat (1) UU LLAJ TAGS ambulans uu llaj lalu lintas | {168: 'pasal 3 lalu lintas dan angkutan jalan diselenggarakan dengan tujuan: a. terwujudnya pelayanan lalu lintas dan angkutan jalan yang aman, selamat, tertib, lancar, dan terpadu dengan moda angkutan lain untuk mendorong perekonomian nasional, memajukan kesejahteraan umum, memperkukuh persatuan dan kesatuan bangsa, serta mampu menjunjung tinggi martabat bangsa; b. terwujudnya etika berlalu lintas dan budaya bangsa; dan c. terwujudnya penegakan hukum dan kepastian hukum bagi masyarakat. bab iii ruang lingkup keberlakuan undang-undang', 169: '32. ketertiban lalu lintas dan angkutan jalan adalah suatu keadaan berlalu lintas yang berlangsung secara teratur sesuai dengan hak dan kewajiban setiap pengguna jalan.', 170: '27. pengguna jalan adalah orang yang menggunakan jalan untuk berlalu lintas.', 171: "['(1) untuk kepentingan tertentu, kendaraan bermotor dapat dilengkapi dengan lampu isyarat dan/atau sirene.', '(2) lampu isyarat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas warna: a. merah; b. biru; dan c. kuning.', '(3) lampu isyarat warna merah atau biru sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dan huruf b serta sirene sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berfungsi sebagai tanda kendaraan bermotor yang memiliki hak utama.', '(4) lampu isyarat warna kuning sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c berfungsi sebagai tanda peringatan kepada pengguna jalan lain.', '(5) penggunaan lampu isyarat dan sirene sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) sebagai berikut: a. lampu isyarat warna biru dan sirene digunakan untuk kendaraan bermotor petugas kepolisian negara republik indonesia; (5) pengawasan . . . b. lampu isyarat warna merah dan sirene digunakan untuk kendaraan bermotor tahanan, pengawalan tentara nasional indonesia, pemadam kebakaran, ambulans, palang merah, rescue, dan jenazah; dan c. lampu isyarat warna kuning tanpa sirene digunakan untuk kendaraan bermotor patroli jalan tol, pengawasan sarana dan prasarana lalu lintas dan angkutan jalan, perawatan dan pembersihan fasilitas umum, menderek kendaraan, dan angkutan barang khusus.', '(6) ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan, prosedur, dan tata cara pemasangan lampu isyarat dan sirene sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan peraturan pemerintah.']", 172: "['(1) untuk kepentingan tertentu, kendaraan bermotor dapat dilengkapi dengan lampu isyarat dan/atau sirene.', '(2) lampu isyarat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas warna: a. merah; b. biru; dan c. kuning.', '(3) lampu isyarat warna merah atau biru sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dan huruf b serta sirene sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berfungsi sebagai tanda kendaraan bermotor yang memiliki hak utama.', '(4) lampu isyarat warna kuning sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c berfungsi sebagai tanda peringatan kepada pengguna jalan lain.', '(5) penggunaan lampu isyarat dan sirene sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) sebagai berikut: a. lampu isyarat warna biru dan sirene digunakan untuk kendaraan bermotor petugas kepolisian negara republik indonesia; (5) pengawasan . . . b. lampu isyarat warna merah dan sirene digunakan untuk kendaraan bermotor tahanan, pengawalan tentara nasional indonesia, pemadam kebakaran, ambulans, palang merah, rescue, dan jenazah; dan c. lampu isyarat warna kuning tanpa sirene digunakan untuk kendaraan bermotor patroli jalan tol, pengawasan sarana dan prasarana lalu lintas dan angkutan jalan, perawatan dan pembersihan fasilitas umum, menderek kendaraan, dan angkutan barang khusus.', '(6) ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan, prosedur, dan tata cara pemasangan lampu isyarat dan sirene sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan peraturan pemerintah.']", 173: "['(1) untuk kepentingan tertentu, kendaraan bermotor dapat dilengkapi dengan lampu isyarat dan/atau sirene.', '(2) lampu isyarat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas warna: a. merah; b. biru; dan c. kuning.', '(3) lampu isyarat warna merah atau biru sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dan huruf b serta sirene sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berfungsi sebagai tanda kendaraan bermotor yang memiliki hak utama.', '(4) lampu isyarat warna kuning sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c berfungsi sebagai tanda peringatan kepada pengguna jalan lain.', '(5) penggunaan lampu isyarat dan sirene sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) sebagai berikut: a. lampu isyarat warna biru dan sirene digunakan untuk kendaraan bermotor petugas kepolisian negara republik indonesia; (5) pengawasan . . . b. lampu isyarat warna merah dan sirene digunakan untuk kendaraan bermotor tahanan, pengawalan tentara nasional indonesia, pemadam kebakaran, ambulans, palang merah, rescue, dan jenazah; dan c. lampu isyarat warna kuning tanpa sirene digunakan untuk kendaraan bermotor patroli jalan tol, pengawasan sarana dan prasarana lalu lintas dan angkutan jalan, perawatan dan pembersihan fasilitas umum, menderek kendaraan, dan angkutan barang khusus.', '(6) ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan, prosedur, dan tata cara pemasangan lampu isyarat dan sirene sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan peraturan pemerintah.']", 174: 'Yang dimaksud dengan “Kendaraan Bermotor yang memiliki hak utama” adalah Kendaraan Bermotor yang mendapat prioritas dan wajib didahulukan dari Pengguna Jalan lain.', 175: "['(1) kendaraan yang mendapat hak utama sebagaimana dimaksud dalam pasal 134 harus dikawal oleh petugas kepolisian negara republik indonesia dan/atau menggunakan isyarat lampu merah atau biru dan bunyi sirene.', '(2) angkutan . . . (2) petugas kepolisian negara republik indonesia melakukan pengamanan jika mengetahui adanya pengguna jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).']", 176: "['(1) kendaraan yang mendapat hak utama sebagaimana dimaksud dalam pasal 134 harus dikawal oleh petugas kepolisian negara republik indonesia dan/atau menggunakan isyarat lampu merah atau biru dan bunyi sirene.', '(2) angkutan . . . (2) petugas kepolisian negara republik indonesia melakukan pengamanan jika mengetahui adanya pengguna jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).']", 177: "['(1) kendaraan yang mendapat hak utama sebagaimana dimaksud dalam pasal 134 harus dikawal oleh petugas kepolisian negara republik indonesia dan/atau menggunakan isyarat lampu merah atau biru dan bunyi sirene.', '(2) angkutan . . . (2) petugas kepolisian negara republik indonesia melakukan pengamanan jika mengetahui adanya pengguna jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).']", 178: "['(1) setiap orang yang dengan sengaja mengemudikan kendaraan bermotor dengan cara atau keadaan yang membahayakan bagi nyawa atau barang dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak rp3.000.000,00 (tiga juta rupiah).', '(2) dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan kecelakaan lalu lintas dengan kerusakan kendaraan dan/atau barang sebagaimana dimaksud dalam pasal 229 ayat (2), pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau denda paling banyak rp4.000.000,00 (empat juta rupiah).', '(3) dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan kecelakaan lalu lintas dengan korban luka ringan dan kerusakan kendaraan dan/atau barang sebagaimana dimaksud dalam pasal 229 ayat (3), pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun atau denda paling banyak rp8.000.000,00 (delapan juta rupiah).', '(4) dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan kecelakaan lalu lintas dengan korban luka berat sebagaimana dimaksud dalam pasal 229 ayat (4), pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun atau denda paling banyak rp20.000.000,00 (dua puluh juta rupiah).']"} |
Saya adalah anak bungsu dari 3 bersaudara di keluarga saya. Orang tua saya pisah sementara selama 3 minggu setelah ibu saya ketahuan selingkuh dengan pria lain. Ayah saya menuduh adik dari ibu saya telah mempengaruhi ibu saya. Saking kesalnya, secara tidak sengaja ayah saya mengancam adik ibu saya melalui Facebook Messenger. Kemudian, ibu saya membalas dengan melaporkan bukti ancaman berupa screenshot Facebook Messenger ke polisi. Saya sangat prihatin dengan kondisi keluarga saya yang melibatkan hukum karena masalah tidak bisa diselesaikan secara kekeluargaan. Jadi, pasal hukum apa saja yang terlibat bila ibu saya benar-benar mau melaporkan ayah saya ke polisi? | ULASAN LENGKAP kedua dari artikel dengan judul Jerat Hukum Pengancaman Melalui Media Elektronik yang dibuat oleh Albert Aries, S.H., M.H. dan pertama kali dipublikasikan Rabu, 15 Mei 2013, kemudian dimutakhirkan pertama kali oleh Sovia Hasanah, S.H. pada 4 Januari 2019. . Sebelumnya, kami prihatin atas permasalahan yang dialami keluarga Anda. Kami berharap permasalahan tersebut dapat segera diselesaikan secara kekeluargaan, tanpa harus melalui proses hukum karena pada prinsipnya hukum pidana adalah ultimum remedium atau upaya terakhir yang dapat ditempuh setelah semua upaya lain sudah coba ditempuh. Menjawab pertanyaan pokok Anda, kami mengasumsikan bahwa perbuatan yang dilaporkan oleh ibu Anda merupakan pengancaman yang dilakukan oleh ayah Anda terhadap adik ibu Anda melalui media elektronik. Akan tetapi, sangat disayangkan Anda tidak menjelaskan lebih lanjut ancaman apa yang didapat. Perlu diketahui, dalam proses penyidikan dimungkinkan adanya delik lain yang dapat dipersangkakan terhadap ayah Anda. Hal ini sebagai konsekuensi dari berkembangnya proses penyidikan atas suatu dugaan tindak pidana. Pasal Pengancaman dalam KUHP Terkait dugaan tindak pidana pengancaman yang ayah Anda lakukan, berpotensi untuk dijerat berdasarkan ketentuan Pasal 335 KUHP lama yang masih berlaku saat artikel ini diterbitkan atau Pasal 448 UU 1/2023 tentang KUHP baru yang berlaku 3 tahun sejak tanggal diundangkan, [1] yaitu tahun 2026. Namun, perlu diketahui bahwa Pasal 335 KUHP atau yang sering disebut sebagai pasal perbuatan tidak menyenangkan semenjak adanya Putusan MK No. 1/PUU-XI/2013 frasa “sesuatu perbuatan lain maupun perlakuan yang tak menyenangkan” dalam Pasal 335 ayat (1) butir 1 KUHP dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat (hal. 39-40). MK menilai frasa “sesuatu perbuatan lain maupun perlakuan yang tak menyenangkan” dalam Pasal 335 ayat (1) butir 1 KUHP telah menimbulkan ketidakpastian hukum dan ketidakadilan. Sebab, implementasi ketentuan itu memberi peluang terjadinya kesewenang-wenangan penyidik dan penuntut umum terutama bagi pihak yang dilaporkan (hal. 37). Oleh karena itu, Pasal 335 perbuatan tidak menyenangkan saat ini tidak relevan lagi. Dengan demikian, pasal-pasal tersebut menjadi berbunyi sebagai berikut: Pasal 335 KUHP jo . Putusan MK No. 1/PUU-XI/2013 Pasal 448 UU 1/2023 (1) Diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun atau denda paling banyak Rp4,5 juta [2] : 1. barang siapa secara melawan hukum memaksa orang lain supaya melakukan, tidak melakukan atau membiarkan sesuatu, dengan memakai kekerasan, atau dengan memakai ancaman kekerasan , baik terhadap orang itu sendiri maupun orang lain; 2. barang siapa memaksa orang lain supaya melakukan, tidak melakukan atau membuatkan sesuatu dengan ancaman pencemaran atau pencemaran tertulis. (2) Dalam hal sebagaimana dirumuskan dalam butir 2, kejahatannya hanya dituntut atas pengaduan orang yang terkena. (1) Dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 tahun atau pidana denda paling banyak kategori II, yaitu sebesar Rp10 juta, [3] setiap orang yang: a. secara melawan hukum memaksa orang lain supaya melakukan, tidak melakukan, atau membiarkan sesuatu, dengan kekerasan atau ancaman kekerasan , baik terhadap orang itu sendiri maupun orang lain; atau b. memaksa orang lain supaya melakukan, tidak melakukan, atau membiarkan sesuatu dengan ancaman pencemaran atau pencemaran tertulis (2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b hanya dapat dituntut atas pengaduan dari korban tindak pidana. Disarikan dari artikel Pasal Perbuatan Tidak Menyenangkan Dihapus, Ini Dasarnya untuk dapat dijerat Pasal 335 KUHP atau Pasal 448 UU 1/2023, perbuatan harus memenuhi unsur-unsur berikut: barang siapa; secara melawan hukum; memaksa orang lain supaya melakukan, tidak melakukan, atau membiarkan sesuatu; memakai kekerasan atau ancaman kekerasan , baik terhadap orang itu sendiri maupun orang lain. Lebih lanjut lagi, R. Soesilo dalam buku Kitab Undang-Undang hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal (hal. 238-239) menjelaskan bahwa yang harus dibuktikan dalam Pasal 335 tentang pengancaman adalah: Terdapat orang yang dengan melawan hak dipaksa untuk melakukan sesuatu, tidak melakukan sesuatu atau membiarkan sesuatu; Pakasaan itu dilakukan dengan memakai kekerasan, ataupun ancaman kekerasan , baik terhadap orang itu, maupun terhadap orang lain. Tindak Pidana Pengancaman dalam UU ITE Kemudian, karena dugaan tindak pidana pengancaman oleh ayah Anda dilakukan melalui sarana media sosial yaitu Facebook Messenger, maka ayah Anda dapat dijerat berdasarkan pasal dalam UU ITE dan perubahannya. Hal ini sesuai dengan asas lex specialis derogat legi generali yang berarti peraturan khusus (yaitu UU ITE) mengesampingkan peraturan yang lebih umum (yaitu KUHP). Adapun tindak pidana pengancaman dalam UU ITE diatur dalam Pasal 29 UU 1/2024 , yang berbunyi: Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mengirimkan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik secara langsung kepada korban yang berisi ancaman kekerasan dan/atau menakut-nakuti . Berkenaan dengan korban yang dimaksud dalam pasal di atas adalah orang yang mengalami penderitaan fisik, mental, dan/atau kerugian ekonomi yang diakibatkan oleh tindak pidana. Selain itu, perundungan di ruang digital ( cyber bullying ) juga termasuk perbuatan yang diatur dalam pasal tersebut. [4] Pelanggaran terhadap Pasal 29 UU 1/2024 diatur dalam Pasal 45B UU 1/2024 , yaitu dipidana penjara paling lama 4 tahun dan/atau denda paling banyak Rp750 juta. Menjawab pertanyaan Anda, atas pengancaman yang dilakukan oleh ayah Anda melalui media elektronik, dapat dijerat dengan ketentuan Pasal 29 UU 1/2024 jo. Pasal 45B UU 19/2016 tentang pengancaman secara elektronik sebagaimana tersebut di atas. Untuk itu, kami berpendapat bahwa dalam menerapkan pasal-pasal yang mengandung sanksi pidana dalam UU ITE yang merupakan lex specialis dari pasal-pasal KUHP, hendaknya para penegak hukum dapat memperhatikan apakah pasal-pasal dari KUHP tersebut sebagai ketentuan umum ( general ) merupakan delik aduan atau delik biasa. Hal ini penting, untuk menjaga agar penerapan pasal-pasal pidana yang tersebar dalam UU ITE tidak dijadikan sebagai “sapu jagat” untuk mengkriminalkan seseorang. Contoh Kasus Agar mempermudah pemahaman Anda, kami akan memberikan contoh kasus pada Putusan PN Batam No. 191/Pid.Sus/2018/PN.Btm . Dalam putusan tersebut dijelaskan bahwa terdakwa berkali-kali mengancam korban melalui pesan singkat (SMS). Salah satu pesan ancamannya sebagai berikut “ dua x kau beruntung ya,, lari lah slma kau bs lari ya muka tembok. Slama masih dibatam kau. Bakalan jmpa kau sm kami. Beruntung kedua x ne kau. Kl ga kelas hidup kau laki bini dikantor kodim ”. (hal.4) Akibat perbuatannya, terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana pada Pasal 29 UU ITE jo. Pasal 45B UU 19/2016 . Terdakwa dijatuhi pidana penjara selama 6 bulan (hal. 35). Perkaya riset hukum Anda dengan analisis hukum terbaru dwibahasa, serta koleksi terjemahan peraturan yang terintegrasi dalam Hukumonline Pro, pelajari lebih lanjut di sini . Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. Dasar Hukum: Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 ; Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ; Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik ; Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik ; Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang hukum Pidana ; Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2024 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik ; Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2012 tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda dalam KUHP . Putusan: Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 1/PUU-XI/2013 Tahun 2013 ; Putusan Pengadilan Negeri Batam Nomor 191/Pid.Sus/2018/PN.Btm . [1] Pasal 624 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“UU 1/2023”) [2] Pasal 3 Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2012 tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan Dan Jumlah Denda Dalam KUHP , denda dikali 1.000 [3] Pasal 79 ayat (1) huruf b UU 1/2023 [4] Penjelasan Pasal 29 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2024 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (“UU 1/2024”) TAGS hukumonline telekomunikasi teknologi penghinaan kuhp uu ite perbuatan tidak menyenangkan pidana | {4: 'Undang-Undang ini mulai berlaku setelah 3 (tiga) tahun terhitung sejak tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.', 186: 'Tiap jumlah maksimum hukuman denda yang diancamkan dalam KUHP kecuali pasal 303 ayat 1 dan ayat 2, 303 bis ayat 1 dan ayat 2, dilipatgandakan menjadi 1.000 (seribu) kall,', 37: "['(1) pidana denda paling banyak ditetapkan berdasarkan: a. kategori i, rp1.000.000,00 (satu juta rupiah); b. kategori ii, rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah); c. kategori iii, rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah); d. kategori iv, rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah); e. kategori v, rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah); f. kategori vi, rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah); g. kategori vii, rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah); dan h. kategori viii, rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah).']", 187: 'Yang dimaksud dengan "korban" adalah orang yang mengalami penderitaan fisik, mental, dan/atau kerugian ekonomi yang diakibatkan oleh tindak pidana.'} |
Selamat siang. Saya ingin bertanya bagaimana seorang hakim memutuskan seorang terpidana korupsi telah melakukan kerugian negara? Apa acuan atau poin yang menyebutkan bahwa negara telah mengalami kerugian? Terima kasih. | ULASAN LENGKAP dari artikel dengan judul Cara Menentukan Adanya Kerugian Keuangan Negara yang dibuat oleh Tri Jata Ayu Pramesti, S.H. dan pertama kali dipublikasikan pada 23 Agustus 2013. Dalam perspektif UU 31/1999 dan perubahannya yaitu UU 20/2001 , definisi korupsi dijelaskan dalam 13 buah pasal. Berdasarkan pasal-pasal tersebut, korupsi dirumuskan ke dalam 30 bentuk atau jenis tindak pidana korupsi. Dari ketiga puluh jenis/bentuk tindak pidana korupsi tersebut, pada dasarnya dikelompokkan menjadi: [1] kerugian negara; suap menyuap; penggelapan dalam jabatan; pemerasan; perbuatan curang; benturan kepentingan dalam pengadaan; : Jenis-jenis Korupsi dan Hukumnya di Indonesia Jenis korupsi yang berkenaan dengan kerugian keuangan negara diatur di dalam Pasal 2 UU 20/2001 jo. Putusan MK No. 25/PUU-XIV/2016 dan Pasal 3 UU 31/1999 jo . Putusan MK No. 25/PUU-XIV/2016 sebagai berikut: Pasal 2 UU 20/2001 jo. Putusan MK No. 25/PUU-XIV/2016 Pasal 3 UU 31/1999 jo . Putusan MK No. 25/PUU-XIV/2016 Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang merugikan keuangan negara atau perekonomian negara , dipidana penjara dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 20 tahun dan denda paling sedikit Rp200 juta dan paling banyak Rp1 miliar. Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan. Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang merugikan keuangan negara atau perekonomian negara , dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 tahun dan paling lama 20 tahun dan atau denda paling sedikit Rp50 juta dan paling banyak Rp1 miliar. Lebih lanjut, berdasarkan matrik pada Lampiran PERMA 1/2020 (hal. 8), adanya kerugian keuangan negara atau perekonomian negara dalam kategori paling berat dan memiliki kesalahan, dampak, dan keuntungan bagi terdakwa tinggi , maka rentang pidana yang dijatuhkan terhadap terdakwa adalah pidana penjara selama 16 sampai dengan 20 tahun dan pidana denda antara R800 juta sampai dengan Rp1 miliar. Berdasarkan penjelasan di atas, maka salah satu unsur yang harus dipenuhi dalam mengungkap terjadinya tindak pidana korupsi adalah merugikan keuangan negara atau perekonomian negara . Apa itu Kerugian Keuangan Negara? Pengertian keuangan negara dapat dilihat di dalam Pasal 1 angka 1 UU Keuangan Negara dan Pasal 1 angka 7 UU BPK menyatakan bahwa: Keuangan Negara adalah s emua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uan g, serta segala sesuatu baik berupa uang maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut. Adapun, pengertian dari kerugian keuangan negara atau kerugian negara dapat disimak di dalam Pasal 1 angka 22 UU Perbendaharaan Negara dan Pasal 1 angka 15 UU BPK yang berbunyi: Kerugian Negara/Daerah adalah kekurangan uang, surat berharga, dan barang, yang nyata dan pasti jumlahnya sebagai akibat perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai. Lebih lanjut, Penjelasan Pasal 32 ayat (1) UU 31/1999 menerangkan bahwa yang dimaksud dengan “secara nyata telah ada kerugian keuangan negara ” adalah kerugian yang sudah dapat dihitung jumlahnya berdasarkan hasil temuan instansi yang berwenang atau akuntan publik yang ditunjuk . Cara Menentukan Kerugian Negara dalam Perkara Korupsi Menjawab pertanyaan Anda tentang bagaimana cara menentukan kerugian negara akibat tindak pidana korupsi, maka dapat kami sampaikan bahwa terdapat lembaga yang berwenang menentukan kerugian negara yaitu Badan Pemeriksa Keuangan (“BPK”), Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (“BPKP”), dan Komisi Pemberantasan Korupsi (“KPK”). Kewenangan BPK untuk menghitung dan menetapkan kerugian negara diatur dalam Pasal 10 ayat (1) UU BPK yang menyatakan bahwa BPK menilai dan/atau menetapkan jumlah kerugian negara yang diakibatkan oleh perbuatan melawan hukum baik disengaja maupun lalai oleh bendahara, pengelola BUMN/BUMD, dan lembaga atau badan lain yang menyelenggarakan pengelolaan keuangan negara. Sementara, dasar hukum kewenangan BPKP untuk menentukan kerugian negara untuk diatur dalam Pasal 3 huruf e Perpres 20/2023 yang pada pokoknya mengatur bahwa salah satu fungsi BPKP adalah melakukan audit penghitungan kerugian negara atau daerah . Mahkamah Agung melalui Lampiran SEMA 4/2016 (hal. 1 – 2) dalam rumusan keenam kamar pidana merumuskan bahwa instansi yang berwenang menyatakan ada tidaknya kerugian keuangan negara adalah BPK yang memiliki kewenangan konstitusional. Sedangkan instansi lainnya seperti BPKP/inspektorat/Satuan Kerja Perangkat Daerah tetap berwenang melakukan pemeriksaan dan audit pengelolaan keuangan negara namun tidak berwenang menyatakan atau men- declare adanya kerugian keuangan negara. Dalam hal tertentu, jakim berdasarkan fakta persidangan dapat menilai adanya kerugian negara dan besarnya kerugian negara. Kemudian, wewenang KPK dalam membuktikan kerugian negara dapat dilihat dalam pertimbangan hukum Putusan MK No. 31/PUU-X/2012 dimana Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa KPK bukan hanya dapat berkoordinasi dengan BPKP dan BPK dalam rangka pembuktian suatu tindak pidana korupsi, melainkan dapat juga berkoordinasi dengan instansi lain , bahkan bisa membuktikan sendiri di luar temuan BPKP dan BPK , misalnya dengan mengundang ahli atau dengan meminta bahan dari inspektorat jenderal atau badan yang mempunyai fungsi yang sama dengan itu dari masing-masing instansi pemerintah, bahkan dari pihak-pihak lain (termasuk dari perusahaan), yang dapat menunjukkan kebenaran materiil dalam penghitungan kerugian keuangan negara dan/atau dapat membuktikan perkara yang sedang ditanganinya (hal. 53). Berdasarkan penjelasan di atas, lembaga lain selain BPK misalnya BPKP, untuk dan atas nama BPK dapat melakukan audit investigasi untuk menentukkan besaran kerugian keuangan negara dan hasilnya dapat diterima atau digunakan . Hal ini dapat dilihat dalam Putusan MA No. 2391 K/PID.SUS/2016 , dimana MA menolak permohonan kasasi dengan pertimbangan bahwa lembaga lain selain BPK, misalnya BPKP, untuk dan atas nama BPK dapat melakukan audit investigasi untuk menentukkan besaran kerugian keuangan Negara dan hasilnya dapat diterima atau digunakan (hal. 22). Acuan untuk Menentukan Adanya Kerugian Negara Selanjutnya, kami berpendapat bahwa untuk menentukan ada atau tidaknya kerugian negara dilandaskan pada acuan atau faktor-faktor berikut ini: Pemeriksaan Bukti-Bukti Hakim akan memeriksa bukti-bukti yang diajukan oleh jaksa penuntut umum untuk mendukung klaim bahwa terpidana telah melakukan korupsi yang menyebabkan kerugian negara. Bukti-bukti ini bisa berupa dokumen keuangan, laporan audit, atau bukti lain yang menunjukkan adanya penggelapan, penyalahgunaan wewenang, atau manipulasi dalam penggunaan dana publik. Menurut Theodorus M. Tuanakotta , terdapat tiga tahapan yang harus dilalui dalam proses penentuan kerugian negara yaitu: [2] menentukan ada atau tidaknya kerugian negara; menghitung besarnya kerugian keuangan negara jika ada; menetapkan kerugian negara. Laporan Keuangan dan Audit Laporan keuangan yang disusun oleh auditor, BPK, atau instansi berwenang dapat menjadi acuan utama dalam menentukan jumlah kerugian negara. Laporan ini mengidentifikasi secara detail aliran dana, pengeluaran yang tidak sah, atau kelebihan biaya yang terkait dengan tindakan korupsi yang dilakukan oleh terpidana. Hasil audit atau nilai kerugian negara akibat tindak pidana korupsi yang berasal dari instansi yang berwenang menghitung kerugian negara menjadi alat bukti yang paling penting dalam kasus tindak pidana korupsi, dimana besar kecilnya kerugian negara akan menjadi salah satu faktor penentu terhadap beratnya tuntutan jaksa ataupun vonis hukum. [3] Adapun, sistem penetapan kerugian negara oleh BPK diatur lebih lanjut dalam dalam Peraturan BPK 1/2020 . Perhitungan Ahli Seringkali, hakim akan mengandalkan bantuan dari ahli forensik keuangan untuk melakukan perhitungan yang akurat terkait kerugian negara. Ahli ini akan mengevaluasi data keuangan, menganalisis transaksi, dan menghitung jumlah kerugian berdasarkan metodologi yang diakui dan relevan. BPK dapat memberikan keterangan ahli dalam proses peradilan mengenai kerugian negara/daerah. Perkaya riset hukum Anda dengan analisis hukum terbaru dwibahasa, serta koleksi terjemahan peraturan yang terintegrasi dalam Hukumonline Pro, pelajari lebih lanjut di sini .Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. Dasar Hukum : Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi ; Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi ; Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara ; Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara ; Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan ; Peraturan Presiden Nomor 192 Tahun 2014 tentang Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan ; Peraturan Presiden Nomor 20 Tahun 2023 tentang Perubahan atas Peraturan Presiden Nomor 192 Tahun 2014 tentang Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan ; Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2020 tentang Pedoman Pemidanaan Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi ; Peraturan Badan Pemeriksa Keuangan Nomor 1 tahun 2020 tentang Pemeriksaan Investigatif, Penghitungan Kerugian Negara/Daerah, dan Pemberian Keterangan Ahli ; Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2016 tentang Pemberlakuan Rumusan Hasil Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung Tahun 2016 sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas Bagi Pengadilan . Putusan : Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 31/PUU-X/2012 ; Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 25/PUU-XIV/2016 ; Putusan Mahkamah Agung Nomor 2391 K/PID.SUS/2016 . Referensi : Memahami untuk Membasmi; Buku Panduan untuk Memahami Tindak Pidana Korupsi. Jakarta: Komisi Pemberantasan Korupsi, 2006; Bayu Ferdian, dkk. Penetapan Kerugian Negara Dalam Perkara Tindak Pidana Korupsi . Syiah Kuala Law Journal: Vol. 2 No. 3, Desember 2018);. Theodorus M. Tuanakotta. Menghitung Kerugian Keuangan Negara Dalam Tindak Pidana Korupsi . Jakarta: Penerbit Salemba Empat, 2009. [1] KPK. Memahami untuk Membasmi; Buku Panduan untuk Memahami Tindak Pidana Korupsi. Jakarta: Komisi Pemberantasan Korupsi, 2006, hal. 16 – 17 [2] Theodorus M. Tuanakotta. Menghitung Kerugian Keuangan Negara dalam Tindak Pidana Korupsi . Jakarta: Penerbit Salemba Empat, 2009, hal. 175 – 180 [3] R. Bayu Ferdian, dkk. Penetapan Kerugian Negara Dalam Perkara Tindak Pidana Korupsi . Syiah Kuala Law Journal: Vol. 2. No. 3, Desember 2018, hal. 332 TAGS badan pemeriksa keuangan kerugian keuangan negara uu tipikor | {188: 'Ketigapuluh bentuk/jenis tindak pidana korupsi tersebut pada dasarnya dapat dikelompokkan sebagai berikut: 1. Kerugian keuangan negara: - Pasal 2 - Pasal 3 2. Suap-menyuap: - Pasal 5 ayat (1) huruf a - Pasal 5 ayat (1) huruf b - Pasal 13 - Pasal 5 ayat (2) - Pasal 12 huruf a - Pasal 12 huruf b - Pasal 11 - Pasal 6 ayat (1) huruf a - Pasal 6 ayat (1) huruf b - Pasal 6 ayat (2) - Pasal 12 huruf c - Pasal 12 huruf d 3. Penggelapan dalam jabatan: - Pasal 8 - Pasal 9 - Pasal 10 huruf a - Pasal 10 huruf b - Pasal 10 huruf c 4. Pemerasan: - Pasal 12 huruf e - Pasal 12 huruf g - Pasal 12 huruf h 5. Perbuatan curang: - Pasal 7 ayat (1) huruf a - Pasal 7 ayat (1) huruf b - Pasal 7 ayat (1) huruf c - Pasal 7 ayat (1) huruf d - Pasal 7 ayat (2) - Pasal 12 huruf h 6. Benturan kepentingan dalam pengadaan: - Pasal 12 huruf i 7. Gratifikasi: - Pasal 12 B jo. Pasal 12 C Selain definisi tindak pidana korupsi yang sudah dijelaskan di atas, masih ada tindak pidana lain yang berkaitan dengan tindak pidana korupsi. Jenis tindak pidana lain itu tertuang pada Pasal 21, 22, 23, dan 24 Bab III UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Jenis tindak pidana lain yang berkaitan dengan tindak pidana korupsi terdiri atas: 1. Merintangi proses pemeriksaan perkara korupsi: - Pasal 21 2. Tidak memberi keterangan atau memberi keterangan yang tidak benar: - Pasal 22 jo. Pasal 28 3. Bank yang tidak memberikan keterangan rekening tersangka: - Pasal 22 jo. Pasal 29 4. Saksi atau ahli yang tidak memberi keterangan atau memberi keterangan palsu: - Pasal 22 jo. Pasal 35 5. Orang yang memegang rahasia jabatan tidak memberikan keterangan atau memberi keterangan palsu: - Pasal 22 jo. Pasal 36 6. Saksi yang membuka identitas pelapor: - Pasal 24 jo. Pasal 31', 189: 'Tuanakotta, terdapat tiga tahapan yang harus dilalui dalam proses penentuan kerugian negara yaitu:', 190: 'Hasil audit atau nilai kerugian negara akibat tindak pidana korupsi yang berasal dari instansi yang berwenang menghitung kerugian negara menjadi alat bukti yang paling penting dalam kasus tindak pidana korupsi, dimana besar kecilnya kerugian negara akan menjadi salah satu faktor penentu terhadap beratnya tuntutan jaksa ataupun vonis hukum.'} |
Saya sering dengar soal korupsi kolusi nepotisme. Ini artinya nepotisme tidak dapat dilepaskan dari korupsi atau kolusi, bukan? Mohon jelaskan apa itu nepotisme dan contoh nepotisme. Kemudian, apakah KPK berwenang menyidik dan menuntut nepotisme? | ULASAN LENGKAP dari artikel dengan judul Apa itu Nepotisme dan Contohnya yang pertama kali dipublikasikan pada 26 Oktober 2023. . Arti Nepotisme Sebelum menjawab pertanyaan Anda, kami akan menjelaskan terlebih dahulu apa yang dimaksud dengan nepotisme. Secara bahasa, KBBI mengartikan nepotisme adalah perilaku yang memperlihatkan kesukaan yang berlebihan kepada kerabat dekat; kecenderungan untuk mengutamakan (menguntungkan) sanak saudara sendiri, terutama dalam jabatan, pangkat di lingkungan pemerintah; tindakan memilih kerabat atau sanak saudara sendiri untuk memegang pemerintahan. Nepotisme pada hakikatnya adalah mendahulukan dan membukakan peluang bagi kerabat atau teman-teman dekat untuk mendapatkan fasilitas dan kedudukan pada posisi yang berkaitan dengan birokrasi pemerintahan, tanpa mengindahkan peraturan yang berlaku, sehingga menutup peluang bagi orang lain. [1] Nepotisme merupakan jenis khusus dari konflik kepentingan yang timbul ketika seorang pegawai birokrasi atau pejabat publik dipengaruhi oleh kepentingan pribadi ketika menjalani tugas. Dalam arti luas, nepotisme pada dasarnya berlaku untuk situasi yang sangat khusus, yaitu dalam hal seseorang menggunakan jabatannya untuk memperoleh keuntungan, sering dalam bentuk pekerjaan bagi anggota keluarganya. [2] Adapun, secara yuridis, definisi nepotisme ditemukan di dalam Pasal 1 angka 5 UU 28/1999 . Nepotisme adalah setiap perbuatan penyelenggara negara secara melawan hukum yang menguntungkan kepentingan keluarganya dan atau kroninya yang merugikan orang lain, masyarakat, dan atau negara . Lalu, apa saja cakupan penyelenggara negara itu? Penyelenggara negara adalah pejabat negara yang menjalankan fungsi eksekutif, legislatif, atau yudikatif dan pejabat lain yang fungsi dan tugas pokoknya berkaitan dengan penyelenggaraan negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. [3] Secara hukum, tindakan nepotisme dilarang dilakukan oleh penyelenggara negara . [4] Larangan nepotisme ini berarti melarang penyelenggara negara menggunakan atau menyalahgunakan kedudukannya dalam lembaga publik untuk memberikan pekerjaan publik kepada keluarganya. Sebab nepotisme dapat menimbulkan konflik loyalitas dalam organisasi. [5] Contoh Nepotisme Lalu, apa saja contoh dari nepotisme? Di era orde baru, isu nepotisme muncul mengenai pengangkatan anggota MPR yang mempunyai hubungan darah dengan pejabat atau anggota MPR terpilih. [6] Contoh lain adalah seorang penyelenggara negara mengangkat anak atau sanak keluarganya untuk menduduki jabatan tertentu yang secara melawan hukum, seperti tanpa melalui rekrutmen resmi atau menggunakan kekuasaannya meloloskan keluarga/kroninya meskipun tidak memenuhi syarat. Apakah Nepotisme Termasuk Tindak Pidana? Lantas, apakah nepotisme termasuk tindak pidana? Benar, nepotisme adalah tindak pidana sebagaimana termaktub di dalam Pasal 22 UU 28/1999 . Setiap penyelenggara negara yang melakukan nepotisme dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 tahun dan paling lama 12 tahun dan denda paling sedikit Rp200 juta dan paling banyak Rp1 miliar. Namun, apabila nepotisme tersebut ternyata merugikan keuangan negara atau memiliki unsur tindak pidana korupsi, maka dapat dijerat dengan pasal korupsi sebagaimana diatur di dalam UU 31/1999 sebagaimana diubah dengan UU 20/2001 . Jenis-jenis korupsi dan unsur-unsur pasalnya dapat Anda simak lebih lanjut dalam artikel Jenis-jenis Korupsi dan Hukumnya di Indonesia . Apakah KPK Berwenang Menangani Kasus Nepotisme? Menjawab pertanyaan Anda apakah Komisi Pemberantasan Korupsi (“KPK”) berwenang menyidik dan menuntut kasus nepotisme, perlu diketahui bahwa wewenang KPK adalah penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi . [7] Sepanjang penelusuran kami, pasal-pasal tindak pidana korupsi di dalam UU 31/1999 dan UU 20/2001 berbeda dengan pasal tindak pidana nepotisme sebagaimana termaktub di dalam Pasal 1 angka 5 jo. Pasal 22 UU 28/1999. Akan tetapi, jika perbuatan nepotisme tersebut ternyata memenuhi unsur pasal-pasal tindak pidana korupsi seperti merugikan keuangan negara, maka berlaku pasal tindak pidana korupsi. Sehingga, jika tindakan nepotisme tersebut dikategorikan sebagai tindak pidana korupsi, misalnya karena terbukti merugikan keuangan negara, maka KPK berwenang untuk menyelidiki, menyidik, dan menuntut pelakunya. Contoh Kasus Nepotisme Contoh kasus nepotisme dapat Anda baca dalam Putusan PN Bengkulu No. 61/Pid.Sus-TPK/2016/PN. Bgl . Dalam putusan tersebut dijelaskan bahwa Bupati Seluma pada tahun 2011 menerbitkan Perbup 4/2011 yang telah diubah dengan Perbup 5/2011 yang dijadikan acuan pembangunan infrastruktur peningkatan jalan konstruksi hotmix dan jembatan melalui pelaksanaan pekerjaan pada tahun jamak untuk masa tahun anggaran 2011 (hal. 43 – 44). Pemenang lelang mengacu pada persyaratan yang ditetapkan dalam peraturan bupati tersebut. Salah satu perusahaan (PT) milik anak kandung Bupati Seluma tidak memenuhi syarat sebagai pemenang jika mengacu pada Perpres 54/2010, sehingga dibentuk peraturan bupati yang memuat persyaratan yang diskriminatif dan menguntungkan kepentingan keluarga Bupati Seluma di atas kepentingan masyarakat, bangsa dan negara, meskipun tidak sesuai dengan Perpres 54/2010 (hal. 44 – 45). PT milik anak kandung Bupati Seluma sebagai penyedia barang dan jasa pembangunan infrastruktur dan peningkatan jalan dengan konstruksi hotmix dan jembatan, tidak mempunyai kemampuan dasar untuk melaksanakan pekerjaan. Sehingga, mengakibatkan pelaksanaan pekerjaan tidak sesuai dengan kualitas dan kuantitas berdasarkan laporan hasil pemeriksaan fisik, sehingga merugikan negara senilai Rp4.185.750.353,37 (hal. 45 – 46). Atas hal tersebut, penuntut umum mendakwa terdakwa dengan dakwaan alternatif yaitu Pasal 3 jo. Pasal 18 UU 31/1999 sebagaimana diubah dengan UU 20/2001 (hal. 43) atau Pasal 1 angka 5 jo. Pasal 5 angka 4 jo. Pasal 22 UU 28/1999 (hal. 46). Majelis hakim Pengadilan Tipikor Bengkulu memutus terdakwa telah terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana nepotisme berdasarkan Pasal 1 angka 5 jo. Pasal 5 angka 4 jo. Pasal 22 UU 28/1999 dengan pidana penjara selama 2 tahun dan pidana denda Rp200 juta (hal. 185). Namun, putusan tersebut dianulir oleh Mahkamah Agung melalui Putusan MA No. 2291 K/Pid.Sus/2017 . MA menyatakan bahwa judex facti salah menerapkan hukum (hal. 91). Majelis hakim menolak kasasi dari terdakwa dan menerima kasasi dari penuntut umum dengan alasan bahwa perbuatan terdakwa yang melawan hukum tersebut telah merugikan keuangan negara yang signifikan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau korporasi sehingga memenuhi unsur Pasal 2 ayat (1) UU 31/1999 sebagaimana telah diubah dengan UU 20/2001 jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP (hal. 91 – 94) Majelis hakim kasasi mengadili sendiri dengan menyatakan bahwa terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama dengan pidana penjara selama 7 tahun dan pidana denda sebesar Rp500 juta, dengan ketentuan jika denda tidak dibayar maka dikenakan pidana pengganti berupa kurungan selama 8 bulan (hal. 94). Demikian jawaban dari kami mengenai nepotisme sebagaimana ditanyakan, semoga bermanfaat. Dasar Hukum Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme ; Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi ; Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi ; Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi ; Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi ; Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Putusan Putusan Pengadilan Negeri Bengkulu Nomor 61/Pid.Sus-TPK/2016/PN. Bgl ; Putusan Mahkamah Agung Nomor 2291 K/Pid.Sus/2017 . Referensi Adnan Buyung Nasution ( al ). Menyingkap Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme di Indonesia. Yogyakarta: Aditya Media dan BPP PP Muhammadiyah, 1999; Priayisme dan Korupsi Kolusi Nepotisme (KKN): Studi Status Group di Kabupaten Sleman Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Aspirasi Vol. 3 No. 2, Desember 2012; Nepotisme , yang diakses pada Kamis, 29 Agustus 2024, pukul 16.35 WIB. [1] Adnan Buyung Nasution (et. al). Menyingkap Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme di Indonesia . Yogyakarta: Aditya Media dan BPP PP Muhammadiyah, 1999, hal. 34 [2] Hariyanto. Priayisme dan Korupsi Kolusi Nepotisme (KKN): Studi Status Group di Kabupaten Sleman Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta . Aspirasi Vol. 3 No. 2, Desember 2012, hal. 118 – 199 [3] Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (“UU 28/1999”) [4] Pasal 5 angka 4 UU 28/1999 [5] Hariyanto. Priayisme dan Korupsi Kolusi Nepotisme (KKN): Studi Status Group di Kabupaten Sleman Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta . Aspirasi Vol. 3 No. 2, Desember 2012, hal. 199 [6] Adnan Buyung Nasution (et. al). Menyingkap Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme di Indonesia . Yogyakarta: Aditya Media dan BPP PP Muhammadiyah, 1999, hal. 28 [7] Pasal 6 huruf e Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi TAGS nepotisme korupsi komisi pemberantasan korupsi | {191: 'Nepotisme pada hakikatnya adalah mendahulukan dan membukakan peluang bagi kerabat atau teman-teman dekat untuk mendapatkan fasilitas dan kedudukan pada posisi yang berkaitan dengan birokrasi pemerintahan, tanpa mengindahkan peraturan yang berlaku, sehingga menutup peluang bagi orang lain.', 192: 'Dalam arti luas, nepotisme pada dasarnya berlaku untuk situasi yang sangat khusus, yaitu dalam hal seseorang menggunakan jabatannya untuk memperoleh keuntungan, sering dalam bentuk pekerjaan bagi anggota keluarganya.', 193: 'pasal 1 dalam undang-undang ini yang dimaksud dengan : 1. penyelengga negara adalah pejabat negara yang menjalankan fungsi eksekutif, legislatif, atau yudikatif dan pejabat lain yang fungsi dan tugas pokoknya berkaitan dengan penyelenggaraan negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. 2. penyelenggara negara yang bersih adalah penyelenggara negara yang menaati asas-asas umum penyelenggaraan negara dan bebas dari praktek korupsi, kolusi dan nepotisme, serta perbuatan tercela lainnya. 3. korupsi adalah tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang tindak pidana korupsi. 4. kolusi adalah permufakatan atau kerja sama secara melawan hukum antar-penyelenggara negara atau antara penyelenggara negara dan pihak lain yang merugikan orang lain, masyarakat, dan atau negara. 5. nepotisme adalah setiap perbuatan penyelenggara negara secara melawan hukum yang menguntungkan kepentingan keluarganya dan atau kroninya di atas kepentingan masyarakat, bangsa dan negara. 6. asas umum pemerintahan negara yang baik adalah asas yang menjunjung tinggi norma kesusilaan, kepatutan, dan norma hukum, untuk mewujudkan penyelenggara negara yang bersih dan bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme. 7. komisi pemeriksa kekayaan penyelenggara negara yang selanjutnya disebut komisi pemeriksa adalah lembaga independen yang bertugas untuk memeriksa kekayaan penyelenggara negara dan mantan penyelenggara negara untuk mencegah praktek korupsi, kolusi dan nepotisme. bab ii penyelenggara negara', 194: 'pasal 5 setiap penyelenggara negara berkewajiban untuk : 1. mengucapkan sumpah atau janji sesuai dengan agamanya sebelum memangku jabatannya; 2. bersedia diperiksa kekayaannya sebelum, selama, dan setelah menjabat; 3. melaporkan dan mengumumkan kekayaannya sebelum dan setelah menjabat; 4. tidak melakukan perbuatan korupsi, kolusi, dan nepotisme; 5. melaksanakan tugas tanpa membeda-bedakan suku, agama, ras, dan golongan; 6. melaksanakan tugas dengan penuh rasa tanggung jawab dan tidak melakukan perbuatan tercela, tanpa pamrih baik untuk kepentingan pribadi, keluarga, kroni, maupun kelompok, dan tidak mengharapkan imbalan dalam bentuk apapun yang bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku; dan 7. bersedia menjadi saksi dalam perkara korupsi, kolusi, dan nepotisme serta dalam perkara lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.', 195: 'Sebab nepotisme dapat menimbulkan konflik loyalitas dalam organisasi.', 196: '[5] Lalu, apa saja contoh dari nepotisme? Di era orde baru, isu nepotisme muncul mengenai pengangkatan anggota MPR yang mempunyai hubungan darah dengan pejabat atau anggota MPR terpilih.', 197: 'pasal 6 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: pasal 6 komisi pemberantasan korupsi bertugas melakukan: a. tindakan-tindakan pencegahan sehingga tidak terjadi tindak pidana korupsi; b. koordinasi dengan instansi yang berwenang melaksanakan pemberantasan tindak pidana korupsi dan instansi yang bertugas melaksanakan pelayanan publik; c. monitor terhadap penyelenggaraan pemerintahan negara; 2019, no. 197 -6- d. supervisi terhadap instansi yang berwenang melaksanakan pemberantasan tindak pidana korupsi; e. penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi; dan f. tindakan untuk melaksanakan penetapan hakim dan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. 5. ketentuan'} |
Apa bunyi Pasal 406 KUHP? Apakah benar Pasal 406 KUHP mengatur tentang vandalisme? Jika benar, apa bunyi Pasal 406 KUHP? Selain itu, adakah pasal lain dalam KUHP yang mengatur tentang vandalisme? | ULASAN LENGKAP Artikel ini dibuat berdasarkan KUHP lama dan UU 1/2023 tentang KUHP yang diundangkan pada tanggal 2 Januari 2023. . Apa itu Vandalisme? Sebelum menjawab pertanyaan Anda, sebaiknya kita pahami terlebih dahulu apa itu arti vandalisme. Menurut KBBI , vandalisme berasal dari kata vandal , yang artinya: perusak hasil karya seni dan barang berharga lain (lukisan, patung, dan sebagainya); orang yang suka merusak dan menghancurkan secara kasar dan ganas. Kemudian, disarikan dari Apakah Aksi Vandalisme Dikategorikan sebagai Tindak Kriminal? , vandalisme adalah tindakan perusakan terhadap properti publik maupun privat. [1] Adapun menurut Scharfstein dan Gaurf , vandalisme adalah perusakan yang mencolok atau penghancuran dari struktur dan simbol yang bersifat melawan atau bertentangan dari keinginan pemilik. [2] Berdasarkan definisi di atas, maka aksi vandalisme dikategorikan sebagai tindak pidana. Lantas, apakah benar Pasal 406 KUHP mengatur tentang vandalisme? Jika benar, apa bunyi Pasal 406 KUHP? Bunyi Pasal Vandalisme dalam KUHP Vandalisme diatur dalam Pasal 406 KUHP lama yang saat artikel ini diterbitkan masih berlaku, sebagai berikut: Barang siapa dengan sengaja dan melawan hukum menghancurkan, merusakkan, membikin tak dapat dipakai atau menghilangkan barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian milik orang lain, diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau pidana denda paling banyak empat juta lima ratus rupiah . [3] Dijatuhkan pidana yang sama terhadap orang yang dengan sengaja dan melawan hukum membunuh, merusakkan, membikin tak dapat digunakan atau menghilangkan hewan, yang seluruhnya atau sebagian milik orang lain. Menurut S. R. Sianturi dalam bukunya yang berjudul Tindak Pidana di KUHP Berikut Uraiannya (hal. 676), unsur-unsur dari tindak pidana Pasal 406 ayat (1) KUHP adalah: unsur subjek: barangsiapa; unsur kesalahan: dengan sengaja; unsur bersifat melawan hukum: dengan melawan hukum; dan unsur tindakan yang terlarang: menghancurkan, merusakkan, membikin tak dapat dipakai atau menghilangkan barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian milik orang lain. Sedangkan dalam Pasal 406 ayat (2) KUHP , kata-kata “dijatuhkan pidana yang sama” menunjukkan bahwa tindak pidana dalam Pasal 406 ayat (2) KUHP diancam dengan pidana yang beratnya sama dengan Pasal 406 ayat (1) KUHP, yaitu pidana penjara paling lama 2 tahun 8 bulan atau pidana denda paling banyak Rp4,5 juta. Perbedaan unsur antara Pasal 406 ayat (2) dengan ayat (1) KUHP adalah dalam ayat yang ke-2, terdapat unsur “membunuh, merusakkan, membikin tak dapat digunakan atau menghilangkan hewan, yang seluruhnya atau sebagian milik orang lain”. Sehingga, dalam Pasal 406 ayat (1) KUHP objek tindak pidana adalah barang , sedangkan dalam Pasal 406 ayat (2) KUHP objek tindak pidana adalah hewan atau binatang . [4] Selain diatur dalam Pasal 406 KUHP, pelaku vandalisme juga berpotensi dijerat oleh pasal-pasal lainnya sebagai berikut: Pasal 408 Barang siapa dengan sengaja dan melawan hukum menghancurkan, merusakkan atau membikin tak dapat dipakai bangunan-bangunan kereta api trem, telegrap, telepon atau listrik, atau bangunan bangunan untuk membendung, membagi atau menyalurkan air, saluran gas, air atau saluran yang digunakan untuk keperluan umum, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun . Pasal 409 Barang siapa yang karena kesalahan (kealpaan) menyebabkan bangunan-bangunan tersebut dalam pasal di atas dihancurkan, dirusakkan atau dibikin tak dapat dipakai, diancam dengan pidana kurungan paling lama satu bulan atau pidana denda paling banyak satu juta lima ratus ribu . [5] Pasal 410 Barang siapa dengan sengaja dan melawan hukum menghancurkan atau membikin tak dapat dipakai suatu gedung atau kapal yang seluruhnya atau sebagian milik orang lain, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun . Pasal-pasal yang mengatur tentang penghancuran atau perusakan barang dapat Anda lihat selengkapnya dalam Pasal 406 s.d. Pasal 412 KUHP . : Isi Pasal 406 KUHP tentang Perusakan Barang Bunyi Pasal Vandalisme dalam UU 1/2023 Selain diatur dalam KUHP lama, tindak pidana vandalisme juga diatur dalam Pasal 521 UU 1/2023 tentang KUHP baru yang berlaku 3 tahun sejak tanggal diundangkan, [6] yaitu tahun 2026. Pasal 521 UU 1/2023 dikenal dengan pasal perusakan dan penghancuran barang sebagai berikut: Setiap Orang yang secara melawan hukum merusak, menghancurkan, membuat tidak dapat dipakai, atau menghilangkan Barang yang gedung atau seluruhnya milik orang lain, dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun 6 (enam) Bulan atau pidana denda paling banyak kategori IV ( yaitu Rp200 juta ) . [7] Jika Tindak Pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan kerugian yang nilainya tidak lebih dari Rp500.000,00 (lima ratus ribu rupiah), pelaku Tindak Pidana dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) Bulan atau pidana denda paling banyak kategori II ( yaitu Rp10 juta ) . [8] Berdasarkan bunyi pasal di atas, yang dimaksud dengan "merusak" adalah membuat tidak dapat dipakai untuk sementara waktu, artinya apabila barang itu diperbaiki maka dapat dipakai lagi. Sedangkan "menghancurkan" adalah membinasakan atau merusakkan sama sekali sehingga tidak dapat dipakai lagi. [9] Pelaku vandalisme, selain dapat dijerat Pasal 521 UU 1/2023, juga dapat dijerat pasal perusakan dan penghancuran bangunan gedung yang diatur dalam pasal-pasal berikut: Pasal 522 Setiap Orang yang secara melawan hukum merusak bangunan gedung untuk sarana, prasarana, dan/atau fasilitas pelayanan publik, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau pidana denda paling banyak kategori IV, yaitu Rp200 juta . [10] Pasal 523 Setiap Orang yang secara melawan hukum menghancurkan atau membuat tidak dapat dipakai bangunan gedung untuk sarana, prasarana, dan/atau fasilitas pelayanan publik, dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun atau pidana denda paling banyak kategori V ( yaitu Rp500 juta ) . [11] Pasal 524 Setiap Orang yang karena kealpaannya mengakibatkan bangunan gedung rusak, hancur, atau tidak dapat dipakai lagi, dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau pidana denda paling banyak kategori III ( yaitu Rp50 juta ) . [12] Pasal 525 Setiap Orang yang secara melawan hukum menghancurkan atau membuat tidak dapat dipakai bangunan gedung, Kapal, kereta api, atau alat transportasi massal lain yang sebagian atau seluruhnya milik orang lain, dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun atau pidana denda paling banyak kategori V ( yaitu Rp500 juta ) . [13] Selengkapnya mengenai tindak pidana perusakan dan penghancuran barang dan bangunan gedung, dapat Anda baca dalam Pasal 521 s.d. Pasal 526 UU 1/2023 . Perkaya riset hukum Anda dengan analisis hukum terbaru dwibahasa, serta koleksi terjemahan peraturan yang terintegrasi dalam Hukumonline Pro, pelajari lebih lanjut di sini . Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. Dasar Hukum : Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ; Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ; Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2012 tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda dalam KUHP . Referensi : Euaggelion Christian Kiling (et.al). Tindak Pidana Perusakan Barang yang Bersifat Memberatkan. Jurnal Lex Crimen, Vol. IX, No. 4, 2020; Sendy Uda Cantika Putri. Analisis Coret- Mencoret di Fasilitas Umum . Jurnal Novum, Vol. 1, No. 1, 2012; KBBI, vandal , yang diakses tanggal 29 Agustus 2024, pukul 12.23 WIB; Merriam Webster Dictionary , yang diakses tanggal 29 Agustus 2024, pukul 08.13 WIB. [1] Merriam Webster Dictionary , yang diakses tanggal 29 Agustus 2024, pukul 08.13 WIB [2] Sendy Uda Cantika Putri. Analisis Coret- Mencoret di Fasilitas Umum . Jurnal Novum, Vol. 1, No. 1, 2012, hal. 4 [3] Pasal 3 Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2012 tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda dalam KUHP (“Perma 2/2012”), denda dikali 1000 [4] Euaggelion Christian Kiling (et.al). Tindak Pidana Perusakan Barang yang Bersifat Memberatkan. Jurnal Lex Crimen, Vol. IX, No. 4, 2020, hal. 92 [5] Pasal 3 Perma 2/2012, denda dikali 1000 [6] Pasal 624 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“UU 1/2023”) [7] Pasal 79 ayat (1) huruf d UU 1/2023 [8] Pasal 79 ayat (1) huruf b UU 1/2023 [9] Penjelasan Pasal 521 ayat (1) UU 1/2023 [10] Pasal 79 ayat (1) huruf d UU 1/2023 [11] Pasal 79 ayat (1) huruf e UU 1/2023 [12] Pasal 79 ayat (1) huruf c UU 1/2023 [13] Pasal 79 ayat (1) huruf e UU 1/2023 TAGS potd kuhp hukum pidana | {198: 'vandalisme (kata benda) : penghancuran atau perusakan yang disengaja atau jahat terhadap properti publik atau pribadi', 199: '[1] Adapun menurut Scharfstein dan Gaurf, vandalisme adalah perusakan yang mencolok atau penghancuran dari struktur dan simbol yang bersifat melawan atau bertentangan dari keinginan pemilik.', 200: 'Tiap jumlah maksimum hukuman denda yang diancamkan dalam KUHP kecuali pasal 303 ayat 1 dan ayat 2, 303 bis ayat 1 dan ayat 2, dilipatgandakan menjadi 1.000 (seribu) kall,', 201: 'Artikel ini merujuk pada penelitian Euaggelion Christian Kiling dkk. dalam Jurnal Lex Crimen, volume IX, nomor 4 tahun 2020, halaman 92, yang membahas Tindak Pidana Perusakan Barang yang Bersifat Memberatkan. Meskipun isi spesifik penelitian tidak dijelaskan dalam artikel ini, dapat diasumsikan penelitian tersebut membahas berbagai bentuk perusakan barang dan tingkat pemidanaan yang lebih berat berdasarkan faktor-faktor yang memberatkan, sesuai dengan konteks pembahasan vandalisme dan pasal-pasal KUHP yang mengatur perusakan. Penelitian ini mungkin mempertimbangkan aspek-aspek seperti nilai kerugian, tujuan perusakan, dan dampak sosial dari tindakan tersebut.', 202: 'Tiap jumlah maksimum hukuman denda yang diancamkan dalam KUHP kecuali pasal 303 ayat 1 dan ayat 2, 303 bis ayat 1 dan ayat 2, dilipatgandakan menjadi 1.000 (seribu) kall,', 128: 'Undang-Undang ini mulai berlaku setelah 3 (tiga) tahun terhitung sejak tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.', 6: "['(1) pidana denda paling banyak ditetapkan berdasarkan: a. kategori i, rp1.000.000,00 (satu juta rupiah); b. kategori ii, rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah); c. kategori iii, rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah); d. kategori iv, rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah); e. kategori v, rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah); f. kategori vi, rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah); g. kategori vii, rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah); dan h. kategori viii, rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah).']", 37: "['(1) pidana denda paling banyak ditetapkan berdasarkan: a. kategori i, rp1.000.000,00 (satu juta rupiah); b. kategori ii, rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah); c. kategori iii, rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah); d. kategori iv, rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah); e. kategori v, rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah); f. kategori vi, rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah); g. kategori vii, rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah); dan h. kategori viii, rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah).']", 203: "['(1) setiap orang yang secara melawan hukum merusak, menghancurkan, membuat tidak dapat dipakai, atau menghilangkan barang yang gedung atau seluruhnya milik orang lain, dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun 6 (enam) bulan atau pidana denda paling banyak kategori iv.']", 7: "['(1) pidana denda paling banyak ditetapkan berdasarkan: a. kategori i, rp1.000.000,00 (satu juta rupiah); b. kategori ii, rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah); c. kategori iii, rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah); d. kategori iv, rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah); e. kategori v, rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah); f. kategori vi, rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah); g. kategori vii, rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah); dan h. kategori viii, rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah).']", 25: "['(1) pidana denda paling banyak ditetapkan berdasarkan: a. kategori i, rp1.000.000,00 (satu juta rupiah); b. kategori ii, rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah); c. kategori iii, rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah); d. kategori iv, rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah); e. kategori v, rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah); f. kategori vi, rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah); g. kategori vii, rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah); dan h. kategori viii, rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah).']"} |
Hari-hari ini saya sering mendengar bahwa adalah hal yang lumrah bagi pejabat dan keluarganya menerima pemberian dari pengusaha. Setahu saya, hal itu merupakan bentuk gratifikasi dan harus dilaporkan kepada KPK. Pertanyaan saya, adakah batas waktu pelaporan gratifikasi dari penerimanya ke KPK? Lalu, apa contoh kasus gratifikasi? | ULASAN LENGKAP dari artikel dengan judul Batas Waktu Pelaporan Gratifikasi yang dibuat oleh Togar S.M. Sijabat, S.H., M.H. dan pertama kali dipublikasikan pada 2 Oktober 2019. . Pasal Gratifikasi Apa itu gratifikasi? Secara harfiah, gratifikasi adalah pemberian yang diberikan karena layanan atau manfaat yang diperoleh. Menurut M. Nurul Irfan dalam bukunya Gratifikasi & Kriminalitas Seksual , gratifikasi juga dapat diartikan sebagai uang hadiah kepada pegawai di luar gaji yang ditentukan (hal. 9). Adapun menurut Penjelasan Pasal 12B UU 20/2001 , gratifikasi adalah pemberian dalam arti luas, yakni meliputi pemberian uang, barang rabat/diskon, komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lainnya, baik yang diterima di dalam negeri maupun luar negeri dan yang dilakukan dengan menggunakan sarana elektronik atau tanpa sarana elektronik. Berdasarkan definisi di atas, dapat dilihat bahwa gratifikasi adalah pemberian dalam arti luas dan memiliki makna yang netral (tidak tercela atau negatif), sedangkan kalimat setelah itu merupakan bentuk-bentuk gratifikasi. Artinya, tidak semua gratifikasi itu bertentangan dengan hukum, melainkan hanya gratifikasi yang memenuhi kriteria dalam pasal gratifikasi. [1] Lalu, bagaimana bunyi pasal gratifikasi? Berikut adalah bunyi Pasal 12B UU 20/2001 : Setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap pemberian suap , apabila berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya , dengan ketentuan sebagai berikut: yang nilainya Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) atau lebih, pembuktian bahwa gratifikasi tersebut bukan merupakan suap dilakukan oleh penerima gratifikasi; yang nilainya kurang dari Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah), pembuktian bahwa gratifikasi tersebut suap dilakukan oleh penuntut umum. Pidana bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun , dan pidana denda paling sedikit Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) . : Begini Perbedaan Suap dan Gratifikasi Oleh karena itu, pegawai negeri dan penyelenggara negara yang menerima gratifikasi wajib melaporkannya dan wajib menolak jika gratifikasi itu dianggap pemberian yang berhubungan dengan jabatan dan berlawanan dengan kewajibannya . [2] Jika kemudian penerima gratifikasi tidak melaporkannya, maka secara a contrario penerima gratifikasi dapat dipidana sesuai Pasal 12B UU 20/2001. Kecuali, jika gratifikasi tersebut adalah jenis yang dikecualikan sebagaimana akan kami jelaskan pada pembahasan selanjutnya. : Jerat Pidana bagi Pemberi dan Penerima Gratifikasi Kapan Batas Waktu Melaporkan Gratifikasi? Aturan mengenai batas waktu pelaporan gratifikasi termaktub di dalam Pasal 12C ayat (1) s.d. (3) UU 20/2001 yang berbunyi sebagai berikut: Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12B ayat (1) tidak berlaku, jika penerima melaporkan gratifikasi yang diterimanya kepada Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi . Penyampaian laporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib dilakukan oleh penerima gratifikasi paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja terhitung sejak tanggal gratifikasi tersebut diterima . Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dalam waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja sejak tanggal menerima laporan wajib menetapkan gratifikasi dapat menjadi milik penerima atau milik negara. Berdasarkan ketentuan di atas, jelas bahwa batas waktu pelaporan gratifikasi adalah paling lambat 30 hari kerja terhitung sejak tanggal gratifikasi diterima . Selanjutnya, Peraturan KPK 2/2019 mengatur secara lebih spesifik bahwa penerima gratifikasi, yaitu pegawai negeri dan penyelenggara negara wajib melaporkan gratifikasi kepada Unit Pengendalian Gratifikasi (“UPG”) pada instansi atau unit kerja masing-masing paling lama 10 hari kerja sejak tanggal gratifikasi diterima atau kepada KPK maksimal 30 hari kerja sejak gratifikasi diterima . [3] Selanjutnya, jika gratifikasi dilaporkan kepada UPG, maka UPG wajib meneruskan laporan gratifikasi kepada KPK dalam waktu paling lama 10 hari kerja sejak tanggal laporan gratifikasi diterima. [4] Menurut Togar S.M. Sijabat (penulis sebelumnya), berdasarkan sejarah pembentukannya, pasal gratifikasi dibentuk dengan keyakinan bahwa masih banyak pejabat atau penyelenggara negara yang baik dan jujur di Indonesia. Pejabat tersebut bisa saja dijebak oleh orang-orang yang tidak suka dengan dirinya karena kebijakan-kebijakan yang dibuatnya yang membuat pihak lain yang mau berbuat jahat dirugikan sehingga pejabat yang bersangkutan harus disingkirkan dengan menjadikannya sebagai pelaku suap. Oleh karena itu, bagi pejabat yang baik dan jujur, dibuka kesempatan 30 hari untuk melaporkan gratifikasi yang diterimanya agar terbebas dari masalah hukum. Lebih lanjut, Togar menjelaskan bahwa mekanisme pelaporan yang disediakan oleh undang-undang tersebut bertujuan untuk memutus potensi suap yang tertunda . Dengan dilaporkannya penerimaan gratifikasi, beban moral yang dapat timbul akibat diterimanya gratifikasi menjadi hilang. Dengan demikian, maksud atau tujuan terselubung pemberi untuk meminta pegawai negeri/penyelenggara negara melakukan atau tidak melakukan sesuatu yang bertentangan dengan kewajibannya di kemudian hari menjadi tidak terwujud. Tata Cara Pelaporan Gratifikasi Untuk membahas tata cara pelaporan gratifikasi, maka pertama-tama harus diketahui terlebih dahulu siapa saja yang wajib melaporkan gratifikasi , yaitu: [5] Pegawai negeri yang meliputi: pegawai negeri sebagaimana dimaksud dalam UU ASN ; pegawai negeri sebagaimana dimaksud dalam KUHP ; orang yang menerima gaji atau upah dari suatu korporasi yang menerima bantuan dari keuangan negara atau daerah; atau orang yang menerima gaji atau upah dari korporasi lain yang mempergunakan modal atau fasilitas dari negara atau masyarakat. Penyelenggara negara yaitu pejabat negara yang menjalankan fungsi eksekutif, legislatif, atau yudikatif, dan pejabat lain yang fungsi dan tugas pokoknya berkaitan dengan penyelenggaraan negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Selanjutnya, pelapor gratifikasi menyampaikan laporan gratifikasi dengan cara mengisi formulir laporan yang disampaikan dalam bentuk tertulis, surat elektronik, atau aplikasi yang paling sedikit memuat informasi: [6] identitas penerima gratifikasi berupa NIK, nama, alamat lengkap, dan nomor telepon; informasi pemberi gratifikasi; jabatan penerima gratifikasi; tempat dan waktu penerimaan gratifikasi; uraian jenis gratifikasi yang diterima; nilai gratifikasi yang diterima; kronologis peristiwa penerimaan gratifikasi; dan bukti, dokumen, atau data pendukung terkait laporan gratifikasi. Nantinya, laporan gratifikasi tersebut akan ditindaklanjuti dan dilakukan analisis lebih lanjut untuk menentukan kepemilikan objek gratifikasi, yaitu apakah menjadi milik penerima atau milik negara. [7] Meski demikian, pelapor gratifikasi pada dasarnya bisa menyampaikan permohonan kompensasi atas objek gratifikasi yang dilaporkan KPK dengan syarat: [8] objek gratifikasi berbentuk barang atau fasilitas; pelapor kooperatif dan beriktikad baik; dan pelapor bersedia mengganti objek gratifikasi dengan sejumlah uang yang senilai dengan barang yang dikompensasikan. Kemudian, jika terjadi hal-hal berikut ini, maka laporan gratifikasi tidak ditindaklanjuti : [9] telah lewat 30 hari kerja terhitung sejak tanggal gratifikasi diterima; tidak dilaporkan secara lengkap dan/atau benar; diketahui sedang dilakukan penyelidikan, penyidikan, atau penuntutan tindak pidana oleh aparat penegak hukum; diketahui telah menjadi temuan pengawas internal di instansi asal penerima gratifikasi; dan/atau patut diduga terkait dengan tindak pidana lainnya. Terhadap laporan gratifikasi yang tidak ditindaklanjuti tersebut, maka KPK akan menyampaikan surat pemberitahuan kepada penerima gratifikasi dan jika alasannya adalah karena patut diduga terkait tindak pidana lainnya, KPK meneruskan kepada pihak yang berwenang. [10] Pengecualian Gratifikasi yang Wajib Dilaporkan Meski setiap gratifikasi yang diterima pegawai negeri atau penyelenggara negara wajib dilaporkan kepada KPK, namun terdapat jenis gratifikasi yang dikecualikan untuk dilaporkan , yaitu: [11] pemberian dalam keluarga yaitu kakek/nenek, bapak/ibu/mertua, suami/istri, anak/menantu, anak angkat/wali yang sah, cucu, besan, paman/bibi, kakak/adik/ipar, sepupu dan keponakan, sepanjang tidak terdapat konflik kepentingan; keuntungan atau bunga dari penempatan dana, investasi atau kepemilikan saham pribadi yang berlaku umum; manfaat dari koperasi, organisasi kepegawaian atau organisasi yang sejenis berdasarkan keanggotaan yang berlaku umum; perangkat atau perlengkapan yang diberikan kepada peserta dalam kegiatan kedinasan seperti seminar, workshop , konferensi, pelatihan, atau kegiatan sejenis, yang berlaku umum; hadiah tidak dalam bentuk uang atau alat tukar lainnya, yang dimaksudkan sebagai alat promosi atau sosialisasi yang menggunakan logo atau pesan sosialisasi, sepanjang tidak memiliki konflik kepentingan dan berlaku umum; hadiah, apresiasi atau penghargaan dari kejuaraan, perlombaan atau kompetisi yang diikuti dengan biaya sendiri dan tidak terkait dengan kedinasan; penghargaan baik berupa uang atau barang yang ada kaitannya dengan peningkatan prestasi kerja yang diberikan oleh pemerintah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku; hadiah langsung/undian, diskon/rabat, voucher, point rewards , atau suvenir yang berlaku umum dan tidak terkait kedinasan; kompensasi atau honor atas profesi di luar kegiatan kedinasan yang tidak terkait dengan tugas dan kewajiban, sepanjang tidak terdapat konflik kepentingan dan tidak melanggar peraturan/kode etik pegawai/pejabat yang bersangkutan; kompensasi yang diterima terkait kegiatan kedinasan seperti honorarium, transportasi, akomodasi dan pembiayaan yang telah ditetapkan dalam standar biaya yang berlaku di instansi penerima gratifikasi sepanjang tidak terdapat pembiayaan ganda, tidak terdapat konflik benturan kepentingan, dan tidak melanggar ketentuan yang berlaku di instansi penerima; karangan bunga sebagai ucapan yang diberikan dalam acara seperti pertunangan, pernikahan, kelahiran, kematian, akikah, baptis, khitanan, potong gigi, atau upacara adat/agama lainnya, pisah sambut, pensiun, promosi jabatan; pemberian terkait dengan pertunangan, pernikahan, kelahiran, akikah, baptis, khitanan, potong gigi, atau upacara adat/agama lainnya dengan batasan nilai sebesar Rp1 juta setiap pemberi; pemberian terkait dengan musibah atau bencana yang dialami oleh diri penerima gratifikasi, suami, istri, anak, bapak, ibu, mertua, dan/atau menantu penerima gratifikasi sepanjang tidak terdapat konflik kepentingan, dan memenuhi kewajaran atau kepatutan; pemberian sesama rekan kerja dalam rangka pisah sambut, pensiun, mutasi jabatan, atau ulang tahun yang tidak dalam bentuk uang atau alat tukar lainnya paling banyak senilai Rp300 ribu setiap pemberian per orang, dengan total pemberian tidak melebihi Rp1 juta dalam 1 tahun dari pemberi yang sama, sepanjang tidak terdapat konflik kepentingan; pemberian sesama rekan kerja yang tidak dalam bentuk uang atau alat tukar lainnya, dan tidak terkait kedinasan paling banyak senilai Rp200 ribu rupiah setiap pemberian per orang, dengan total pemberian tidak melebihi Rp1 juta dalam 1 tahun dari pemberi yang sama; pemberian berupa hidangan atau sajian yang berlaku umum; dan pemberian cendera mata/plakat kepada instansi dalam rangka hubungan kedinasan dan kenegaraan, baik di dalam negeri maupun luar negeri sepanjang tidak diberikan untuk individu pegawai negeri atau penyelenggara negara. Namun, pengecualian tersebut tidak berlaku jika gratifikasi tersebut dilarang menurut peraturan yang berlaku di instansi penerima gratifikasi. [12] Contoh Kasus Gratifikasi Untuk memberikan pemahaman tentang gratifikasi, berdasarkan Buku Saku Memahami Gratifikasi, “Gratifikasi adalah Akar dari Korupsi” dari KPK RI , berikut adalah contoh pemberian yang dapat dikategorikan sebagai gratifikasi (hal. 57): pemberian hadiah atau parsel kepada pejabat pada saat hari raya keagamaan, oleh rekanan atau bawahannya; hadiah atau sumbangan pada saat perkawinan anak dari pejabat oleh rekanan kantor pejabat tersebut; pemberian tiket perjalanan kepada pejabat atau keluarganya untuk keperluan pribadi secara cuma-cuma; pemberian potongan harga khusus bagi pejabat untuk pembelian barang dari rekanan; pemberian biaya atau ongkos naik haji dari rekanan kepada pejabat; pemberian hadiah ulang tahun atau pada acara-acara pribadi lainnya dari rekanan; pemberian hadiah atau souvenir kepada pejabat pada saat kunjungan kerja; pemberian hadiah atau uang sebagai ucapan terima kasih karena telah dibantu. Perkaya riset hukum Anda dengan analisis hukum terbaru dwibahasa, serta koleksi terjemahan peraturan yang terintegrasi dalam Hukumonline Pro, pelajari lebih lanjut di sini . Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. Dasar Hukum : Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ; Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi ; Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi ; Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2023 tentang Aparatur Sipil Negara ; Peraturan Komisi Pemberantasan Korupsi Nomor 2 Tahun 2019 tentang Pelaporan Gratifikasi . Referensi : Buku Saku Memahami Gratifikasi. KPK RI, Cetakan kedua, 2014; Buku Saku Memahami Gratifikasi, “Gratifikasi adalah Akar dari Korupsi”. KPK RI, Cetakan ketiga edisi revisi, 2021; M. Nurul Irfan. Gratifikasi & Kriminalitas Seksual. Jakarta: AMZAH, 2014; Gratifikasi , yang diakses pada tanggal 28 Agustus 2024, pukul 08.14 WIB. [1] Buku Saku Memahami Gratifikasi. KPK RI, Cetakan kedua, 2014, hal. 3 [2] Pasal 2 ayat (1) dan (2) Peraturan Komisi Pemberantasan Korupsi Nomor 2 Tahun 2019 tentang Pelaporan Gratifikasi (“Peraturan KPK 2/2019”) [3] Pasal 3 ayat (1) jo. Pasal 1 angka 10 Peraturan KPK 2/2019 [4] Pasal 3 ayat (2) Peraturan KPK 2/2019 [5] Pasal 1 angka 4, 5, 6, dan 7 Peraturan KPK 2/2019 [6] Pasal 4 ayat (1) dan (2) Peraturan KPK 2/2019 [7] Pasal 12 ayat (2) huruf a jo. Pasal 13 jo. Pasal 17 Peraturan KPK 2/2019 [8] Pasal 24 ayat (1) dan (2) Peraturan KPK 2/2019 [9] Pasal 12 ayat (2) huruf b jo. Pasal 14 ayat (1) Peraturan KPK 2/2019 [10] Pasal 14 ayat (2) dan Pasal 15 Peraturan KPK 2/2019 [11] Pasal 2 ayat (3) Peraturan KPK 2/2019 [12] Pasal 2 ayat (4) Peraturan KPK 2/2019 TAGS tindak pidana korupsi komisi pemberantasan korupsi kpk korupsi suap tindak pidana gratifikasi | {204: 'Apabila dicermati penjelasan pasal 12B Ayat (1) di atas, kalimat yang termasuk definisi gratifikasi adalah sebatas kalimat: pemberian dalam arti luas, sedangkan kalimat setelah itu merupakan bentukbentuk gratifikasi. Dari penjelasan pasal 12B Ayat (1) juga dapat dilihat bahwa pengertian gratifikasi mempunyai makna yang netral, artinya tidak terdapat makna tercela atau negatif dari arti kata gratifikasi tersebut. Apabila penjelasan ini dihubungkan dengan rumusan pasal 12B dapat dipahami bahwa tidak semua gratifikasi itu bertentangan dengan hukum, melainkan hanya gratifikasi yang memenuhi kriteria dalam unsur pasal 12B saja. Uraian lebih lanjut mengenai hal ini dapat dilihat pada bagian selanjutnya.', 205: "['(1) Pegawai Negeri atau Penyelenggara Negara yang menerima Gratifikasi wajib melaporkan Gratifikasi yang diterima.', '(2) Dalam hal Gratifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dianggap pemberian yang berhubungan dengan jabatan dan berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya, Pegawai Negeri atau Penyelenggara Negara wajib menolak Gratifikasi.']", 206: "['(1) Penerima Gratifikasi sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 ayat (1) menyampaikan laporan Gratifikasi kepada: a. UPG dalam jangka waktu paling lama 10 (sepuluh) hari kerja sejak tanggal Gratifikasi diterima; atau b. Komisi dalam jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja sejak tanggal Gratifikasi diterima.', '10. Unit Pengendalian Gratifikasi yang selanjutnya disingkat UPG adalah unit yang dibentuk atau ditunjuk oleh pejabat yang berwenang pada lembaga negara, kementerian, lembaga pemerintah non kementerian, lembaga nonstruktural, pemerintah daerah, dan organ lainnya yang mengelola keuangan negara atau keuangan daerah untuk melakukan fungsi pengendalian Gratifikasi.']", 207: '(2) UPG sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a wajib meneruskan laporan Gratifikasi kepada Komisi dalam waktu paling lama 10 (sepuluh) hari kerja sejak tanggal laporan Gratifikasi diterima.', 208: 'Penerima Gratifikasi adalah Pegawai Negeri atau Penyelenggara Negara yang menerima Gratifikasi. 5. Pelapor Gratifikasi yang selanjutnya disebut Pelapor adalah Penerima Gratifikasi yang menyampaikan laporan Gratifikasi. 6. Pegawai Negeri adalah meliputi: a. pegawai negeri sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang tentang Kepegawaian dan/atau Undang-Undang tentang Aparatur Sipil Negara; b. pegawai negeri sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana; c. orang yang menerima gaji atau upah dari keuangan negara atau daerah; d. orang yang menerima gaji atau upah dari suatu korporasi yang menerima bantuan dari keuangan negara atau daerah; atau e. orang yang menerima gaji atau upah dari korporasi lain yang mempergunakan modal atau fasilitas dari negara atau masyarakat. 7. Penyelenggara Negara adalah Pejabat Negara yang menjalankan fungsi eksekutif, legislatif, atau yudikatif, dan pejabat lain yang fungsi dan tugas pokoknya berkaitan dengan penyelenggaraan negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.', 209: "['(1) Pelapor menyampaikan laporan Gratifikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 dengan cara mengisi formulir laporan yang paling sedikit memuat informasi: a. identitas penerima berupa Nomor Induk Kependudukan, nama, alamat lengkap, dan nomor telepon; b. informasi pemberi Gratifikasi; c. jabatan penerima Gratifikasi; d. tempat dan waktu penerimaan Gratifikasi; e. uraian jenis Gratifikasi yang diterima; f. nilai Gratifikasi yang diterima; g. kronologis peristiwa penerimaan Gratifikasi; dan h. bukti, dokumen, atau data pendukung terkait laporan Gratifikasi', '(2) Formulir isian laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan dalam bentuk tertulis, surat elektronik, atau aplikasi sesuai dengan mekanisme yang berlaku.']", 210: "['(2) Laporan hasil analisis Gratifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa: a. laporan Gratifikasi ditindaklanjuti; atau b. laporan Gratifikasi tidak ditindalanjuti.', 'Laporan Gratifikasi yang ditindaklanjuti sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (2) huruf a dilakukan analisis lebih lanjut untuk menentukan kepemilikan objek Gratifikasi.', ['(1) Penetapan status kepemilikan Gratifikasi yang dilaporkan kepada Komisi berupa: a. Gratifikasi milik Penerima; atau b. Gratifikasi milik Negara.', '(2) Penetapan status kepemilikan Gratifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berdasarkan Laporan Hasil Analisis laporan Gratifikasi.']]", 211: "['Pasal 24 (1) Pelapor dapat menyampaikan permohonan kompensasi atas objek Gratifikasi yang dilaporkannya kepada Komisi.', '(2) Atas persetujuan Pimpinan, objek Gratifikasi dapat dikompensasi dengan syarat: a. objek Gratifikasi berbentuk barang atau fasilitas; b. Pelapor kooperatif dan beritikad baik; dan c. Pelapor bersedia mengganti objek Gratifikasi dengan sejumlah uang yang senilai dengan barang yang dikompensasikan.']", 212: "['(2) Laporan hasil analisis Gratifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa: a. laporan Gratifikasi ditindaklanjuti; atau b. laporan Gratifikasi tidak ditindaklanjuti.', '(1) Laporan Gratifikasi yang tidak ditindaklanjuti sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (2) huruf b dalam hal: a. telah lewat 30 (tiga puluh) hari kerja terhitung sejak tanggal Gratifikasi tersebut diterima Pelapor; b. tidak dilaporkan secara lengkap dan/atau benar; c. diketahui sedang dilakukan penyelidikan, penyidikan, atau penuntutan tindak pidana oleh aparat penegak hukum; d. diketahui telah menjadi temuan pengawas internal di instansi asal penerima Gratifikasi; dan/atau e. patut diduga terkait tindak pidana lainnya.']", 213: "['(2) Terhadap laporan Gratifikasi yang tidak ditindaklanjuti sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Komisi menyampaikan surat pemberitahuan kepada Penerima Gratifikasi.', 'Dalam hal laporan Gratifikasi yang tidak ditindaklanjuti karena patut diduga terkait tindak pidana lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1) huruf e, Komisi meneruskan kepada pihak yang berwenang.']", 214: '(3) Pelaporan Gratifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikecualikan terhadap jenis Gratifikasi sebagai berikut: a. pemberian dalam keluarga yaitu kakek/nenek, bapak/ibu/mertua, suami/istri, anak/menantu, anak angkat/wali yang sah, cucu, besan, paman/bibi, kakak/adik/ipar, sepupu dan keponakan, sepanjang tidak terdapat konflik kepentingan; b. keuntungan atau bunga dari penempatan dana, investasi atau kepemilikan saham pribadi yang berlaku umum; c. manfaat dari koperasi, organisasi kepegawaian atau organisasi yang sejenis berdasarkan keanggotaan, yang berlaku umum; d. perangkat atau perlengkapan yang diberikan kepada peserta dalam kegiatan kedinasan seperti seminar, workshop, konferensi, pelatihan, atau kegiatan sejenis, yang berlaku umum; e. hadiah tidak dalam bentuk uang atau alat tukar lainnya, yang dimaksudkan sebagai alat promosi atau sosialisasi yang menggunakan logo atau pesan sosialisasi, sepanjang tidak memiliki konflik kepentingan dan berlaku umum; f. hadiah, apresiasi atau penghargaan dari kejuaraan, perlombaan atau kompetisi yang diikuti dengan biaya sendiri dan tidak terkait dengan kedinasan; g. penghargaan baik berupa uang atau barang yang ada kaitannya dengan peningkatan prestasi kerja yang diberikan oleh pemerintah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku; h. hadiah langsung/undian, diskon/rabat, voucher, point rewards, atau suvenir yang berlaku umum dan tidak terkait kedinasan; i. kompensasi atau honor atas profesi diluar kegiatan kedinasan yang tidak terkait dengan tugas dan kewajiban, sepanjang tidak terdapat konflik kepentingan dan tidak melanggar peraturan/kode etik pegawai/pejabat yang bersangkutan; j. kompensasi yang diterima terkait kegiatan kedinasan seperti honorarium, transportasi, akomodasi dan pembiayaan yang telah ditetapkan dalam standar biaya yang berlaku di instansi penerima Gratifikasi sepanjang tidak terdapat pembiayaan ganda, tidak terdapat konflik benturan kepentingan, dan tidak melanggar ketentuan yang berlaku di instansi penerima; k. karangan bunga sebagai ucapan yang diberikan dalam acara seperti pertunangan, pernikahan, kelahiran, kematian, akikah, baptis, khitanan, potong gigi, atau upacara adat/agama lainnya, pisah sambut, pensiun, promosi jabatan; l. pemberian terkait dengan pertunangan, pernikahan, kelahiran, akikah, baptis, khitanan, potong gigi, atau upacara adat/agama lainnya dengan batasan nilai sebesar Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah) setiap pemberi; m. pemberian terkait dengan musibah atau bencana yang dialami oleh diri penerima Gratifikasi, suami, istri, anak, bapak, ibu, mertua, dan/atau menantu penerima Gratifikasi sepanjang tidak terdapat konflik kepentingan, dan memenuhi kewajaran atau kepatutan; n. pemberian sesama rekan kerja dalam rangka pisah sambut, pensiun, mutasi jabatan, atau ulang tahun yang tidak dalam bentuk uang atau alat tukar lainnya paling banyak senilai Rp300.000,00 (tiga ratus ribu rupiah) setiap pemberian per orang, dengan total pemberian tidak melebihi Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah) dalam 1 (satu) tahun dari pemberi yang sama, sepanjang tidak terdapat konflik kepentingan; o. pemberian sesama rekan kerja yang tidak dalam bentuk uang atau alat tukar lainnya, dan tidak terkait kedinasan paling banyak senilai Rp200.000,00 (dua ratus ribu rupiah) setiap pemberian per orang, dengan total pemberian tidak melebihi Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah) dalam 1 (satu) tahun dari pemberi yang sama; p. pemberian berupa hidangan atau sajian yang berlak11 umum; dan -8- q. pemberian cendera mata/plakat kepada instansi dalam rangka hubungan kedinasan dan kenegaraan, baik di dalam negeri maupun luar negeri sepanjang tidak diberikan untuk individu pegawai negeri atau penyelenggara negara.', 215: '(4) Pengecualian pelaporan Gratifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak berlaku dalam hal Gratifikasi tersebut dilarang menurut peraturan yang berlaku di instansi Penerima Gratifikasi.'} |
Pasangan saya mendapatkan pelecehan seksual di media sosial. Awalnya, saya post foto di Instagram saya yang berisi saya dan pasangan saya. Lalu, ada salah satu komentar di kolom komentar postingan yang pada intinya menyampaikan bahwa ia ingin memperkosa pasangan saya. Lantas, apa pasal pelecehan seksual melalui media sosial yang bisa menjerat orang tersebut? | ULASAN LENGKAP ketiga dari artikel dengan judul sama yang dibuat oleh Sigar Aji Poerana, S.H. dan dipublikasikan pertama kali pada 15 Oktober 2019, kemudian dimutakhirkan pertama kali pada 21 Oktober 2022, dan dimutakhirkan kedua kali pada 29 Agustus 2023. . Pelecehan Seksual di Media Sosial Pelecehan seksual di media sosial bukanlah hal baru. Komnas Perempuan menerangkan bahwa pelecehan seksual merupakan satu dari lima belas bentuk kekerasan seksual. [1] Lebih lanjut, Komnas Perempuan mengartikan pelecehan seksual adalah tindakan seksual fisik maupun non-fisik dengan sasaran organ seksual atau seksualitas korban. Ini termasuk halnya siulan, main mata, ucapan bernuansa seksual , mempertunjukkan materi pornografi dan keinginan seksual, colekan atau sentuhan di bagian tubuh, gerakan atau isyarat bersifat seksual sehingga mengakibatkan rasa tidak nyaman, tersinggung, merasa direndahkan, dan mungkin menyebabkan masalah kesehatan dan keselamatan. [2] Dalam tulisan Perilaku Menyimpang: Media Sosial sebagai Ruang Baru dalam Tindakan Pelecehan Seksual Remaja (hal. 43), Rosyidah dan Nurdin menerangkan bahwa media sosial kini menjadi wadah untuk menyampaikan hasrat seksual . Kemudian, Rosyidah dan Nurdin menerangkan bahwa pelecehan di media sosial ini tidak jauh berbeda dengan siulan, kata-kata, atau sentuhan di dunia nyata. Adapun contoh kasus pelecehan seksual di media sosial bisa berupa rayuan atau godaan yang tidak menyenangkan. Bentuk penyampaiannya bisa melalui chat , direct message, dan komentar (hal. 43-44). Terkait pelecehan di media sosial yang diterima pasangan Anda, dapat kami sampaikan bahwa pihak yang memberikan komentar tidak senonoh pada media sosial sebagaimana yang Anda maksud dapat dikenai sanksi pidana atas tindak pidana kekerasan seksual. Berikut ulasannya. Pasal Pelecehan Seksual di Media Sosial Tindakan memberikan komentar pada postingan orang lain di media sosial yang bermuatan pelecehan seksual termasuk ke dalam kategori kekerasan seksual, berupa pelecehan seksual nonfisik . [3] Tindakan ini dapat dipidana berdasarkan Pasal 5 UU TPKS tentang pelecehan seksual nonfisik yang berbunyi: Setiap orang yang melakukan perbuatan seksual secara nonfisik yang ditujukan terhadap tubuh, keinginan seksual, dan/atau organ reproduksi dengan maksud merendahkan harkat dan martabat seseorang berdasarkan seksualitas dan/atau kesusilaannya, dipidana karena pelecehan seksual nonfisik, dengan pidana penjara paling lama 9 (sembilan) bulan dan/atau pidana denda paling banyak Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) . Adapun yang dimaksud dengan ‘perbuatan seksual secara nonfisik’ adalah pernyataan , gerak tubuh, atau aktivitas yang tidak patut dan mengarah kepada seksualitas dengan tujuan merendahkan atau mempermalukan . [4] Selanjutnya, pelecehan seksual yang spesifik dilakukan di media sosial menurut UU TPKS dapat digolongkan ke dalam tindak pidana kekerasan seksual berbasis elektronik [5] yang diatur lebih lanjut dalam Pasal 14 ayat (1) UU TPKS sebagai berikut: Setiap Orang yang tanpa hak: melakukan perekaman dan/atau mengambil gambar atau tangkapan layar yang bermuatan seksual di luar kehendak atau tanpa persetujuan orang yang menjadi objek perekaman atau gambar atau tangkapan layar; mentransmisikan informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang bermuatan seksual di luar kehendak penerima yang ditujukan terhadap keinginan seksual ; dan/atau melakukan penguntitan dan/atau pelacakan menggunakan sistem elektronik terhadap orang yang menjadi objek dalam informasi/dokumen elektronik untuk tujuan seksual, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling banyak Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) . Penting untuk diketahui bahwa kekerasan seksual berbasis elektronik ini merupakan delik aduan , kecuali jika korban adalah anak dan penyandang disabilitas. [6] : Perbedaan Delik Biasa dan Delik Aduan Beserta Contohnya Kemudian berdasarkan Pasal 16 ayat (1) UU TPKS , selain pidana penjara, pidana denda, atau pidana lainnya menurut undang-undang, hakim wajib menetapkan besarnya restitusi terhadap tindak pidana kekerasan seksual yang diancam dengan pidana penjara 4 tahun atau lebih. Terhadap ketentuan tersebut, hakim dapat menjatuhkan pidana tambahan berupa pencabutan hak asuh anak atau pencabutan pengampunan, pengumuman identitas pelaku, dan/atau perampasan keuntungan dan/atau harta kekayaan yang diperoleh dari tindak pidana kekerasan seksual. [7] Dengan demikian, komentar tidak senonoh di media sosial yang melontarkan keinginan memperkosa pasangan Anda, termasuk ke dalam jenis pelecehan nonfisik maupun kekerasan seksual berbasis elektronik. : Bisakah Pelecehan Seksual Verbal Dipidana? Ke tentuan Konten Media Sosial Selain ketentuan dalam UU TPKS, komentar sebagaimana yang Anda maksud juga dilarang oleh UU ITE dan perubahannya. Hal tersebut termasuk dalam perbuatan yang dilarang dalam Pasal 27 ayat (1) UU 1/2024 sebagai berikut. Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak menyiarkan, mempertunjukkan, mendistribusikan , mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan untuk diketahui umum. Dari ketentuan di atas, yang dimaksud dengan “mendistribusikan” adalah mengirimkan dan/atau menyebarkan informasi dan/atau dokumen elektronik kepada banyak orang atau berbagai pihak melalui sistem elektronik. Dapat pula dikatakan pelaku “mentransmisikan” yaitu mengirimkan informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang ditujukan kepada pihak lain melalui sistem elektronik. [8] Adapun, penafsiran mengenai pengertian kesusilaan disesuaikan dengan standar yang berlaku pada masyarakat dalam waktu dan tempat tertentu. Sedangkan yang dimaksud dengan “diketahui umum” adalah untuk dapat atau sehingga dapat diakses oleh kumpulan orang banyak yang sebagian besar tidak saling mengenal. [9] Terhadap pelanggaran Pasal 27 ayat (1) UU 1/2024 tersebut, pelaku diancam dengan pidana penjara paling lama 6 tahun dan/atau denda paling banyak Rp1 miliar . [10] : Bunyi Pasal 27 ayat (1) UU ITE 2024 tentang Kesusilaan Oleh karena itu, menurut hemat kami, pelaku yang melontarkan kata-kata yang tidak senonoh di kolom komentar media sosial dapat dikategorikan sebagai muatan informasi elektronik yang melanggar kesusilaan . Selain itu, pelecehan seksual tersebut juga memenuhi unsur untuk diketahui umum karena tercantum pada kolom komentar media sosial yang bisa dibaca oleh siapa saja karena sifatnya terbuka. Dengan demikian, berdasarkan pemaparan di atas, pelaku yang memberikan komentar bermuatan pelecehan di media sosial dapat dijerat pidana berdasarkan UU TPKS. Selain itu, karena komentar tersebut dilakukan di media sosial yang menjadi ranah pengaturan UU ITE, maka pelaku dapat pula dijerat dengan UU ITE dan perubahannya. Cara Melaporkan Pelecehan Seksual di Media Sosial Jika Anda atau orang terdekat Anda mengalami pelecehan di media sosial, berikut langkah-langkah yang bisa ditempuh. Melaporkan ke Platform Media Sosial Misalnya untuk Instagram, Anda dapat melaporkannya di Laporkan Pelecehan atau Penindasan di Instagram . Jangan lupa sertakan foto, video, dan bukti komentar di Instagram yang melecehkan secara detail, untuk membantu Instagram meninjau hal tersebut. Setelah Anda melaporkannya, pertimbangkan untuk memblokir akun tersebut. Selengkapnya dapat Anda pelajari di Penyalahgunaan dan Spam . Melaporkan ke Kepolisian Pelecehan seksual adalah salah satu bentuk tindak pidana yang menjadi kompetensi kepolisian untuk menyelidiki dan menyidiknya. Anda dapat melaporkan kejadian pelecehan seksual baik secara online maupun offline ke kepolisian. Langkah lebih detail dapat Anda baca dalam Mau Melaporkan Tindak Pidana ke Polisi? Begini Prosedurnya . Sebagai informasi, berdasarkan UU TPKS, dalam waktu paling lambat 1 x 24 jam terhitung sejak menerima laporan tindak pidana kekerasan seksual, kepolisian dapat memberikan perlindungan sementara kepada korban untuk waktu maksimal 14 hari, seperti membatasi gerak pelaku baik yang bertujuan untuk menjauhkan pelaku dari korban dalam jarak dan waktu tertentu maupun pembatasan hak tertentu dari pelaku. [11] Mencari Pendampingan Menjadi korban pelecehan seksual tentu berat dan tidak mudah. Tidak jarang korban enggan untuk melaporkan kejadian yang ia alami karena adanya perasaan takut dan trauma. Untuk itu, korban pelecehan seksual dapat mencari pendampingan pada semua tingkat pemeriksaan dalam proses peradilan, antara lain Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (“LPSK”), Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak (“UPTD PPA”), tenaga kesehatan, psikolog, psikiater, advokat dan paralegal, dan sebagainya. [12] Menghubungi Call Center SAPA 129 Anda juga dapat melaporkan tindakan kekerasan terhadap perempuan dan anak melalui layanan call center Sahabat Perempuan dan Anak (SAPA) 129 yang dapat diakses melalui hotline 021-129 atau WhatsApp 08111-129-129 . SAPA 129 memiliki 6 jenis layanan yaitu layanan pengaduan masyarakat, pelayanan penjangkauan korban, pelayanan pengelolaan kasus, pelayanan akses penampungan sementara, pelayanan mediasi, dan pelayanan pendampingan korban. [13] : Jerat Pidana Pasal Pelecehan Seksual dan Pembuktiannya Demikian jawaban kami terkait pelecehan seksual di media sosial, semoga bermanfaat. Dasar Hukum : Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik ; Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik ; Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual ; Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2024 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik . Referensi : Feryna Nur Rosyidah dan M. Fadhil Nurdin. Perilaku Menyimpang: Media Sosial sebagai Ruang Baru dalam Tindakan Pelecehan Seksual Remaja, SOSIOGLOBAL: Jurnal Pemikiran dan Penelitian Sosiologi, Vol. 2, No. 2, Juni 2018; Komnas Perempuan, Instrumen Modul & Referensi Pemantauan, 15 Bentuk Kekerasan Seksual: Sebuah Pengenalan yang diakses tanggal 28 Agustus 2024, pukul 07.01 WIB; Laporkan Pelecehan atau Penindasan di Instagram yang diakses tanggal 28 Agustus 2024, pukul 07.10 WIB; Menteri PPPA: Laporkan Tindak Pidana Kekerasan Terhadap Perempuan dan Anak ke SAPA 129 yang diakses tanggal 28 Agustus 2024, pukul 07.16 WIB; Penyalahgunaan dan Spam yang diakses tanggal 28 Agustus 2024, pukul 07.19 WIB. [1] Komnas Perempuan, Instrumen Modul & Referensi Pemantauan, 15 Bentuk Kekerasan Seksual: Sebuah Pengenalan , hal. 4 [2] Komnas Perempuan, Instrumen Modul & Referensi Pemantauan, 15 Bentuk Kekerasan Seksual: Sebuah Pengenalan , hal. 6 [3] Pasal 4 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (“UU TPKS”) [4] Penjelasan Pasal 5 UU TPKS [5] Pasal 4 ayat (1) huruf i UU TPKS [6] Pasal 14 ayat (3) UU TPKS [7] Pasal 16 ayat (2) UU TPKS [8] Penjelasan Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2024 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (“UU 1/2024”) [9] Penjelasan Pasal 27 ayat (1) UU 1/2024 [10] Pasal 45 ayat (1) UU 1/2024 [11] Pasal 42 ayat (1), (2), dan (3) UU TPKS [12] Pasal 26 ayat (1) dan (2) UU TPKS [13] Menteri PPPA: Laporkan Tindak Pidana Kekerasan Terhadap Perempuan dan Anak ke SAPA 129 yang diakses tanggal 28 Agustus 2024, pukul 07.16 WIB TAGS pelecehan seksual kekerasan seksual uu ite sanksi pidana | {216: '15 Bentuk Kekerasan Seksual* Sudahkah kau tahu berbagai jenis kekerasan seksual? Ada 15 jenis kekerasan seksual yang ditemukan Komnas Perempuan dari hasil pemantauannya selama 15 tahun (1998– 2013), yaitu: 1. Perkosaan; 2. Intimidasi Seksual termasuk Ancaman atau Percobaan Perkosaan; 3. Pelecehan Seksual; 4. Eksploitasi Seksual; 5. Perdagangan Perempuan untuk Tujuan Seksual; 6. Prostitusi Paksa; 7. Perbudakan Seksual; 8. Pemaksaan perkawinan, termasukcerai gantung; 9. Pemaksaan Kehamilan; 10. Pemaksaan Aborsi; 11. Pemaksaan kontrasepsi dan sterilisasi; 12. Penyiksaan Seksual; 13. Penghukuman tidak manusiawi danbernuansa seksual; 14. Praktik tradisi bernuansa seksual yang membahayakan atau mendiskriminasi perempuan; 15. Kontrol seksual, termasuk lewat aturan diskriminatif beralasan moralitas dan agama.', 217: 'Tindakan seksual lewat sentuhan fisik maupun non-fisik dengan sasaran organ seksual atau seksualitas korban. Ia termasuk menggunakan siulan, main mata, ucapan bernuansa seksual, mempertunjukan materi pornografi dan keinginan seksual, colekan atau sentuhan di bagian tubuh, gerakan atau isyarat yang bersifat seksual sehingga mengakibatkan rasa tidak nyaman, tersinggung, merasa direndahkan martabatnya, dan mungkin sampai menyebabkan masalah kesehatan dan keselamatan.', 218: "['(1) tindak pidana kekerasan seksual terdiri atas: a. pelecehan seksual nonfisik; b. pelecehan seksual fisik; d sk no 146006a presiden republik indonesia -7 - c. pemaksaan kontrasepsi; d. pemaksaan sterilisasi; e. pemaksaan perkawinan; f. penyiksaan seksual; g. eksploitasi seksual; h. perbudakan seksual; dan i. kekerasan seksual berbasis elektronik.']", 111: "Yang dimaksud dengan 'perbuatan seksual secara nonfisik' adalah pernyataan, gerak tubuh, atau aktivitas yang tidak patut dan mengarah kepada seksualitas dengan tujuan merendahkan atau mempermalukan.", 219: "['(1) tindak pidana kekerasan seksual terdiri atas: a. pelecehan seksual nonfisik; b. pelecehan seksual fisik; d sk no 146006a presiden republik indonesia -7 - c. pemaksaan kontrasepsi; d. pemaksaan sterilisasi; e. pemaksaan perkawinan; f. penyiksaan seksual; g. eksploitasi seksual; h. perbudakan seksual; dan i. kekerasan seksual berbasis elektronik.']", 124: "['(1) setiap orang yang tanpa hak: a. melakukan perekaman dan/ atau mengambil gambar atau tangkapan layar yang bermuatan seksual di luar kehendak atau tanpa persetqjuan orang yang menjadi objek perekaman atau gambar atau tangkapan layar; b. mentransmisikan informasi elektronik dan/ atau dokumen elektronik yang bermuatan seksual di luar kehendak penerima yang ditujukan terhadap keinginan seksual; dan/atau c. melakukan penguntitan dan/ atau pelacakan menggunakan sistem elektronik terhadap orang yang menjadi obyek dalam informasi/dokumen elektronik untuk tujuan seksual, dipidana karena melakukan kekerasan seksual berbasis elektronik, dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/ atau denda paling banyak rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).', '(2) dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan maksud: a. untuk melakukan pemerasan atau pengancaman, memaksa; atau sk no 146012a presiden republik indonesia b. menyesatkan dan/atau memperdaya, seseorang supaya melakukan, membiarkan dilakukan, atau tidak melakukan sesuatu, dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak rp300.00o.000,00 (tiga ratus juta rupiah).', '(3) kekerasan seksual berbasis elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan delik aduan, kecuali korban adalah anak atau penyandang disabilitas.', '(4) dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf b dilakukan demi kepentingan umum atau untuk pembelaan atas dirinya sendiri dari tindak pidana kekerasan seksual, tidak dapat dipidana.']", 220: "['(1) selain pidana penjara, pidana denda, atau pidana lainnya menurut ketentuan undang-undang, hakim wajib menetapkan besarnya restitusi terhadap tindak pidana kekerasan seksual yang diancam dengan pidana penjara 4 (empat) tahun atau lebih.', '(2) terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), hakim dapat menjatuhkan pidana tambahan berupa: a. pencabutan hak asuh anak atau pencabutan pengampuan; b. pengumuman identitas pelaku; dan/ atau c. perampasan keuntungan dan/atau harta kekayaan yang diperoleh dari tindak pidana kekerasan seksual.', '(3) ketentuan mengenai penjatuhan pidana tambahan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak berlaku bagi pidana mati dan pidana penjara seumur hidup.']", 221: 'Yang dimaksud dengan "menyiarkan" termasuk perbuatan mentransmisikan, mendistribusikan, dan membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dalam Sistem Elektronik. Yang dimaksud dengan "mendistribusikan" adalah mengirimkan dan/atau menyebarkan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik kepada banyak Orang atau berbagai pihak melalui Sistem Elektronik. Yang dimaksud dengan "mentransmisikan" adalah mengirimkan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang ditujukan kepada pihak lain melalui Sistem Elektronik. Yang dimaksud dengan "membuat dapat diakses" adalah semua perbuatan lain selain mendistribusikan dan mentransmisikan melalui Sistem Elektronik yang menyebabkan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dapat diketahui pihak lain atau publik. Yang dimaksud dengan "melanggar kesusilaan" adalah melakukan perbuatan mempertunjukkan ketelanjangan, alat kelamin, dan aktivitas seksual yang bertentangan dengan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat di tempat dan waktu perbuatan tersebut dilakukan. Penafsiran pengertian kesusilaan disesuaikan dengan standar yang berlaku pada masyarakat dalam waktu dan tempat tertentu (contemporary community standard). Yang dimaksud dengan "diketahui umum" adalah untuk dapat atau sehingga dapat diakses oleh kumpulan orang banyak yang sebagian besar tidak saling mengenal.', 222: 'Yang dimaksud dengan "menyiarkan" termasuk perbuatan mentransmisikan, mendistribusikan, dan membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dalam Sistem Elektronik. Yang dimaksud dengan "mendistribusikan" adalah mengirimkan dan/atau menyebarkan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik kepada banyak Orang atau berbagai pihak melalui Sistem Elektronik. Yang dimaksud dengan "mentransmisikan" adalah mengirimkan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang ditujukan kepada pihak lain melalui Sistem Elektronik. Yang dimaksud dengan "membuat dapat diakses" adalah semua perbuatan lain selain mendistribusikan dan mentransmisikan melalui Sistem Elektronik yang menyebabkan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dapat diketahui pihak lain atau publik. Yang dimaksud dengan "melanggar kesusilaan" adalah melakukan perbuatan mempertunjukkan ketelanjangan, alat kelamin, dan aktivitas seksual yang bertentangan dengan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat di tempat dan waktu perbuatan tersebut dilakukan. Penafsiran pengertian kesusilaan disesuaikan dengan standar yang berlaku pada masyarakat dalam waktu dan tempat tertentu (contemporary community standard). Yang dimaksud dengan "diketahui umum" adalah untuk dapat atau sehingga dapat diakses oleh kumpulan orang banyak yang sebagian besar tidak saling mengenal.', 223: '(1) Setiap Orang yang dengan sengaja dan tanpa hak menyiarkan, mempertunjukkan, mendistribusikan, mentransmisikan, dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan untuk diketahui umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).', 224: "['(1) dalam waktu paling lambat i x 24 (satu kali dua puluh empat) jam terhitung sejak menerima laporan tindak pidana kekerasan seksual, kepolisian dapat memberikan pelindungan sementara kepada korban. sk no 146029a fresiden republik inoonesia', '(2) pelindungan sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan berdasarkan surat perintah pelindungan sementara untuk waktu paling lama 14 (empat belas) hari terhitung sejak korban ditangani.', '(3) untuk keperluan pelindungan sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (1), kepolisian berwenang membatasi gerak pelaku, baik yang bertujuan untuk menjauhkan pelaku dari korban dalam jarak dan waktu tertentu maupun pembatasan hak tertentu dari pelaku.']", 225: "['(1) korban dapat didampingi oleh pendamping pada semua tingkat pemeriksaan dalam proses peradilan.', '(2) pendamping korban meliputi: a. petugas lpsk; b. petugas uptd ppa; c. tenaga kesehatan; d. psikolog; e. pekerja sosial; f. tenaga kesejahteraan sosial; g. psikiater; h. pendamping hukum, meliputi advokat dan paralegal; i. petugas lembaga penyedia layanan berbasis masyarakat; dan j. pendamping lain. sk no 146021a presiden publik indonesia', '(3) pendamping korban harus memenuhi syarat: a. memiliki kompetensi tentang penanganan korban yang berperspektif hak asasi manusia dan sensitivitas gender; dan b. telah mengikuti pelatihan penanganan perkara tindak pidana kekerasan seksual.']", 226: 'Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Bintang Puspayoga meminta kepada masyarakat untuk melaporkan tindakan kekerasan terhadap perempuan dan anak melalui layanan call center Sahabat Perempuan dan Anak (SAPA) 129. Hal ini disampaikan Menteri PPPA pada Podkabs (Podkabs Kabinet dan Setkab) episode ketiga, yang diunggah di kanal YouTube dan Spotify Sekretariat Kabinet (Setkab), Jumat (22/04/2022). “Tidak harus korban saja yang melaporkan. Ketika melihat (dan) mendengar (tindakan kekerasan terhadap perempuan dan anak) laporkan ke SAPA 129,” ujar Menteri PPPA. Layanan SAPA 129 dapat diakses melalui hotline 021-129 atau whatsapp 08111-129-129. SAPA129 memiliki enam jenis layanan, yait layanan pengaduan masyarakat, pelayanan penjangkauan korban, pelayanan pengelolaan kasus, pelayanan akses penampungan sementara, pelayanan mediasi, pelayanan pendampingan korban.'} |
Apa bunyi Pasal 285 KUHP? Apakah benar Pasal 285 KUHP mengatur tentang perkosaan? Jika benar, apa bunyi Pasal 285 KUHP? | ULASAN LENGKAP Artikel ini dibuat berdasarkan KUHP lama dan UU 1/2023 tentang KUHP yang diundangkan pada tanggal 2 Januari 2023. . Apa itu Perkosaan? Perkosaan ( rape ) berasal dari bahasa Latin rapere yang berarti mencuri, memaksa, merampas. [1] Menurut Soetandyo Wignjosoebroto sebagaimana dikutip oleh Dinar Mahardika dan Erwin Aditya Pratama dalam buku Perlindungan Hukum Terhadap Korban Perkosaan dalam Perspektif Psikologi Hukum , perkosaan adalah suatu usaha melampiaskan hawa nafsu seksual oleh seorang laki-laki terhadap seorang perempuan dengan cara menurut moral dan/atau hukum yang berlaku adalah melanggar hukum (hal. 36). Sehingga dapat disimpulkan, perkosaan adalah tindak pidana yang menyerang integritas tubuh, [2] yang sering kali dilakukan oleh seorang laki-laki terhadap seorang perempuan. Lantas, apakah benar Pasal 285 KUHP mengatur tentang perkosaan? Jika benar, apa bunyi Pasal 285 KUHP? Bunyi Pasal 285 KUHP Tindak pidana perkosaan diatur dalam Pasal 285 KUHP lama yang saat artikel ini diterbitkan masih berlaku, sebagai berikut: Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang wanita bersetubuh dengan dia di luar perkawinan, diancam karena melakukan perkosaan dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun. Unsur Pasal 285 KUHP Dari bunyi Pasal 285 KUHP di atas, perkosaan didefinisikan bila dilakukan hanya di luar perkawinan. Selain itu, kata-kata “bersetubuh” memiliki arti bahwa secara hukum perkosaan terjadi pada saat sudah terjadi penetrasi , sehingga, pada saat belum terjadi penetrasi peristiwa tersebut tidak dapat dikatakan perkosaan tetapi masuk dalam kategori pencabulan. [3] Tindak pidana perkosaan yang diatur dalam Pasal 285 KUHP memiliki unsur: [4] barang siapa; dengan kekerasan; dengan ancaman akan memakai kekerasan; memaksa seorang wanita mengadakan hubungan kelamin diluar perkawinan; dengan dirinya/pelaku. Bunyi Pasal 473 UU 1/2023 Selain diatur dalam KUHP lama, tindak pidana perkosaan juga diatur dalam Pasal 473 UU 1/2023 tentang KUHP baru yang berlaku 3 tahun sejak tanggal diundangkan, [5] yaitu tahun 2026. Jika dalam Pasal 285 KUHP secara spesifik diatur bahwa korban adalah wanita, dalam Pasal 473 UU 1/2023, korban tidak hanya wanita saja, melainkan bisa berupa pria, suami, istri, atau anak. Berikut adalah bunyi Pasal 473 UU 1/2023: Setiap Orang yang dengan Kekerasan atau Ancaman Kekerasan memaksa seseorang bersetubuh dengannya, dipidana karena melakukan perkosaan, dengan pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun. Termasuk Tindak Pidana perkosaan dan dipidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi perbuatan: persetubuhan dengan seseorang dengan persetujuannya, karena orang tersebut percaya bahwa orang itu merupakan suami/istrinya yang sah; persetubuhan dengan Anak; persetubuhan dengan seseorang, padahal diketahui bahwa orang lain tersebut dalam keadaan pingsan atau tidak berdaya; atau persetubuhan dengan penyandang disabilitas mental dan/atau disabilitas intelektual dengan memberi atau menjanjikan uang atau Barang, menyalahgunakan wibawa yang timbul dari hubungan keadaan, atau dengan penyesatan menggerakkannya untuk melakukan atau membiarkan dilakukan persetubuhan dengannya, padahal tentang keadaan disabilitas itu diketahui. Dianggap juga melakukan Tindak Pidana perkosaan, jika dalam keadaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dengan cara: memasukkan alat kelamin ke dalam anus atau mulut orang lain; memasukkan alat kelamin orang lain ke dalam anus atau mulutnya sendiri; atau memasukkan bagian tubuhnya yang bukan alat kelamin atau suatu benda ke dalam alat kelamin atau anus orang lain. Dalam hal Tindak Pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2) huruf c, ayat (2) huruf d, dan ayat (3) dilakukan terhadap Anak, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit kategori IV dan paling banyak kategori VII . Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) berlaku juga bagi Setiap Orang yang memaksa Anak untuk melakukan Tindak Pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2) huruf c, ayat (2) huruf d, dan ayat (3) dengan orang lain. Dalam hal Tindak Pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam ikatan perkawinan, tidak dilakukan penuntutan kecuali atas pengaduan Korban . Jika salah satu Tindak Pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (3) mengakibatkan Luka Berat, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun. Jika salah satu Tindak Pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (3) mengakibatkan matinya orang, pidananya dapat ditambah 1/3 (satu per tiga) dari ancaman pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Jika Korban sebagaimana dimaksud pada ayat (4) adalah Anak kandung, Anak tiri, atau Anak dibawah perwaliannya, pidananya dapat ditambah 1/3 (satu per tiga) dari ancaman pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (4). Dalam hal Tindak Pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (9) dilakukan secara bersama-sama dan bersekutu, atau dilakukan terhadap seseorang dalam keadaan bahaya, keadaan darurat, situasi konflik, bencana, atau perang, pidananya dapat ditambah 1/3 (satu per tiga). Tindak Pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (10) merupakan Tindak Pidana kekerasan seksual. Adapun yang dimaksud dalam Pasal 473 ayat (4) UU 1/2023 , pidana denda paling sedikit kategori IV adalah Rp200 juta, [6] dan paling banyak kategori VII yaitu Rp5 miliar. [7] Kemudian, pada dasarnya perbuatan dalam Pasal 473 UU 1/2023 ini dimaksudkan untuk atau sebagai bagian dari kegiatan/kekerasan seksual . [8] Kemudian, korban yang dimaksud dalam Pasal 473 ayat (6) UU 1/2023 adalah suami atau istri. [9] Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. Dasar Hukum : Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ; Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana . Referensi : Anugrah Rizki Akbari. Reformasi Pengaturan Tindak Pidana Perkosaan . Depok: MaPPI FH UI, 2016; Dinar Mahardika dan Erwin Aditya Pratama. Perlindungan Hukum Terhadap Korban Perkosaan dalam Perspektif Psikologi Hukum. Yogyakarta: Tanah Air Beta, 2020. [1] Dinar Mahardika dan Erwin Aditya Pratama. Perlindungan Hukum Terhadap Korban Perkosaan dalam Perspektif Psikologi Hukum. Yogyakarta: Tanah Air Beta, 2020, hal. 35 [2] Anugrah Rizki Akbari. Reformasi Pengaturan Tindak Pidana Perkosaan . Depok: MaPPI FH UI, 2016, hal. 111 [3] Dinar Mahardika dan Erwin Aditya Pratama. Perlindungan Hukum Terhadap Korban Perkosaan dalam Perspektif Psikologi Hukum. Yogyakarta: Tanah Air Beta, 2020, hal. 35 [4] Dinar Mahardika dan Erwin Aditya Pratama. Perlindungan Hukum Terhadap Korban Perkosaan dalam Perspektif Psikologi Hukum. Yogyakarta: Tanah Air Beta, 2020, hal. 35-36 [5] Pasal 624 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“UU 1/2023”) [6] Pasal 79 ayat (1) huruf d UU 1/2023 [7] Pasal 79 ayat (1) huruf g UU 1/2023 [8] Penjelasan Pasal 473 UU 1/2023 [9] Penjelasan Pasal 473 ayat (6) UU 1/2023 TAGS perkosaan kuhp kekerasan seksual | {227: 'kata-kata “bersetubuh” memiliki arti bahwa secara hukum perkosaan terjadi pada saat sudah terjadi penetrasi, sehingga, pada saat belum terjadi penetrasi peristiwa tersebut tidak dapat dikatakan perkosaan tetapi masuk dalam kategori pencabulan.', 228: 'Sehingga dapat disimpulkan, perkosaan adalah tindak pidana yang menyerang integritas tubuh,', 229: 'Buku "Perlindungan Hukum Terhadap Korban Perkosaan dalam Perspektif Psikologi Hukum" karya Dinar Mahardika dan Erwin Aditya Pratama (Yogyakarta: Tanah Air Beta, 2020) mendefinisikan perkosaan sebagai upaya pemenuhan hasrat seksual laki-laki terhadap perempuan yang melanggar norma moral dan hukum. Pada halaman 35-36, dijelaskan bahwa tindakan ini merupakan pelanggaran hukum yang menyerang integritas tubuh korban. Definisi ini menekankan aspek paksaan dan pelanggaran hukum dalam konteks perkosaan, menguatkannya sebagai tindak pidana serius. Buku ini menganalisis perkosaan dari perspektif psikologi hukum, mempertimbangkan dampak psikologis pada korban.', 128: 'Undang-Undang ini mulai berlaku setelah 3 (tiga) tahun terhitung sejak tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.', 6: "['(1) pidana denda paling banyak ditetapkan berdasarkan: a. kategori i, rp1.000.000,00 (satu juta rupiah); b. kategori ii, rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah); c. kategori iii, rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah); d. kategori iv, rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah); e. kategori v, rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah); f. kategori vi, rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah); g. kategori vii, rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah); dan h. kategori viii, rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah).']", 230: "['(1) pidana denda paling banyak ditetapkan berdasarkan: a. kategori i, rp1.000.000,00 (satu juta rupiah); b. kategori ii, rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah); c. kategori iii, rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah); d. kategori iv, rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah); e. kategori v, rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah); f. kategori vi, rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah); g. kategori vii, rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah); dan h. kategori viii, rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah).']", 231: 'Perbuatan dalam Pasal ini dimaksudkan untuk atau sebagai bagian dari kegiatan/kekerasan seksual.', 232: 'Yang dimaksud dengan Korban adalah suami atau istri.'} |
�Apa hukumnya dan pasalnya bagi pelaku yang menyerobot lahan/tanah milik orang lain? | ULASAN LENGKAP Artikel ini dibuat berdasarkan KUHP lama dan UU 1/2023 tentang KUHP yang diundangkan pada tanggal 2 Januari 2023. . Menyerobot Tanah Orang Lain = Tindak Pidana Tanah merupakan salah satu kebutuhan pokok manusia yang permintaannya meningkat setiap waktu. Sehingga, tindakan menyerobot tanah orang lain sangat rentan terjadi. Adapun, kami mengasumsikan bahwa penyerobotan tanah yang Anda maksud tersebut terjadi akibat klaim sepihak seseorang yang menggangap bahwa dirinya berhak atas tanah tersebut dengan atau tanpa sertifikat kepemilikan yang sah . Jika mengacu pada KBBI , menyerobot adalah mengambil hak atau harta dengan sewenang-wenang atau dengan tidak mengindahkan hukum dan aturan (seperti mencuri, merampas, menempati tanah atau rumah orang lain yang bukan haknya ). Penyerobotan tanah atau menurut Pasal 1 angka 3 UU 51/Prp/1960 yang disebut dengan “memakai tanah” adalah menduduki, mengerjakan dan/atau mengenai sebidang tanah atau mempunyai tanah atau bangunan di atasnya, dengan tidak dipersoalkan apakah bangunan itu dipergunakan sendiri atau tidak. Adapun, yang dimaksud dengan tanah yaitu tanah yang langsung dikuasai oleh negara atau tanah yang tidak langsung dikuasai oleh negara yang dipunyai dengan sesuatu hak oleh perseorangan atau badan hukum. [1] Untuk itu, pemilik tanah perlu memiliki bukti sertifikat hak atas tanah yang sah dengan cara melakukan pendaftaran tanah untuk tanah yang belum bersertifikat atau melakukan balik nama sertifikat terhadap tanah yang sudah bersertifikat tetapi terjadi peralihan hak atas tanah. Hal ini bertujuan untuk memberikan perlindungan dan kepastian hukum serta melaksanakan fungsi informasi dan mencapai tertib administrasi, [2] sehingga dapat menghindari adanya klaim sepihak terkait kepemilikan hak atas tanah tersebut. Penyerobotan tanah milik orang lain dapat terjadi akibat ketidaktahuan pemilik tanah atas peralihan hak atas tanah tersebut, baik dengan cara sah secara hukum ataupun dengan cara-cara yang curang. Sebab lainnya bisa juga karena ketidakpedulian pemilik tanah atas tanahnya, sehingga memicu orang lain menyerobot tanah tersebut. Lalu, apakah menyerobot tanah orang lain bisa dipidana? Jawabannya bisa. Menurut Pasal 2 UU 51/Prp/1960 , dilarang memakai tanah tanpa izin yang berhak atau kuasanya yang sah. Lebih lanjut, Pasal 6 UU 51/Prp/1960 mengatur bahwa dapat dipidana kurungan selama-lamanya 3 bulan dan/atau denda sebanyak-banyaknya Rp5 ribu: barang siapa memakai tanah tanpa izin yang berhak atau kuasanya yang sah dengan ketentuan bahwa jika mengenai tanah-tanah perkebunan dan hutan dikecualikan mereka yang akan diselesaikan menurut Pasal 5 ayat (1); barang siapa mengganggu yang berhak atau kuasanya yang sah di dalam menggunakan haknya atas suatu bidang tanah; barang siapa menyuruh, mengajak, membujuk, atau menganjurkan dengan lisan atau tulisan untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang dimaksud dalam pasal 2 atau huruf b ayat (1) pasal ini; barang siapa memberi bantuan dengan cara apapun juga untuk melakukan perbuatan tersebut pada pasal 2 atau huruf b ayat (1) pasal ini. Jika penyerobotan tanah milik orang lain tersebut dilakukan dengan tindakan menjual, menukarkan, membebankan kredit pada tanah, menggadaikan, atau menyewakan tanah, maka diancam dengan pasal pidana dalam KUHP lama yang masih berlaku pada saat artikel ini diterbitkan atau UU 1/2023 tentang KUHP baru yang berlaku 3 tahun sejak diundangkan, [3] yaitu tahun 2026. Pasal 385 KUHP Diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun : barang siapa dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, menjual, menukarkan atau membebani dengan credietverband sesuatu hak tanah yang belum bersertifikat, sesuatu gedung, bangunan, penanaman atau pembenihan di atas tanah yang belum bersertifikat, padahal diketahui bahwa yang mempunyai atau turut mempunyai hak di atasnya adalah orang lain; barang siapa dengan maksud yang sama menjual, menukarkan, atau membebani dengan credietverband, sesuatu hak tanah yang belum bersertifikat yang telah dibebani credietverband, atau sesuatu gedung, bangunan, penanaman atau pembenihan di atas tanah yang juga telah dibebani demikian, tanpa memberitahukan tentang adanya beban itu kepada pihak yang lain; barang siapa dengan maksud yang sama mengadakan credietverband mengenai sesuatu hak tanah yang belum bersertifikat, dengan menyembunyikan kepada pihak lain bahwa tanah yang berhubungan dengan hak tadi sudah digadaikan; barang siapa dengan maksud yang sama, menggadaikan atau menyewakan tanah dengan hak tanah yang belum bersertifikat, padahal diketahui bahwa orang lain yang mempunyai atau turut mempunyai hak atas tanah itu; barang siapa dengan maksud yang sama, menjual atau menukarkan tanah dengan hak tanah yang belum bersertifikat yang telah digadaikan, padahal tidak diberitahukannya kepada pihak yang lain bahwa tanah itu telah digadaikan; barang siapa dengan maksud yang sama, menjual atau menukarkan tanah dengan hak tanah yang belum bersertifikat untuk suatu masa, padahal diketahui, bahwa tanah itu telah disewakan kepada orang lain untuk masa itu juga. Pasal 502 UU 1/2023 Dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak kategori V, [4] Setiap Orang yang dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum: menjual, menukar, atau membebani dengan ikatan kredit suatu hak menggunakan tanah negara atau rumah, usaha tanaman atau pembibitan di atas tanah tempat orang menggunakan hak atas tanah tersebut, padahal orang lain berhak atau turut berhak atas tanah atau Barang tersebut; menjual, menukar, atau membebani dengan ikatan kredit suatu hak menggunakan tanah negara atau rumah, usaha tanaman atau pembibitan di atas tanah tempat orang menggunakan hak atas tanah tersebut, padahal tanah atau Barang tersebut sudah dibebani dengan ikatan kredit, tetapi tidak memberitahukan hal tersebut kepada pihak yang lain; membebani dengan ikatan kredit suatu hak menggunakan tanah negara dengan menyembunyikan kepada pihak lain, padahal tanah tempat orang menggunakan hak tersebut sudah dijaminkan; menjaminkan atau menyewakan sebidang tanah tempat orang menggunakan hak atas tanah tersebut, padahal orang lain berhak atau turut berhak atas tanah tersebut; menyewakan, menjual atau menukarkan tanah yang telah digadaikan tanpa memberitahukan kepada pihak yang lain bahwa tanah itu telah digadaikan; atau menyewakan sebidang tanah tempat orang menggunakan hak atas tanah tersebut untuk jangka waktu tertentu, padahal tanah tersebut juga telah disewakan kepada orang lain. Langkah Hukum Jika Terjadi Penyerobotan Tanah Melaporkan kepada Kepolisian Pemilik tanah dapat melaporkan penyerobotan tanah tersebut ke pihak kepolisian dimana lokasi tanah tersebut berada , dengan melampirkan bukti surat berupa sertifikat hak atas tanah yang sah dan membawa saksi-saksi yang mengetahui secara langsung terkait kepemilikan tanah tersebut. Selengkapnya Anda dapat menyimak artikel Mau Melaporkan Tindak Pidana ke Polisi? Begini Prosedurnya . Menggugat secara Perdata Pemilik tanah dapat mengajukan gugatan atas dasar perbuatan melawan hukum terhadap pelaku penyerobotan tanah ke pengadilan setempat dimana lokasi tanah tersebut berada berdasarkan Pasal 1365 KUH Perdata : Tiap perbuatan yang melanggar hukum dan membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang menimbulkan kerugian itu karena kesalahannya untuk menggantikan kerugian tersebut. Pemilik tanah selaku penggugat harus memiliki bukti yang kuat berupa surat atau sertifikat hak atas tanah yang sah juga dapat mengajukan saksi-saksi yang mengetahui terkait kepemilikan tanah tersebut secara langsung untuk dihadirkan di muka persidangan. Apabila pelaku penyerobotan tanah juga memiliki sertifikat yang dikeluarkan oleh lembaga atau badan resmi negara yaitu Badan Pertanahan Nasional, maka pemilik tanah juga harus dapat memastikan kalau sertifikat yang dimilikinya lebih dahulu terbit daripada sertifikat yang dimiliki oleh penyerobot tanah sebagaimana diterangkan lebih lanjut dalam artikel Cara Cek Sertifikat Tanah Ganda dan Langkah Hukumnya . Demikian jawaban dari kami mengenai langkah hukum yang dapat ditempuh terkait penyerobotan lahan milik orang lain, semoga bermanfaat. Dasar Hukum : Kitab Undang-Undang Hukum Perdata ; Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ; Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 51 Tahun 1960 tentang Larangan Pemakaian Tanah Tanpa Izin yang Berhak atau Kuasanya ; Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ; Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah . Referensi: Menyerobot , yang diakses pada Senin, 26 Agustus 2024 pukul 14.51 WIB. [1] Pasal 1 angka 1 Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 51 Tahun 1960 tentang Larangan Pemakaian Tanah Tanpa Izin yang Berhak atau Kuasanya [2] Lihat Penjelasan Umum dan Pasal 3 beserta penjelasannya Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah [3] Pasal 624 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“UU 1/2023”) [4] Denda kategori V adalah sebesar Rp500 juta menurut Pasal 79 ayat (1) huruf e UU 1/2023 TAGS hak atas tanah kasus tanah agraria | {233: 'pasal 1 . dalam peraturan pemerintah pengganti undang-undang ini yang dimaksudkan dengan 1. tanah ialah : a. tanah yang langsung dikuasai oleh negara; presiden republik indonesia b. tanah yang tidak termasuk huruf a yang dipunyai dengan sesuatu hak oleh perseorangan atau badan hukum. 2. yang berhak : ialah jika mengenai tanah yang termaksud dalam: 1/a. negara dalam hal ini menteri agraria atau pejabat yang ditunjuknya; 1/b. orang atau badan hukum yang berhak atas tanah itu, 3. memakai tanah : ialah menduduki, mengerjakan dan/atau mengenai sebidang tanah atau mempunyai tanaman atau bangunan diatasnya, dengan tidak dipersoalkan apakah bangunan itu dipergunakan sendiri atau tidak. 4. penguasa daerah ialah : a. untuk daerah-daerah yang tidak berada dalam keadaan bahaya seperti yang dimaksudkan dalam peraturan pemerintah pengganti undang-undang no. 23 tahun 1959 (lembaran-negara tahun 1959 no. 139): "bupati atau walikota/kepala daerah yang bersangkutan, sedang untuk daerah tingkat i jakarta raya : gubernur/kepala daerah jakarta raya"; b. untuk daerah-daerah yang berada dalam keadaan bahaya dengan tingkatan keadaan darurat sipil, darurat militer atau keadaan perang, masing-masing penguasa darurat sipil daerah, penguasa darurat militer daerah atau penguasa perang daerah yang bersangkutan, seperti yang dimaksudkan dalam peraturan pemerintah pengganti undang-undang no. 23 tahun 1959 (lembaran-negara tahun 1959 no. 139) presiden republik indonesia', 234: 'Tujuan pendaftaran tanah sebagaimana tercantum pada huruf a merupakan tujuan utama pendaftaran tanah yang diperintahkan oleh Pasal 19 UUPA. Disamping itu dengan terselenggaranya pendaftaran tanah juga dimaksudkan terciptanya suatu pusat informasi mengenai bidang-bidang tanah sehingga pihak yang berkepentingan termasuk Pemerintah dengan mudah dapat memperoleh data yang diperlukan dalam mengadakan perbuatan hukum mengenai bidangbidang tanah dan satuan-satuan rumah susun yang sudah didaftar. Terselenggaranya pendaftaran tanah secara baik merupakan dasar dan perwujudan tertib administrasi di bidang pertanahan. ', 4: 'Undang-Undang ini mulai berlaku setelah 3 (tiga) tahun terhitung sejak tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.', 235: "['(1) pidana denda paling banyak ditetapkan berdasarkan: a. kategori i, rp1.000.000,00 (satu juta rupiah); b. kategori ii, rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah); c. kategori iii, rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah); d. kategori iv, rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah); e. kategori v, rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah); f. kategori vi, rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah); g. kategori vii, rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah); dan h. kategori viii, rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah).']"} |
Saya mau bertanya, di Direct Message Instagram, saya sering sekali mendapat DM dengan perkataan yang tidak senonoh, melanggar asusila, seperti perkataan untuk mengajak bersetubuh. Apakah perbuatan mengirim DM berisi ajakan bersetubuh bisa dijerat pasal pelecehan seksual? Jika bisa, pelecehan seksual pasal berapa? Bagaimana bunyi pasal pelecehan seksual terhadap perempuan? | ULASAN LENGKAP dari artikel dengan judul Ancaman Pidana bagi Pengirim SMS Berisi Ajakan Bersetubuh yang dibuat oleh Tri Jata Ayu Pramesti, S.H. dan pertama kali dipublikasikan pada 13 Januari 2015. . Apa itu Pelecehan Seksual? Sebelum menjawab pertanyaan Anda, sebaiknya kita pahami terlebih dahulu apa itu pelecehan seksual. Pada dasarnya, pelecehan seksual adalah perilaku atau perhatian yang bersifat seksual yang tidak diinginkan dan tidak dikehendaki penerima, dan berakibat mengganggu diri penerima pelecehan. Pelecehan seksual mencakup, tetapi tidak terbatas pada: bayaran seksual bila menghendaki sesuatu, pemaksaan melakukan kegiatan seksual, pernyataan merendahkan tentang orientasi seksual atau seksualitas, permintaan melakukan tindakan seksual yang disukai pelaku , ucapan atau perilaku yang berkonotasi seksual , semua dapat digolongkan sebagai pelecehan seksual. Tindakan ini dapat disampaikan secara langsung maupun implisit. [1] Secara sekilas, kekerasan seksual dan pelecehan seksual adalah istilah yang sama. Namun, kekerasan seksual cakupannya lebih luas daripada pelecehan seksual. Sehingga, pelecehan seksual merupakan bagian dari kekerasan seksual. [2] Adapun kekerasan seksual dapat diartikan suatu terjadinya pendekatan seksual yang tidak diinginkan oleh seseorang terhadap orang lain. Pendekatan seksual ini dapat terjadi dalam berbagai bentuk baik itu fisik maupun verbal. [3] Indonesia sendiri memiliki peraturan khusus yang mengatur mengenai pelecehan seksual, yaitu UU TPKS . Berdasarkan Pasal 1 angka 1 UU TPKS , yang dimaksud dengan tindak pidana kekerasan seksual adalah segala perbuatan yang memenuhi unsur tindak pidana sebagaimana diatur dalam undang-undang ini dan perbuatan seksual lainnya sebagaimana diatur dalam undang-undang sepanjang ditentukan dalam undang-undang ini. Mengenai pertanyaan Anda tentang pasal pelecehan seksual terhadap perempuan, perlu diketahui bahwa korban pelecehan seksual dapat dialami oleh perempuan maupun laki-laki. Adapun yang dimaksud dengan korban adalah orang yang mengalami penderitaan fisik, mental, kerugian ekonomi, dan/atau kerugian sosial yang diakibatkan tindak pidana kekerasan seksual. [4] Lantas, pelecehan seksual pasal berapa dalam UU TPKS? Untuk menjawab pertanyaan tersebut, mari kita ketahui jenis-jenis pelecehan seksual. Jenis Pelecehan Seksual Berdasarkan Pasal 4 ayat (1) UU TPKS , tindak pidana kekerasan seksual sendiri terdiri atas: pelecehan seksual nonfisik; pelecehan seksual fisik; pemaksaan kontrasepsi; pemaksaan sterilisasi; pemaksaan perkawinan; penyiksaan seksual; eksploitasi seksual; dan kekerasan seksual berbasis elektronik . Selain itu, tindak pidana kekerasan seksual juga meliputi: [5] perkosaan; perbuatan cabul; persetubuhan terhadap anak, perbuatan cabul terhadap anak, dan/atau eksploitasi seksual terhadap anak; perbuatan melanggar kesusilaan yang bertentangan dengan kehendak korban; pornografi yang melibatkan anak atau pornografi yang secara eksplisit memuat kekerasan dan eksploitasi seksual; pemaksaan pelacuran; tindak pidana perdagangan orang yang ditujukan untuk eksploitasi seksual; kekerasan seksual dalam lingkup rumah tangga; tindak pidana pencucian uang yang tindak pidana asalnya merupakan tindak pidana kekerasan seksual; dan tindak pidana lain yang dinyatakan secara tegas sebagai tindak pidana kekerasan seksual sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan. Lantas, pelecehan seksual pasal berapa yang dapat menjerat pelaku pengirim DM tersebut? Kekerasan Seksual Berbasis Elektronik Tindakan mengirim Direct Message (“DM”) Instagram yang berisi perkataan tidak senonoh, perkataan melanggar asusila, dalam hal ini ajakan untuk bersetubuh, menurut hemat kami dapat dikategorikan sebagai kekerasan seksual berbasis elektronik . Kemudian, setiap orang yang tanpa hak mentransmisikan informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang bermuatan seksual di luar kehendak penerima yang ditujukan terhadap keinginan seksual dipidana karena melakukan kekerasan seksual berbasis elektronik , dengan pidana penjara maksimal 4 tahun dan/atau denda maksimal Rp200 juta , sebagaimana diatur dalam Pasal 14 ayat (1) huruf b UU TPKS . Adapun yang dimaksud dengan informasi elektronik adalah satu atau sekumpulan data elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, electronic data interchange (EDI), surat elektronik ( electronic mail ), telegram, teleks, telecopy atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, kode akses, simbol, atau perforasi yang telah diolah yang dimiliki arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya. [6] Oleh karena itu, orang yang mengirim DM dengan pesan mengajak untuk berhubungan badan/bersetubuh berpotensi dijerat pasal kekerasan seksual berbasis elektronik di atas. Perlu diketahui bahwa kekerasan seksual berbasis elektronik ini merupakan delik aduan , kecuali korban adalah anak atau penyandang disabilitas. [7] Dalam hal korban merupakan anak atau penyandang disabilitas, adanya kehendak atau persetujuan korban tidak menghapuskan tuntutan pidana. [8] Selain dapat dijerat dengan pasal pelecehan seksual pada UU TPKS, perbuatan mengirim DM untuk mengajak bersetubuh juga dapat dijerat berdasarkan UU 1/2024 tentang perubahan kedua UU ITE . Hal tersebut sebagaimana diatur dalam perbuatan yang dilarang dalam Pasal 27 ayat (1) UU 1/2024 yang berbunyi: Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak menyiarkan , mempertunjukkan , mendistribusikan , mentransmisikan , dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan untuk diketahui umum. Lalu, seseorang yang melanggar ketentuan Pasal 27 ayat (1) UU 1/2024 berpotensi dipidana penjara maksimal 6 tahun dan/atau denda maksimal Rp1 miliar , sebagaimana diatur dalam Pasal 45 ayat (1) UU 1/2024 . Lebih lanjut, disarikan dari artikel Bunyi Pasal 27 ayat (1) UU ITE 2024 tentang Kesusilaan , dari bunyi Pasal 27 ayat (1) UU 1/2024, penjelasan unsur-unsur pasal tersebut adalah: [9] " Menyiarkan " termasuk perbuatan mentransmisikan, mendistribusikan, dan membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik dalam sistem elektronik. " Mendistribusikan " adalah mengirimkan dan/atau menyebarkan informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik kepada banyak orang atau berbagai pihak melalui sistem elektronik. " Mentransmisikan " adalah mengirimkan informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang ditujukan kepada pihak lain melalui sistem elektronik. " Membuat dapat diakses " adalah semua perbuatan lain selain mendistribusikan dan mentransmisikan melalui sistem elektronik yang menyebabkan informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik dapat diketahui pihak lain atau publik. “ Melanggar kesusilaan " adalah melakukan perbuatan mempertunjukkan ketelanjangan, alat kelamin, dan aktivitas seksual yang bertentangan dengan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat di tempat dan waktu perbuatan tersebut dilakukan. Penafsiran pengertian kesusilaan disesuaikan dengan standar yang berlaku pada masyarakat dalam waktu dan tempat tertentu ( contemporary community standard ). " Diketahui umum " adalah untuk dapat atau sehingga dapat diakses oleh kumpulan orang banyak yang sebagian besar tidak saling mengenal Sebagai informasi, pada praktiknya, penegak hukum dapat mengenakan pasal-pasal berlapis terhadap suatu tindak pidana yang memenuhi unsur-unsur kekerasan seksual berbasis elektronik, sebagaimana diatur dalam UU TPKS, dan juga memenuhi unsur-unsur dalam UU 1/2024. Artinya, bila memang unsur-unsur tindak pidananya terpenuhi, penegak hukum dapat menggunakan pasal-pasal tersebut, atau penegak hukum dapat mengajukan dakwaan secara alternatif . Berdasarkan artikel Bentuk-bentuk Surat Dakwaan , dakwaan alternatif digunakan jika belum didapat kepastian tentang tindak pidana mana yang paling tepat dapat dibuktikan. : Surat Dakwaan: Pengertian, Fungsi, dan Jenisnya Contoh Kasus Sebagai contoh, kami jelaskan contoh kasus Putusan PN Arga Makmur 17/Pid.Sus/2019/PN Agm . Dalam kasus ini, terdakwa mengirimkan kepada korban 6 buah foto bermuatan asusila, yaitu foto alat kemaluan laki-laki yang sedang mengeluarkan sperma. Akibatnya, korban tidak terima dengan perbuatan yang telah dilakukan oleh terdakwa dan melaporkan terdakwa ke kepolisian (hal. 3-4). Berdasarkan keterangan ahli pada putusan tersebut, perbuatan yang dilakukan oleh terdakwa dengan mengirim foto-foto alat kelamin laki-laki yang sedang mengeluarkan sperma tanpa seizin korban termasuk ke dalam kategori mentransmisikan dokumen elektronik yang memiliki muatan melanggar kesusilaan (hal.4). Selain itu, terdakwa juga mengajak hubungan intim melalui messenger (hal. 6). Oleh karena itu, terdakwa dinyatakan terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana Pasal 27 ayat (1) jo . Pasal 45 ayat (1) UU 19/2016 (sebelum diubah oleh UU 1/2024). Terdakwa dijatuhi pidana dengan pidana penjara selama 1 tahun 8 bulan dan denda Rp1 miliar (dengan ketentuan apabila denda tidak dibayar, maka diganti dengan pidana kurungan selama 4 bulan). Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. Dasar Hukum : Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik ; Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik ; Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual ; Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2024 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik . Putusan : Putusan Pengadilan Negeri Arga Makmur Nomor 17/Pid.Sus/2019/PN Agm . Referensi : Asmah dan Dian Eka Kusuma Wardani. Analisis Hukum Terhadap Tindak Pidana Kekerasan Seksual . Jurnal Kertha Wicaksana Sarana Komunikasi Dosen dan Mahasiswa, Vol. 17, No.2, 2023; N.K. Endah Triwijati. Pelecehan Seksual: Tinjauan Psikologis . Jurnal Masyarakat, Kebudayaan dan Politik, Th. XX, No. 4, 2007; Rosania Paradiaz dan Eko Soponyono. Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelecehan Seksual . Jurnal Pembangunan Hukum Indonesia, Vol. 4, No. 1, 2022. [1] N.K. Endah Triwijati. Pelecehan Seksual: Tinjauan Psikologis . Jurnal Masyarakat, Kebudayaan dan Politik, Th. XX, No. 4, 2007, hal. 303 [2] Asmah dan Dian Eka Kusuma Wardani. Analisis Hukum Terhadap Tindak Pidana Kekerasan Seksual . Jurnal Kertha Wicaksana Sarana Komunikasi Dosen dan Mahasiswa, Vol. 17, No.2, 2023, hal. 105 [3] Rosania Paradiaz dan Eko Soponyono. Perlindungan hukum Terhadap Korban Pelecehan Seksual . Jurnal Pembangunan Hukum Indonesia, Vol. 4, No. 1, 2022, hal. 62 [4] Pasal 1 angka 4 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (“UU TPKS”) [5] Pasal 4 ayat (2) UU TPKS [6] Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik [7] Pasal 14 ayat (3) UU TPKS [8] Pasal 14 ayat (5) UU TPKS [9] Penjelasan Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2024 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik TAGS pelecehan seksual kekerasan seksual uu ite instagram | {236: 'Tindakan ini dapat disampaikan secara langsung maupun implisit.', 237: 'Sehingga, pelecehan seksual merupakan bagian dari kekerasan seksual.', 110: 'Kekerasan seksual dapat diartikan sebagai terjadinya pendekatan seksual yang tidak diinginkan oleh seseorang terhadap orang lain. Pendekatan seksual ini dapat terjadi dalam berbagai bentuk baik itu fisik maupun verbal', 55: '4. korban adalah orang yang mengalami penderitaan frsik, mental, kerugian ekonomi, dan f atau kerugian sosial yang diakibatkan tindak pidana kekerasan seksual', 238: "['(1) tindak pidana kekerasan seksual terdiri atas: a. pelecehan seksual nonfisik; b. pelecehan seksual fisik; d sk no 146006a presiden republik indonesia -7 - c. pemaksaan kontrasepsi; d. pemaksaan sterilisasi; e. pemaksaan perkawinan; f. penyiksaan seksual; g. eksploitasi seksual; h. perbudakan seksual; dan i. kekerasan seksual berbasis elektronik.']", 239: '1. di antara angka 6 dan angka 7 pasal 1 disisipkan 1 (satu) angka, yakni angka 6a sehingga pasal 1 berbunyi sebagai berikut: pasal 1 dalam undang-undang ini yang dimaksud dengan: 1', 124: "['(1) setiap orang yang tanpa hak: a. melakukan perekaman dan/ atau mengambil gambar atau tangkapan layar yang bermuatan seksual di luar kehendak atau tanpa persetqjuan orang yang menjadi objek perekaman atau gambar atau tangkapan layar; b. mentransmisikan informasi elektronik dan/ atau dokumen elektronik yang bermuatan seksual di luar kehendak penerima yang ditujukan terhadap keinginan seksual; dan/atau c. melakukan penguntitan dan/ atau pelacakan menggunakan sistem elektronik terhadap orang yang menjadi obyek dalam informasi/dokumen elektronik untuk tujuan seksual, dipidana karena melakukan kekerasan seksual berbasis elektronik, dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/ atau denda paling banyak rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).', '(2) dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan maksud: a. untuk melakukan pemerasan atau pengancaman, memaksa; atau sk no 146012a presiden republik indonesia b. menyesatkan dan/atau memperdaya, seseorang supaya melakukan, membiarkan dilakukan, atau tidak melakukan sesuatu, dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak rp300.00o.000,00 (tiga ratus juta rupiah).', '(3) kekerasan seksual berbasis elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan delik aduan, kecuali korban adalah anak atau penyandang disabilitas.', '(4) dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf b dilakukan demi kepentingan umum atau untuk pembelaan atas dirinya sendiri dari tindak pidana kekerasan seksual, tidak dapat dipidana.']", 126: "['(1) setiap orang yang tanpa hak: a. melakukan perekaman dan/ atau mengambil gambar atau tangkapan layar yang bermuatan seksual di luar kehendak atau tanpa persetqjuan orang yang menjadi objek perekaman atau gambar atau tangkapan layar; b. mentransmisikan informasi elektronik dan/ atau dokumen elektronik yang bermuatan seksual di luar kehendak penerima yang ditujukan terhadap keinginan seksual; dan/atau c. melakukan penguntitan dan/ atau pelacakan menggunakan sistem elektronik terhadap orang yang menjadi obyek dalam informasi/dokumen elektronik untuk tujuan seksual, dipidana karena melakukan kekerasan seksual berbasis elektronik, dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/ atau denda paling banyak rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).', '(2) dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan maksud: a. untuk melakukan pemerasan atau pengancaman, memaksa; atau sk no 146012a presiden republik indonesia b. menyesatkan dan/atau memperdaya, seseorang supaya melakukan, membiarkan dilakukan, atau tidak melakukan sesuatu, dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak rp300.00o.000,00 (tiga ratus juta rupiah).', '(3) kekerasan seksual berbasis elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan delik aduan, kecuali korban adalah anak atau penyandang disabilitas.', '(4) dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf b dilakukan demi kepentingan umum atau untuk pembelaan atas dirinya sendiri dari tindak pidana kekerasan seksual, tidak dapat dipidana.']", 240: 'Yang dimaksud dengan "menyiarkan" termasuk perbuatan mentransmisikan, mendistribusikan, dan membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dalam Sistem Elektronik. Yang dimaksud dengan "mendistribusikan" adalah mengirimkan dan/atau menyebarkan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik kepada banyak Orang atau berbagai pihak melalui Sistem Elektronik. Yang dimaksud dengan "mentransmisikan" adalah mengirimkan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang ditujukan kepada pihak lain melalui Sistem Elektronik. Yang dimaksud dengan "membuat dapat diakses" adalah semua perbuatan lain selain mendistribusikan dan mentransmisikan melalui Sistem Elektronik yang menyebabkan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dapat diketahui pihak lain atau publik. Yang dimaksud dengan "melanggar kesusilaan" adalah melakukan perbuatan mempertunjukkan ketelanjangan, alat kelamin, dan aktivitas seksual yang bertentangan dengan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat di tempat dan waktu perbuatan tersebut dilakukan. Penafsiran pengertian kesusilaan disesuaikan dengan standar yang berlaku pada masyarakat dalam waktu dan tempat tertentu (contemporary community standard). Yang dimaksud dengan "diketahui umum" adalah untuk dapat atau sehingga dapat diakses oleh kumpulan orang banyak yang sebagian besar tidak saling mengenal.'} |
Apa bunyi Pasal 344 KUHP? Apakah benar Pasal 344 KUHP mengatur tentang euthanasia? Jika benar, apa bunyi Pasal 344 KUHP? | ULASAN LENGKAP Artikel ini dibuat berdasarkan KUHP lama dan UU 1/2023 tentang KUHP yang diundangkan pada tanggal 2 Januari 2023. . Apa itu Eutanasia? Pada dasarnya, euthanasia atau eutanasia berasal dari kata eu yang artinya baik, dan thanatos yang artinya mati. Eutanasia dapat diartikan sebagai good death , easy death , dan sering juga disebut mercy killing . [1] Secara umum, eutanasia adalah tindakan mengakhiri hidup seseorang atas dasar kasihan karena menderita penyakit, kecideraan, atau ketidakberdayaan yang tidak mempunyai harapan lagi untuk sembuh. Eutanasia jenis ini mirip dengan tujuan perawatan paliatif, yaitu untuk mengurangi penderitaan. Sedangkan dilihat dari cara melakukannya , dikenal dua macam eutanasia, yaitu eutanasia aktif jika dokter malakukan positive act yang secara langsung menyebabkan kematian, dan eutanasia pasif jika dokter melakukan negative act yang artinya tidak melakukan apa-apa yang secara tidak langsung menyebabkan kematian. Adapun dilihat dari orang yang membuat keputusan , eutanasia dibagi menjadi voluntary euthanasia , jika yang membuat keputusan adalah orang yang sakit dan involuntary euthanasia , jika yang membuat keputusan adalah orang lain seperti pihak keluarga atau dokter karena pasien mengalami keadaan tidak sadar (koma medis). [2] Isi Pasal 344 KUHP Menjawab pertanyaan Anda, dalam ketentuan hukum pidana di Indonesia tidak dikenal istilah eutanasia. Walau demikian, Pasal 344 KUHP lama yang saat artikel ini diterbitkan masih berlaku, mengatur hal berikut: Barang siapa merampas nyawa orang lain atas permintaan orang itu sendiri yang jelas dinyatakan dengan kesungguhan hati , diancam dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun. Unsur Pasal 344 KUHP Dari bunyi Pasal 344 KUHP, pasal tersebut melarang adanya eutanasia aktif yaitu suatu tindakan yang positif dari dokter untuk mempercepat terjadinya kematian. Untuk dapat memenuhi unsur yang terdapat dalam Pasal 344 KUHP ini tidaklah mudah karena unsur “permintaan sendiri yang jelas dinyatakan dengan kesungguhan hati” dengan kondisi pasien yang lama dalam keadaaan in a persistent vegetative state , sehingga ia tidak dapat berkomunikasi. [3] Lebih lanjut, dalam pasal tersebut kalimat “permintaan sendiri yang jelas dinyatakan dengan kesungguhan hati” harus disebutkan dengan nyata dan sungguh-sungguh, jika tidak, maka orang itu dikenakan pasal pembunuhan biasa , dan haruslah mendapatkan perhatian karena unsur inilah yang akan menentukan apakah orang yang melakukannya dapat dipidana berdasarkan Pasal 344 KUHP atau tidak. Agar unsur ini tidak disalahgunakan, maka dalam menentukan benar tidaknya seseorang telah melakukan pembunuhan karena kasihan, unsur permintaan yang tegas dan unsur sungguh-sungguh harus dapat dibuktikan baik dengan adanya saksi ataupun oleh alat-alat bukti lainnya. [4] Kemudian, menurut Kode Etik Kedokteran Indonesia dalam Pasal 11 menegaskan, bahwa “Setiap dokter wajib senantiasa mengingat kewajiban dirinya melindungi hidup makhluk insani”. Jadi, apapun alasan dokter maupun ahli medis, tidak boleh melakukan tindakan eutanasia . Karena tugas utama dokter adalah untuk menyelamatkan jiwa manusia dan bukan untuk mengakhirinya. Bunyi Pasal 461 UU 1/2023 Selain diatur dalam KUHP lama, pasal eutanasia aktif juga diatur dalam Pasal 461 UU 1/2023 tentang KUHP baru yang berlaku 3 tahun sejak tanggal diundangkan, [5] yaitu tahun 2026, sebagai berikut: Setiap Orang yang merampas nyawa orang lain atas permintaan orang itu sendiri yang jelas dinyatakan dengan kesungguhan hati , dipidana dengan pidana penjara paling lama 9 (sembilan) tahun. Penjelasan Pasal 461 UU 1/2023 Kemudian, berdasarkan Penjelasan Pasal 461 UU 1/2023 , ketentuan ini mengatur tindak pidana yang dikenal dengan eutanasia aktif. Meskipun eutanasia aktif dilakukan atas permintaan orang yang bersangkutan yang dinyatakan dengan kesungguhan hati, namun perbuatan tersebut tetap diancam dengan pidana. Hal ini berdasarkan suatu pertimbangan karena perbuatan tersebut dinilai bertentangan dengan moral agama. Di samping itu juga untuk mencegah kemungkinan yang tidak dikehendaki, misalnya, oleh pelaku tindak pidana justru diciptakan suatu keadaan yang sedemikian rupa sehingga timbul permintaan untuk merampas nyawa dari yang bersangkutan. Ancaman pidana di sini tidak ditujukan terhadap kehidupan seseorang, melainkan ditujukan terhadap penghormatan kehidupan manusia pada umumnya, meskipun dalam kondisi orang tersebut sangat menderita, baik jasmani maupun rohani. Jadi motif pelaku tidak relevan untuk dipertimbangkan dalam tindak pidana. Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. Dasar Hukum : Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ; Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana . Referensi : Henny Saida Flora. Euthanasia dalam Hukum Pidana Indonesia dan Hukum Kesehatan. Jurnal Hukum Kesehatan Indonesia, Vol. 2, No. 2, 2022; Sutarno. Pengaturan Peraturan Perundangan tentang Eutanasia dan Pelayanan Paliatif dalam Menghadapi Kematian Alamiah di Indonesia . Surabaya: Scopindo Media Pustaka, 2021; Kode Etik Kedokteran Indonesia , yang diakses pada 16 Agustus 2024, pukul 12.24 WIB. [1] Sutarno. Pengaturan Peraturan Perundangan tentang Eutanasia dan Pelayanan Paliatif dalam Menghadapi Kematian Alamiah di Indonesia . Surabaya: Scopindo Media Pustaka, 2021, hal. 6 [2] Sutarno. Pengaturan Peraturan Perundangan tentang Eutanasia dan Pelayanan Paliatif dalam Menghadapi Kematian Alamiah di Indonesia . Surabaya: Scopindo Media Pustaka, 2021, hal. 8 [3] Henny Saida Flora. Euthanasia dalam Hukum Pidana Indonesia dan Hukum Kesehatan. Jurnal Hukum Kesehatan Indonesia, Vol. 2, No. 2, 2022, hal. 94-95 [4] Henny Saida Flora. Euthanasia dalam Hukum Pidana Indonesia dan Hukum Kesehatan. Jurnal Hukum Kesehatan Indonesia, Vol. 2, No. 2, 2022, hal. 89 [5] Pasal 624 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“UU 1/2023”) TAGS kuhp hukum pidana potd | {241: 'Pada dasarnya, euthanasia atau eutanasia berasal dari kata eu yang artinya baik, dan thanatos yang artinya mati. Eutanasia dapat diartikan sebagai good death, easy death, dan sering juga disebut mercy killing.', 242: 'Adapun dilihat dari orang yang membuat keputusan, eutanasia dibagi menjadi voluntary euthanasia, jika yang membuat keputusan adalah orang yang sakit dan involuntary euthanasia, jika yang membuat keputusan adalah orang lain seperti pihak keluarga atau dokter karena pasien mengalami keadaan tidak sadar (koma medis).', 243: 'Untuk dapat memenuhi unsur yang terdapat dalam Pasal 344 KUHP ini tidaklah mudah karena unsur “permintaan sendiri yang jelas dinyatakan dengan kesungguhan hati” dengan kondisi pasien yang lama dalam keadaaan in a persistent vegetative state, sehingga ia tidak dapat berkomunikasi.', 244: 'Sumber ini menjelaskan definisi euthanasia, berasal dari kata Yunani "eu" (baik) dan "thanatos" (mati), serta berbagai istilah yang digunakan seperti "good death" atau "mercy killing." Penjelasan ini mencakup pengertian umum euthanasia sebagai tindakan mengakhiri hidup karena penderitaan tanpa harapan sembuh, menyerupai tujuan perawatan paliatif dalam mengurangi penderitaan. Sumber ini kemungkinan besar merupakan kamus atau ensiklopedia kedokteran atau hukum.', 128: 'Undang-Undang ini mulai berlaku setelah 3 (tiga) tahun terhitung sejak tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.'} |
Apa perbedaan pasal penipuan dan penggelapan?�Dalam KUHP maupun UU 1/2023, penipuan dan penggelapan pasal berapa? Benarkah penggelapan dan penipuan diatur dalam Pasal 372 dan 378 KUHP? Jika benar, apa bunyi Pasal 372 KUHP dan Pasal 378 KUHP? Berapa tahun ancaman penipuan dan penggelapan?�Terima kasih. | ULASAN LENGKAP ketiga dari artikel dengan judul sama yang dibuat oleh Arsil dan pertama kali dipublikasikan pada 10 Januari 2011, dan dimutakhirkan pertama kali pada 6 Januari 2023, kemudian dimutakhirkan kedua kali oleh Bernadetha Aurelia Oktavira, S.H. pada 12 Desember 2023. Artikel ini dibuat berdasarkan KUHP lama dan UU 1/2023 tentang KUHP yang diundangkan pada tanggal 2 Januari 2023. . Pada dasarnya, pasal penipuan dan penggelapan diatur dalam pasal-pasal yang berbeda dalam KUHP lama yang masih berlaku pada saat artikel ini diterbitkan, serta UU 1/2023 yang mulai berlaku 3 tahun terhitung sejak tanggal diundangkan, [1] yakni pada tahun 2026. Jadi, untuk menjerat pelaku penipuan dan penggelapan pasal berapa dalam KUHP dan UU 1/2023? Berapa tahun ancaman penipuan dan penggelapan? Berikut ini kami jelaskan satu per satu. Pasal Penipuan Jika muncul pertanyaan tindak pidana penipuan pasal berapa? Berikut bunyi Pasal 378 KUHP dan Pasal 492 UU 1/2023 yang mengatur tentang penipuan: Pasal 378 KUHP Pasal 492 UU 1/2023 Barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, dengan memakai nama palsu atau martabat palsu, dengan tipu muslihat, ataupun rangkaian kebohongan, menggerakkan orang lain untuk menyerahkan barang sesuatu kepadanya, atau supaya memberi utang maupun menghapuskan piutang, diancam karena penipuan dengan pidana penjara paling lama 4 tahun . Setiap orang yang dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum dengan memakai nama palsu atau kedudukan palsu, menggunakan tipu muslihat atau rangkaian kata bohong, menggerakkan orang supaya menyerahkan suatu barang, memberi utang, membuat pengakuan utang, atau menghapus piutang, dipidana karena penipuan , dengan pidana penjara paling lama 4 tahun atau pidana denda paling banyak kategori V, yaitu Rp500 juta . [2] Dari bunyi pasal penipuan di atas, apa unsur Pasal 378 KUHP? Unsur Pasal 378 KUHP Menurut R. Soesilo dalam bukunya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal (hal. 261), kejahatan pada Pasal 378 KUHP dinamakan penipuan, yang mana penipu itu pekerjaannya: membujuk orang supaya memberikan barang, membuat utang atau menghapuskan piutang; maksud pembujukan itu ialah hendak menguntungkan diri sendiri atau orang lain dengan melawan hak; membujuknya itu dengan memakai: nama palsu atau keadaan palsu; akal cerdik (tipu muslihat); atau karangan perkataan bohong. Selain itu, berdasarkan Penjelasan Pasal 492 UU 1/2023 , perbuatan materiel dari penipuan adalah membujuk seseorang dengan berbagai cara yang disebut dalam ketentuan ini, untuk memberikan sesuatu barang, membuat utang atau menghapus piutang. Dengan demikian, perbuatan yang langsung merugikan itu tidak dilakukan oleh pelaku tindak pidana, tetapi oleh pihak yang dirugikan sendiri. Perbuatan penipuan baru selesai dengan terjadinya perbuatan dari pihak yang dirugikan sebagaimana dikehendaki pelaku. Barang yang diberikan, tidak harus secara langsung kepada pelaku tindak pidana tetapi dapat juga dilakukan kepada orang lain yang disuruh pelaku untuk menerima penyerahan itu. [3] Penipuan adalah tindak pidana terhadap harta benda. Tempat tindak pidana adalah tempat pelaku melakukan penipuan, walaupun penyerahan dilakukan di tempat lain. Dengan kata lain, saat dilakukannya tindak pidana adalah saat pelaku melakukan penipuan. [4] Adapun barang yang diserahkan dapat merupakan milik pelaku sendiri, misalnya barang yang diberikan sebagai jaminan utang bukan untuk kepentingan pelaku. Penghapusan piutang tidak perlu dilakukan melalui cara hapusnya perikatan menurut KUH Perdata . [5] Contoh penipuan misalnya perbuatan pelaku yang menghentikan untuk sementara pencatat kilometer mobil sewaannya, sehingga pemilik mobil memperhitungkan jumlah uang sewaan yang lebih kecil daripada yang sesungguhnya. [6] Ketentuan ini menyebut secara limitatif daya upaya pelaku yang menyebabkan penipuan itu dapat dipidana, yaitu berupa nama atau kedudukan palsu, penyalahgunaan agama, tipu muslihat dan rangkaian kata bohong. Antara daya upaya yang digunakan dan perbuatan yang dikehendaki harus ada hubungan kausal, sehingga orang itu percaya dan memberikan apa yang diminta. [7] Selengkapnya mengenai penjelasan pasal penipuan dapat Anda temukan dalam Bunyi dan Unsur Pasal 378 KUHP tentang Penipuan . Pasal Penggelapan Setelah memahami penerapan pasal penipuan, berikut bunyi Pasal 372 KUHP dan Pasal 486 UU 1/2023 yang mengatur tentang penggelapan: Pasal 372 KUHP Pasal 486 UU 1/2023 Barang siapa dengan sengaja dan melawan hukum memiliki barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang lain, tetapi yang ada dalam kekuasaannya bukan karena kejahatan diancam karena penggelapan , dengan pidana penjara paling lama 4 tahun atau pidana denda paling banyak Rp900 ribu . [8] Setiap orang yang secara melawan hukum memiliki suatu barang yang sebagian atau seluruhnya milik orang lain, yang ada dalam kekuasaannya bukan karena tindak pidana, dipidana karena penggelapan , dengan pidana penjara paling lama 4 tahun atau pidana denda paling banyak kategori IV, yaitu Rp200 juta . [9] Lantas, apa saja unsur Pasal 372 KUHP? Unsur Pasal 372 KUHP Adapun unsur-unsur Pasal 372 KUHP menurut P.A.F Lamintang pada bukunya Delik-Delik Khusus Kejahatan-Kejahatan terhadap Harta Kekayaan adalah sebagai berikut (hal. 105): unsur subjektif, yaitu dengan sengaja; unsur objektif: menguasai secara melawan hukum; suatu benda; sebagian atau seluruhnya kepunyaan orang lain; dan berada padanya bukan karena kejahatan. Lalu, timbul pertanyaan apa perbedaan pencurian dan penggelapan? Pada dasarnya, dalam tindak pidana penggelapan, barang yang bersangkutan sudah dikuasai secara nyata oleh pelaku tindak pidana . Hal ini berbeda dengan pencurian di mana barang tersebut belum berada di tangan pelaku tindak pidana . [10] Hal ini pun sama seperti yang dijelaskan R. Soesilo (hal. 258), bahwa dalam pencurian barang yang dimiliki masih belum berada di tangan pencuri dan masih harus diambilnya. Sedangkan pada penggelapan, waktu dimilikinya barang tersebut sudah ada ditangan si penggelap, tidak dengan jalan kejahatan. Kemudian, saat timbulnya niat untuk memiliki barang tersebut secara melawan hukum, juga menentukan perbedaan antara penggelapan dan pencurian. Apabila niat memiliki sudah ada pada waktu barang tersebut diambil, maka perbuatan tersebut merupakan tindak pidana pencurian . Sedangkan pada penggelapan, niat memiliki tersebut baru ada setelah barang yang bersangkutan untuk beberapa waktu sudah berada di tangan pelaku . [11] Unsur tindak pidana penggelapan lainnya adalah bahwa pelaku menguasai barang yang hendak dimiliki tersebut bukan karena tindak pidana , misalnya suatu barang yang berada dalam penguasaan pelaku tindak pidana sebagai jaminan utang piutang yang kemudian dijual tanpa izin pemiliknya. [12] Penjelasan pasal penggelapan dapat Anda baca selengkapnya di Bunyi Pasal 372 KUHP tentang Penggelapan dan Unsurnya . Perbedaan Pasal Penipuan dan Penggelapan Lantas, menjawab pertanyaan Anda, apa perbedaan penipuan dan penggelapan? Untuk mempermudah pemahaman Anda, kami merangkum perbedaan pasal penggelapan dan penipuan dalam bentuk tabel berikut. Pembeda Penipuan Penggelapan Perolehan Barang Barang tersebut awalnya ada pada korban yang selanjutnya diberikan atau diserahkan kepada pelaku dengan daya upaya yang dilakukan pelaku. Barang yang hendak dimiliki pelaku diperoleh bukan dari tindak pidana, melainkan sudah dikuasai secara nyata dan sah oleh pelaku. Niat Pelaku Sedari awal, pelaku membujuk korban untuk menyerahkan atau memberikan barang. Penipuan baru selesai saat korban menyerahkan barang sebagaimana dikehendaki pelaku. Niat memiliki barang baru ada setelah barang tersebut untuk beberapa waktu sudah berada di tangan pelaku. Objek Mencakup memberi utang, membuat pengakuan utang, atau menghapus piutang. Terbatas pada barang atau uang. Contoh Kasus Penipuan dan Penggelapan Selanjutnya, kami akan berikan contoh kasus penipuan dan penggelapan. Misalnya, si A hendak menjual mobil miliknya. B lalu menawarkan kepada A bahwa ia bisa menjualkan mobil A ke pihak ketiga. Setelahnya, A menyetujui tawaran B, dan ternyata mobil tersebut kemudian hilang. Dalam kasus ini, dapat merupakan penipuan dan penggelapan. Termasuk penipuan, jika sejak awal B tidak berniat untuk menjualkan mobil A, melainkan hendak membawa kabur mobil tersebut. Termasuk penggelapan, jika pada awalnya B berniat untuk menjualkan mobil A ke pihak ketiga, namun di tengah perjalanan B berubah niat dan membawa kabur mobil A. Perkaya riset hukum Anda dengan analisis hukum terbaru dwibahasa, serta koleksi terjemahan peraturan yang terintegrasi dalam Hukumonline Pro, pelajari lebih lanjut di sini . Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. Dasar Hukum : Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ; Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ; Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2012 tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda dalam KUHP . Referensi : P.A.F. Lamintang. Delik-Delik Khusus Kejahatan-Kejahatan terhadap Harta Kekayaan . Bandung: Sinar Baru, 2009; R. Soesilo. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal . Bogor: Politeia, 1986. [1] Pasal 624 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“UU 1/2023”) [2] Pasal 79 ayat (1) huruf e UU 1/2023 [3] Penjelasan Pasal 492 UU 1/2023 [4] Penjelasan Pasal 492 UU 1/2023 [5] Penjelasan Pasal 492 UU 1/2023 [6] Penjelasan Pasal 492 UU 1/2023 [7] Penjelasan Pasal 492 UU 1/2023 [8] Pasal 3 Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2012 tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda dalam KUHP , denda dilipatgandakan 1.000 kali [9] Pasal 79 ayat (1) huruf d UU 1/2023 [10] Penjelasan Pasal 486 UU 1/2023 [11] Penjelasan Pasal 486 UU 1/2023 [12] Penjelasan Pasal 486 UU 1/2023 TAGS kuhp kuhp baru penggelapan penipuan | {4: 'Undang-Undang ini mulai berlaku setelah 3 (tiga) tahun terhitung sejak tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.', 7: "['(1) pidana denda paling banyak ditetapkan berdasarkan: a. kategori i, rp1.000.000,00 (satu juta rupiah); b. kategori ii, rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah); c. kategori iii, rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah); d. kategori iv, rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah); e. kategori v, rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah); f. kategori vi, rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah); g. kategori vii, rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah); dan h. kategori viii, rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah).']", 245: 'pasal 492 setiap orang yang dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum dengan memakai nama palsu atau kedudukan palsu, menggunakan tipu muslihat atau rangkaian kata bohong, menggerakkan orang supaya menyerahkan suatu barang, memberi utang, membuat pengakuan utang, atau menghapus piutang, dipidana karena penipuan, dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun atau pidana denda paling banyak kategori v.', 246: 'Tiap jumlah maksimum hukuman denda yang diancamkan dalam KUHPkecuali pasal 303 ayat 1 dan ayat 2, 303 bis ayat 1 dan ayat 2, dilipatgandakan menjadi 1.000 (seribu) kall,', 6: "['(1) pidana denda paling banyak ditetapkan berdasarkan: a. kategori i, rp1.000.000,00 (satu juta rupiah); b. kategori ii, rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah); c. kategori iii, rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah); d. kategori iv, rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah); e. kategori v, rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah); f. kategori vi, rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah); g. kategori vii, rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah); dan h. kategori viii, rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah).']", 247: 'pasal 486 setiap orang yang secara melawan hukum memiliki suatu barang yang sebagian atau seluruhnya milik orang lain, yang ada dalam kekuasaannya bukan karena tindak pidana, dipidana karena penggelapan, dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun atau pidana denda paling banyak kategori iv.'} |
Saya mau menanyakan mengenai pidana penjara seumur hidup. Apa itu pidana penjara seumur hidup? Banyak versi yang beredar mengenai pidana penjara seumur hidup. Versi pertama, pidana penjara seumur hidup itu pidana yang dijatuhkan hakim di mana lama pidananya bergantung pada usia terpidana. Versi kedua, pidana penjara seumur hidup itu pidana yang dijatuhkan dan dijalani selama ia hidup dia terus berada di dalam penjara tanpa adanya rentang waktu tersebut atau bisa dibilang sampai ia meninggal ia terus ada di penjara. Yang mana yang benar? Apa dasar dan peraturan mengenai penjelasan pidana seumur hidup tersebut? | ULASAN LENGKAP ketiga dari artikel dengan judul Pidana Seumur Hidup yang dibuat oleh Shanti Rachmadsyah, S.H. dan pertama kali dipublikasikan pada 24 Juni 2010, dan pertama kali dimutakhirkan pada Senin, 24 Januari 2022, kemudian dimutakhirkan kedua kalinya oleh Bernadetha Aurelia Oktavira, S.H. pada 20 Januari 2023. Artikel ini dibuat berdasarkan KUHP lama dan UU 1/2023 tentang KUHP yang diundangkan pada tanggal 2 Januari 2023. . Pidana Penjara Untuk menjawab pertanyaan akan pidana penjara seumur hidup, kami akan merujuk pada KUHP lama yang masih berlaku pada saat artikel ini diterbitkan dan KUHP Baru atau UU 1/2023 yang akan berlaku 3 tahun sejak diundangkan, [1] yaitu pada 2026 mendatang. KUHP UU 1/2023 Pasal 12 ayat (1) KUHP Pidana penjara ialah seumur hidup atau selama waktu tertentu. Pasal 12 ayat (2) KUHP Pidana penjara selama waktu tertentu paling pendek satu hari dan paling lama lima belas tahun berturut-turut. Pasal 12 ayat (3) KUHP Pidana penjara selama waktu tertentu boleh dijatuhkan untuk dua puluh tahun berturut-turut dalam hal kejahatan yang pidananya hakim boleh memilih antara pidana mati, pidana seumur hidup, dan pidana penjara selama waktu tertentu, atau antara pidana penjara seumur hidup dan pidana penjara selama waktu tertentu. Pasal 12 ayat (4) KUHP Pidana penjara selama waktu tertentu sekali-kali tidak boleh melebihi dua puluh tahun. Pasal 68 ayat (1) UU 1/2023 Pidana penjara dijatuhkan untuk seumur hidup atau untuk waktu tertentu. Pasal 68 ayat (2) UU 1/2023 Pidana penjara untuk waktu tertentu dijatuhkan paling lama 15 tahun berturut turut atau paling singkat 1 hari, kecuali ditentukan minimum khusus. Pasal 68 ayat (3) UU 1/2023 Dalam hal terdapat pilihan antara pidana mati dan pidana penjara seumur hidup atau terdapat pemberatan pidana atas tindak tidana yang dijatuhi pidana penjara 15 tahun, pidana penjara untuk waktu tertentu dapat dijatuhkan untuk waktu 20 tahun berturut turut. Pasal 68 ayat (4) UU 1/2023 Pidana penjara untuk waktu tertentu tidak boleh dijatuhkan lebih dari 20 tahun. Dari ketentuan-ketentuan di atas, dapat disimpulkan bahwa pidana penjara seumur hidup adalah pidana penjara selama terpidana masih hidup hingga meninggal. Ketentuan tersebut sekaligus menolak pendapat bahwa hukuman penjara seumur hidup adalah hukuman penjara yang dijalani selama usia terpidana pada saat vonis dijatuhkan. Kesalahan Penafsiran Pidana Penjara Seumur Hidup Pidana penjara seumur hidup sering salah ditafsirkan. Kesalahan penafsiran terbanyak adalah menganggap bahwa pidana penjara seumur hidup berarti pidana penjara sesuai dengan usia terpidana saat vonis dijatuhkan. Untuk memudahkan pemahaman tentang pidana penjara seumur hidup, kami mencontohkan, jika seseorang dipidana penjara seumur hidup ketika dia berusia 21 tahun, maka berdasarkan pendapat yang beranggapan bahwa yang dimaksud ‘seumur hidup’ adalah sama dengan jumlah umur terpidana ketika vonis dijatuhkan, yang bersangkutan akan menjalani hukuman penjara selama 21 tahun. Hal itu tentu melanggar ketentuan Pasal 12 ayat (4) KUHP dan Pasal 68 ayat (4) UU 1/2023 yang mana lamanya hukuman yang dijalani oleh terpidana melebihi batasan maksimal 20 tahun. Contoh lainnya, berdasarkan pendapat yang sama, jika terpidana divonis penjara seumur hidup pada saat ia berumur 18 tahun, berarti terpidana tersebut akan menjalani hukuman pidana penjara seumur hidup selama 18 tahun. Hal ini tentu menimbulkan kerancuan yaitu mengapa hakim tidak langsung saja menghukum terpidana selama 18 tahun penjara, padahal hal itu masih diperbolehkan dalam KUHP? Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa maksud penjara seumur hidup adalah penjara sepanjang si terpidana masih hidup, dan hukumannya baru akan berakhir ketika ia meninggal dunia. Demikian jawaban dari kami terkait arti pidana penjara seumur hidup sebagaimana ditanyakan, semoga bermanfaat. Dasar Hukum : Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ; Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana . [1] Pasal 624 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana TAGS ancaman pidana hukum pidana kuhp penjara pidana | {20: 'Undang-Undang ini mulai berlaku setelah 3 (tiga) tahun terhitung sejak tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.'} |
Baru-baru ini viral kasus bapak kos di Semarang makan kucing peliharaan. Menurut berita yang beredar, kasus ini terungkap setelah para penghuni kos mencium bau tidak sedap seperti bangkai. Ketika mereka menyelidiki lebih lanjut, ditemukan bulu kucing di sekitar lokasi bau tersebut. Kemudian, penghuni kos menyadari beberapa kucing peliharaannya hilang. Pada akhirnya, bapak kos mengaku bahwa ia telah makan kucing sejak 10 tahun yang lalu. Pasalnya, alasan bapak kos makan kucing adalah untuk mengobati penyakit diabetes yang dideritanya. Pertanyaan saya, adakah jerat hukum yang dapat dikenakan terhadap bapak kos pemakan kucing tersebut? Apakah perbuatan memakan hewan peliharaan orang lain bisa dipidana? | ULASAN LENGKAP Artikel ini dibuat berdasarkan KUHP lama dan UU 1/2023 tentang KUHP yang diundangkan pada tanggal 2 Januari 2023. . Memakan Hewan Peliharaan Orang Lain Bisa Dipidana? Pada dasarnya, perbuatan memakan hewan peliharaan orang lain (dalam hal ini kucing) dapat kami asumsikan sebagai penganiayaan yang menyebabkan hewan mati . Tindakan penganiayaan terhadap hewan diatur dalam KUHP lama yang pada saat artikel ini diterbitkan masih berlaku dan UU 1/2023 tentang KUHP baru yang berlaku terhitung 3 tahun sejak tanggal diundangkan, yaitu tahun 2026 [1] , sebagai berikut: Pasal 302 KUHP Pasal 337 UU 1/2023 (1) Diancam dengan pidana penjara paling lama 3 bulan atau pidana denda paling banyak Rp4,5 juta [2] karena melakukan penganiayaan ringan terhadap hewan barang siapa tanpa tujuan yang patut atau secara melampaui batas, dengan sengaja menyakiti atau melukai hewan atau merugikan kesehatannya ; barang siapa tanpa tujuan yang patut atau dengan melampaui batas yang diperlukan untuk mencapai tujuan itu, dengan sengaja tidak memberi makanan yang diperlukan untuk hidup kepada hewan, yang seluruhnya atau sebagian menjadi kepunyaannya dan ada di bawah pengawasannya, atau kepada hewan yang wajib dipeliharanya. (2) Jika perbuatan itu mengakibatkan sakit lebih dari seminggu, atau cacat atau menderita luka-luka berat lainnya, atau mati , yang bersalah diancam dengan pidana penjara paling lama 9 bulan, atau pidana denda paling banyak Rp300 ribu [3] , karena penganiayaan hewan. (3) Jika hewan itu milik yang bersalah, maka hewan itu dapat dirampas. (4) Percobaan melakukan kejahatan tersebut tidak dipidana. (1) Dipidana karena melakukan penganiayaan hewan dengan pidana penjara paling lama 1 tahun atau pidana denda paling banyak kategori II, yaitu Rp10 juta [4] setiap orang yang: a. menyakiti atau melukai hewan atau merugikan kesehatannya dengan melampaui batas atau tanpa tujuan yang patut ; atau b. melakukan hubungan seksual dengan hewan. (2) Jika perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan hewan sakit lebih dari 1 minggu, cacat, luka berat, atau mati , dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 tahun 6 bulan atau pidana denda paling banyak kategori III, yaitu Rp50 juta. [5] (3) Dalam hal hewan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) milik pelaku tindak pidana, hewan tersebut dapat dirampas dan ditempatkan ke tempat yang layak bagi hewan. S.R Sianturi dalam bukunya Tindak Pidana di KUHP Berikut Uraiannya (hal. 272) menjelaskan unsur-unsur yang harus dipenuhi agar suatu perbuatan dapat dikategorikan sebagai penganiayaan hewan sebagaimana termuat dalam Pasal 302 ayat (1) KUHP , sebagai berikut: Unsur Subjek: Barangsiapa Menurut S.R. Sianturi, berkenaan dengan subjek atau pelaku dalam Pasal 302 ayat (1) ke-2 KUHP , adanya pembatasan terhadap subjek/pelaku yang bersangkutan, yaitu: [6] Petindak itu adalah juga pemilik hewan itu seluruhnya atau sebagian dan berada dalam pengawasannya. Jika ia adalah pemilik tetapi dititipkan kepada tetangganya, maka jika ia menyakiti hewan tersebut, kepadanya diterapkan Pasal 302 ayat (1) ke-1 KUHP, karena untuk ayat (1) ke-1 tidak dipersoalkan siapa pemiliknya. Petindak bukan pemilik yang sebenarnya dari hewan itu tetapi karena dititipkan atau diserahkan kepadanya ataupun dia temukan hewan itu lalu dipeliharanya, maka wajib ia pelihara untuk seterusnya. Kapan kewajibannya berakhir untuk memelihara hewan itu dalam banyak hal diserahkan kepada pertimbangan dan kearifan hakim. Unsur Kesalahan: Dengan Sengaja Pengertian kesengajaan telah dikembangkan lebih lanjut sehingga dikenal adanya tiga bentuk kesengajaan, yaitu: [7] kesengajaan sebagai maksud; kesengajaan sebagai kepastian, keharusan; dolus eventualis . : Pembuktian Unsur Kesengajaan dalam Hukum Pidana Unsur Bersifat Melawan Hukum: Tanpa Tujuan yang Patut atau Secara Melampaui Batas untuk Mencapai Tujuan yang Diperkenankan S.R. Sianturi memberi beberapa contoh yang pada umumnya tidak dapat diterima oleh masyarakat, yaitu: [8] menguliti kelinci yang masih hidup; mencambuki kuda beban, kuda tarik (kuda andong) yang sudah sangat kelelahan. Sedangkan yang pada umumnya masih dapat diterima masyarakat, yaitu: [9] “menyakiti” dalam rangka penelitian secara ilmiah ( vivi sectie ); dalam rangka mempercepat pertumbuhannya, memotong ekor ikan mas; atau untuk memperindah binatang, memotong ekor dari anjing atau kuda. Unsur Tindakan: Menyakiti, Melukai atau Merugikan Kesehatan Hewan (ayat 1 ke-1) atau Tidak Memberi Kebutuhan Hidup yang Diperlukan untuk Hidup (ayat 1 ke-2) Selain makanan dan minuman, kebutuhan hidup yang diperlukan untuk hidup hewan tersebut, misalnya obat-obatan. [10] Adapun penganiayaan hewan yang terjadi dalam Pasal 302 ayat (2) KUHP menitikberatkan pada akibat yang terjadi pada hewan , sebagaimana ditentukan sebagai penganiayaan hewan dalam hal tindakan tersebut mengakibatkan hewan menjadi: [11] sakit lebih dari seminggu; atau cacat; atau menderita luka-luka berat lainnya; atau mati. Lebih lanjut, Pasal 302 ayat (3) KUHP menentukan bahwa jika hewan itu milik yang bersalah, maka hewan itu dapat dirampas. Jadi, ketentuan ini merupakan pidana tambahan yang berupa perampasan barang tertentu, dalam hal ini hewan teraniaya yang dimiliki oleh orang yang bersalah/orang yang menganiaya hewan tersebut. Adapun Pasal 302 ayat (4) KUHP mengatur bahwa percobaan melakukan penganiayaan terhadap hewan tidak dipidana. [12] Oleh karena itu, jika memenuhi unsur-unsur pasal di atas, bapak kos yang makan kucing dapat dipidana karena melakukan penganiayaan yang menyebabkan hewan mati, berdasarkan Pasal 302 ayat (2) KUHP dengan ancaman pidana penjara maksimal 9 bulan, atau pidana denda maksimal Rp300 ribu . Sedangkan menurut Pasal 337 ayat (2) UU 1/2023 , pelaku diancam pidana penjara maksimal 1 tahun 6 bulan atau pidana denda maksimal Rp50 juta . : Bunyi Pasal 302 KUHP tentang Penganiayaan Hewan Sanksi Pidana dalam UU 41/2014 Selain dapat dihukum berdasarkan KUHP atau UU 1/2023, bapak kos yang makan kucing juga berpotensi dipidana berdasarkan UU 41/2014 . Pada dasarnya, setiap orang dilarang menganiaya dan/atau menyalahgunakan hewan yang mengakibatkan cacat dan/atau tidak produktif, sebagaimana diatur dalam Pasal 66A ayat (1) UU 41/2014 . Adapun orang yang melanggar Pasal 66A ayat (1) UU 41/2014 dipidana dengan pidana kurungan paling singkat 1 bulan dan paling lama 6 bulan dan denda paling sedikit Rp1 juta dan paling banyak Rp5 juta . [13] Sebagai informasi, pada praktiknya, penegak hukum dapat mengenakan pasal-pasal berlapis terhadap suatu tindak pidana yang memenuhi unsur-unsur perbuatan penganiayaan yang menyebabkan matinya hewan, sebagaimana diatur dalam KUHP atau UU 1/2023, dan memenuhi unsur-unsur tindak pidana UU 41/2014. Artinya, bila memang unsur-unsur tindak pidananya terpenuhi, penegak hukum dapat menggunakan pasal-pasal tersebut, atau penegak hukum dapat mengajukan dakwaan secara alternatif . Berdasarkan artikel Bentuk-bentuk Surat Dakwaan , dakwaan alternatif digunakan jika belum didapat kepastian tentang tindak pidana mana yang paling tepat dapat dibuktikan. : Surat Dakwaan: Pengertian, Fungsi, dan Jenisnya Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. Dasar Hukum : Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ; Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan ; Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2009 Tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan ; Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ; Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja Menjadi Undang-undang ; Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja ; Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2012 tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda Dalam KUHP . Referensi : Jeremia Pinontoan (et.al). Penganiayaan Hewan (Pasal 302, 540, 541, 544 KUHP) Sebagai Delik Terhadap Perasaan Kepatutan . Jurnal Lex Administratum, Vol. IX, No. 4, April 2021; Moeljatno. Azas-azas Hukum Pidana, cet.2 . Jakarta: Bina Aksara, 1984; S.R. Sianturi. Tindak Pidana di KUHP Berikut Uraiannya . Jakarta: Alumni AHM-PTHM, 1983. [1] Pasal 624 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“UU 1/2023”) [2] Pasal 3 Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2012 tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda dalam KUHP (“Perma 2/2012”) denda dilipatgandakan menjadi 1000 kali [3] Pasal 3 Perma 2/2012 [4] Pasal 79 ayat (1) huruf b UU 1/2023 [5] Pasal 79 ayat (1) huruf c UU 1/2023 [6] S.R. Sianturi. Tindak Pidana di KUHP Berikut Uraiannya . Jakarta: Alumni AHM-PTHM, 1983, hal. 272 [7] Moeljatno. Azas-Azas Hukum Pidana, cet. 2 . Jakarta: Bina Aksara, 1984, hal. 177 [8] S.R. Sianturi. Tindak Pidana di KUHP Berikut Uraiannya . Jakarta: Alumni AHM-PTHM, 1983, hal. 273-274 [9] S.R. Sianturi. Tindak Pidana di KUHP Berikut Uraiannya . Jakarta: Alumni AHM-PTHM, 1983, hal. 273-274 [10] S.R. Sianturi. Tindak Pidana di KUHP Berikut Uraiannya . Jakarta: Alumni AHM-PTHM, 1983, hal. 273-274 [11] Jeremia Pinontoan (et.al). Penganiayaan Hewan (Pasal 302, 540, 541, 544 KUHP) Sebagai Delik Terhadap Perasaan Kepatutan . Jurnal Lex Administratum, Vol. IX, No. 4, April 2021, hal. 219 [12] Jeremia Pinontoan (et.al). Penganiayaan Hewan (Pasal 302, 540, 541, 544 KUHP) Sebagai Delik Terhadap Perasaan Kepatutan . Jurnal Lex Administratum, Vol. IX/No. 4/Apr/EK/2021, hal. 219 [13] Pasal 91B ayat (1) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2009 Tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan TAGS hewan hewan peliharaan penganiayaan | {4: 'Undang-Undang ini mulai berlaku setelah 3 (tiga) tahun terhitung sejak tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.', 258: 'Tiap jumlah maksimum hukuman denda yang diancamkan dalam KUHPkecuali pasal 303 ayat 1 dan ayat 2, 303 bis ayat 1 dan ayat 2, dilipatgandakan menjadi 1.000 (seribu) kall,', 259: 'Tiap jumlah maksimum hukuman denda yang diancamkan dalam KUHPkecuali pasal 303 ayat 1 dan ayat 2, 303 bis ayat 1 dan ayat 2, dilipatgandakan menjadi 1.000 (seribu) kall,', 37: "['(1) pidana denda paling banyak ditetapkan berdasarkan: a. kategori i, rp1.000.000,00 (satu juta rupiah); b. kategori ii, rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah); c. kategori iii, rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah); d. kategori iv, rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah); e. kategori v, rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah); f. kategori vi, rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah); g. kategori vii, rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah); dan h. kategori viii, rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah).']", 25: "['(1) pidana denda paling banyak ditetapkan berdasarkan: a. kategori i, rp1.000.000,00 (satu juta rupiah); b. kategori ii, rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah); c. kategori iii, rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah); d. kategori iv, rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah); e. kategori v, rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah); f. kategori vi, rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah); g. kategori vii, rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah); dan h. kategori viii, rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah).']", 260: 'Sianturi, berkenaan dengan subjek atau pelaku dalam Pasal 302 ayat (1) ke-2 KUHP, adanya pembatasan terhadap subjek/pelaku yang bersangkutan, yaitu:Petindak itu adalah juga pemilik hewan itu seluruhnya atau sebagian dan berada dalam pengawasannya. Jika ia adalah pemilik tetapi dititipkan kepada tetangganya, maka jika ia menyakiti hewan tersebut, kepadanya diterapkan Pasal 302 ayat (1) ke-1 KUHP, karena untuk ayat (1) ke-1 tidak dipersoalkan siapa pemiliknya. Petindak bukan pemilik yang sebenarnya dari hewan itu tetapi karena dititipkan atau diserahkan kepadanya ataupun dia temukan hewan itu lalu dipeliharanya, maka wajib ia pelihara untuk seterusnya. Kapan kewajibannya berakhir untuk memelihara hewan itu dalam banyak hal diserahkan kepada pertimbangan dan kearifan hakim.', 261: 'Pengertian kesengajaan telah dikembangkan lebih lanjut sehingga dikenal adanya tiga bentuk kesengajaan, yaitu:[7]kesengajaan sebagai maksud;kesengajaan sebagai kepastian, keharusan; dolus eventualis.', 262: 'S.R. Sianturi memberi beberapa contoh yang pada umumnya tidak dapat diterima oleh masyarakat, yaitu: a) menguliti kelinci yang masih hidup, b) mencambuki kuda beban, kuda tarik (kuda andong) yang sudah sangat kelelahan. Sedangkan yang pada umumnya masih dapat diterima sebagai memiliki tujuan yang patut, menurut S.R. Sianturi, yaitu: a) “menyakiti” dalam rangka penelitian secara ilmiah (vivi sectie), atau b) dalam rangka mempercepat pertumbuhannya, memotong ekor ikan mas, atau c) untuk memperindah binatang, memotong ekor dari anjing atau kuda. R. Soesilo memberi contoh hal yang umumnya diizinkan, sehingga tidak dikenakan Pasal 302 KUHP ini, seperti: a) memotong ekor atau kuping anjing supaya kelihatan bagus; b) mengebiri binatang dengan maksud baik yang tertentu; c) mengajar binatang dengan memakai daya upaya sedikit menyakiti pada binatang untuk sirkus; d) mempergunakan macam-macam binatang untuk percobaan dalam ilmu kedokteran (vivisectie).16 4) unsur tindakan: menyakiti, melukai atau merugikan kesehatan hewan (ayat 1) atau tidak memberi 15 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5076). 16 R. Soesilo, Loc.cit. Lex Administratum, Vol. IX/No. 4/Apr/EK/2021 219 kebutuhan hidup yang diperlukan untuk hidup (ayat 2) Beberapa contoh tindakan menyakiti, melukai atau kerugikan kesehatan hewan, dikemukakan oleh S.R. Sianturi: a) seorang pegawai Kebun Binatang yang menyakiti, melukai atau merugikan kesehatan seekor binatang/hewan di kebun binatang tersebut, kepadanya diterapkan pasal ini; b) dokter hewan yang dengan sengaja memberi obat yang salah kepada seekor hewan pasiennya, sehingga merugikan kesehatan hewan tersebut, kepadanya dapat diterapkan pasal ini. ;; penganiayaan hewan dalam hal tindakan tersebut mengakibatkan hewan menjadi: sakit lebih dari seminggu; atau cacat; atau menderita luka-luka berat lainnya; atau mati. apabila hewan terbukti bersalah, maka hewan terkait dapat dirampas. ;; percobaan melakukan penganiayaan terhadap hewan tidak dipidana', 263: '[10] Adapun penganiayaan hewan yang terjadi dalam Pasal 302 ayat (2) KUHP menitikberatkan pada akibat yang terjadi pada hewan, sebagaimana ditentukan sebagai penganiayaan hewan dalam hal tindakan tersebut mengakibatkan hewan menjadi: sakit lebih dari seminggu; atau cacat; atau menderita luka-luka berat lainnya; atau mati.', 264: 'Artikel Jeremia Pinontoan dkk. dalam Jurnal Lex Administratum, Volume IX Nomor 4 April 2021, berjudul "Penganiayaan Hewan (Pasal 302, 540, 541, 544 KUHP) Sebagai Delik Terhadap Perasaan Kepatutan" membahas penganiayaan hewan sebagai tindak pidana yang melanggar rasa kepatutan. Artikel ini menganalisis berbagai pasal dalam KUHP lama yang relevan, termasuk Pasal 302, yang mengatur tentang penganiayaan hewan secara umum, dan pasal-pasal lainnya yang mungkin terkait dengan konteks penganiayaan hewan tergantung pada jenis hewan, tingkat keparahan, dan akibat yang ditimbulkan. Penulis menelaah unsur-unsur pidana dalam pasal-pasal tersebut serta implikasi hukumnya.', 265: '(1) Setiap Orang yang menganiaya dan/ atau menyalahgunakan Hewan sehingga mengakibatkan cacat dan/atau tidak produktif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66A ayat (1) dipidana dengan pidana kurungan paling singkat 1 (satu) bulan dan paling lama 6 (enam) bulan dan denda paling sedikit Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah) dan paling banyak Rp5.000.000,00 (lima juta rupiah).'} |
Apa bunyi Pasal 390 KUHP? Apakah Pasal 390 KUHP mengatur tentang perbuatan menyiarkan kabar bohong? Jika benar, apa unsur-unsur Pasal 390 KUHP? | ULASAN LENGKAP Artikel ini dibuat berdasarkan KUHP lama dan UU 1/2023 tentang KUHP yang diundangkan pada tanggal 2 Januari 2023. . Isi Pasal 390 KUHP Pada dasarnya, seseorang yang menyiarkan berita bohong dapat dihukum berdasarkan Pasal 390 KUHP lama yang saat artikel ini diterbitkan masih berlalu. Berikut adalah bunyi Pasal 390 KUHP: Barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, dengan menyiarkan kabar bohong yang menyebabkan harga barang-barang dagangan, dana-dana atau surat-surat berharga menjadi turun atau naik diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan. Unsur-unsur Pasal 390 KUHP Dari bunyi Pasal 390 KUHP di atas, setidaknya terdapat beberapa unsur sebagai berikut: barang siapa; dengan maksud dan secara melawan hukum; menguntungkan diri sendiri atau orang lain; menyiarkan kabar bohong; perbuatan menyiarkan kabar bohong menyebabkan harga barang-barang dagangan, dana-dana atau surat-surat berharga menjadi turun atau naik. Kemudian, menurut R. Soesilo dalam bukunya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal (hal. 269), terdakwa hanya dapat dihukum dengan Pasal 390 KUHP, apabila ternyata bahwa kabar yang disiarkan itu adalah kabar bohong. Yang dipandang sebagai kabar bohong, tidak saja memberitahukan suatu kabar yang kosong, akan tetapi juga menceritakan secara tidak betul tentang suatu kejadian . Bunyi Pasal 506 UU 1/2023 Selain diatur dalam KUHP lama, tindak pidana menyiarkan berita bohong juga diatur di dalam Pasal 506 UU 1/2023 tentang KUHP baru yang berlaku 3 tahun sejak tanggal diundangkan, [1] yaitu tahun 2026, sebagai berikut: Setiap Orang yang dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, menyiarkan kabar bohong yang mengakibatkan naik atau turunnya harga Barang dagangan, dana, transaksi keuangan, atau Surat berharga dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau pidana denda paling banyak kategori IV. Denda paling banyak kategori IV sebagaimana tertuang di dalam pasal di atas adalah senilai Rp200 juta. [2] Adapun yang dimaksud dengan "kabar bohong" adalah tidak hanya pemberitahuan palsu tentang suatu fakta tetapi juga pemberitahuan palsu tentang suatu keuntungan yang dapat diharapkan , sebagaimana diatur dalam Penjelasan Pasal 506 UU 1/2023 . Berdasarkan bunyi pasal-pasal di atas, perbuatan menyiarkan kabar bohong tersebut menyebabkan harga barang-barang dagangan , dana-dana atau surat- surat berharga , maupun transaksi keuangan menjadi turun atau naik . Lantas, adakah hukum yang bisa menjerat penyebar berita bohong yang tidak mengakibatkan turun atau naiknya hal-hal tersebut? Bunyi Pasal 263 dan 264 UU 1/2023 Berdasarkan penelusuran kami, dalam UU 1/2023 terdapat pasal tentang penyiaran atau penyebarluasan berita/pemberitahuan bohong yang mengakibatkan kerusuhan dalam masyarakat , sebagaimana diatur dalam Pasal 263 sebagai berikut: Setiap orang yang menyiarkan atau menyebarluaskan berita atau pemberitahuan padahal diketahuinya bahwa berita atau pemberitahuan tersebut bohong yang mengakibatkan kerusuhan dalam masyarakat , dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 tahun atau pidana denda paling banyak kategori V, yaitu Rp500 juta. [3] Setiap orang yang menyiarkan atau menyebarluaskan berita atau pemberitahuan padahal patut diduga bahwa berita atau pemberitahuan tersebut adalah bohong yang dapat mengakibatkan kerusuhan dalam masyarakat , dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 tahun atau pidana denda paling banyak kategori IV, yaitu Rp200 juta. [4] Sedangkan menurut Pasal 264 UU 1/2023 , setiap orang yang menyiarkan berita yang tidak pasti , berlebih-lebihan , atau yang tidak lengkap sedangkan diketahuinya atau patut diduga , bahwa berita demikian dapat mengakibatkan kerusuhan di masyarakat , dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 tahun atau pidana denda paling banyak kategori III, yaitu Rp50 juta. [5] Demikian jawaban kami, semoga bermanfaat. Dasar Hukum : Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ; Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana . Referensi : R. Soesilo. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal. Bogor: Politeia, 1991. [1] Pasal 624 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“UU 1/2023”) [2] Pasal 79 ayat (1) huruf d UU 1/2023 [3] Pasal 79 ayat (1) huruf e UU 1/2023 [4] Pasal 79 ayat (1) huruf d UU 1/2023 [5] Pasal 79 ayat (1) huruf c UU 1/2023 TAGS potd kuhp hoax berita bohong | {4: 'Undang-Undang ini mulai berlaku setelah 3 (tiga) tahun terhitung sejak tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.', 6: "['(1) pidana denda paling banyak ditetapkan berdasarkan: a. kategori i, rp1.000.000,00 (satu juta rupiah); b. kategori ii, rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah); c. kategori iii, rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah); d. kategori iv, rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah); e. kategori v, rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah); f. kategori vi, rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah); g. kategori vii, rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah); dan h. kategori viii, rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah).']", 7: "['(1) pidana denda paling banyak ditetapkan berdasarkan: a. kategori i, rp1.000.000,00 (satu juta rupiah); b. kategori ii, rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah); c. kategori iii, rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah); d. kategori iv, rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah); e. kategori v, rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah); f. kategori vi, rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah); g. kategori vii, rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah); dan h. kategori viii, rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah).']", 25: "['(1) pidana denda paling banyak ditetapkan berdasarkan: a. kategori i, rp1.000.000,00 (satu juta rupiah); b. kategori ii, rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah); c. kategori iii, rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah); d. kategori iv, rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah); e. kategori v, rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah); f. kategori vi, rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah); g. kategori vii, rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah); dan h. kategori viii, rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah).']"} |
Izin bertanya, tembok rumah saya dipasangi banner peringatan kemerdekaan oleh warga dengan alasan rumah saya strategis untuk dilihat warga. Namun pemasangan tersebut dilakukan dengan cara dipaku di tembok rumah saya, sehingga tembok dan cat rumah saya terkelupas. Pemasangan tersebut juga tidak seizin saya sebagai pemilik rumah dan tidak ada dana ganti rugi/pertanggungjawaban untuk memperbaiki semen dan cat tembok. Apakah hal tersebut termasuk pelanggaran hukum? | ULASAN LENGKAP Artikel ini dibuat berdasarkan KUHP lama dan UU 1/2023 tentang KUHP yang diundangkan pada tanggal 2 Januari 2023. Seluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata – mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihat Pernyataan Penyangkalan selengkapnya). . Menghancurkan atau Merusak Barang Terkait dengan situasi Anda, kami berpandangan bahwa meski pemasangan banner oleh warga di lingkungan rumah Anda dilakukan atas dasar semangat memperingati HUT Kemerdekaan Republik Indonesia, namun tetap harus menghormati hak-hak yang dimiliki oleh orang lain. Selain itu, benar bahwa tindakan memasang banner peringatan HUT Kemerdekaan di tembok rumah Anda tanpa izin merupakan suatu pelanggaran hukum dan dapat dijerat pidana. Merusak tembok rumah orang lain termasuk dalam bentuk tindakan perusakan barang milik orang lain sebagaimana diatur di dalam Pasal 406 ayat (1) dan Pasal 407 ayat (1) KUHP lama yang masih berlaku pada saat artikel ini diterbitkan, atau Pasal 521 UU 1/2023 tentang KUHP baru yang mulai berlaku 3 tahun terhitung sejak tanggal diundangkan, [1] yakni pada tahun 2026. KUHP Pasal 521 UU 1/2023 Pasal 406 ayat (1) KUHP Barang siapa dengan sengaja dan melawan hukum menghancurkan, merusakkan , membikin tak dapat dipakai atau menghilangkan barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian milik orang lain , diancam dengan pidana penjara paling lama 2 tahun atau pidana denda paling banyak Rp4 juta. [2] Pasal 407 ayat (1) KUHP Perbuatan yang dirumuskan dalam Pasal 406, jika harga kerugian tidak lebih dari Rp2,5 juta [3] diancam dengan pidana penjara paling lama 3 bulan atau pidana denda paling banyak Rp2,5 juta. [4] Pasal 521 UU 1/2023 1. Setiap orang yang secara melawan hukum merusak , menghancurkan, membuat tidak dapat dipakai, atau menghilangkan barang yang gedung atau seluruhnya milik orang lain , dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 tahun 6 bulan atau pidana denda paling banyak kategori IV, yaitu sebesar Rp200 juta. [5] 2. Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan kerugian yang nilainya tidak lebih dari Rp500 ribu, pelaku tindak pidana dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 bulan atau denda paling banyak kategori II, yaitu sebesar Rp10 juta. [6] Disarikan dari artikel Hukumnya Jika Merusak Barang Orang Lain Tanpa Sengaja , unsur-unsur dari Pasal 406 ayat (1) KUHP antara lain: barang siapa; dengan sengaja dan melawan hukum; melakukan perbuatan menghancurkan, merusakkan, membuat tidak dapat dipakai atau menghilangkan barang sesuatu; barang tersebut seluruhnya atau sebagian adalah milik orang lain. Terkait penjelasan Pasal 406 ayat (1) KUHP ini, R. Soesilo dalam bukunya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal (hal. 279) menjelaskan bahwa supaya dapat dihukum menurut pasal ini harus dibuktikan: bahwa terdakwa telah membinasakan, merusak , membuat sehingga tidak dapat dipakai lagi atau menghilangkan sesuatu barang; bahwa pembinasaan dan yang lainnya itu harus dilakukan dengan sengaja dan dengan melawan hak ; bahwa barang itu harus sama sekali atau sebagian kepunyaan orang lain . Selanjut, R. Soesilo menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan: membinasakan adalah menghancurkan atau merusak sama sekali, misalnya membanting gelas, cangkir, tempat bunga sehingga hancur. merusakkan adalah kurang dari pada membinasakan, misalnya memukul gelas, piring, cangkir dan sebagainya, tidak sampai hancur, akan tetapi hanya pecah sedikit dan retak atau hanya putus pegangannya . membuat sehingga tidak dapat dipakai lagi adalah tindakan itu harus demikian rupa, sehingga barang itu tidak dapat diperbaiki lagi. Jika melepaskan roda kendaraan dengan mengulir sekrupnya, belum berarti membuat sehingga tidak dapat dipakai lagi karena dengan jalan memasang kembali roda itu masih dapat dipakai. menghilangkan adalah membuat sehingga barang itu tidak ada lagi, misalnya dibakar sampai habis, dibuang dikali atau laut sehingga hilang. Namun, jika kerugian yang diakibatkan dari pemasangan banner pada tembok Anda kurang dari Rp2,5 juta, maka dapat dikategorikan sebagai kejahatan ringan dan dapat dijerat dengan Pasal 407 ayat (1) KUHP (hal. 280). Adapun berdasarkan Penjelasan Pasal 521 ayat (1) UU 1/2023 yang dimaksud dengan “merusak” adalah membuat tidak dapat dipakai untuk sementara waktu, artinya apabila barang itu diperbaiki maka dapat dipakai lagi. Selain itu, terdapat juga yang dimaksud dengan “menghancurkan” adalah membinasakan atau merusakkan sama sekali sehingga tidak dapat dipakai lagi. Terhadap tindakan memasang banner pada tembok rumah Anda, menurut hemat kami berpotensi dipidana dengan Pasal 406 ayat (1) atau Pasal 521 UU 1/2023. Hal ini karena tindakan pemasangan banner pada tembok rumah Anda dilakukan dengan sengaja dan melawan hukum karena tidak memiliki izin dari Anda sebagai pemilik yang mengakibatkan tembok rumah Anda menjadi rusak. Oleh karena itu, tindakan pemasangan banner di tembok rumah Anda memenuhi unsur-unsur pasal tersebut. : Perbedaan ‘Sengaja’ dan ‘Tidak Sengaja’ dalam Hukum Pidana Akan tetapi, jika harga kerugian tidak lebih dari Rp2,5 juta, maka orang yang menempelkan banner di tembok rumah Anda dapat dijerat dengan Pasal 407 ayat (1) KUHP . Perbuatan Melawan Hukum Selain penyelesaian melalui hukum pidana, kerugian yang Anda derita akibat tindakan pemasangan banner di tembok rumah Anda tanpa izin, juga dapat diselesaikan melalui jalur hukum Perdata. Anda sebagai pemilik rumah dapat menggugat orang yang memasang banner di tembok rumah Anda tanpa izin atas dasar perbuatan melawan hukum (“PMH”) . Adapun, ketentuan mengenai PMH diatur dalam Pasal 1365 KUH Perdata yang berbunyi: Tiap perbuatan yang melanggar hukum dan membawa kerugian kepada orang lain , mewajibkan orang yang menimbulkan kerugian itu karena kesalahannya untuk menggantikan kerugian tersebut. Lebih lanjut, Mariam Darus Badrulzaman dalam bukunya Hukum Perikatan dalam KUH Perdata Buku Ketiga Yurisprudensi, Doktrin, serta Penjelasannya (hal. 147) menerangkan bahwa unsur-unsur Pasal 1365 KUH Perdata adalah sebagai berikut: ada perbuatan, baik yang bersifat positif maupun negatif; perbuatan itu harus melawan hukum; ada kerugian; ada hubungan sebab akibat antara perbuatan melawan hukum itu dengan kerugian; ada kesalahan ( schuld ). Penjelasan lebih lanjut mengenai PMH dapat Anda baca pada artikel Perbedaan Wanprestasi dan Perbuatan Melawan Hukum . Walaupun Anda dapat menyelesaikan masalah ini melalui jalur hukum, namun kami menyarankan Anda untuk mengutamakan penyelesaian masalah ini secara kekeluargaan terlebih dahulu , dengan harapan dapat menciptakan kehidupan bermasyarakat yang harmonis. Selain itu, mengingat terdapat asas ultimum remedium yang menyatakan bahwa hukum pidana sebagai pilihan terakhir dalam penegakan hukum . Perkaya riset hukum Anda dengan analisis hukum terbaru dwibahasa, serta koleksi terjemahan peraturan yang terintegrasi dalam Hukumonline Pro, pelajari lebih lanjut di sini . Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. Dasar Hukum: Kitab Undang-Undang Hukum Perdata ; Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ; Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ; Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2012 tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda dalam KUHP . Referensi: Mariam Darus Badrulzaman. Hukum Perikatan dalam KUH Perdata Buku Ketiga Yurisprudensi, Doktrin, serta Penjelasan . Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2015; Soesilo. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal . Bogor: Politeia, 1991. [1] Pasal 624 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“UU 1/2023”) [2] Pasal 3 Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2012 tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda dalam KUHP (“Perma 2/2012”) [3] Pasal 1 Perma 2/2012 [4] Pasal 1 Perma 2/2012 [5] Pasal 79 ayat (1) huruf d UU 1/2023 [6] Pasal 79 ayat (1) huruf b UU 1/2023 TAGS pmh perbuatan melawan hukum rusak | {4: 'Undang-Undang ini mulai berlaku setelah 3 (tiga) tahun terhitung sejak tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.', 266: 'Tiap jumlah maksimum hukuman denda yang diancamkan dalam KUHPkecuali pasal 303 ayat 1 dan ayat 2, 303 bis ayat 1 dan ayat 2, dilipatgandakan menjadi 1.000 (seribu) kall,', 267: 'Tiap jumlah maksimum hukuman denda yang diancamkan dalam KUHPkecuali pasal 303 ayat 1 dan ayat 2, 303 bis ayat 1 dan ayat 2, dilipatgandakan menjadi 1.000 (seribu) kall,', 6: "['(1) pidana denda paling banyak ditetapkan berdasarkan: a. kategori i, rp1.000.000,00 (satu juta rupiah); b. kategori ii, rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah); c. kategori iii, rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah); d. kategori iv, rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah); e. kategori v, rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah); f. kategori vi, rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah); g. kategori vii, rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah); dan h. kategori viii, rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah).']", 37: "['(1) pidana denda paling banyak ditetapkan berdasarkan: a. kategori i, rp1.000.000,00 (satu juta rupiah); b. kategori ii, rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah); c. kategori iii, rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah); d. kategori iv, rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah); e. kategori v, rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah); f. kategori vi, rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah); g. kategori vii, rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah); dan h. kategori viii, rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah).']"} |
Apabila seorang koruptor atas inisiatifnya sendiri mengembalikan uang yang telah dia korupsi sebelum putusan pengadilan, apakah kasus koruptor tersebut masih dilakukan proses hukumnya sampai putusan pengadilan ataukah dibebaskan karena telah mengembalikan uang yang telah dikorupsi tersebut? | ULASAN LENGKAP dari artikel dengan judul Apakah Kasus Korupsi Dihentikan Bila Terdakwa Mengembalikan Keuangan Negara? yang dibuat oleh Tri Jata Ayu Pramesti, S.H. dan pertama kali dipublikasikan pada 18 Januari 2016. Artikel ini dibuat berdasarkan KUHP lama dan UU 1/2023 tentang KUHP yang diundangkan pada tanggal 2 Januari 2023. . Pengembalian Kerugian Negara dalam Kasus Korupsi Salah satu unsur tindak pidana korupsi adalah adanya kerugian keuangan negara atau perekonomian negara yang secara mendasar diatur di dalam Pasal 2 dan Pasal 3 UU 31/1999 jo. Putusan MK No. 25/PUU-XIV/2016 , sebagai berikut: Pasal 2 UU 31/1999 jo. Putusan MK No. 25/PUU-XIV/2016 Pasal 3 UU 31/1999 jo. Putusan MK No. 25/PUU-XIV/2016 (1) Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang merugikan keuangan negara atau perekonomian negara , dipidana penjara dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 20 tahun dan denda paling sedikit Rp200 juta dan paling banyak Rp1 miliar. (2) Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan. Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang merugikan keuangan negara atau perekonomian negara , dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 tahun dan paling lama 20 tahun dan atau denda paling sedikit Rp50 juta dan paling banyak Rp1 miliar. Secara historis, ada kata "dapat" pada bunyi Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU 31/1999, sehingga dulunya berbunyi “ yang dapat merugikan keuangan negara”. Namun, kata “dapat” tersebut telah dinyatakan inkonstitusional berdasarkan Putusan MK No. 25/PUU-XIV/2016. Sebelum adanya putusan MK, kedua delik tersebut dikonstruksikan secara formil. Namun, kini telah menjadi delik materiil, sehingga suatu perbuatan dikualifikasikan sebagai tindak pidana korupsi apabila secara nyata menimbulkan kerugian negara atau perekonomian negara . : Apa Perbedaan Delik Formil dan Delik Materiil? Adapun, pengembalian kerugian negara merupakan suatu upaya yang dilakukan untuk memulihkan kembali perekonomian negara akibat perbuatan tindak pidana korupsi . [1] Upaya pengembalian kerugian negara tersebut dilakukan dengan pengenaan sanksi pidana pokok berupa denda kepada terdakwa kasus korupsi seperti yang telah tercantum di dalam pasal-pasal UU 31/1999 sebagaimana diubah dengan UU 20/2001 . Di samping itu, hakim juga dapat menjatuhkan pidana tambahan berupa perampasan barang, pembayaran uang pengganti, dan penyitaan harta benda . Hal ini diatur dalam Pasal 18 UU 31/1999 yang menyatakan bahwa: Selain pidana tambahan sebagaimana dimaksud dalam KUHP , pidana tambahan juga termasuk: perampasan barang bergerak yang berwujud atau yang tidak berwujud atau barang tidak bergerak yang digunakan untuk atau yang diperoleh dari tindak pidana korupsi, termasuk perusahaan milik terpidana di mana tindak pidana korupsi dilakukan, begitu pula dari barang yang menggantikan barang-barang tersebut; pembayaran uang pengganti yang jumlahnya sebanyak-banyaknya sama dengan harta benda yang diperoleh dari tindak pidana korupsi; penutupan seluruh atau sebagian perusahaan untuk waktu paling lama 1 tahun; pencabutan seluruh atau sebagian hak-hak tertentu atau penghapusan seluruh atau sebagian keuntungan tertentu, yang telah atau dapat diberikan oleh pemerintah kepada terpidana. Jika terpidana tidak membayar uang pengganti dalam waktu 1 bulan sesudah putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, maka harta bendanya dapat disita oleh jaksa dan dilelang untuk menutupi uang pengganti tersebut . Dalam hal terpidana tidak mempunyai harta benda yang mencukupi untuk membayar uang pengganti, maka dipidana penjara yang lamanya tidak melebihi ancaman maksimum dari pidana pokoknya sesuai dengan ketentuan dalam UU 31/1999 jo. UU 20/2001 dan lamanya pidana tersebut sudah ditentukan dalam putusan pengadilan. Kembalikan Kerugian Negara, Bisakah Koruptor Bebas dari Jerat Pidana? Menjawab pertanyaan Anda mengenai bagaimana jika terdakwa atas inisiatifnya sendiri mengembalikan uang yang telah ia korupsi sebelum putusan pengadilan, apakah perkara korupsi tersebut bisa dihentikan dan pelaku bebas dari jerat pidana? Pasal 4 UU 31/1999 secara jelas mengatur bahwa pengembalian kerugian keuangan negara atau perekonomian negara tidak menghapuskan dipidananya pelaku tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 3. Lebih lanjut, dalam Penjelasan Pasal 4 UU 31/1999 , ditegaskan sebagai berikut: Dalam hal pelaku tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan pasal 3 telah memenuhi unsur-unsur pasal dimaksud, maka pengembalian kerugian keuangan negara atau perekonomian negara, tidak menghapuskan pidana terhadap pelaku tindak pidana tersebut. Pengembalian kerugian keuangan negara atau perekonomian negara hanya merupakan salah satu faktor yang meringankan . Berdasarkan ketentuan tersebut, maka meskipun uang hasil tindak pidana korupsi dikembalikan oleh terdakwa sebelum perkaranya diputus, namun proses hukum tetap dijalankan. Adapun, pengembalian kerugian negara dapat menjadi faktor yang meringankan bagi terdakwa atas hukuman yang dijatuhkan oleh hakim terhadapnya. Sebagai contoh, majelis hakim dalam pertimbangan hukum Putusan PN Kupang No. 53/Pid.Sus-TPK/2015/PN.Kpg (hal. 132) menyatakan bahwa karena terdakwa telah mengembalikan kerugian keuangan negara sejumlah Rp100 juta, maka hal tersebut menjadi iktikad baik terdakwa dan akan dipertimbangkan sebagai hal yang meringankan diri terdakwa. Kemudian, majelis hakim menjatuhkan putusan terhadap terdakwa dengan pidana penjara selama 1 tahun 10 bulan. Sedangkan, sebelumnya Jaksa Penuntut Umum dalam tuntutannya mengajukan agar terdakwa dijatuhkan hukuman pidana penjara selama 2 tahun 6 bulan (hal. 2, 133 – 134). Meskipun di dalam UU 31/1999 dan perubahannya diatur mengenai pengembalian kerugian negara tidak menghapuskan pertanggungjawaban pidana, namun bukan berarti terdakwa kehilangan haknya untuk melakukan pembelaan diri. Dalam teori pertanggungjawaban pidana ( toerekenbaarheid ) terdapat alasan penghapus pidana yang meliputi alasan pembenar dan alasan pemaaf, sebagai faktor yang menentukan apakah terdakwa dipidana (dijatuhi hukuman) atau tidak. Alasan-alasan penghapus pidana tersebut tertuang dalam Pasal 44, Pasal 45, Pasal 48, Pasal 49, Pasal 50, dan Pasal 51 KUHP lama yang masih berlaku pada saat artikel ini diterbitkan atau Pasal 31 s.d. Pasal 34 , Pasal 38 s.d. Pasal 44 UU 1/2023 tentang KUHP baru yang berlaku 3 tahun sejak tanggal diundangkan yaitu tahun 2026. [2] Salah satunya adalah karena adanya daya paksa atau dalam keadaan darurat. [3] Anda dapat membaca artikel Pasal 44 KUHP Lama tentang Alasan Pemaaf Tindak Pidana dan Daya Paksa dan Pembelaan Terpaksa sebagai Alasan Penghapus Pidana untuk mendalami alasan penghapus pidana. Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. Dasar Hukum : Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ; Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi ; Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2021 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi ; Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana . Putusan : Putusan Pengadilan Negeri Kupang Nomor 53/Pid.Sus-TPK/2015/PN.Kpg ; Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 25/PUU-XIV/2016 . Referensi : Yayan Indriana. Pengembalian Ganti Rugi Keuangan Negara pada Perkara Tindak Pidana Korupsi . Jurnal CEPALO, Vol. 2 No. 2, Juli-Desember 2018. [1] Yayan Indriana. Pengembalian Ganti Rugi Keuangan Negara pada Perkara Tindak Pidana Korupsi . Jurnal CEPALO, Vol. 2 No. 2, Juli-Desember 2018, hal. 122 [2] Pasal 624 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“UU 1/2023”) [3] Pasal 48 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana atau Pasal 33 UU 1/2023 TAGS korupsi hukumonline kerugian negara putusan pengadilan hukum klinik klinik hukumonline koruptor | {268: 'Adapun, pengembalian kerugian negara merupakan suatu upaya yang dilakukan untuk memulihkan kembali perekonomian negara akibat perbuatan tindak pidana korupsi.', 4: 'Undang-Undang ini mulai berlaku setelah 3 (tiga) tahun terhitung sejak tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.', 269: 'pasal 48 tindak pidana oleh korporasi sebagaimana dimaksud dalam pasal 46 dan pasal 47 dapat dipertanggungjawabkan, jika: a. termasuk dalam lingkup usaha atau kegiatan sebagaimana ditentukan dalam anggaran dasar atau ketentuan lain yang berlaku bagi korporasi; b. menguntungkan korporasi secara melawan hukum; c. diterima sebagai kebijakan korporasi; d. korporasi tidak melakukan langkah-langkah yang diperlukan untuk melakukan pencegahan, mencegah dampak yang lebih besar dan memastikan kepatuhan terhadap ketentuan hukum yang berlaku guna menghindari terjadinya tindak pidana; dan/atau e. korporasi membiarkan terjadinya tindak pidana.'} |
Apa itu delik formil dan delik materil? Adakah tips untuk membedakan suatu pasal pidana apakah itu masuk delik formil atau delik materil? Misalnya dari rumusan pasal, ada kata kunci tertentu yang menjadi acuan. Bagaimana cara membedakan delik formil dan delik materil? | ULASAN LENGKAP Terimakasih atas pertanyaan Anda. dari artikel dengan judul Cara Membedakan Delik Formil dan Delik Materil yang dibuat oleh Yuda Pencawan, S.H. dari Lembaga Bantuan Hukum Mawar Saron yang pertama kali dipublikasikan pada 9 Mei 2016. Artikel ini dibuat berdasarkan KUHP lama dan UU 1/2023 tentang KUHP yang diundangkan pada tanggal 2 Januari 2023. . Apa itu Delik? Sebelumnya, penting untuk kita ketahui bahwa delik merupakan istilah yang berasal dari bahasa latin yaitu “ delictum ”. Delik dapat diartikan sebagai tindak pidana, peristiwa pidana, atau perbuatan pidana. [1] Adapun tindak pidana merupakan terjemahan dari bahasa Belanda, yaitu strafbaar feit sebagai suatu perbuatan manusia yang dapat dihukum. [2] Berdasarkan pendapat Pompe yang dikutip Andi Sofyan dan Nur Azisa dalam bukunya buku Hukum Pidana (hal. 98), tindak pidana adalah suatu pelanggaran norma (gangguan terhadap tertib hukum) yang dengan sengaja ataupun tidak dengan sengaja telah dilakukan oleh pelaku, di mana penjatuhan hukuman terhadap pelaku tersebut adalah perlu demi terpeliharanya tertib hukum dan terjaminnya kepentingan umum. Selain itu, mengenai tindak pidana, KUHP lama tidak menjelaskan mengenai apa itu tindak pidana. Sementara dalam UU 1/2023 tentang KUHP baru yang berlaku 3 tahun sejak tanggal diundangkan, [3] yaitu tahun 2026, menjelaskan tentang apa itu tindak pidana. Menurut Pasal 12 ayat (1) UU 1/2023 , tindak pidana adalah perbuatan yang oleh peraturan perundang-undangan diancam dengan sanksi pidana dan/atau tindakan. Untuk dinyatakan sebagai tindak pidana, suatu perbuatan yang diancam dengan sanksi pidana dan/atau tindakan oleh peraturan perundang-undangan harus bersifat melawan hukum atau bertentangan dengan hukum yang hidup dalam masyarakat. [4] Kemudian, setiap tindak pidana bersifat melawan hukum, kecuali ada alasan pembenar. [5] Kemudian, dalam mempelajari delik, kita juga akan diperkenalkan dengan macam-macam delik, antara lain delik formil dan delik materil. Lantas, apa yang dimaksud dengan delik formil dan delik materil? Delik Formil dan Delik Materil P.A.F Lamintang dan Franciscus Theojunior Lamintang dalam bukunya Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia (hal. 212) menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan delik formil adalah delik yang telah selesai dengan dilakukannya tindakan yang dilarang dan diancam dengan hukuman oleh undang-undang . Sedangkan, delik materil adalah delik yang dianggap telah selesai dengan ditimbulkannya akibat yang dilarang dan diancam dengan hukuman oleh undang-undang . Selain itu, Mahrus Ali dalam bukunya Dasar-Dasar Hukum Pidana (hal. 209) mendefinisikan delik formil sebagai perbuatan pidana yang telah dianggap selesai dengan telah dilakukannya perbuatan yang dilarang dalam undang-undang tanpa mempersoalkan akibatnya . Sedangkan delik materil adalah perbuatan pidana yang perumusannya dititikberatkan pada akibat yang dilarang . Menjawab pertanyaan Anda mengenai cara membedakan delik formil dan delik materil, sebagai referensi, kami mengutip pendapat dari Adami Chazawi dalam bukunya Stelsel Pidana, Tindak Pidana, Teori-Teori Pemidanaan & Batas Berlakunya Hukum Pidana (hal. 119), yang menyatakan: Disebut dengan cara formil karena dalam rumusan dicantumkan secara tegas perihal larangan melakukan perbuatan tertentu. Yang menjadi pokok larangan dalam rumusan itu ialah melakukan perbuatan tertentu . Dalam hubungannya dengan selesainya tindak pidana, jika perbuatan yang menjadi larangan itu selesai dilakukan, tindak pidana itu selesai pula tanpa bergantung pada akibat yang timbul dari perbuatan. Sedangkan perumusan dengan cara materil maksudnya ialah yang menjadi pokok larangan tindak pidana ialah pada menimbulkan akibat tertentu, disebut dengan akibat yang dilarang atau akibat konstitutif. Titik beratnya larangan adalah pada menimbulkan akibat , sedangkan wujud perbuatan apa yang menimbulkan akibat itu tidak menjadi persoalan. Dalam hubungannya dengan selesainya tindak pidana, maka untuk selesainya tindak pidana bukan bergantung pada selesainya wujud perbuatan, tetapi bergantung pada apakah dari wujud perbuatan itu akibat yang dilarang telah timbul atau belum. Secara singkat dapat kami simpulkan bahwa, kedua delik tersebut menitikberatkan pada cara merumuskan tindak pidananya. Namun, delik formil tidak mempersoalkan akibat, dengan terjadinya tindak pidana sudah dinyatakan tindak pidana tersebut telah terjadi. Berbeda dengan delik materil, tindak pidana dinyatakan terjadi jika telah ada akibatnya. Contoh Delik Formil dan Delik Materil Untuk mempermudah pemahaman Anda mengenai perbedaan delik formil dan delik materil, kami akan berikan contoh pasal dari delik formil dan delik materil. Pasal delik formil dapat Anda temukan pada Pasal 362 KUHP dan Pasal 476 UU 1/2023 , tentang tindak pidana pencurian , sebagai berikut: Pasal 362 KUHP Pasal 476 UU 1/2023 Barang siapa mengambil barang sesuatu, yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain, dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum, diancam karena pencurian, dengan pidana penjara paling lama 5 tahun atau pidana denda paling banyak Rp900 ribu. [6] Setiap orang yang mengambil suatu barang yang sebagian atau seluruhnya milik orang lain, dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum, dipidana karena pencurian, dengan pidana penjara paling lama 5 tahun atau pidana denda paling banyak kategori V, yaitu sebesar Rp500 juta. [7] Sedangkan untuk pasal delik materil dapat Anda temukan pada Pasal 338 KUHP dan Pasal 458 ayat (1) UU 1/2023 , tentang tindak pidana pembunuhan yang berbunyi: Pasal 338 KUHP Pasal 458 ayat (1) UU 1/2023 Barang siapa dengan sengaja merampas nyawa orang lain, diancam karena pembunuhan dengan pidana penjara paling lama 15 tahun. Setiap orang yang merampas nyawa orang lain, dipidana karena pembunuhan, dengan pidana penjara paling lama 15 tahun. Kesimpulannya, dari contoh pasal delik formil dan delik materil di atas, dalam delik formil misalnya delik pencurian, yang dianggap sebagai pelaku adalah barang siapa mengambil barang sebagian atau seluruhnya milik orang lain dengan maksud memiliki secara melawan hukum . Sebagaimana telah kami jelaskan, dalam delik formil tidak diperlukan adanya akibat, dengan terjadinya tindak pidana, sudah dinyatakan tindak pidana tersebut telah terjadi. Sedangkan pada delik materil, yang dianggap sebagai pelaku adalah barangsiapa yang menimbulkan akibat hilangnya nyawa orang lain . [8] Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. Dasar Hukum : Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ; Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ; Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2012 tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda Dalam KUHP . Referensi : Adami Chazawi. Stelsel Pidana, Tindak Pidana, Teori-Teori Pemidanaan & Batas Berlakunya Hukum Pidana . Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2010. Albert Aries. Hukum Pidana Indonesia Menurut KUHP Lama & KUHP Baru Dilengkapi dengan Asas, Yurisprudensi & Postulat Lain . Depok: Rajawali Press, 2020; Andi Sofyan dan Nur Azisa. Hukum Pidana . Makassar: Pustaka Pena Press, 2016; H. Suyanto. Pengantar Hukum Pidana . Yogyakarta: Penerbit Deepublish, 2018; Joko Sriwidodo. Kajian Hukum Pidana Indonesia: Teori dan Praktek . Yogyakarta: Kepel Press, 2019; Mahrus Ali. Dasar-Dasar Hukum Pidana . Jakarta: Sinar Grafika, 2011; P.A.F Lamintang dan Franciscus Theojunior Lamintang. Dasar-Dasar Hukum Pidana di Indonesia . Jakarta: Sinar Grafika, 2014. [1] Joko Sriwidodo. Kajian Hukum Pidana Indonesia: Teori dan Praktek . Yogyakarta: Kepel Press, 2019, hal. 119 [2] Albert Aries. Hukum Pidana Indonesia Menurut KUHP Lama & KUHP Baru Dilengkapi dengan Asas, Yurisprudensi & Postulat Lain . Depok: Rajawali Press, 2020, hal. 86 [3] Pasal 624 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“UU 1/2023”) [4] Pasal 12 ayat (2) UU 1/2023 [5] Pasal 12 ayat (3) UU 1/2023 [6] Pasal 3 Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2012 tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda Dalam KUHP , denda dikali 1000 [7] Pasal 79 ayat (1) huruf e UU 1/2023 [8] H. Suyanto. Pengantar Hukum Pidana . Yogyakarta: Penerbit Deepublish, 2018, hal. 64 TAGS delik delik formil tindak pidana | {270: 'delik merupakan istilah yang berasal dari bahasa latin yaitu “delictum”. Delik dapat diartikan sebagai tindak pidana, peristiwa pidana, atau perbuatan pidana', 271: '[1] Adapun tindak pidana merupakan terjemahan dari bahasa Belanda, yaitu strafbaar feit sebagai suatu perbuatan manusia yang dapat dihukum.', 4: 'Undang-Undang ini mulai berlaku setelah 3 (tiga) tahun terhitung sejak tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.', 272: "['(1) tindak pidana merupakan perbuatan yang oleh peraturan perundang-undangan diancam dengan sanksi pidana dan/atau tindakan.', '(2) untuk dinyatakan sebagai tindak pidana, suatu perbuatan yang diancam dengan sanksi pidana dan/atau tindakan oleh peraturan perundang-undangan harus bersifat melawan hukum atau bertentangan dengan hukum yang hidup dalam masyarakat.']", 273: "['(1) tindak pidana merupakan perbuatan yang oleh peraturan perundang-undangan diancam dengan sanksi pidana dan/atau tindakan.', '(2) untuk dinyatakan sebagai tindak pidana, suatu perbuatan yang diancam dengan sanksi pidana dan/atau tindakan oleh peraturan perundang-undangan harus bersifat melawan hukum atau bertentangan dengan hukum yang hidup dalam masyarakat.']", 274: 'Tiap jumlah maksimum hukuman denda yang diancamkan dalam KUHPkecuali pasal 303 ayat 1 dan ayat 2, 303 bis ayat 1 dan ayat 2, dilipatgandakan menjadi 1.000 (seribu) kall,', 7: "['(1) pidana denda paling banyak ditetapkan berdasarkan: a. kategori i, rp1.000.000,00 (satu juta rupiah); b. kategori ii, rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah); c. kategori iii, rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah); d. kategori iv, rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah); e. kategori v, rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah); f. kategori vi, rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah); g. kategori vii, rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah); dan h. kategori viii, rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah).']", 275: 'Buku "Pengantar Hukum Pidana" karya H. Suyanto (Penerbit Deepublish, Yogyakarta, 2018) pada halaman 64, membahas bahwa pada delik materil, yang dianggap sebagai pelaku adalah barangsiapa yang menimbulkan akibat hilangnya nyawa orang lain.'} |
Bagaimana sanksi bagi tenaga kesehatan, dalam hal ini perawat yang melakukan perbuatan mesum dengan pasien? | ULASAN LENGKAP dari artikel dengan judul sama yang dibuat oleh Erizka Permatasari, S.H. dan pertama kali dipublikasikan pada 4 Januari 2021. Artikel ini dibuat berdasarkan KUHP lama dan UU 1/2023 tentang KUHP yang diundangkan pada tanggal 2 Januari 2023. . Dasar Hukum Tenaga Keperawatan dalam UU Kesehatan Tenaga kesehatan adalah setiap orang yang mengabdikan diri dalam bidang kesehatan serta memiliki sikap profesional, pengetahuan dan keterampilan melalui pendidikan tinggi yang untuk jenis tertentu memerlukan kewenangan untuk melakukan upaya kesehatan. [1] Adapun tenaga kesehatan dikelompokkan salah satunya ke dalam tenaga keperawatan . [2] Jenis tenaga kesehatan yang termasuk dalam kelompok tenaga keperawatan terdiri atas perawat vokasi, ners, dan ners spesialis. [3] Dalam melakukan praktik, tenaga keperawatan memerlukan registrasi dan perizinan . Mengenai registrasi, tenaga keperawatan wajib untuk memiliki Surat Tanda Registrasi (“STR”) , yaitu bukti tertulis yang diberikan kepada tenaga medis dan tenaga kesehatan yang telah diregistrasi. [4] STR diterbitkan oleh konsil atas nama Menteri Kesehatan setelah memenuhi persyaratan [5] , yang paling sedikit: [6] memiliki ijazah pendidikan di bidang kesehatan dan/atau sertifikat profesi; dan memiliki sertifikat kompetensi. Selain itu, seorang tenaga keperawatan dalam menjalankan praktik keprofesiannya wajib memiliki izin. [7] Izin tersebut diberikan dalam bentuk Surat Izin Praktik (“SIP”) , [8] yaitu bukti tertulis yang diberikan kepada tenaga medis dan tenaga kesehatan sebagai pemberian kewenangan untuk menjalankan praktik. [9] Untuk mendapat SIP, tenaga keperawatan harus memiliki: [10] STR; dan tempat praktik. Ketentuan mengenai registrasi dan perizinan selengkapnya dapat Anda temukan dalam Pasal 260 s.d. Pasal 267 UU Kesehatan . Kemudian, pada dasarnya, tenaga medis dan tenaga kesehatan (dalam hal ini termasuk perawat) dalam menjalankan praktik wajib untuk memberikan pelayanan kesehatan sesuai dengan standar profesi, standar pelayanan profesi, standar prosedur operasional, dan etika profesi serta kebutuhan kesehatan pasien . [11] Sanksi Pidana Berdasarkan pertanyaan Anda, kami memiliki keterbatasan informasi mengenai perbuatan mesum seperti apa yang dilakukan oleh perawat yang bersangkutan, jenis kelamin kedua belah pihak, status perkawinan masing-masing, serta apakah hal tersebut dilaksanakan dengan paksaan atau tidak. Namun, kami mengasumsikan perbuatan tersebut merupakan perbuatan yang melanggar kesusilaan, nilai-nilai budaya, serta adat istiadat di Indonesia. Adapun perbuatan mesum tersebut di antaranya diatur dalam KUHP lama maupun UU 1/2023 tentang KUHP baru yang berlaku 3 tahun sejak tanggal diundangkan, yaitu pada tahun 2026, [12] yang dapat berupa perbuatan zina , pencabulan , dan/atau perkosaan . Berikut adalah masing-masing penjelasannya. Tindak pidana perzinaan diatur dalam Pasal 284 ayat (1) KUHP dan Pasal 411 ayat (1) UU 1/2023 , yang berbunyi: Pasal 284 ayat (1) KUHP Pasal 411 ayat (1) UU 1/2023 Diancam dengan pidana penjara paling lama 9 bulan: a. seorang pria yang telah kawin yang melakukan gendak ( overspel ) , padahal diketahui bahwa Pasal 27 BW berlaku baginya; b. seorang wanita yang telah kawin melakukan gendak , padahal diketahui bahwa Pasal 27 BW berlaku baginya; a. seorang pria yang turut serta melakukan perbuatan itu, padahal diketahuinya bahwa yang turut bersalah telah kawin; b. seorang wanita yang telah kawin yang turut serta melakukan perbuatan itu, padahal diketahui olehnya bahwa yang turut bersalah telah kawin Pasal 27 BW berlaku baginya. Setiap orang yang melakukan persetubuhan dengan orang yang bukan suami atau istrinya, dipidana karena perzinaan , dengan pidana penjara paling lama 1 tahun atau pidana denda paling banyak kategori II, yaitu sebesar Rp10 juta. [13] Penjelasan selengkapnya mengenai pasal perzinaan dapat Anda baca dalam artikel Bunyi Pasal 284 KUHP tentang Perzinaan . Selain perzinaan, perbuatan mesum yang dilakukan oleh perawat kepada pasien, berpotensi dijerat dengan tindak pidana pencabulan dalam Pasal 289 KUHP dan Pasal 414 UU 1/2023 , yaitu: Pasal 289 KUHP Pasal 414 UU 1/2023 Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seseorang untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul , diancam karena melakukan perbuatan yang menyerang kehormatan kesusilaan, dengan pidana penjara paling lama 9 tahun. Setiap orang yang melakukan pencabulan terhadap orang lain yang berbeda atau sama jenis kelaminnya: di depan umum, dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 tahun 6 bulan atau pidana denda paling banyak kategori III, yaitu sebesar Rp50 juta. [14] secara paksa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 9 tahun; atau yang dipublikasikan sebagai muatan pornografi, dipidana dengan pidana penjara paling lama 9 tahun. Setiap orang dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa orang lain untuk melakukan perbuatan cabul terhadap dirinya, dipidana dengan pidana penjara paling lama 9 tahun. Disarikan dari Merangkul Lawan Jenis, Termasuk Pelecehan? , R. Soesilo dalam bukunya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal berpendapat bahwa yang dimaksud perbuatan cabul adalah segala perbuatan yang melanggar kesusilaan (kesopanan) atau perbuatan yang keji, semuanya itu dalam lingkungan nafsu birahi kelamin , misalnya: cium-ciuman, meraba-raba anggota kemaluan, meraba-raba buah dada, dan sebagainya (hal. 212). Sedangkan dalam KUHP baru, "perbuatan cabul" diartikan sebagai kontak seksual yang berkaitan dengan nafsu birahi, kecuali perkosaan. [15] Selanjutnya, tindakan mesum juga dapat berpotensi untuk dijerat pasal perkosaan dalam Pasal 285 KUHP dan Pasal 473 ayat (1) UU 1/2023 , yaitu sebagai berikut: Pasal 285 KUHP Pasal 473 ayat (1) UU 1/2023 Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang wanita bersetubuh dengan dia di luar perkawinan, diancam karena melakukan perkosaan dengan pidana penjara paling lama 12 tahun. Setiap orang yang dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seseorang bersetubuh dengannya dipidana karena melakukan perkosaan dengan pidana penjara paling lama 12 tahun. Kemudian, sebagaimana dijelaskan dalam Kepala Desa Gemar Berbuat Zina, Ini Sanksi Hukumnya , menurut P.A.F. Lamintang dan Theo Lamintang , tindak pidana perkosaan yang diatur dalam Pasal 285 KUHP memiliki unsur-unsur sebagai berikut: [16] barangsiapa; dengan kekerasan atau dengan ancaman akan memakai kekerasan; memaksa; seorang wanita (perempuan); mengadakan hubungan kelamin di luar perkawinan; dengan dirinya. Kemudian, R. Soesilo menjelaskan bahwa yang diancam hukuman dalam pasal ini ialah dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa perempuan yang bukan istrinya untuk bersetubuh dengan dia (hal. 210). Namun selain itu, perbuatan mesum yang mungkin dilakukan perawat terhadap orang yang sedang sakit dan tidak berdaya adalah perkosaan terhadap wanita tidak berdaya berdasarkan Pasal 286 KUHP dan Pasal 473 ayat (1) dan (2) huruf c UU 1/2023 sebagai berikut: Pasal 286 KUHP Pasal 473 ayat (1) dan (2) huruf c UU 1/2023 Barang siapa yang bersetubuh dengan seorang wanita di luar perkawinan, padahal diketahui bahwa wanita itu dalam keadaan pingsan atau tidak berdaya , diancam dengan pidana penjara paling lama 9 tahun. Setiap orang yang dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seseorang bersetubuh dengannya, dipidana karena melakukan perkosaan, dengan pidana penjara paling lama 12 tahun; Termasuk tindak pidana perkosaan dan dipidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi perbuatan: … … persetubuhan dengan seseorang, padahal diketahui bahwa orang lain tersebut dalam keadaan pingsan atau tidak berdaya ; Penjelasan selengkapnya mengenai tindak pidana perkosaan terhadap orang dalam keadaan pingsan atau tidak berdaya dapat Anda baca dalam artikel Bunyi Pasal 286 KUHP tentang Perkosaan terhadap Wanita Tidak Berdaya . Selain dapat dijerat ketentuan dalam KUHP atau UU 1/2023, perawat tersebut berpotensi untuk dijerat UU TPKS , yaitu jika yang melakukan pelecehan seksual adalah tenaga kesehatan, maka jerat pidananya ditambah 1/3 . [17] Dalam hal ini, apabila perawat yang bersangkutan terbukti secara sah dan meyakinkan memenuhi unsur-unsur dalam satu atau lebih tindak pidana di atas, maka perawat tersebut dapat dipidana. Sanksi Profesi Menyambung pertanyaan Anda, selain sanksi berdasarkan hukum pidana, perbuatan mesum yang dilakukan perawat juga berpotensi melanggar etika profesi keperawatan serta disiplin profesi keperawatan . Sebagai informasi, dalam rangka penegakan disiplin profesi, Menteri Kesehatan membentuk majelis yang bersifat permanen atau ad hoc , yang melaksanakan tugas di bidang disiplin profesi. Majelis tersebut menentukan ada tidaknya pelanggaran disiplin profesi yang dilakukan tenaga medis dan tenaga kesehatan. [18] Dalam hal ini, perbuatan perawat yang bersangkutan dapat melanggar Bab 4 Poin a angka 2 dan Poin b angka 4 Kode Etik Keperawatan sebagai berikut: Poin a angka 2 Perawat dalam memberikan pelayanan keperawatan senantiasa memelihara suasana lingkungan yang menghormati nilai-nilai budaya, adat istiadat dan kelangsungan hidup beragama. Poin b angka 4 Perawat senantiasa menjunjung tinggi nama baik profesi keperawatan dengan selalu menunjukkan perilaku profesional . Kemudian, pasien atau keluarganya yang kepentingannya dirugikan atas tindakan tenaga kesehatan dalam memberikan pelayanan kesehatan, dapat mengadukan kepada majelis. [19] Pengaduan paling sedikit harus memuat: [20] identitas pengadu; nama dan alamat tempat praktik tenaga medis atau tenaga kesehatan dan waktu tindakan dilakukan; dan alasan pengaduan. Apabila majelis menentukan adanya pelanggaran disiplin profesi yang dilakukan tenaga kesehatan, maka perawat dapat dikenakan sanksi disiplin berupa: [21] peringatan tertulis; kewajiban mengikuti pendidikan atau pelatihan di penyelenggara pendidikan di bidang kesehatan atau rumah sakit pendidikan terdekat yang memiliki kompetensi untuk melakukan pelatihan tersebut; penonaktifan STR untuk sementara waktu; dan/atau rekomendasi pencabutan SIP. Lalu, tenaga kesehatan yang telah melaksanakan sanksi disiplin yang dijatuhkan terdapat dugaan tindak pidana, aparat penegak hukum mengutamakan penyelesaian perselisihan dengan mekanisme keadilan restoratif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. [22] Selain itu, tenaga kesehatan yang diduga melakukan perbuatan yang melanggar hukum dalam pelaksanaan pelayanan kesehatan yang dapat dikenai sanksi pidana, terlebih dahulu harus dimintakan rekomendasi dari majelis . Rekomendasi tersebut diberikan setelah Penyidik Pegawai Negeri Sipil atau penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia mengajukan permohonan secara tertulis. [23] Kesimpulannya, apabila perawat yang bersangkutan terbukti bersalah melakukan pelanggaran pidana, kode etik profesi keperawatan dan/atau disiplin profesi keperawatan, perawat tersebut dapat dikenakan sanksi berdasarkan masing-masing peraturan sebagaimana yang telah kami jelaskan. Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. Dasar Hukum : Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ; Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual ; Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ; Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan ; Kode Etik Keperawatan . Referensi : P.A.F. Lamintang dan Theo Lamintang. Kejahatan Melanggar Norma Kesusilaan & Norma Kepatutan . Jakarta: Sinar Grafika, 2009; R. Soesilo. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal . Bogor: Politeia, 1996; R. Soesilo. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal . Sukabumi: Politeia, 1991. [1] Pasal 1 angka 7 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan (“UU Kesehatan”) [2] Pasal 199 ayat (1) huruf b UU Kesehatan [3] Pasal 199 ayat (3) UU Kesehatan [4] Pasal 1 angka 28 dan Pasal 260 ayat (1) UU Kesehatan [5] Pasal 260 ayat (2) UU Kesehatan [6] Pasal 260 ayat (3) UU Kesehatan [7] Pasal 263 ayat (1) UU Kesehatan [8] Pasal 263 ayat (2) UU Kesehatan [9] Pasal 1 angka 29 UU Kesehatan [10] Pasal 264 ayat (1) UU Kesehatan [11] Pasal 274 huruf a UU Kesehatan [12] Pasal 624 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“UU 1/2023”) [13] Pasal 79 ayat (1) huruf b UU 1/2023 [14] Pasal 79 ayat (1) huruf c UU 1/2023 [15] Penjelasan Pasal 415 UU 1/2023 [16] P.A.F. Lamintang dan Theo Lamintang. Kejahatan Melanggar Norma Kesusilaan & Norma Kepatutan . Jakarta: Sinar Grafika, 2009, hal. 97 [17] Pasal 15 ayat 1 huruf b Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual [18] Pasal 304 UU Kesehatan [19] Pasal 305 ayat (1) UU Kesehatan [20] Pasal 305 ayat (2) UU Kesehatan [21] Pasal 306 ayat (1) UU Kesehatan [22] Pasal 306 ayat (3) UU Kesehatan [23] Pasal 308 ayat (1) dan (3) UU Kesehatan TAGS perkosaan pencabulan perzinaan tenaga kesehatan perawat | {276: '7. obat bahan alam adalah bahan, ramuan bahan, atau produk yang berasal dari sumber daya alam berupa tumbuhan, hewan, jasad renik, mineral, atau bahan lain dari sumber daya alam, atau campuran dari bahan tersebut yang telah digunakan secara turun temurun, atau sudah dibuktikan berkhasiat, aman, dan bermutu, digunakan untuk pemeliharaan kesehatan, peningkatan kesehatan, pencegahan penyakit, pengobatan, dan/atau pemulihan kesehatan berdasarkan pembuktian secara empiris dan/ atau ilmiah', 277: 'Tenaga Kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 197 huruf b dikelompokkan ke dalam: tenaga psikologi klinis; tenaga keperawatan; tenaga kebidanan; tenaga kefarmasian; tenaga kesehatan masyarakat; tenaga kesehatan lingkungan; tenaga gizi; tenaga keterapian fisik; tenaga keteknisian medis; tenaga teknik biomedika; tenaga kesehatan tradisional; dan Tenaga Kesehatan lain yang ditetapkan oleh Menteri.', 278: 'Jenis Tenaga Kesehatan yang termasuk dalam kelompok tenaga keperawatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b terdiri atas perawat vokasi, ners, dan ners spesialis.', 279: '28. surat tanda registrasi yang selanjutnya disingkat str adalah bukti tertulis yang diberikan kepada tenaga medis dan tenaga kesehatan yang telah diregistrasi.', 280: 'STR sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterbitkan oleh Konsil atas nama Menteri setelah memenuhi persyaratan.', 281: 'Persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) paling sedikit: a. memiliki ijazah pendidikan di bidang Kesehatan dan/atau sertifikat profesi; dan b. memiliki sertifikat kompetensi.', 282: '(1) Jenis Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan tertentu dalam menjalankan praktik keprofesiannya wajib memiliki izin.', 283: '(2) Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan dalam bentuk SIP.', 284: '29. surat izin praktik yang selanjutnya disingkat sip adalah bukti tertulis yang diberikan kepada tenaga medis dan tenaga kesehatan sebagai pemberian kewenangan untuk menjalankan praktik.', 285: 'Untuk mendapatkan SIP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 263 ayat (2), Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan tertentu harus memiliki: STR; dan tempat praktik.', 286: 'Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan dalam menjalankan praktik wajib: memberikan Pelayanan Kesehatan sesuai dengan standar profesi, standar pelayanan profesi, standar prosedur operasional, dan etika profesi serta kebutuhan Kesehatan Pasien;', 4: 'Undang-Undang ini mulai berlaku setelah 3 (tiga) tahun terhitung sejak tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.', 37: "['(1) pidana denda paling banyak ditetapkan berdasarkan: a. kategori i, rp1.000.000,00 (satu juta rupiah); b. kategori ii, rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah); c. kategori iii, rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah); d. kategori iv, rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah); e. kategori v, rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah); f. kategori vi, rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah); g. kategori vii, rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah); dan h. kategori viii, rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah).']", 25: "['(1) pidana denda paling banyak ditetapkan berdasarkan: a. kategori i, rp1.000.000,00 (satu juta rupiah); b. kategori ii, rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah); c. kategori iii, rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah); d. kategori iv, rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah); e. kategori v, rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah); f. kategori vi, rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah); g. kategori vii, rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah); dan h. kategori viii, rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah).']", 287: 'pasal 415 dipidana dengan pidana penjara paling lama 9 (sembilan) tahun, setiap orang yang: a. melakukan perbuatan cabul dengan seseorang yang diketahui orang tersebut pingsan atau tidak berdaya; atau b. melakukan perbuatan cabul dengan seseorang yang diketahui atau patut diduga anak.', 288: 'pemerkosaan berciri: dengan kekerasan atau dengan ancaman akan memakai kekerasan;memaksa;seorang wanita (perempuan);mengadakan hubungan kelamin di luar perkawinan;dengan dirinya.', 289: "['(1) pidana sebagaimana dimaksud dalam pasal 5 , pasal 6 , dan pasal 8 sampai dengan pasal 14 ditambah 1/3 (satu per tiga), jika: a. dilakukan dalam lingkup keluarga; b. dilakukan oleh tenaga kesehatan, tenaga medis, pendidik, tenaga kependidikan, atau tenaga profesional lain yang mendapatkan mandat untuk melakukan penanganan, pelindungan, dan pemulihan; sk no 146013 a c. dilakukan presiden republik indonesia c. dilakukan oleh pegawai, pengurus, atau petugas terhadap orang yang dipercayakan atau diserahkan padanya untuk dijaga; d. dilakukan oleh pejabat publik, pemberi kerja, atasan, atau pengurus terhadap orang yang dipekerjakan atau bekerja dengannya; e. dilakukan lebih dari i (satu) kali atau dilakukan terhadap lebih dari 1 (satu) orang; f. dilakukan oleh 2 (dua) orang atau lebih dengan bersekutu; g. dilakukan terhadap anak; h. dilakukan terhadap penyandang disabilitas; i. dilakukan terhadap perempuan hamil; j. dilakukan terhadap seseorang dalam keadaan pingsan atau tidak berdaya; k. dilakukan terhadap seseorang dalam keadaan darurat, keadaan bahaya, situasi konflik, bencana, atau perang; l. dilakukan dengan menggunakan sarana elektronik; m. korban mengalami luka berat, berdampak psikologis berat, atau penyakit menular; n. mengakibatkan terhentinya dan/ atau rusaknya fungsi reproduksi; dan/ atau o. mengakibatkan korban meninggal dunia.']", 290: 'Pasal 304 (1)Dalam rangka mendukung profesionalitas Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan, perlu diterapkan penegakan disiplin profesi. (2) Dalam rangka penegakan disiplin profesi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Menteri membentuk majelis yang melaksanakan tugas di bidang disiplin profesi. (3) Majelis sebagaimana dimaksud pada ayat (2) menentukan ada tidaknya pelanggaran disiplin profesi yang dilakukan Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan. (4) Majelis sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat bersifat permanen atau ad hoc. (5) Ketentuan lebih lanjut mengenai tugas dan fungsi majelis sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.', 291: '(1) Pasien atau keluarganya yang kepentingannya dirugikan atas tindakan Tenaga Medis atau Tenaga Kesehatan dalam memberikan Pelayanan Kesehatan dapat mengadukan kepada majelis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 304.', 292: 'Pengaduan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit harus memuat: a. identitas pengadu; b. nama dan alamat tempat praktik Tenaga Medis atau Tenaga Kesehatan dan waktu tindakan dilakukan; dan c. alasan pengaduan.', 293: '(1) Pelanggaran disiplin Tenaga Medis atau Tenaga Kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 304 ayat (3) diberikan sanksi disiplin berupa: peringatan tertulis; kewajiban mengikuti pendidikan atau pelatihan di penyelenggara pendidikan di bidang Kesehatan atau Rumah Sakit pendidikan terdekat yang memiliki kompetensi untuk melakukan pelatihan tersebut; penonaktifan STR untuk sementara waktu; dan/atau rekomendasi pencabutan SIP.', 294: '(3) Tenaga Medis atau Tenaga Kesehatan yang telah melaksanakan sanksi disiplin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang dijatuhkan terdapat dugaan tindak pidana, aparat penegak hukum mengutamakan penyelesaian perselisihan dengan mekanisme keadilan restoratif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.', 295: '(1) Tenaga Medis atau Tenaga Kesehatan yang diduga melakukan perbuatan yang melanggar hukum dalam pelaksanaan Pelayanan Kesehatan yang dapat dikenai sanksi pidana, terlebih dahulu harus dimintakan rekomendasi dari majelis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 304.'} |
Baru-baru ini, saya diarahkan untuk mengunjungi situs yang bertajuk "Lelang Online Indonesia." Di situs itu, skema lelang yang ditawarkan cukup aneh. Pemenang lelang adalah penawar tertinggi dan waktu lelang usai. Harga barang awal Rp5.000 dengan waktu lelang 24 jam. Peserta berlomba-lomba menawar dengan poin yang dibeli di situs tersebut. 1 poin = Rp5.000 dan tiap sekali tawar/bidding, hilang 1 poin. Jadi, yang kalah, poinnya tidak kembali. Indikasi judinya adalah uang/poin yang kalah akan hilang. Apakah sistem lelang semacam ini bisa dibenarkan? Bukankah ini judi? Bagaimana hukum judi online ini? Terima kasih. | ULASAN LENGKAP ketiga dari artikel dengan judul Judi Internet, Sejauh Manakah UU ITE Bisa Menjangkaunya? yang dibuat oleh Tim Advokat Suara Keadilan dan pertama kali dipublikasikan pada Jumat, 10 Juli 2009, kemudian dimutakhirkan pertama kali oleh Sovia Hasanah, S.H . pada Senin, 11 Februari 2019, dan dimutakhirkan kedua kalinya pada 23 Mei 2022. Artikel ini dibuat berdasarkan KUHP lama dan UU 1/2023 tentang KUHP yang diundangkan pada tanggal 2 Januari 2023. . Hukum judi online atau judi apapun adalah dilarang. Namun, meski dilarang, praktik judi online masih marak dilakukan, bahkan cara judi online saat ini semakin beragam. Sebut saja judi online 24 jam slot , togel, poker, judi bola, dan lain sebagainya. Kemudahan akses internet saat ini tentu jadi penyebabnya. Namun, menurut Hadiyanto Kenneth dalam tesisnya yang berjudul Tindak Pidana Perjudian Online Melalui Media Internet (hal. 2–3), ada dua faktor lain yang melatarbelakangi perkembangan judi online di tanah air. Pertama , upaya preventif yang dilakukan pemerintah masih minim. Hal tersebut dapat dilihat dari masih banyaknya situs-situs judi online yang masih beroperasi. Tidak jarang, situs-situs tersebut memasang iklan berbayar di situs mesin pencari secara terang-terangan. Kedua , penyalahgunaan fasilitas perbankan. Kemudahan akses fasilitas perbankan saat ini disalahgunakan pelaku judi online untuk melakukan transaksinya. Perjudian dan Hukum Judi Online di Indonesia Di Indonesia terdapat beberapa peraturan yang mengatur perihal perjudian, seperti yang diatur dalam Pasal 303 dan Pasal 303 bis KUHP lama yang masih berlaku pada saat artikel ini diterbitkan atau Pasal 426 dan Pasal 427 UU 1/2023 tentang KUHP baru yang berlaku 3 tahun sejak tanggal diundangkan, [1] yaitu tahun 2026. Perjudian Menurut KUHP Ketentuan Pasal 303 ayat (1) KUHP menjelaskan hal sebagai berikut: Diancam dengan pidana penjara paling lama sepuluh tahun atau pidana denda paling banyak dua puluh lima juta rupiah, barang siapa tanpa mendapat izin: dengan sengaja menawarkan atau memberikan kesempatan untuk permainan judi dan menjadikannya sebagai pencarian, atau dengan sengaja turut serta dalam suatu perusahaan untuk itu; dengan sengaja menawarkan atau memberi kesempatan kepada khalayak umum untuk bermain judi atau dengan sengaja turut serta dalam perusahaan untuk itu, dengan tidak peduli apakah untuk menggunakan kesempatan adanya sesuatu syarat atau dipenuhinya sesuatu tata-cara; menjadikan turut serta pada permainan judi sebagai pencarian. Kemudian, ketentuan Pasal 303 bis ayat (1) KUHP , berbunyi: Diancam dengan hukuman penjara paling lama empat tahun atau denda paling banyak sepuluh juta rupiah: barangsiapa menggunakan kesempatan untuk main judi, yang diadakan dengan melanggar peraturan pasal 303; barangsiapa ikut serta permainan judi yang diadakan di jalan umum atau di pinggirnya maupun di tempat yang dapat dimasuki oleh khalayak umum, kecuali jika untuk mengadakan itu, ada izin dari penguasa yang berwenang. Kemudian, berdasarkan Pasal 303 ayat (3) KUHP , judi adalah tiap-tiap permainan yang umumnya terdapat kemungkinan untuk untung karena adanya peruntungan atau karena pemainnya mahir dan sudah terlatih. Yang juga termasuk main judi ialah pertaruhan tentang keputusan perlombaan atau permainan lain, yang tidak diadakan oleh mereka yang turut berlomba atau bermain itu, demikian juga segala pertaruhan yang lain-lain . Jika melihat dari definisi judi yang dinyatakan dalam Pasal 303 ayat (3) KUHP, maka kegiatan sebagaimana Anda jelaskan dalam pertanyaan dapat dikategorikan sebagai judi. Menurut R. Soesilo dalam bukunya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal (hal. 222), orang yang mengadakan main judi dihukum menurut Pasal 303 KUHP, sementara orang-orang yang ikut pada permainan itu dikenakan hukuman menurut Pasal 303 bis KUHP. Perjudian Menurut KUHP Baru atau UU 1/2023 Ketentuan Pasal 426 UU 1/2023 (1) Dipidana dengan pidana penjara paling lama 9 (sembilan) tahun atau pidana denda paling banyak kategori VI (Rp2 miliar) [2] , Setiap Orang yang tanpa izin: menawarkan atau memberi kesempatan untuk main judi dan menjadikan sebagai mata pencaharian atau turut serta dalam perusahaan perjudian; menawarkan atau memberi kesempatan kepada umum untuk main judi atau turut serta dalam perusahaan perjudian, terlepas dari ada tidaknya suatu syarat atau tata cara yang harus dipenuhi untuk menggunakan kesempatan tersebut; atau menjadikan turut serta pada permainan judi sebagai mata pencaharian. (2) Jika Tindak Pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam menjalankan profesi, dapat dijatuhi pidana tambahan berupa pencabutan hak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 86 huruf f. Kemudian, ketentuan Pasal 427 UU 1/2023 selengkapnya berbunyi: Setiap Orang yang menggunakan kesempatan main judi yang diadakan tanpa izin, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau pidana denda paling banyak kategori III (Rp50 juta). [3] Hukum Judi Online Menurut UU ITE Adapun mengenai hukum judi online secara spesifik diatur dalam UU ITE yang diubah terakhir kalinya dengan UU 1/2024 . Ketentuan Pasal 27 ayat (2) UU 1/2024 menerangkan bahwa setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi atau dokumen elektronik yang memiliki muatan perjudian adalah masuk sebagai perbuatan yang dilarang. Lebih lanjut, Penjelasan Pasal 27 ayat (2) UU 1/2024 menerangkan bahwa ketentuan tersebut mengacu pada ketentuan perjudian dalam hal menawarkan atau memberikan kesempatan untuk bermain judi, menjadikannya sebagai mata pencaharian, menawarkan atau memberikan kesempatan kepada umum untuk bermain judi , dan turut serta dalam perusahaan untuk itu. Perlu diketahui bahwa hukum judi online diatur dalam Pasal 45 ayat (3) UU 1/2024 yang menerangkan ketentuan bahwa setiap orang yang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan, mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan perjudian dipidana penjara paling lama 10 tahun dan/atau denda paling banyak Rp10 miliar . Penjelasan lain mengenai judi online dapat Anda simak dalam artikel Hukumnya Mengiklankan Website yang Mengarahkan ke Perjudian . Dapat kami simpulkan bahwa kegiatan lelang online yang Anda tanyakan dapat dikatakan sebagai perjudian. Pelaku judi online tersebut dapat dipidana berdasarkan Pasal 27 ayat (2) jo. Pasal 45 ayat (3) UU 1/2024 berupa pidana penjara maksimal 10 tahun dan/atau denda paling banyak Rp10 miliar. Demikian jawaban dari kami perihal hukum judi online dalam konsep lelang sebagaimana ditanyakan, semoga bermanfaat. Dasar Hukum: Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ; Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dan diubah kedua kalinya dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2024 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik ; Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana . Referensi : R. Soesilo. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal . Bogor: Politeia, 1991; Hardiyanto Kenneth. Tindak Pidana Perjudian Online Melalui Media Internet . Tesis Program Pascasarjana Program Studi Kajian Ilmu Kepolisian Universitas Indonesia, 2013. [1] Pasal 624 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“UU 1/2023”) [2] Pasal 79 ayat (1) huruf f UU 1/2023 [3] Pasal 79 ayat (1) huruf c UU 1/2023 TAGS hukum hukumonline informasi dan transaksi elektronik internet ite lelang online pidana teknologi uu ite | {4: 'Undang-Undang ini mulai berlaku setelah 3 (tiga) tahun terhitung sejak tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.', 296: "['(1) pidana denda paling banyak ditetapkan berdasarkan: a. kategori i, rp1.000.000,00 (satu juta rupiah); b. kategori ii, rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah); c. kategori iii, rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah); d. kategori iv, rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah); e. kategori v, rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah); f. kategori vi, rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah); g. kategori vii, rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah); dan h. kategori viii, rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah).']", 25: "['(1) pidana denda paling banyak ditetapkan berdasarkan: a. kategori i, rp1.000.000,00 (satu juta rupiah); b. kategori ii, rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah); c. kategori iii, rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah); d. kategori iv, rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah); e. kategori v, rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah); f. kategori vi, rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah); g. kategori vii, rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah); dan h. kategori viii, rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah).']"} |
Belakangan ini viral berita penganiayaan balita di daycare Depok. Kronologinya, video penganiayaan balita berusia dua tahun yang diduga dilakukan pengasuh sekaligus pemilik daycare di Depok viral tersebar di media sosial. Dalam video tersebut, pemilik daycare menyeret dan membanting anak dengan kasar, menginjak anak, menendang anak, dan memukul anak. Akibatnya, balita mengalami kekerasan, baik secara fisik maupun psikis. Anak korban mengalami luka memar/lebam. Selain itu, menurut berita yang beredar, Polisi masih menunggu hasil visum terkait luka bekas gunting pada anak korban.
Lantas, apa jerat hukum pidana pelaku penganiayaan balita di daycare tersebut? Adakah bentuk perlindungan khusus bagi anak yang mengalami kekerasan fisik dan psikis? | ULASAN LENGKAP . Pengertian Anak dalam UU Perlindungan Anak Sebelumnya, kami bersimpati atas kejadian yang dialami anak korban. Selanjutnya, mari kita pahami terlebih dahulu apa yang dimaksud dengan anak. Berdasarkan Pasal 1 angka 1 UU 35/2014 , anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun , termasuk anak yang masih dalam kandungan. Berdasarkan ketentuan di atas, balita berusia dua tahun yang dianiaya termasuk kategori anak. Dengan demikian, terhadap kasus penganiayaan ini, kita akan mengacu pada UU Perlindungan Anak dan perubahannya. Apa itu Daycare ? Istilah daycare jika diterjemahkan secara bebas dalam bahasa Indonesia adalah penitipan anak . Dalam peraturan perundang-undangan, Taman Penitipan Anak (“TPA”) tergolong sebagai bentuk pendidikan anak usia dini sebagaimana diatur di dalam Pasal 1 angka 7 Permendikbud 84/2014 . Soemiarti Patmonodewo dalam bukunya Pendidikan Anak Prasekolah mendefinisikan daycare sebagai salah satu sarana pengasuhan anak dalam kelompok, biasanya dilakukan pada saat jam kerja. Daycare adalah upaya untuk mengasuh anak-anak yang kurang dapat menerima asuhan orang tua secara lengkap, tapi bukan untuk menggantikan tugas orang tua dalam mengasuh anak (hal. 77). Dari definisi daycare tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa daycare merupakan tempat untuk mengasuh anak-anak yang biasanya dilakukan pada jam kerja. Oleh karena itu, setiap anak selama dalam pengasuhan orang tua, wali, atau pihak lain mana pun yang bertanggung jawab atas pengasuhan, berhak mendapat perlindungan dari perlakuan: [1] diskriminasi; eksploitasi, baik ekonomi maupun seksual; penelantaran; kekejaman, kekerasan, dan penganiayaan ; ketidakadilan; dan perlakuan salah lainnya. Adapun, yang dimaksud dengan perlakuan yang kejam di atas, misalnya tindakan atau perbuatan secara zalim, keji, bengis, atau tidak menaruh belas kasihan kepada anak. Perlakuan kekerasan dan penganiayaan , misalnya perbuatan melukai dan/atau mencederai anak, dan tidak semata-mata fisik , tetapi juga mental dan sosial . [2] Lebih lanjut, kekerasan juga merupakan setiap perbuatan terhadap anak yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik , psikis , seksual, dan/atau penelantaran, termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum. [3] : Pertanggungjawaban Hukum Daycare yang Lalai Menjaga Anak Jerat Pidana Kekerasan terhadap Anak Berdasarkan informasi yang Anda berikan, pengasuh sekaligus pemilik daycare diduga menyeret dan membanting anak, menginjak anak, menendang anak, dan memukul anak. Tindakan tersebut merupakan kekerasan terhadap anak, baik secara fisik maupun psikis. Selain itu, terdapat dugaan luka bekas gunting, memar/lebam pada anak korban. Jika pemilik daycare terbukti melakukan perbuatan-perbuatan tersebut, ia berpotensi melanggar Pasal 76C UU 35/2014 sebagai berikut: Setiap Orang dilarang menempatkan, membiarkan, melakukan, menyuruh melakukan, atau turut serta melakukan Kekerasan terhadap Anak. Kemudian, setiap orang yang melanggar ketentuan Pasal 76C UU 35/2014, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 tahun 6 bulan dan/atau denda paling banyak Rp72 juta . Hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 80 ayat (1) UU 35/2014 . : Jerat Pasal Penganiayaan Anak yang Menyebabkan Koma Dalam hal anak mengalami luka berat , maka pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun dan/atau denda paling banyak Rp100 juta . [4] Jika anak meninggal dunia , maka pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 tahun dan/atau denda paling banyak Rp3 miliar . [5] Kemudian, dalam hal pengasuh anak melakukan segala bentuk perlakuan kekejaman, kekerasan, dan penganiayaan , maka pelaku dikenakan pemberatan hukuman . [6] : Memukul Anak Hingga Tewas, Ini Jerat Hukumnya Perlindungan Khusus bagi Anak Lalu, karena anak korban mengalami kekerasan fisik dan psikis, maka anak korban wajib mendapatkan perlindungan khusus yang diberikan oleh pemerintah, pemerintah daerah, dan lembaga negara lainnya. [7] Perlindungan khusus bagi anak dilakukan melalui upaya: [8] penanganan yang cepat, termasuk pengobatan dan/atau rehabilitasi secara fisik, psikis, dan sosial, serta pencegahan penyakit dan gangguan kesehatan lainnya; pendampingan psikososial pada saat pengobatan sampai pemulihan; pemberian bantuan sosial bagi anak yang berasal dari keluarga tidak mampu; dan pemberian perlindungan dan pendampingan pada setiap proses peradilan. Kemudian, secara spesifik, perlindungan khusus bagi anak korban kekerasan fisik dan/atau psikis dilakukan melalui upaya: [9] penyebarluasan dan sosialisasi ketentuan peraturan perundang-undangan yang melindungi anak korban tindak kekerasan; dan pemantauan, pelaporan, dan pemberian sanksi. Kesimpulannya, jika pemilik daycare terbukti melakukan penganiayaan terhadap anak yang menyebabkan anak luka berat, ia berpotensi dipidana berdasarkan Pasal 76C jo. Pasal 80 ayat (2) UU 35/2014 dengan ancaman pidana penjara maksimal 5 tahun dan/atau denda maksimal Rp100 juta . Kemudian, karena segala bentuk perlakuan kekejaman, kekerasan, dan penganiayaan dilakukan oleh pemilik daycare yang merupakan pengasuh anak, maka pelaku dikenakan pemberatan hukuman. Perkaya riset hukum Anda dengan analisis hukum terbaru dwibahasa, serta koleksi terjemahan peraturan yang terintegrasi dalam Hukumonline Pro, pelajari lebih lanjut di sini . Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. Dasar Hukum : Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak dan diubah kedua kalinya dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 Tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak Menjadi Undang-Undang ; Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 84 Tahun 2014 tentang Pendirian Satuan Pendidikan Anak Usia Dini . Referensi : Soemiarti Patmonodewo. Pendidikan Anak Prasekolah . Jakarta: Rineka Cipta, 2003. [1] Pasal 13 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (“UU Perlindungan Anak”) [2] Penjelasan Pasal 13 ayat (1) huruf d UU Perlindungan Anak [3] Pasal 1 angka 16 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak (“UU 35/2014”) [4] Pasal 80 ayat (2) UU 35/2014 [5] Pasal 80 ayat (3) UU 35/2014 [6] Pasal 13 ayat (2) UU Perlindungan Anak [7] Pasal 59 ayat (1) dan ayat (2) huruf i UU 35/2014 [8] Pasal 59A UU 35/2014 [9] Pasal 69 UU 35/2014 TAGS uu perlindungan anak penganiayaan hukum pidana | {297: "['(1) setiap anak selama dalam pengasuhan orang tua, wali, atau pihak lain mana pun yang bertanggung jawab atas pengasuhan, berhak mendapat perlindungan dari perlakuan: 1. diskriminasi; 2. eksploitasi, baik ekonomi maupun seksual; 3. penelantaran; 4. kekejaman, kekerasan, dan penganiayaan; 5. ketidakadilan; dan 6. perlakuan salah lainnya.']", 298: 'Huruf d Perlakuan yang kejam, misalnya tindakan atau perbuatan secara zalim, keji, bengis, atau tidak menaruh belas kasihan kepada anak. Perlakuan kekerasan dan peng_aniayaan, misalnya perbuatan melukai dan/atau mencederai anak, dan tidak semata-mata fisik, tetapi juga mental dan sosial.', 299: '16. setiap orang adalah orang perseorangan atau korporasi.', 155: "['(1) setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 76 c, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun 6 (enam) bulan dan/atau denda paling banyak rp72.000.000,00 (tujuh puluh dua juta rupiah).', '(2) dalam hal anak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) luka berat, maka pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).', '(3) dalam hal anak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mati, maka pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan/atau denda paling banyak rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).']", 156: "['(1) setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 76 c, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun 6 (enam) bulan dan/atau denda paling banyak rp72.000.000,00 (tujuh puluh dua juta rupiah).', '(2) dalam hal anak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) luka berat, maka pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).', '(3) dalam hal anak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mati, maka pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan/atau denda paling banyak rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).']", 300: '(2) Dalam hal orang tua, wali atau pengasuh anak melakukan segala bentuk perlakuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), maka pelaku dikenakan pemberatan hukuman.', 301: "['(1) pemerintah, pemerintah daerah, dan lembaga negara lainnya berkewajiban dan bertanggung jawab untuk memberikan perlindungan khusus kepada anak.']", 302: "['(1) pemerintah, pemerintah daerah, dan lembaga negara lainnya berkewajiban dan bertanggung jawab untuk memberikan perlindungan khusus kepada anak.']", 303: 'pasal 69 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: pasal 69 . . . pasal 69 perlindungan khusus bagi anak korban kekerasan fisik dan/atau psikis sebagaimana dimaksud dalam pasal 59 ayat (2) huruf i dilakukan melalui upaya: a. penyebarluasan dan sosialisasi ketentuan peraturan perundang-undangan yang melindungi anak korban tindak kekerasan; dan b. pemantauan, pelaporan, dan pemberian sanksi. 48. di antara pasal 69 dan'} |
Apa yang dimaksud dengan asas pembuktian terbalik dalam tindak pidana korupsi? Bagaimana penerapan asas ini dalam perkara tipikor?� | ULASAN LENGKAP dari artikel dengan judul Tentang Sistem Pembalikan Beban Pembuktian yang dibuat oleh Letezia Tobing, S.H., M.Kn. dan pertama kali dipublikasikan pada 19 Maret 2013. . Apa itu Pembuktian Terbalik? Dalam hukum acara pidana di Indonesia, pembuktian tindak pidana merupakan kewajiban dari penuntut umum yang menuntut terdakwa di hadapan pengadilan. Hal ini diatur di dalam Pasal 66 KUHAP yang dengan jelas mengatur bahwa terdakwa tidak dibebani kewajiban pembuktian. Adapun, bunyi pasalnya adalah sebagai berikut: Tersangka atau terdakwa tidak dibebani kewajiban pembuktian. Dengan demikian, pembuktian dalam hukum acara pidana yang berlaku umum, sepenuhnya merupakan kewajiban dari penuntut umum. Sedangkan terdakwa tidak dibebani kewajiban pembuktian, melainkan diberikan hak untuk menyampaikan pembelaan. Pembalikan beban pembuktian ( omkering van bewijslast atau reversal of burden proof ) [1] atau biasa dikenal dengan istilah pembuktian terbalik adalah suatu sistem pembuktian dalam hukum acara pidana di Indonesia yang memberikan beban pembuktian kepada terdakwa dalam pemeriksaan sidang pengadilan. Menurut Andi Hamzah , pembalikan beban pembuktian adalah suatu sistem pembuktian dimana terdakwa harus membuktikan bahwa dirinya tidak bersalah, jika tidak dapat membuktikan maka ia dianggap bersalah. Pembuktian terbalik tidak diatur di dalam KUHAP, sehingga tidak secara umum diterapkan dalam pembuktian tindak pidana di Indonesia , melainkan diatur secara khusus dalam undang-undang lain yang memiliki ketentuan pidana. [2] Pembuktian Terbalik dalam Tindak Pidana Korupsi Salah satu undang-undang yang menjadi dasar hukum pembuktian terbalik adalah UU 31/1999 sebagaimana diubah dengan UU 20/2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi. Di dalam UU 31/1999 mengatur sebuah sistem pembuktian yang memberikan beban pembuktian kepada terdakwa. Hal ini termaktub di dalam Penjelasan Umum UU 31/1999 yang menerangkan bahwa undang-undang ini menerapkan pembuktian terbalik yang bersifat terbatas atau berimbang , yakni terdakwa mempunyai hak untuk membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi dan wajib memberikan keterangan tentang seluruh harta bendanya dan harta benda istri atau suami, anak, dan harta benda setiap orang atau korporasi yang diduga mempunyai hubungan dengan perkara yang bersangkutan, dan penuntut umum tetap berkewajiban membuktikan dakwaannya. Ketentuan mengenai pembuktian terbalik dalam perkara tindak pidana korupsi lebih lanjut diatur di dalam Pasal 37 UU 31/1999 yang berbunyi: (1) Terdakwa mempunyai hak untuk membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi . (2) Dalam hal terdakwa dapat membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi, maka pembuktian tersebut dipergunakan oleh pengadilan sebagai dasar untuk menyatakan bahwa dakwaan tidak terbukti. Dalam Pasal 37 UU 31/1999 tersebut, terdakwa diberikan hak untuk membuktikan bahwa dirinya tidak melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana didakwakan kepadanya. Apabila hak tersebut digunakan oleh terdakwa dan ia dapat membuktikan bahwa dirinya tidak melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana didakwakan, maka pengadilan dapat menggunakan pembuktian dari terdakwa sebagai dasar dalam menjatuhkan putusan yang membebaskan terdakwa. Hak yang diberikan kepada terdakwa untuk membuktikan bahwa dirinya tidak melakukan tindak pidana korupsi tersebut merupakan bentuk pembuktian terbalik. Selain memberikan hak kepada terdakwa , terdakwa juga dibebani kewajiban kepada untuk membuktikan perolehan seluruh harta bendanya yang diduga berhubungan dengan tindak pidana korupsi. Hal ini diatur di dalam Pasal 37A ayat (1) dan (2) UU 20/2001 , sebagai berikut: (1) Terdakwa wajib memberikan keterangan tentang seluruh harta bendanya dan harta benda istri atau suami, anak, dan harta benda setiap orang atau korporasi yang diduga mempunyai hubungan dengan perkara yang didakwakan. (2) Dalam hal terdakwa tidak dapat membuktikan tentang kekayaan yang tidak seimbang dengan penghasilannya atau sumber penambahan kekayaan, maka keterangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) digunakan untuk memperkuat alat bukti yang sudah ada bahwa terdakwa telah melakukan tindak pidana korupsi . Pembuktian terbalik sebagaimana diatur dalam Pasal 37A ayat (1) UU 20/2001 di atas memberikan kewajiban kepada terdakwa untuk membuktikan perolehan harta kekayaannya yang diduga berasal dari tindak pidana korupsi sebagaimana didakwakan. Pembuktian tersebut memiliki implikasi jika terdakwa tidak dapat membuktikan perolehan harta kekayaannya, maka hal tersebut merupakan suatu petunjuk bahwa terdakwa memang telah melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana didakwakan kepadanya. Berdasarkan penjelasan di atas, maka dapat kami sampaikan bahwa pembuktian terbalik berbeda dengan pembelaan yang merupakan hak terdakwa. Pembuktian terbalik merupakan kewajiban yang dibebankan kepada terdakwa . Selain itu, pembuktian terbalik berimplikasi terhadap hasil akhir dari pembuktian dalam perkara tindak pidana korupsi. Apabila terdakwa tidak dapat membuktikan “secara terbalik”, maka hal tersebut menjadi suatu petunjuk bahwa terdakwa telah melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana didakwakan. Namun, patut dicatat bahwa menurut Pasal 37A ayat (3) UU 20/2001 ketentuan pembuktian terbalik tersebut merupakan tindak pidana atau perkara pokok dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 13, Pasal 14, Pasal 15, dan Pasal 16 UU 31/1999 serta Pasal 5 s.d. Pasal 12 UU 20/2001 , sehingga penuntut umum tetap berkewajiban membuktikan dakwaannya . Pembuktian terbalik juga diatur di dalam Pasal 12B UU 20/2001 tentang gratifikasi sebagai berikut: Setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap pemberian suap, apabila berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya, dengan ketentuan sebagai berikut: yang nilainya Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) atau lebih, pembuktian bahwa gratifikasi tersebut bukan merupakan suap dilakukan oleh penerima gratifikasi ; yang nilainya kurang dari Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah), pembuktian bahwa gratifikasi tersebut suap dilakukan oleh penuntut umum. : Begini Perbedaan Suap dan Gratifikasi Sama halnya dengan Pasal 37A UU 20/2001, Pasal 12B UU 20/2001 juga membebankan pembuktian penerimaan gratifikasi yang diduga sebagai tindak pidana suap kepada penerimanya . Apabila didakwa dengan Pasal 12B UU 20/2001, terdakwa perlu membuktikan bahwa gratifikasi yang diterimanya bukan merupakan suap yang berhubungan dengan jabatan, tugas, atau kewajibannya selaku pegawai negeri atau penyelenggara negara. Pada intinya, pembuktian terbalik adalah sistem pembuktian yang digunakan dalam perkara tindak pidana korupsi dimana terdakwa diberikan kewajiban untuk membuktikan bahwa dirinya tidak melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana didakwakan kepadanya. Apabila terdakwa tidak dapat membuktikannya, maka hal tersebut menjadi suatu petunjuk bahwa terdakwa memang melakukan tindak pidana korupsi yang berimplikasi terhadap putusan yang akan dijatuhkan kepadanya. Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. Dasar Hukum : Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana ; Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi . Referensi Andi Hamzah. Perbandingan Pemberantasan Korupsi di Berbagai Negara . Jakarta: Sinar Grafika, 2005; Mansur Kartayasa. Korupsi & Pembuktian Terbalik: Dari Perspektif Kebijakan Legislasi dan Hak Asasi Manusia, Jakarta: Kencana, 2017. [1] Mansur Kartayasa. Korupsi & Pembuktian Terbalik: Dari Perspektif Kebijakan Legislasi dan Hak Asasi Manusia, Jakarta: Kencana, 2017, hal. 216 [2] Andi Hamzah. Perbandingan Pemberantasan Korupsi Di Berbagai Negara . Jakarta, Sinar Grafika, 2005, hal 84. TAGS kuhap uu tipikor pembuktian korupsi | {304: 'Pembalikan beban pembuktian (omkering van bewijslast atau reversal of burden proof)', 305: 'Pembuktian terbalik tidak diatur di dalam KUHAP, sehingga tidak secara umum diterapkan dalam pembuktian tindak pidana di Indonesia, melainkan diatur secara khusus dalam undang-undang lain yang memiliki ketentuan pidana.'} |
Izin bertanya, apakah dasar hukum yang melandasi guru untuk menerapkan aturan tata tertib/peraturan sekolah? Contohnya, jika guru mencukur rambut siswa yang gondrong sebagian atau seluruhnya. | ULASAN LENGKAP . Pengertian, Tugas, dan Fungsi Guru Sebelum menjawab inti pertanyaan Anda, sebaiknya kita pahami terlebih dahulu pengertian, tugas, dan fungsi guru. Merujuk pada Pasal 1 angka 1 UU 14/2005 , guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah. Guru mempunyai kedudukan sebagai tenaga profesional pada jenjang pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan anak usia dini pada jalur pendidikan formal yang diangkat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Pengakuan kedudukan guru sebagai tenaga profesional ini dibuktikan dengan sertifikat pendidik. [1] Kemudian, kedudukan guru sebagai tenaga profesional ini berfungsi untuk meningkatkan martabat dan peran guru sebagai agen pembelajaran berfungsi untuk meningkatkan mutu pendidikan nasional . [2] Selain itu, dalam melaksanakan tugas keprofesionalannya , guru berkewajiban untuk: [3] merencanakan pembelajaran melaksanakan proses pembelajaran yang bermutu, serta menilai dan mengevaluasi hasil pembelajaran; meningkatkan dan mengembangkan kualifikasi akademik dan kompetensi secara berkelanjutan sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni; bertindak objektif dan atau tidak diskriminatif atas dasar pertimbangan jenis kelamin, agama, suku ras, dan kondisi fisik tertentu, atau latar belakang keluarga, dan status sosial ekonomi peserta didik dalam pembelajaran ; menjunjung tinggi peraturan perundang-undangan, hukum, dan kode etik guru, serta nilai-nilai agama dan etika; dan memelihara dan memupuk persatuan dan kesatuan bangsa. Dasar Hukum Pemberian Sanksi oleh Guru Menjawab pertanyaan Anda, pada dasarnya, peraturan perundang-undangan membebaskan guru untuk memberikan sanksi kepada peserta didiknya . Hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 39 ayat (1) PP 74/2008 yang berbunyi: Guru memiliki kebebasan memberikan sanksi kepada peserta didiknya yang melanggar norma agama, norma kesusilaan, norma kesopanan, peraturan tertulis maupun tidak tertulis yang ditetapkan Guru, peraturan tingkat satuan pendidikan , dan peraturan perundang-undangan dalam proses pembelajaran yang berada di bawah kewenangannya. Adapun sanksi yang dimaksud dalam pasal di atas dapat berupa teguran dan/atau peringatan, baik lisan maupun tulisan, serta hukuman yang bersifat mendidik sesuai dengan kaedah pendidikan, kode etik guru, dan peraturan perundang-undangan. [4] Lalu, pelanggaran terhadap peraturan satuan pendidikan yang dilakukan oleh peserta didik yang pemberian sanksinya berada di luar kewenangan guru, dilaporkan guru kepada pemimpin satuan pendidikan. Sedangkan untuk pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan yang dilakukan oleh peserta didik, dilaporkan guru kepada pemimpin satuan pendidikan untuk ditindaklanjuti sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. [5] Lebih lanjut, tindakan pendisiplinan atau sanksi yang diberikan terhadap peserta didik ini dilakukan agar timbul kesadaran dalam proses belajar. Dalam melakukan tindakan pendisiplinan terhadap murid tersebut, guru harus memenuhi tiga syarat yaitu: [6] dalam kondisi terpaksa; penderaan secara terbatas (harus dengan pertimbangan-pertimbangan tertentu); dan dipergunakan untuk mencapai tujuan-tujuan yang diperkenankan. Walaupun demikian, mengenai kasus guru cukur rambut siswa, disarikan dari Hukuman Cukur Rambut Siswa Tak Pantas pada laman Komisi Perlindungan Anak Indonesia (“KPAI”) , dijelaskan bahwa guru yang memberikan hukuman cukur rambut bisa memberi teguran kepada siswa dengan cara yang lebih edukatif. Masih bersumber dari artikel yang sama, dalam praktiknya, tidak sedikit guru yang menghukum murid dengan mencukur rambut, namun tidak sampai tuntas dan tidak secara pantas. Hal tersebut dianggap sebagai punishment /hukuman. Sebagaimana penjelasan di atas, walaupun guru memiliki kebebasan memberikan sanksi kepada peserta didiknya yang melanggar aturan, menurut hemat kami, sebaiknya sanksi tersebut berupa teguran dan/atau peringatan, baik lisan maupun tulisan, serta hukuman yang bersifat mendidik sesuai dengan kaedah pendidikan, kode etik guru, dan peraturan perundang-undangan. Selain itu, sebaiknya hukuman yang diberikan oleh guru sifatnya lebih edukatif , agar sesuai dengan peran guru sebagai agen pembelajaran yang berfungsi untuk meningkatkan mutu pendidikan nasional. Tindakan Diskriminasi Guru Kemudian, berkaitan dengan pertanyaan Anda mengenai guru yang melakukan tindakan diskriminasi terhadap peserta didik (misalnya hanya murid tertentu saja yang dicukur rambutnya), menurut hemat kami, guru tersebut berpotensi dijerat Pasal 76A UU 35/2014 : Setiap orang dilarang: a. memperlakukan Anak secara diskriminatif yang mengakibatkan Anak mengalami kerugian, baik materiil maupun moril sehingga menghambat fungsi sosialnya; atau b. memperlakukan Anak Penyandang Disabilitas secara diskriminatif. Adapun setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76A dapat dipidana penjara maksimal 5 lima tahun dan/atau denda maksimal Rp100 juta . [7] Perlindungan Guru Hukum dalam Melaksanakan Tugas Kemudian, menjawab pertanyaan Anda mengenai perlindungan guru dalam melaksanakan tugas, seorang guru dalam melaksanakan tugasnya memiliki hak untuk mendapatkan perlindungan dalam bentuk rasa aman dan jaminan keselamatan dari pemerintah, pemerintah daerah, satuan pendidikan, organisasi profesi guru, dan/atau masyarakat sesuai dengan kewenangan masing-masing. [8] Rasa aman dan jaminan keselamatan ini diperoleh oleh guru melalui perlindungan: [9] hukum; profesi; dan keselamatan dan kesehatan kerja. Berkaitan dengan perlindungan hukum, guru berhak mendapatkan perlindungan hukum dari tindak kekerasan, ancaman, perlakuan diskriminatif, intimidasi, atau perlakuan tidak adil dari pihak peserta didik, orang tua peserta didik, masyarakat, birokrasi, atau pihak lain. [10] Kemudian, guru juga berhak mendapatkan perlindungan profesi terhadap pemutusan hubungan kerja yang tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, pemberian imbalan yang tidak wajar, pembatasan dalam menyampaikan pandangan, pelecehan terhadap profesi, dan pembatasan atau pelarangan lain yang dapat menghambat guru dalam melaksanakan tugas. [11] Selanjutnya, guru berhak mendapatkan perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja dari satuan pendidikan dan penyelenggara satuan pendidikan terhadap resiko gangguan keamanan kerja, kecelakaan kerja, kebakaran pada waktu kerja, bencana alam, kesehatan lingkungan kerja dan/atau resiko lain. [12] Adapun masyarakat, organisasi profesi guru, pemerintah atau pemerintah daerah dapat saling membantu dalam memberikan perlindungan-perlindungan tersebut. [13] : Perlindungan Hukum bagi Guru dalam Menjalankan Tugasnya Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. Dasar Hukum : Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen ; Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak ; Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2008 tentang Guru yang diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2017 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2008 tentang Guru . Referensi : Alfin Ersa Ardiansyah. Perlindungan Guru Terkait Tindakan yang Dilakukan Pada Murid yang Melakukan Kenakalan . Jurist-Diction, Vol. 2, No. 1, 2019; Hukuman Cukur Rambut Siswa Tak Pantas pada laman Komisi Perlindungan Anak Indonesia (“KPAI”), diakses pada 29 Juli 2024, pukul 15.06 WIB. [1] Pasal 2 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen (“UU 14/2015”) [2] Pasal 4 UU 14/2015 [3] Pasal 20 UU 14/2015 [4] Pasal 39 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2008 tentang Guru (“PP 74/2008”) [5] Pasal 39 ayat (3) dan (4) PP 74/2008 [6] Alfin Ersa Ardiansyah. Perlindungan Guru Terkait Tindakan yang Dilakukan Pada Murid yang Melakukan Kenakalan . Jurist-Diction, Vol. 2 No. 1, 2019, hal. 21 [7] Pasal 77 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak [8] Pasal 40 ayat (1) PP 74/2008 [9] Pasal 40 ayat (2) PP 74/2008 [10] Pasal 41 ayat (1) PP 74/2008 [11] Pasal 41 ayat (2) PP 74/2008 [12] Pasal 41 ayat (3) PP 74/2008 [13] Pasal 40 ayat (3) PP 74/2008 TAGS guru siswa sanksi | {306: 'pasal 2 apbn terdiri atas anggaran pendapatan negara, anggaran belanja negara, dan pembiayaan anggaran.', 307: "['(1) penerimaan perpajakan sebagaimana dimaksud dalam pasal 3 huruf a direncanakan sebesar rp1.546.664.648.856.000,00 (satu kuadriliun lima ratus empat puluh enam triliun enam ratus enam puluh empat miliar enam ratus empat puluh delapan juta delapan ratus lima puluh enam ribu rupiah), yang terdiri atas: a. pendapatan pajak dalam negeri; dan b. pendapatan pajak perdagangan internasional.', '(2) pendapatan pajak dalam negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a direncanakan sebesar rp1.506.577.545.056.000,00 (satu kuadriliun lima ratus enam triliun lima ratus tujuh puluh tujuh miliar lima ratus empat puluh lima juta lima puluh enam ribu rupiah), yang terdiri atas: a. pendapatan pajak penghasilan; b. pendapatan pajak pertambahan nilai barang dan jasa dan pajak penjualan atas barang mewah; c. pendapatan pajak bumi dan bangunan; d. pendapatan cukai; dan e. pendapatan pajak lainnya.', '(3) pendapatan pajak penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a direncanakan sebesar rp757.230.120.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh tujuh triliun dua ratus tiga puluh miliar seratus dua puluh juta rupiah) yang didalamnya termasuk pajak penghasilan ditanggung pemerintah (pph dtp) atas: a. komoditas panas bumi sebesar rp1.310.000.000.000,00 (satu triliun tiga ratus sepuluh miliar rupiah) yang pelaksanaannya diatur dengan peraturan menteri keuangan; b. bunga . . . b. bunga, imbal hasil, dan penghasilan pihak ketiga atas jasa yang diberikan kepada pemerintah dalam penerbitan dan/atau pembelian kembali/penukaran sbn di pasar internasional, tetapi tidak termasuk jasa konsultan hukum lokal, sebesar rp6.170.000.000.000,00 (enam triliun seratus tujuh puluh miliar rupiah) yang pelaksanaannya diatur dengan peraturan menteri keuangan; c. penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan yang diterima atau diperoleh masyarakat yang terkena luapan lumpur sidoarjo dalam peta area terdampak 22 maret 2007 sebesar rp39.084.500.000,00 (tiga puluh sembilan miliar delapan puluh empat juta lima ratus ribu rupiah) yang pelaksanaannya diatur dengan peraturan menteri keuangan; dan d. penghasilan dari penghapusan secara mutlak piutang negara nonpokok yang bersumber dari penerusan pinjaman luar negeri, rekening dana investasi, dan rekening pembangunan daerah yang diterima oleh perusahaan daerah air minum (pdam) sebesar rp84.470.000.000,00 (delapan puluh empat miliar empat ratus tujuh puluh juta rupiah) yang pelaksanaannya diatur dengan peraturan menteri keuangan.', '(4) pendapatan pajak pertambahan nilai barang dan jasa dan pajak penjualan atas barang mewah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b direncanakan sebesar rp571.732.700.000.000,00 (lima ratus tujuh puluh satu triliun tujuh ratus tiga puluh dua miliar tujuh ratus juta rupiah).', '(5) pendapatan pajak bumi dan bangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c direncanakan sebesar rp19.408.001.816.000,00 (sembilan belas triliun empat ratus delapan miliar satu juta delapan ratus enam belas ribu rupiah).', '(6) pendapatan . . . (6) pendapatan cukai sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf d direncanakan sebesar rp146.439.923.240.000,00 (seratus empat puluh enam triliun empat ratus tiga puluh sembilan miliar sembilan ratus dua puluh tiga juta dua ratus empat puluh ribu rupiah).', '(7) pendapatan pajak lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf e direncanakan sebesar rp11.766.800.000.000,00 (sebelas triliun tujuh ratus enam puluh enam miliar delapan ratus juta rupiah).', '(8) pendapatan pajak perdagangan internasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b direncanakan sebesar rp40.087.103.800.000,00 (empat puluh triliun delapan puluh tujuh miliar seratus tiga juta delapan ratus ribu rupiah), yang terdiri atas: a. pendapatan bea masuk; dan b. pendapatan bea keluar.', '(9) pendapatan bea masuk sebagaimana dimaksud pada ayat (8) huruf a direncanakan sebesar rp37.203.870.000.000,00 (tiga puluh tujuh triliun dua ratus tiga miliar delapan ratus tujuh puluh juta rupiah) yang didalamnya termasuk fasilitas bea masuk ditanggung pemerintah (bm dtp) sebesar rp580.000.000.000,00 (lima ratus delapan puluh miliar rupiah) yang pelaksanaannya diatur dengan peraturan menteri keuangan.', '(10) pendapatan bea keluar sebagaimana dimaksud pada ayat (8) huruf b direncanakan sebesar rp2.883.233.800.000,00 (dua triliun delapan ratus delapan puluh tiga miliar dua ratus tiga puluh tiga juta delapan ratus ribu rupiah).']", 308: "['(1) anggaran pendidikan direncanakan sebesar rp419.176.412.756.000,00 (empat ratus sembilan belas triliun seratus tujuh puluh enam miliar empat ratus dua belas juta tujuh ratus lima puluh enam ribu rupiah).', '(2) persentase . . . (2) persentase anggaran pendidikan adalah sebesar 20,0% (dua puluh koma nol persen), yang merupakan perbandingan alokasi anggaran pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terhadap total anggaran belanja negara sebesar rp2.095.724.699.824.000,00 (dua kuadriliun sembilan puluh lima triliun tujuh ratus dua puluh empat miliar enam ratus sembilan puluh sembilan juta delapan ratus dua puluh empat ribu rupiah).']", 309: "['(1) guru memiliki kebebasan memberikan sanksi kepada peserta didiknya yang melanggar norma agama, norma kesusilaan, norma kesopanan, peraturan tertulis maupun tidak tertulis yang ditetapkan guru, peraturan tingkat satuan pendidikan, dan peraturan perundang-undangan dalam proses pembelajaran yang berada di bawah kewenangannya.', '(2) sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa teguran dan/atau peringatan, baik lisan maupun tulisan, serta hukuman yang bersifat mendidik sesuai dengan kaedah pendidikan, kode etik guru, dan peraturan perundang-undangan.', '(3) pelanggaran terhadap peraturan satuan pendidikan yang dilakukan oleh peserta didik yang pemberian sanksinya berada di luar kewenangan guru, dilaporkan guru kepada pemimpin satuan pendidikan.']", 310: "['(1) guru memiliki kebebasan memberikan sanksi kepada peserta didiknya yang melanggar norma agama, norma kesusilaan, norma kesopanan, peraturan tertulis maupun tidak tertulis yang ditetapkan guru, peraturan tingkat satuan pendidikan, dan peraturan perundang-undangan dalam proses pembelajaran yang berada di bawah kewenangannya.', '(2) sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa teguran dan/atau peringatan, baik lisan maupun tulisan, serta hukuman yang bersifat mendidik sesuai dengan kaedah pendidikan, kode etik guru, dan peraturan perundang-undangan.', '(3) pelanggaran terhadap peraturan satuan pendidikan yang dilakukan oleh peserta didik yang pemberian sanksinya berada di luar kewenangan guru, dilaporkan guru kepada pemimpin satuan pendidikan.']", 311: 'Dalam melakukan tindakan pendisiplinan terhadap murid tersebut, guru harus memenuhi tiga syarat yaitu:', 312: "['(1) setiap orang dilarang dengan sengaja menempatkan, membiarkan, melibatkan, menyuruh melibatkan anak dalam penyalahgunaan, serta produksi dan distribusi narkotika dan/atau psikotropika.']", 313: "['(1) guru berhak mendapat perlindungan dalam melaksanakan tugas dalam bentuk rasa aman dan jaminan keselamatan dari pemerintah, pemerintah daerah, satuan pendidikan, organisasi profesi guru, dan/atau masyarakat sesuai dengan kewenangan masing-masing.', '(2) rasa aman dan jaminan keselamatan dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diperoleh guru melalui perlindungan: a. hukum; b. profesi; dan c. keselamatan dan kesehatan kerja.']", 314: "['(1) guru berhak mendapat perlindungan dalam melaksanakan tugas dalam bentuk rasa aman dan jaminan keselamatan dari pemerintah, pemerintah daerah, satuan pendidikan, organisasi profesi guru, dan/atau masyarakat sesuai dengan kewenangan masing-masing.', '(2) rasa aman dan jaminan keselamatan dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diperoleh guru melalui perlindungan: a. hukum; b. profesi; dan c. keselamatan dan kesehatan kerja.']", 315: "['(1) guru berhak mendapatkan perlindungan hukum dari tindak kekerasan, ancaman, perlakuan diskriminatif, intimidasi, atau perlakuan tidak adil dari pihak peserta didik, orang tua peserta didik, masyarakat, birokrasi, atau pihak lain.', '(2) guru berhak mendapatkan perlindungan profesi terhadap pemutusan hubungan kerja yang tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan, pemberian imbalan yang tidak wajar, pembatasan dalam menyampaikan pandangan, pelecehan terhadap profesi, dan pembatasan atau pelarangan lain yang dapat menghambat guru dalam melaksanakan tugas.']", 316: "['(1) guru berhak mendapatkan perlindungan hukum dari tindak kekerasan, ancaman, perlakuan diskriminatif, intimidasi, atau perlakuan tidak adil dari pihak peserta didik, orang tua peserta didik, masyarakat, birokrasi, atau pihak lain.', '(2) guru berhak mendapatkan perlindungan profesi terhadap pemutusan hubungan kerja yang tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan, pemberian imbalan yang tidak wajar, pembatasan dalam menyampaikan pandangan, pelecehan terhadap profesi, dan pembatasan atau pelarangan lain yang dapat menghambat guru dalam melaksanakan tugas.']", 317: "['(1) guru berhak mendapatkan perlindungan hukum dari tindak kekerasan, ancaman, perlakuan diskriminatif, intimidasi, atau perlakuan tidak adil dari pihak peserta didik, orang tua peserta didik, masyarakat, birokrasi, atau pihak lain.', '(2) guru berhak mendapatkan perlindungan profesi terhadap pemutusan hubungan kerja yang tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan, pemberian imbalan yang tidak wajar, pembatasan dalam menyampaikan pandangan, pelecehan terhadap profesi, dan pembatasan atau pelarangan lain yang dapat menghambat guru dalam melaksanakan tugas.']", 318: "['(1) guru berhak mendapat perlindungan dalam melaksanakan tugas dalam bentuk rasa aman dan jaminan keselamatan dari pemerintah, pemerintah daerah, satuan pendidikan, organisasi profesi guru, dan/atau masyarakat sesuai dengan kewenangan masing-masing.', '(2) rasa aman dan jaminan keselamatan dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diperoleh guru melalui perlindungan: a. hukum; b. profesi; dan c. keselamatan dan kesehatan kerja.']"} |
Pasal 2 KUHP tentang apa? Apakah benar Pasal 2 KUHP mengatur tentang asas teritorial? Jika benar, apa itu asas teritorial dan apa bunyi Pasal 2 KUHP? | ULASAN LENGKAP Artikel ini dibuat berdasarkan KUHP lama dan UU 1/2023 tentang KUHP yang diundangkan pada tanggal 2 Januari 2023. . Apa itu Asas Teritorial? Pada dasarnya, setiap negara memiliki yurisdiksi terhadap kejahatan yang dilakukan di dalam wilayah atau teritorialnya, hal inilah yang dikenal dengan asas/prinsip yurisdiksi teritorial . [1] Menurut Hakim Loed Macmillan sebagaimana dikutip oleh Sefriani dalam bukunya yang berjudul Hukum Internasional: Suatu Pengantar , suatu negara harus memiliki yurisdiksi terhadap semua orang, benda, perkara-perkara pidana maupun perdata dalam batas-batas teritorialnya sebagai pertanda bahwa negara tersebut berdaulat (hal. 238-239). Kemudian, pengadilan negara di mana suatu kejahatan dilakukan memiliki yurisdiksi terkuat dengan beberapa pertimbangan seperti: [2] negara di mana kejahatan dilakükan adalah negara yang ketertiban sosialnya paling terganggu; biasanya pelaku ditemukan di negara di mana kejahatan dilakukan; akan lebih mudah menemukan saksi dan bukti-bukti sehingga proses persidangan dapat lebih efisien dan efektif; dan seorang warga negara asing yang datang ke wilayah suatu negara dianggap menyerahkan diri pada sistem hukum nasional negara tersebut, sehingga ketika ia melakukan pelanggaran hukum nasional di negara yang ia datangi, maka ia harus tunduk pada hukum setempat meskipun mungkin apa yang ia lakukan sah menurut sistem hukum nasional negaranya sendiri. Lebih lanjut, wilayah suatu negara mencakup wilayah darat, laut, maupun udara. [3] Namun, terdapat beberapa hal yang menjadi pengecualian , artinya, terhadap hal-hal berikut tidak berlaku yurisdiksi teritorial suatu negara: pejabat diplomatik negara asing; negara dan kepala negara asing; kapal publik negara asing; pangkalan militer negara asing; [4] organisasi internasional, termasuk gedung atau kantor pusat/perwakilan; angkatan bersenjata asing; gedung atau kantor perwakilan diplomatik asing; kapal dan pesawat udara publik milik negara asing. [5] Isi Pasal 2 KUHP Menjawab pertanyaan Anda, asas teritorial atau asas wilayah diatur dalam Pasal 2 KUHP lama yang saat artikel ini diterbitkan masih berlaku, sebagai berikut: Ketentuan pidana dalam perundang-undangan Indonesia diterapkan bagi setiap orang yang melakukan sesuatu tindak pidana di Indonesia . Bunyi Pasal 4 UU 1/2023 Adapun dalam UU 1/2023 tentang KUHP baru yang berlaku 3 tahun sejak tanggal diundangkan, [6] yaitu tahun 2026, asas wilayah atau teritorial diatur secara eksplisit dalam Pasal 4 yang berbunyi: Ketentuan pidana dalam Undang-Undang berlaku bagi Setiap Orang yang melakukan: Tindak Pidana di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia ; Tindak Pidana di Kapal Indonesia atau di Pesawat Udara Indonesia ; atau Tindak Pidana di bidang teknologi informasi atau Tindak Pidana lainnya yang akibatnya dialami atau terjadi di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia atau di Kapal Indonesia dan di Pesawat Udara Indonesia . Kemudian, dalam Penjelasan Pasal 4 huruf a UU 1/2023 , yang dimaksud dengan "wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia" adalah satu kesatuan wilayah kedaulatan di daratan, perairan pedalaman, perairan kepulauan beserta dasar laut dan tanah di bawahnya, dan ruang udara diatasnya serta seluruh wilayah yang batas dan hak negara di laut teritorial, zona tambahan, zona ekonomi eksklusif, dan landas kontinen yang diatur dalam undang-undang. Adapun y ang dimaksud dengan "tindak pidana lainnya" misalnya, tindak pidana terhadap keamanan negara atau tindak pidana yang dirumuskan dalam perjanjian internasional yang telah disahkan oleh Indonesia, sebagaimana dijelaskan dalam Penjelasan Pasal 4 huruf c UU 1/2023 . : 5 Asas-Asas Hukum Pidana dalam KUHP Baru Demikian jawaban kami, semoga bermanfaat. Dasar Hukum : Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ; Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana . Referensi : I Dewa Gede Palguna (et.al). Buku Ajar Hukum Internasional. Denpasar: Erika Books Media Publishing, 2023; Sefriani. Hukum Internasional: Suatu Pengantar. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2010. [1] Sefriani. Hukum Internasional: Suatu Pengantar. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2010, hal. 238 [2] Sefriani. Hukum Internasional: Suatu Pengantar. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2010, hal. 238 [3] I Dewa Gede Palguna (et.al). Buku Ajar Hukum Internasional. Denpasar: Erika Books Media Publishing, 2023, hal. 103 [4] Sefriani. Hukum Internasional: Suatu Pengantar. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2010, hal. 240-241 [5] I Dewa Gede Palguna (et.al). Buku Ajar Hukum Internasional. Denpasar: Erika Books Media Publishing, 2023, hal. 103 [6] Pasal 624 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana TAGS potd hukum pidana kuhp | {319: 'setiap negara memiliki yurisdiksi terhadap kejahatan yang dilakukan di dalam wilayah atau teritorialnya, hal inilah yang dikenal dengan asas/prinsip yurisdiksi teritorial.[1]; pengadilan negara di mana suatu kejahatan dilakukan memiliki yurisdiksi terkuat dengan beberapa pertimbangan :[2] negara di mana kejahatan dilakükan adalah negara yang ketertiban sosialnya paling terganggu; biasanya pelaku ditemukan di negara di mana kejahatan dilakukan; akan lebih mudah menemukan saksi dan bukti-bukti sehingga proses persidangan dapat lebih efisien dan efektif; dan seorang warga negara asing yang datang ke wilayah suatu negara dianggap menyerahkan diri pada sistem hukum nasional negara tersebut, sehingga ketika ia melakukan pelanggaran hukum nasional di negara yang ia datangi, maka ia harus tunduk pada hukum setempat meskipun mungkin apa yang ia lakukan sah menurut sistem hukum nasional negaranya sendiri', 320: 'Kemudian, pengadilan negara di mana suatu kejahatan dilakukan memiliki yurisdiksi terkuat dengan beberapa pertimbangan seperti:[2] Lebih lanjut, wilayah suatu negara mencakup wilayah darat, laut, maupun udara.', 321: 'Sefriani dalam buku "Hukum Internasional: Suatu Pengantar" (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2010) pada halaman 238-239 menjelaskan pendapat Hakim Loed Macmillan. Hakim tersebut menyatakan bahwa sebuah negara memiliki yurisdiksi atas semua orang, benda, dan perkara (pidana maupun perdata) di wilayah teritorialnya sebagai bukti kedaulatan negara. Buku ini membahas prinsip dasar yurisdiksi negara dan bagaimana hal tersebut mencerminkan kedaulatan negara dalam konteks hukum internasional. Penjelasan tersebut mendukung argumen bahwa asas teritorial merupakan landasan utama dalam penegakan hukum di suatu negara.\n', 20: 'Undang-Undang ini mulai berlaku setelah 3 (tiga) tahun terhitung sejak tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.'} |
Mohon penjelasannya, apa perbedaan alat bukti dan barang bukti dalam hukum pidana? | ULASAN LENGKAP dari artikel dengan judul Apa Perbedaan Alat Bukti dengan Barang Bukti? yang dibuat oleh Dr. Flora Dianti, S.H., M.H. dan pertama kali dipublikasikan pada 10 November 2011. . Alat Bukti Menurut R. Atang Ranomiharjo sebagaimana dikutip Andi Sofyan dan Abd. Asis dalam buku Hukum Acara Pidana: Suatu Pengantar (hal. 231), alat-alat bukti (yang sah) adalah alat-alat yang ada hubungannya dengan suatu tindak pidana, di mana alat-alat tersebut dapat digunakan sebagai bahan pembuktian, guna menimbulkan keyakinan bagi hakim, atas kebenaran adanya suatu tindak pidana yang telah dilakukan oleh terdakwa. Adapun, alat bukti yang sah berdasarkan Pasal 184 ayat (1) KUHAP adalah keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, dan keterangan terdakwa. Dalam sistem pembuktian hukum acara pidana yang menganut stelsel negatief wettelijk , maka hanya alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang yang dapat dipergunakan untuk pembuktian. [1] Lebih lanjut, menurut Andi Sofyan dan Abd. Asis, menurut sistem HIR , baik dalam acara perdata maupun acara pidana, hakim terikat pada alat-alat bukti yang sah, yang berarti bahwa hakim hanya boleh mengambil keputusan berdasarkan alat-alat bukti yang ditentukan oleh undang-undang saja. [2] Dengan demikian, maka alat bukti di luar dari ketentuan tersebut, tidak dapat digunakan sebagai alat bukti yang sah. Barang Bukti KUHAP memang tidak menyebutkan secara jelas tentang apa yang dimaksud dengan barang bukti. Namun dalam Pasal 39 ayat (1) KUHAP disebutkan mengenai apa-apa saja yang dapat dikenakan penyitaan, yaitu: benda atau tagihan tersangka atau terdakwa yang seluruh atau sebagian diduga diperoleh dari tindakan pidana atau sebagai hasil dari tindak pidana; benda yang telah dipergunakan secara langsung untuk melakukan tindak pidana atau untuk mempersiapkannya; benda yang digunakan untuk menghalang-halangi penyelidikan tindak pidana; benda yang khusus dibuat atau diperuntukkan melakukan tindak pidana; benda lain yang mempunyai hubungan langsung dengan tindak pidana yang dilakukan. Benda-benda yang dapat disita seperti yang disebutkan dalam Pasal 39 ayat (1) KUHAP dapat disebut sebagai barang bukti . [3] Kemudian definisi barang bukti secara tegas dapat ditemukan di dalam Pasal 1 angka 5 Perkapolri 8/2014 . Barang bukti adalah benda bergerak atau tidak bergerak, berwujud atau tidak berwujud yang telah dilakukan penyitaan oleh penyidik untuk keperluan pemeriksaan dalam tingkat penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan. Selain itu, Andi Hamzah mendefinisikan barang bukti ( real evidence ) dalam perkara pidana adalah objek materiel yang meliputi tetapi tidak terbatas pada peluru, pisau, senjata api, perhiasan, televisi, dan lain-lain. Benda-benda tersebut berwujud. Barang bukti ini biasa disebut bukti yang berbicara untuk diri sendiri dan dipandang paling bernilai dibanding bukti yang lain. Barang bukti atau real evidence ini tidak termasuk alat bukti menurut hukum acara pidana Indonesia, karena barang bukti berupa objek materiel ini baru bernilai jika diidentifikasi oleh saksi atau terdakwa. [4] Dengan demikian, ciri-ciri benda yang dapat menjadi barang bukti adalah sebagai berikut: merupakan objek materiel; berbicara untuk diri sendiri; sarana pembuktian yang paling bernilai dibandingkan sarana pembuktian lainnya; harus diidentifikasi dengan keterangan saksi dan keterangan terdakwa. Lebih lanjut, Penjelasan Pasal 42 HIR menyebutkan barang-barang yang perlu dirampas (barang bukti) antara lain: Barang-barang yang menjadi sasaran tindak pidana ( corpora delicti ); Barang-barang yang terjadi sebagai hasil dari tindak pidana ( corpora delicti ); Barang-barang yang dipergunakan untuk melakukan tindak pidana ( instrumenta delicti ); Barang-barang yang pada umumnya dapat dipergunakan untuk memberatkan atau meringankan kesalahan terdakwa ( corpora delicti ). Adapun, menurut Andi Sofyan dan Abd. Asis, barang-barang yang dapat digunakan sebagai bukti, dapat dibagi menjadi: [5] barang yang merupakan objek peristiwa pidana; barang yang merupakan produk peristiwa pidana; barang yang digunakan sebagai alat pelaksanaan peristiwa pidana; barang-barang yang terkait di dalam peristiwa pidana. Dr. Flora Dianti, S.H., M.H. penulis sebelumnya menyimpulkan dari berbagai pendapat ahli hukum mengenai apa yang disebut sebagai barang bukti adalah: Barang yang dipergunakan untuk melakukan tindak pidana; Barang yang dipergunakan untuk membantu melakukan suatu tindak pidana; Benda yang menjadi tujuan dari dilakukannya suatu tindak pidana; Benda yang dihasilkan dari suatu tindak pidana; Benda tersebut dapat memberikan suatu keterangan bagi penyelidikan tindak pidana tersebut, baik berupa gambar ataupun berupa rekaman suara; Barang bukti yang merupakan penunjang alat bukti mempunyai kedudukan yang sangat penting dalam suatu perkara pidana. Tetapi kehadiran suatu barang bukti tidak mutlak dalam suatu perkara pidana, karena ada beberapa tindak pidana yang dalam proses pembuktiannya tidak memerlukan barang bukti. Adapun, fungsi barang bukti dalam perkara pidana adalah sebagai berikut: Menguatkan kedudukan alat bukti yang sah; Mencari dan menemukan kebenaran materiel atas perkara sidang yang ditangani; Setelah barang bukti menjadi penunjang alat bukti yang sah, maka barang bukti tersebut dapat menguatkan keyakinan hakim. Perbedaan Barang Bukti dan Alat Bukti Berdasarkan uraian di atas, menjawab pertanyaan Anda mengenai perbedaan alat dan barang bukti dapat kami uraikan sebagai berikut: Alat Bukti Barang Bukti Pengertian Alat-alat yang ada hubungannya dengan suatu tindak pidana, di mana alat-alat tersebut dapat digunakan sebagai bahan pembuktian , guna menimbulkan keyakinan bagi hakim, atas kebenaran adanya suatu tindak pidana yang telah dilakukan oleh terdakwa. Benda bergerak atau tidak bergerak, berwujud atau tidak berwujud yang telah dilakukan penyitaan oleh penyidik untuk keperluan pemeriksaan dalam tingkat penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan. Dasar Hukum Pasal 184 ayat (1) KUHAP Pasal 39 ayat (1) KUHAP, Pasal 42 HIR serta penjelasannya, dan Pasal 1 angka 5 Perkapolri 8/2014. Jenis keterangan saksi keterangan ahli surat petunjuk keterangan terdakwa Barang yang: digunakan untuk melakukan tindak pidana; digunakan untuk membantu melakukan tindak pidana; menjadi tujuan dilakukannya suatu tindak pidana; dihasilkan/diperoleh dari suatu tindak pidana; dijadikan penunjang alat bukti; menghalang-halangi penyelidikan tindak pidana; mempunyai hubungan langsung suatu tindak pidana. Contoh: peluru, pisau, senjata api, perhiasan, televisi, dan lain-lain. Fungsi Sebagai bahan pembuktian, untuk menimbulkan keyakinan bagi hakim, atas kebenaran adanya suatu tindak pidana yang telah dilakukan oleh terdakwa. Menguatkan kedudukan alat bukti yang sah. Perkaya riset hukum Anda dengan analisis hukum terbaru dwibahasa, serta koleksi terjemahan peraturan yang terintegrasi dalam Hukumonline Pro, pelajari lebih lanjut di sini . Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. Dasar Hukum : Herzien Inlandsch Reglement ; Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana ; Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2010 tentang Tata Cara Pengelolaan Barang Bukti di Lingkungan Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagaimana diubah dengan Peraturan Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2010 tentang Tata Cara Pengelolaan Barang Bukti di Lingkungan Kepolisian Negara Republik Indonesia . Referensi : Andi Hamzah. Hukum Acara Pidana Indonesia. Edisi Kedua, Cetakan ke-9. Jakarta: Sinar Grafika, 2015; Andi Sofyan dan Abd Asis. Hukum Acara Pidana: Suatu Pengantar. Cetakan ke-3. Jakarta: Kencana, 2015; Martiman Prodjohamidjojo. Sistem Pembuktian dan Alat-alat Bukti . Jakarta: Ghalia Indonesia, 1983. [1] Martiman Prodjohamidjojo. Sistem Pembuktian dan Alat-alat Bukti . Jakarta: Ghalia Indonesia, 1983, hal. 19 [2] Andi Sofyan dan Abd Asis. Hukum Acara Pidana: Suatu Pengantar. Cetakan ke-3. Jakarta: Kencana, 2015, hal. 237 [3] Lihat Penjelasan Pasal 46 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana [4] Andi Hamzah. Hukum Acara Pidana Indonesia. Edisi Kedua, Cetakan ke-9. Jakarta: Sinar Grafika, 2015, hal. 258 – 259 [5] Andi Sofyan dan Abd Asis. Hukum Acara Pidana: Suatu Pengantar. Cetakan ke-3. Jakarta: Kencana, 2015, hal. 266 TAGS alat bukti barang bukti kuhap | {322: 'Dalam sistem pembuktian hukum acara pidana yang menganut stelsel negatief wettelijk, maka hanya alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang yang dapat dipergunakan untuk pembuktian.', 323: 'Asis, menurut sistem HIR, baik dalam acara perdata maupun acara pidana, hakim terikat pada alat-alat bukti yang sah, yang berarti bahwa hakim hanya boleh mengambil keputusan berdasarkan alat-alat bukti yang ditentukan oleh undang-undang saja.', 324: 'Ayat (1) Benda yang dikenakan penyitaan diperlukan bagi pemeriksaan sebagai barang bukti. Selama pemeriksaan berlangsung, dapat diketahui benda itu masih diperlukan atau tidak. Dalam hal penyidik atau penuntut umum berpendapat, benda yang disita itu tidak diperlukan lagi untuk pembuktian, maka benda tersebut dapat dikembalikan kepada yang www.djpp.kemenkumham.go.id berkepentingan atau pemiliknya. Dalam pengembalian benda sitaan hendaknya sejauh mungkin diperhatikan segi kemanusiaan, dengan mengutamakan pengembalian benda yang menjadi sumber kehidupan. ', 325: 'Dalam buku Andi Hamzah, *Hukum Acara Pidana Indonesia* edisi kedua, cetakan kesembilan (2015, hal. 258-259), dijelaskan definisi barang bukti (real evidence) dalam perkara pidana. Barang bukti diartikan sebagai objek material yang mencakup, namun tidak terbatas pada, peluru, pisau, senjata api, perhiasan, televisi, dan sebagainya. Benda-benda ini bersifat nyata (berwujud). Barang bukti dianggap sebagai bukti yang "berbicara sendiri" dan memiliki nilai pembuktian tinggi. Namun, penting dicatat bahwa barang bukti, sebagai objek material, bukan termasuk alat bukti dalam hukum acara pidana Indonesia. Nilai pembuktiannya baru muncul setelah diidentifikasi oleh saksi atau terdakwa.\n', 326: 'Asis, barang-barang yang dapat digunakan sebagai bukti, dapat dibagi menjadi:'} |
Apakah membuka rahasia sulap merupakan suatu perbuatan tindak pidana? | ULASAN LENGKAP dari artikel dengan judul sama yang dibuat oleh El Rhoy P. Sihombing, S.H. dari Lembaga Bantuan Hukum Mawar Saron dan dipublikasikan pada 20 Januari 2017. Artikel ini dibuat berdasarkan KUHP lama dan UU 1/2023 tentang KUHP yang diundangkan pada tanggal 2 Januari 2023. . Tindak Pidana dan Asas Legalitas Sebelum kami membahas lebih dalam mengenai pertanyaan Anda, perlu dipahami terlebih dahulu apa yang dimaksud tindak pidana. Sebagaimana dijelaskan oleh Wirjono Prodjodikoro dalam bukunya Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia (hal. 59), tindak pidana adalah suatu perbuatan yang pelakunya dapat dikenai hukuman pidana. Dengan kata lain, tindak pidana adalah perbuatan yang melanggar ketentuan atau peraturan perundang-undangan, dimana pelanggarnya dapat dikenakan ketentuan atau sanksi pidana. Selain definisi tindak pidana, dikenal juga asas legalitas . Asas legalitas ( nullum delictum nulla poena sine praevia lege poenali ) terdapat dalam ketentuan KUHP lama yang saat artikel ini diterbitkan masih berlaku dan UU 1/2023 tentang KUHP baru yang berlaku 3 tahun sejak tanggal diundangkan, [1] yaitu tahun 2026, dengan bunyi sebagai berikut: Pasal 1 ayat (1) KUHP Pasal 1 ayat (1) UU 1/2023 Suatu perbuatan tidak dapat dipidana, kecuali berdasarkan kekuatan ketentuan perundang-undangan pidana yang telah ada. Tidak ada satu perbuatan pun yang dapat dikenai sanksi pidana dan/atau tindakan, kecuali atas kekuatan peraturan pidana dalam peraturan perundang-undangan yang telah ada sebelum perbuatan dilakukan. Penjelasan lebih lanjut tentang asas legalitas dapat Anda simak artikel Apakah Asas Legalitas Hanya Ada dalam Hukum Pidana? Pada intinya, suatu perbuatan dapat dikatakan suatu tindak pidana yang pelakunya dapat dihukum hanya berdasar pada peraturan perundang-undangan, dan tidak dapat dihukum apabila tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan. Hukumnya Membuka Rahasia Sulap Merujuk pada pertanyaan Anda mengenai membuka rahasia sulap apakah merupakan suatu perbuatan tindak pidana atau bukan, maka pertama-tama kita harus melihat apakah sudah ada ketentuan mengenai membuka rahasia dan apakah aturan tersebut memiliki sanksi pidana. Apabila kita membahas mengenai membuka rahasia sulap, sepanjang penelusuran kami, sejauh ini tidak ada aturan yang secara khusus membahas mengenai ketentuan pidana apabila seseorang membuka rahasia sulap. Walau demikian, ketentuan mengenai membuka rahasia dapat dilihat dalam Pasal 322 KUHP atau Pasal 443 UU 1/2023 , yang isinya antara lain: Pasal 322 KUHP Pasal 443 UU 1/2023 Barang siapa dengan sengaja membuka rahasia yang wajib disimpannya karena jabatan atau pencariannya, dengan pidana penjara paling lama 9 bulan atau pidana denda paling banyak Rp9 juta. [2] Jika kejahatan dilakukan terhadap seseorang tertentu, maka perbuatan itu hanya dapat dituntut atas pengaduan orang itu. Setiap Orang yang membuka rahasia yang wajib disimpannya karena jabatan, profesi, atau tugas yang diberikan oleh instansi pemerintah baik rahasia yang sekarang maupun yang dahulu, dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 tahun atau pidana denda paling banyak kategori III yaitu Rp 50 juta. [3] Jika Tindak Pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan mengenai rahasia orang lain, hanya dapat dituntut atas pengaduan orang tersebut. Kemudian, R. Soesilo dalam bukunya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal (hal. 232) menjelaskan bahwa seseorang dapat dijatuhkan pidana dengan tindak pidana membuka rahasia apabila memenuhi elemen-elemen yang harus dibuktikan sebagai berikut: yang diberitahukan (dibuka) itu harus suatu rahasia; bahwa orang itu diwajibkan untuk menyimpan rahasia tersebut dan ia harus betul-betul mengetahui bahwa ia wajib menyimpan rahasia itu; bahwa kewajiban untuk menyimpan rahasia itu adalah akibat dari suatu jabatan atau pekerjaan yang sekarang, maupun yang dahulu pernah ia jabat; dan membukanya rahasia itu dilakukan dengan sengaja. Lebih lanjut R. Soesilo menjelaskan yang diartikan dengan “rahasia” yaitu barang sesuatu yang hanya diketahui oleh yang berkepentingan, sedangkan orang lain belum mengetahuinya. Siapakah yang diwajibkan menyimpan rahasia itu, tiap-tiap peristiwa harus ditinjau sendiri-sendiri oleh hakim. Selanjutnya, yang masuk di sini misalnya seorang dokter harus menyimpan rahasia sakit pasiennya, seorang pastor harus menyimpan rahasia dosa orang-orang yang telah melakukan “biecht” (pengakuan dosa) kepadanya, seorang penyimpan arsip rahasia dilarang memberitahukan tentang surat-surat kepada orang yang tidak berkepentingan. [4] Kemudian, berdasarkan Penjelasan Pasal 443 ayat (1) UU 1/2023 , yang dimaksud dengan "rahasia" adalah segala sesuatu yang hanya boleh diketahui oleh orang yang berkepentingan sedangkan orang lain tidak boleh mengetahuinya. Untuk mengetahui bahwa siapa yang diwajibkan menyimpan rahasia harus diteliti peristiwa demi peristiwa sesuai dengan ketentuan hukum atau kebiasaan yang berlaku di lingkungan di mana terdapat kewajiban semacam itu, misalnya, kewajiban arsiparis untuk menyimpan rahasia berkas yang sifatnya rahasia dan kewajiban dokter untuk merahasiakan pasien yang ditangani. Tindak pidana ini menjadi tindak pidana aduan jika dilakukan terhadap orang tertentu Apabila dikaitkan dengan pertanyaan Anda, soal elemen bahwa orang itu diwajibkan untuk menyimpan rahasia tersebut dan ia harus betul-betul mengetahui bahwa ia wajib menyimpan rahasia itu, belum tentu elemen tersebut sudah terpenuhi, mengingat tidak ada kewajiban pesulap untuk tidak memberitahukan rahasia sulap dimaksud. Kemudian, tidak ada kewajiban yang mengikat seseorang bahwa rahasia sulap wajib untuk dirahasiakan berdasarkan jabatannya atau pekerjaannya untuk menjaga rahasia sulap tersebut. Oleh karena itu, menurut hemat kami, pembuka rahasia sulap tidak dapat dijatuhi hukuman pidana karena tidak ada kewajiban untuk menyimpan rahasia tersebut , dalam suatu jabatan yang dimiliki seseorang . Selain itu, karena tidak ada ketentuan dalam peraturan perundang-undangan yang melarang seseorang membuka rahasia sulap, maka, pembuka rahasia sulap tidak dapat dihukum . Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. Dasar Hukum : Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ; Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ; Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2012 tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda dalam KUHP . Referensi : R. Soesilo. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal . Bogor: Politeia, 1994. Wirjono Prodjodikoro. Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia . Bandung: Refika Aditama, 2003. [1] Pasal 624 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“UU 1/2023”) [2] Pasal 3 Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2012 tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda dalam KUHP , denda dikali 1000 kali [3] Pasal 79 ayat (1) huruf c UU 1/2023 [4] R. Soesilo. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal . Bogor: Politeia, 1994, hal. 232 TAGS pidana hukum rahasia | {4: 'Undang-Undang ini mulai berlaku setelah 3 (tiga) tahun terhitung sejak tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.', 342: 'Tiap jumlah maksimum hukuman denda yang diancamkan dalam KUHPkecuali pasal 303 ayat 1 dan ayat 2, 303 bis ayat 1 dan ayat 2, dilipatgandakan menjadi 1.000 (seribu) kall,', 25: "['(1) pidana denda paling banyak ditetapkan berdasarkan: a. kategori i, rp1.000.000,00 (satu juta rupiah); b. kategori ii, rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah); c. kategori iii, rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah); d. kategori iv, rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah); e. kategori v, rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah); f. kategori vi, rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah); g. kategori vii, rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah); dan h. kategori viii, rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah).']", 343: 'Dalam bukunya, *Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal* (hal. 232), R. Soesilo menjelaskan unsur-unsur pembuktian tindak pidana membuka rahasia. Ia menjabarkan bahwa "rahasia" merujuk pada informasi yang hanya diketahui pihak tertentu, dan belum diketahui orang lain. Kewajiban menyimpan rahasia bersifat individual, ditetapkan berdasarkan konteks kasus. Contohnya, kewajiban dokter merahasiakan penyakit pasien, pastor merahasiakan pengakuan dosa, dan arsiparis merahasiakan dokumen rahasia. Soesilo menekankan penentuan kewajiban menyimpan rahasia dilakukan hakim per kasus.\n'} |
Bagaimana hukumnya jika saya menerima uang suap tetapi setelah ada isu tentang suap tersebut uang itu saya kembalikan kepada jaksa dengan cara saya datang sendiri tanpa adanya panggilan? | ULASAN LENGKAP dari artikel dengan judul Mengembalikan Uang Suap yang dibuat oleh Diana Kusumasari, S.H., M.H. dan pertama kali dipublikasikan pada 11 Maret 2011. Artikel ini dibuat berdasarkan KUHP lama dan UU 1/2023 tentang KUHP yang diundangkan pada tanggal 2 Januari 2023. . Tindak Pidana Suap Apa yang dimaksud dengan suap? Secara konseptual, arti suap adalah pemberian atau janji kepada seorang penyelenggara negara atau pegawai negeri yang berhubungan dengan jabatannya. [1] Dalam tindak pidana suap, terdapat kehendak pemberi dan penerima suap untuk melakukan suap menyuap. Sehingga, baik pemberi dan penerima suap dapat dijerat hukum, karena adanya niat jahat ( mens rea ) untuk melakukan perbuatan terlarang sebelum suap dilakukan. Adapun, subjek pemberi suap adalah setiap orang atau siapa saja. Sedangkan subjek penerima suap adalah seseorang yang memiliki kedudukan/kekuasaan tertentu seperti penyelenggara negara, pegawai negeri, hakim dan advokat. Secara hukum, definisi suap menurut undang-undang dapat ditemukan di dalam Pasal 2 dan Pasal 3 UU 11/1980 yang berbunyi sebagai berikut: Pasal 2 Barangsiapa memberi atau menjanjikan sesuatu kepada seseorang dengan maksud untuk membujuk supaya orang itu berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu dalam tugasnya, yang berlawanan dengan kewenangan atau kewajibannya yang menyangkut kepentingan umum, dipidana karena memberi suap dengan pidana penjara selama-lamanya 5 (lima) tahun dan denda sebanyak-banyaknya Rp.15.000.000,- (lima belas juta rupiah). Pasal 3 Barangsiapa menerima sesuatu atau janji , sedangkan ia mengetahui atau patut dapat menduga bahwa pemberian sesuatu atau janji itu dimaksudkan supaya ia berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu dalam tugasnya, yang berlawanan dengan kewenangan atau kewajibannya yang menyangkut kepentingan umum, dipidana karena menerima suap dengan pidana penjara selama-lamanya 3 (tiga) tahun atau denda sebanyak-banyaknya Rp.15.000.000.- (lima belas juta rupiah). Adapun, yang dimaksud dengan “ kewenangan atau kewajibannya”, dalam pasal tersebut termasuk kewenangan dan kewajiban yang telah ditentukan oleh kode etik profesi atau yang ditentukan oleh organisasi masing-masing. [2] Selanjutnya, apabila subjek penerima suap merupakan penyelenggara negara atau pegawai negeri, maka termasuk ke dalam tindak pidana korupsi . Hal ini diatur di dalam pasal suap menyuap yaitu Pasal 5 ayat (1) huruf a, b dan ayat (2) , Pasal 6 ayat (1) huruf a, b dan ayat (2) , Pasal 11 , Pasal 12 huruf a sampai dengan huruf d , dan Pasal 13 UU 20/2001 . [3] Adapun, unsur-unsur tindak pidana korupsi yang terkait dengan suap menyuap, kami rangkum sebagai berikut: [4] Setiap orang; Memberi sesuatu atau menjanjikan sesuatu; Kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara; Menerima pemberian, hadiah atau janji; Karena atau berhubungan dengan sesuatu yang bertentangan dengan kewajiban, dilakukan, atau tidak dilakukan dalam jabatannya; Dengan mengingat kekuasaan atau wewenang yang melekat pada jabatan atau kedudukannya, atau oleh pemberi hadiah atau janji dianggap, melekat pada jabatan atau kedudukan tersebut; Patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk menggerakkannya agar melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya. Apakah Mengembalikan Uang Suap Menghapus Tuntutan Pidana? Menjawab pertanyaan Anda mengenai hukumnya mengembalikan uang suap oleh penerima suap, baik yang sudah diproses oleh hukum maupun yang belum, pada dasarnya tidak dapat menjadi alasan penghapus pidana. Dengan kata lain, mengembalikan uang suap tidak dapat dijadikan dasar bagi pelaku untuk terlepas dari jerat hukum. Apa alasannya? Dalam doktrin hukum pidana, alasan penghapus pidana terbagi atas dasar pembenar ( rechtsvaardigingsgronden ) dan pemaaf ( schulduitsluitingsgronden ). Apabila terdapat dasar pembenar, maka suatu perbuatan kehilangan sifat melawan hukumnya, sehingga pembuatnya tidak dapat disebut sebagai pelaku tindak pidana. Sementara, alasan pemaaf adalah alasan yang menghapus kesalahan pelaku, namun perbuatannya tetap melawan hukum. Lebih lanjut, Adami Chazawi merumuskan dasar penghapus pidana dalam KUHP lama yang masih berlaku saat artikel ini diterbitkan sebagai berikut: [5] Alasan Pembenar Alasan Pemaaf Adanya daya paksa ( Pasal 48 KUHP ) Ketidakmampuan bertanggung jawab ( Pasal 44 KUHP ) Adanya pembelaan terpaksa ( Pasal 49 ayat (1) KUHP ) Pembelaan terpaksa yang melampaui batas ( Pasal 49 ayat (2) KUHP ) Sebab menjalankan perintah undang–undang ( Pasal 50 KUHP ) Hal menjalankan perintah jabatan yang tidak sah dengan iktikad baik ( Pasal 51 ayat (2) KUHP ) Sebab menjalankan perintah jabatan yang sah ( Pasal 51 ayat (1) ) Adapun, alasan penghapus pidana juga diatur dalam KUHP baru yaitu UU 1/2023 yang berlaku 3 tahun sejak tanggal diundangkan [6] yaitu tahun 2026 sebagai berikut: Alasan Pembenar Alasan Pemaaf Melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan ( Pasal 31 UU 1/2023 ) Anak belum berumur 12 tahun ( Pasal 40 UU 1/2023 ) Melaksanakan perintah jabatan dari pejabat berwenang ( Pasal 32 UU 1/2023 ) Dipaksa oleh kekuatan yang tidak dapat ditahan ( Pasal 42 huruf a UU 1/2023 ) Keadaan darurat ( Pasal 33 UU 1/2023 ) Dipaksa oleh ancaman, tekanan, atau kekuatan yang tidak dapat dihindari ( Pasal 42 huruf b UU 1/2023 ) Pembelaan terhadap serangan atau ancaman serangan seketika yang melawan hukum terhadap diri sendiri atau orang lain, kehormatan dalam arti kesusilaan, atau harta benda sendiri atau orang lain ( Pasal 34 UU 1/2023 ) Pembelaan terpaksa yang melampaui batas karena keguncangan jiwa yang hebat ( Pasal 43 UU 1/2023 ) Ketiadaan sifat melawan hukum ( Pasal 35 UU 1/2023 ) Perintah jabatan tanpa wewenang tidak menghapus pidana, kecuali diperintahkan dengan iktikad baik mengira bahwa perintah tersebut diberikan dengan wewenang dan pelaksanaannya, termasuk dalam lingkup pekerjaannya ( Pasal 44 UU 1/2023 ) : Daya Paksa dan Pembelaan Terpaksa sebagai Alasan Penghapus Pidana Berdasarkan penjelasan mengenai alasan penghapus pidana di atas, menurut pendapat kami, tidak terdapat satupun alasan penghapus pidana pada tindakan pengembalian uang suap dalam tindak pidana suap menyuap . Hal ini karena tujuan pemberi suap memberikan hadiah kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara adalah agar penerima suap melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya. Dengan kata lain, pegawai negeri atau penyelenggara negara tersebut tetap dianggap korupsi karena hadiah atau janji yang diterimanya ditujukan agar yang bersangkutan melakukan atau tidak melakukan sesuatu yang bertentangan dengan kewajibannya. Selain itu, sudah sepatutnya penerima suap mengetahui sumber uang atau hadiah tersebut. Menurut hemat kami, dengan Anda mengembalikan uang suap tersebut justru membuktikan bahwa Anda telah menerima suap. Hal ini justru akan mempermudah penyidik untuk memproses kasus tersebut. Dengan demikian, dapat kami simpulkan bahwa pengembalian uang suap oleh penerima suap tidak dapat menghapus tindak pidana atau jerat hukum bagi pelaku suap. Namun, iktikad baik Anda untuk mengembalikan uang suap tersebut patut diapresiasi, karena akan mempermudah penyidik dalam memproses perkara suap tersebut. Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. Dasar Hukum : Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ; Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1980 tentang Tindak Pidana Suap ; Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi ; Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana . Referensi : Adami Chazawi. Penafsiran Hukum Pidana, Dasar Peniadaan, Pemberatan dan Peringanan, Kejahatan Aduan, Perbarengan dan Ajaran Kausalitas. Jakarta: PT Raja Grafindo, 2009; Ali Mahrus dan Yuherawan Bagus Setya Deni. Delik-Delik Korupsi. Jakarta: Sinar Grafika, 2020; KPK. Memahami untuk Membasmi: Buku Panduan untuk Memahami Tindak Pidana Korupsi . Jakarta: Komisi Pemberantasan Korupsi, 2006. [1] Mahrus Ali dan Deni Setya Bagus Yuherawan. Delik-Delik Korupsi . Jakarta: Sinar Grafika, 2020, hal. 102 [2] Penjelasan Pasal 2 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1980 tentang Tindak Pidana Suap [3] KPK. Memahami untuk Membasmi: Buku Panduan untuk Memahami Tindak Pidana Korupsi . Jakarta: Komisi Pemberantasan Korupsi, 2006, hal. 16 [4] Lihat KPK. Memahami untuk Membasmi: Buku Panduan untuk Memahami Tindak Pidana Korupsi . Jakarta: Komisi Pemberantasan Korupsi, 2006, hal. 26 – 51 [5] Adami Chazawi. Penafsiran Hukum Pidana, Dasar Peniadaan, Pemberatan dan Peringanan, Kejahatan Aduan, Perbarengan dan Ajaran Kausalitas . Jakarta: PT Raja Grafindo, 2009, hal. 19 – 20. [6] Pasal 624 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana TAGS suap tipikor korupsi | {344: 'arti suap adalah pemberian atau janji kepada seorang penyelenggara negara atau pegawai negeri yang berhubungan dengan jabatannya.', 345: 'Yang dimaksud dengan "kewenangan dan kewajibannya" termasuk kewenangan dan kewajiban yang ditentukan oleh kode etik profesi atau yang ditentukan oleh organisasi masing-masing. ', 346: 'Ketigapuluh bentuk/jenis tindak pidana korupsi tersebut pada dasarnya dapat dikelompokkan sebagai berikut: 1. Kerugian keuangan negara: - Pasal 2 - Pasal 3 2. Suap-menyuap: - Pasal 5 ayat (1) huruf a - Pasal 5 ayat (1) huruf b - Pasal 13 - Pasal 5 ayat (2) - Pasal 12 huruf a - Pasal 12 huruf b - Pasal 11 - Pasal 6 ayat (1) huruf a - Pasal 6 ayat (1) huruf b - Pasal 6 ayat (2) - Pasal 12 huruf c - Pasal 12 huruf d 3. Penggelapan dalam jabatan: - Pasal 8 - Pasal 9 - Pasal 10 huruf a - Pasal 10 huruf b - Pasal 10 huruf c 4. Pemerasan: - Pasal 12 huruf e - Pasal 12 huruf g - Pasal 12 huruf h 5. Perbuatan curang: - Pasal 7 ayat (1) huruf a - Pasal 7 ayat (1) huruf b - Pasal 7 ayat (1) huruf c - Pasal 7 ayat (1) huruf d - Pasal 7 ayat (2) - Pasal 12 huruf h 6. Benturan kepentingan dalam pengadaan: - Pasal 12 huruf i 7. Gratifikasi: - Pasal 12 B jo. Pasal 12 C Selain definisi tindak pidana korupsi yang sudah dijelaskan di atas, masih ada tindak pidana lain yang berkaitan dengan tindak pidana korupsi. Jenis tindak pidana lain itu tertuang pada Pasal 21, 22, 23, dan 24 Bab III UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Jenis tindak pidana lain yang berkaitan dengan tindak pidana korupsi terdiri atas: 1. Merintangi proses pemeriksaan perkara korupsi: - Pasal 21 2. Tidak memberi keterangan atau memberi keterangan yang tidak benar: - Pasal 22 jo. Pasal 28 3. Bank yang tidak memberikan keterangan rekening tersangka: - Pasal 22 jo. Pasal 29 4. Saksi atau ahli yang tidak memberi keterangan atau memberi keterangan palsu: - Pasal 22 jo. Pasal 35 5. Orang yang memegang rahasia jabatan tidak memberikan keterangan atau memberi keterangan palsu: - Pasal 22 jo. Pasal 36 6. Saksi yang membuka identitas pelapor: - Pasal 24 jo. Pasal 31', 347: 'Buku Panduan untuk Memahami Tindak Pidana Korupsi yang diterbitkan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada tahun 2006, halaman 26-51, menjelaskan secara detail tentang tindak pidana korupsi, termasuk di dalamnya unsur-unsur suap menyuap. Buku ini memberikan pemahaman komprehensif mengenai berbagai bentuk korupsi, menjelaskan konsep suap, dan menguraikan peraturan perundang-undangan terkait. Penjelasan yang terdapat di dalamnya sangat berguna untuk memahami aspek hukum dan praktik korupsi di Indonesia. Buku ini merupakan referensi penting bagi siapapun yang ingin memahami lebih dalam tentang korupsi.\n', 348: 'Lebih lanjut, Adami Chazawi merumuskan dasar penghapus pidana dalam KUHP lama yang masih berlaku saat artikel ini diterbitkan sebagai berikut:', 20: 'Undang-Undang ini mulai berlaku setelah 3 (tiga) tahun terhitung sejak tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.'} |
Sering kali saya dengar terdapat kasus pelecehan seksual fisik dengan diminta memegang kelamin secara paksa oleh pelanggan laki-laki terhadap terapis pijat di tempat pijat relaksasi ternama daerah Jakarta Selatan. Lantas, bagaimana hukumnya mengenai hal tersebut? Apakah tempat pijat tersebut mempunyai kewajiban untuk memberikan perlindungan hukum pada terapisnya seperti memberikan bantuan hukum dan pemulihan? | ULASAN LENGKAP dari artikel dengan judul Jerat Hukum Pemerkosa Terapis Pijat Online yang dibuat oleh Sovia Hasanah, S.H. dan pertama kali dipublikasikan pada 20 Maret 2019. . Jerat Hukum Bagi Pelaku Pelecehan Seksual Kami berpendapat apa yang telah dilakukan oleh pelanggan Anda termasuk kasus perbuatan cabul dengan ancaman pasal berikut ini: Pasal 289 KUHP Pasal 414 UU 1/2023 Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul , diancam karena melakukan perbuatan yang menyerang kehormatan kesusilaan, dengan pidana penjara paling lama 9 tahun. Setiap orang yang melakukan perbuatan cabul terhadap orang lain yang berbeda atau sama jenis kelaminnya: di depan umum, dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 tahun 6 bulan atau pidana denda paling banyak kategori III, yaitu Rp50 juta; [1] secara paksa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 9 tahun; atau yang dipublikasikan sebagai muatan pornografi, dipidana dengan pidana penjara paling lama 9 tahun. Setiap orang dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa orang lain untuk melakukan perbuatan cabul terhadap dirinya, dipidana dengan pidana penjara paling lama 9 tahun. Selain itu dalam UU TPKS , diatur juga mengenai pelecehan seksual fisik yang terdiri dari tiga bentuk. Adapun salah satu bentuk yang dilakukan oleh pelaku adalah perbuatan seksual fisik yang ditujukan terhadap tubuh, keinginan seksual, dan/atau organ reproduksi dengan maksud menempatkan seseorang di bawah kekuasaannya secara melawan hukum, baik di dalam maupun di luar perkawinan. Terhadap perbuatan tersebut sebagaimana diatur dalam Pasal 6b UU TPKS , maka pelaku dapat dijerat pidana penjara maksimal 12 tahun dan/atau denda maksimal Rp30 juta. : Jerat Pidana Pasal Pelecehan Seksual dan Pembuktiannya Perlindungan Hukum Terapis Pijat di Tempat Kerja Adapun disarikan dari Ada Pelecehan di Tempat Kerja? Tempuh Langkah Ini , pada dasarnya setiap pekerja, baik laki-laki maupun perempuan berhak untuk dilindungi dari segala bentuk kekerasan ditempat kerja, termasuk kekerasan seksual. Pasal 86 ayat (1) UU Ketenagakerjaan pun juga menyebutkan bahwa setiap pekerja/buruh memiliki hak untuk memperoleh perlindungan atas: keselamatan dan kesehatan kerja; moral dan kesusilaan ; dan perlakukan yang sesuai dengan harkat dan martabat manusia serta nilai-nilai agama . Oleh karena itu perlu diperhatikan walaupun dalam UU Ketenagakerjaan tidak diatur secara spesifik mengenai pencegahan pelecehan seksual di tempat kerja, tanpa membedakan karyawan kontrak atau karyawan tetap namun ada rambu-rambu yang wajib dilaksanakan pengusaha terkait pencegahan pelecehan seksual di tempat kerja sebagaimana diatur dalam ketentuan-ketentuan di atas . Perlindungan Hukum Korban Pelecehan Menjawab pertanyaan Anda mengenai apakah perusahaan pijat relaksasi mempunyai kewajiban untuk memberikan perlidungan hukum pada terapisnya yang menjadi korban pelecehan? Pertama , korban dapat mengadukan bentuk pelecehan seksual kepada penyelia (pengawas/ supervisor) , manajer lain atau pejabat penanganan keluhan yang ditentukan sebagaimana dinyatakan dalam Lampiran SE Menaker 03/2011 (hal. 16). Menurut hemat kami, korban dapat juga melapor kepada pimpinan perusahaan, serikat pekerja, atau kantor dinas tenaga kerja setempat. Kedua , korban dapat melaporkan pelaku kepada polisi berdasarkan ketentuan KUHP atau UU 1/2023 dan UU TPKS. Adapun mengenai prosedur melaporkan tindak pidana ke polisi, dapat disimak dalam artikel Mau Melaporkan Tindak Pidana ke Polisi? Begini Prosedurnya . Ketiga , apabila korban takut melaporkan sendiri ke polisi, dapat juga dilaporkan oleh atau orang yang mengetahui, melihat dan/atau menyaksikan kejadian tersebut ataupun oleh tenaga medis. Keempat , korban dapat mencari pendampingan. Salah satunya ke Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak (“UPTD PPA”), lembaga penyedia layanan berbasis masyarakat untuk diberikan pendampingan dan pelayanan terpadu yang dibutuhkan korban. [2] Adapun disarikan dari artikel Cara Melaporkan Pelecehan Seksual Tanpa Bukti dijelaskan bahwa korban dapat melaporkan pelecehan seksual melalui layanan call center Sabahat Perempuan dan Anak (“SAPA”) 129 yang dapat diakses melalui hotline 021-129 atau Whatsapp 08111-129-129. SAPA 129 ini memiliki 6 jenis layanan yaitu layanan pengaduan masyarakat, penjangkuan korban, pengelolaan kasus, akses penampungan sementara, mediasi, dan pendampingan korban. Kemudian menurut Pasal 19 ayat (1) PP 7/2018 , korban sebagai orang yang mengalami penderitaan fisik, mental, dan/atau kerugian ekonomi yang diakibatkan oleh suatu tindak pidana berhak memperoleh restitusi berupa: [3] ganti kerugian atas kehilangan kekayaan atau penghasilan; ganti kerugian yang ditimbulkan akibat penderitaan yang berkaitan langsung sebagai akibat tindak pidana; dan/atau penggantian biaya perawatan medis dan/atau psikologis. Selengkapnya mengenai restitusi, dapat Anda baca ulasan dalam Tata Cara Permohonan Restitusi dan Kompensasi untuk Korban Tindak Pidana . Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. Dasar Hukum: Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ; Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan; Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual ; Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ; Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja yang telah ditetapkan sebagai undang-undang melalui Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 ; Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 2018 tentang Pemberian Kompensasi, Restitusi, dan Bantuan Kepada Saksi dan Korban ; Surat Edaran Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor SE.03/MEN/IV/2011 Tahun 2011 tentang Pedoman Pencegahan Pelecehan Seksual di Tempat Kerja . [1] Pasal 79 ayat (1) huruf c Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana [2] Pasal 39 dan 40 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual [3] Pasal 1 angka 2 Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 2018 tentang Pemberian Kompensasi, Restitusi, dan Bantuan Kepada Saksi dan Korban TAGS pelecehan pelecehan seksual kuhp | {349: "['(1) pidana denda paling banyak ditetapkan berdasarkan: a. kategori i, rp1.000.000,00 (satu juta rupiah); b. kategori ii, rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah); c. kategori iii, rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah); d. kategori iv, rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah); e. kategori v, rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah); f. kategori vi, rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah); g. kategori vii, rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah); dan h. kategori viii, rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah).']", 350: "['(1) korban atau orang ya.ng mengetahui, melihat, dan/ atau menyaksikan peristiwa yang merupakan tindak pidana kekerasan seksual melaporkan kepada uptd ppa, unit pelaksana teknis dan unit pelaksana teknis daerah di bidang sosial, lembaga penyedia layanan berbasis masyarakat, dan/ atau kepolisian, baik di tempat korban berada maupun di tempat terjadinya tindak pidana. sk no 145027 a fresiden repuelik indonesia']", 351: 'Korban adalah orang yang mengalami penderitaan fisik, mental, dan/atau kerugian ekonomi yang diakibatkan oleh suatu tindak pidana.'} |
Akhir-akhir ini sedang viral, kasus seorang influencer dan temannya yang dikeroyok oleh pelaku secara bersamaan di daerah Bandung. Saat pelaku dilaporkan ke kantor polisi, pelaku merasa tidak mengenali korban dan mengaku memukuli dalam keadaan mabuk. Lantas, apakah suatu pengeroyokan tanpa saksi dapat diproses secara hukum? Hanya berlandaskan surat keterangan visum. | ULASAN LENGKAP dari artikel dengan judul Pembuktian Tindak Pidana dengan Pengeroyokan Tanpa Saksi yang dibuat oleh oleh Marc Anthonio, S.H. dan dipublikasikan pertama kali pada tanggal 10 Agustus 2020. . Untuk menjawab pertanyaan Anda, perlu diketahui terlebih dahulu bahwa permasalahan yang terjadi merupakan ruang lingkup hukum pidana. Selanjutnya, kami akan merujuk pada ketentuan dalam KUHAP , KUHP lama maupun UU 1/2023 tentang KUHP baru yang berlaku 3 tahun sejak tanggal diundangkan, [1] yaitu tahun 2026, dan Perkapolri 6/2019 . Tindak Pidana Penganiayaan dan Pengeroyokan Dari pertanyaan Anda, menurut hemat kami, peristiwa yang terjadi diduga merupakan peristiwa tindak pidana penganiayaan atau tindak pidana pengeroyokan. Adapun tindak pidana penganiayaan telah diatur dalam Pasal 351 KUHP atau Pasal 466 UU 1/2023 dan tindak pidana pengeroyokan yang diatur dalam Pasal 170 KUHP atau Pasal 262 UU 1/2023 bukanlah merupakan delik aduan sebagaimana tidak adanya ketentuan spesifik yang menyatakan sebagai berikut. Selanjutnya berikut bunyi pasal terkait: KUHP UU 1/2023 Pasal 351 Penganiayaan diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau pidana denda paling banyak Rp4,5 juta. Jika perbuatan mengakibatkan luka-luka berat, yang bersalah diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun. Jika mengakibatkan mati, diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun. Dengan penganiayaan disamakan sengaja merusak kesehatan. Percobaan untuk melakukan kejahatan ini tidak dipidana. Pasal 466 Setiap orang yang melakukan penganiayaan, dipidana penjara paling lama 2 (dua) tahun 6 (enam) bulan atau pidana denda paling banyak kategori III, yaitu Rp50 juta. [2] Jika perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan luka berat, dipidana penjara paling lama 5 (lima) tahun. Jika perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan matinya orang, dipidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun. Termasuk dalam penganiayaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah perbuatan yang merusak kesehatan. Pasal 170 Barang siapa dengan terang-terangan dan dengan tenaga bersama menggunakan kekerasan terhadap orang atau barang, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun enam bulan. Yang bersalah diancam: dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun, jika ia dengan sengaja menghancurkan barang atau jika kekerasan yang digunakan mengakibatkan luka-luka; dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun, jika kekerasan mengakibatkan luka berat; dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun, jika kekerasan mengakibatkan maut. Pasal 89 KUHP tidak diterapkan. Pasal 262 Setiap orang yang dengan terang-terangan atau di muka umum dan dengan tenaga bersama melakukan kekerasan terhadap orang atau barang, dipidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak kategori V, yaitu Rp 500 juta. [3] Jika kekerasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan hancurnya barang atau mengakibatkan luka, dipidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun atau pidana denda paling banyak kategori IV, yaitu Rp200 juta. [4] Jika kekerasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan luka berat, dipidana dengan pidana penjara paling lama 9 (sembilan) tahun. Jika kekerasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan matinya orang, dipidana dengan pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun. Setiap orang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dapat dijatuhi pidana tambahan berupa pembayaran ganti rugi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66 ayat (1) huruf d. Penjelasan selengkapnya mengenai delik aduan dapat disimak dalam artikel Apakah Delik Aduan Bisa Dicabut Kembali? Perlu diketahui bahwa terkait penganiayaan yang termuat pada Pasal 351 KUHP , R. Soesilo dalam bukunya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal (hal. 245), mengatakan bahwa undang-undang tidak memberi ketentuan apakah yang diartikan dengan “penganiayaan” itu. Adapun menurut yurisprudensi, penganiayaan diartikan sebagai tindakan sengaja menyebabkan perasaan tidak enak (penderitaan) , rasa sakit , atau luka . Menurut alinea empat pasal ini, termasuk pula dalam pengertian penganiayaan ialah sengaja merusak kesehatan orang . Adapun pada penjelasan Pasal 466 UU 1/2023 ditegaskan bahwa ketentuan dalam pasal tersebut sama halnya tidak memberi perumusan mengenai pengertian penganiayaan. Hal ini diserahkan kepada penilaian hakim untuk memberikan interpretasi terhadap kasus yang dihadapi sesuai dengan perkembangan nilai-nilai sosial dan budaya serta perkembangan dunia kedokteran. : Ini Bunyi Pasal 351 KUHP tentang Penganiayaan Selanjutnya terkait Pasal 170 KUHP, masih dalam bukunya yang sama, R. Soesilo menegaskan bahwa siapa saja dapat menjadi subjek pelaku tindak pidana. [5] Adapun kekerasan yang dilakukan terhadap orang atau barang adalah kekerasan yang dilakukan biasanya terdiri atas merusak barang atau penganiayaan, akan tetapi dapat pula kurang dari itu, sudah cukup misalnya bila orang-orang melemparkan batu pada orang lain atau rumah, atau membuang-buang barang-barang dagangan sehingga berserakan, meskipun tidak ada maksud untuk menyakiti orang atau merusak barang itu. [6] : Bunyi Pasal 170 KUHP tentang Pengeroyokan Dengan demikian, tanpa adanya aduan dari korban pun, para pelaku tetap dapat diproses secara hukum menurut ketentuan dalam KUHAP. Jika ada dugaan peristiwa tindak pidana, maka korban dapat melaporkan para pelaku ke kepolisian agar dapat diproses secara hukum . Jenis Alat Bukti dalam Kasus Pidana Alat bukti yang sah dalam perkara pidana terdiri dari: [7] keterangan saksi; keterangan ahli; surat; petunjuk; keterangan terdakwa. Untuk menentukan apakah terdakwa terbukti bersalah melakukan suatu tindak pidana, kesalahannya harus dibuktikan dengan sekurang-kurangnya 2 alat bukti yang sah dan atas adanya 2 alat bukti yang sah tersebut, hakim memperoleh keyakinan bahwa tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya, atau yang dikenal dengan sistem pembuktian negatif (negatief wettelijk bewijstheorie). Dalam pertanyaan, Anda menyatakan bahwa tidak ada saksi yang melihat tindakan pengeroyokan yang diduga dilakukan oleh para pelaku, tetapi sudah dilakukan visum kepada korban. Adapun yang dimaksud sebagai saksi menurut Putusan MK No. 65/PUU-VIII/2010 (hal. 92), adalah termasuk korban selaku orang yang mengalami suatu peristiwa pidana dapat pula dikategorikan sebagai saksi. Lalu, apakah seorang saksi (hanya korban) cukup untuk membuktikan suatu dugaan tindak pidana? Berdasarkan Pasal 185 ayat (2) KUHAP diketahui bahwa keterangan seorang saksi saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah terhadap perbuatan yang didakwakan kepadanya. Namun perlu diketahui bahwa ketentuan tersebut tidak berlaku apabila disertai dengan suatu alat bukti yang sah lainnya. [8] Berdasarkan pertanyaan yang Anda ajukan, korban telah melakukan visum, artinya terdapat alat bukti lain berupa surat, yaitu visum et repertum yang dapat memperkuat keterangan saksi korban. Dengan demikian, alat bukti yang dibutuhkan sudah cukup untuk dijadikan dasar bagi pihak kepolisian dan aparat penegak hukum yang lain untuk melakukan proses hukum lebih lanjut. Oleh karena itu, untuk menjawab pertanyaan Anda, peristiwa tindak pidana penganiayaan atau pengeroyokan yang terjadi dapat diproses secara hukum berdasarkan alat bukti keterangan saksi korban, alat bukti surat berupa visum et repertum , petunjuk, maupun keterangan terdakwa . : Syarat dan Prosedur Melakukan Visum sebagai Alat Bukti Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. Dasar Hukum: Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ; Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana ; Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ; Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2019 tentang Penyidikan Tindak Pidana ; Putusan : Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 65/PUU-VIII/2010 . [1] Pasal 624 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“UU 1/2023”) [2] Pasal 79 ayat (1) huruf c UU 1/2023 [3] Pasal 79 ayat (1) huruf e UU 1/2023 [4] Pasal 79 ayat (1) huruf d UU 1/2023 [5] Mahrus Ali. Dasar-dasar Hukum Pidana, Cet. 2. Jakarta: Sinar Grafika, 2012, hal. 111 [6] R. Soesilo. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal. Bogor: Politeia, 1991, hal. 146 [7] Pasal 184 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHAP”) [8] Pasal 185 ayat (3) KUHAP TAGS pengeroyokan acara peradilan pidana kuhp | {4: 'Undang-Undang ini mulai berlaku setelah 3 (tiga) tahun terhitung sejak tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.', 25: "['(1) pidana denda paling banyak ditetapkan berdasarkan: a. kategori i, rp1.000.000,00 (satu juta rupiah); b. kategori ii, rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah); c. kategori iii, rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah); d. kategori iv, rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah); e. kategori v, rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah); f. kategori vi, rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah); g. kategori vii, rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah); dan h. kategori viii, rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah).']", 7: "['(1) pidana denda paling banyak ditetapkan berdasarkan: a. kategori i, rp1.000.000,00 (satu juta rupiah); b. kategori ii, rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah); c. kategori iii, rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah); d. kategori iv, rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah); e. kategori v, rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah); f. kategori vi, rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah); g. kategori vii, rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah); dan h. kategori viii, rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah).']", 6: "['(1) pidana denda paling banyak ditetapkan berdasarkan: a. kategori i, rp1.000.000,00 (satu juta rupiah); b. kategori ii, rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah); c. kategori iii, rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah); d. kategori iv, rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah); e. kategori v, rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah); f. kategori vi, rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah); g. kategori vii, rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah); dan h. kategori viii, rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah).']", 355: 'Soesilo menegaskan bahwa siapa saja dapat menjadi subjek pelaku tindak pidana.', 356: '[5] Adapun kekerasan yang dilakukan terhadap orang atau barang adalah kekerasan yang dilakukan biasanya terdiri atas merusak barang atau penganiayaan, akan tetapi dapat pula kurang dari itu, sudah cukup misalnya bila orang-orang melemparkan batu pada orang lain atau rumah, atau membuang-buang barang-barang dagangan sehingga berserakan, meskipun tidak ada maksud untuk menyakiti orang atau merusak barang itu.', 357: 'pasal 184 bulan adalah waktu 30 (tiga puluh) hari.', 358: "['(1) keterangan saksi sebagai alat bukti ialah apa yang saksi nyatakan di sidang pengadilan.', '(2) keterangan seorang saksi saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah terhadap perbuatan yang didakwakan kepadanya.', '(3) ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tidak berlaku apabila disertai dengan suatu alat bukti yang sah lainnya.', '(4) keterangan beberapa saksi yang berdiri sendiri-sendiri tentang suatu kejadian atau keadaan dapat digunakan sebagai suatu alat bukti yang sah apabila keterangan saksi itu ada hubungannya satu dengan yang lain sedemikian rupa, sehingga dapat membenarkan adanya suatu kejadian atau keadaan tertentu.', '(5) baik pendapat maupun rekaan, yang diperoleh dari hasil pemikiran saja, bukan merupakan keterangan ahli.', '(6) dalam menilai kebenaran keterangan seorang saksi, hakim harus dengan sungguh-sungguh memperhatikan: a. persesuaian antara keterangan saksi satu dengan yang lain; b. persesuaian antara keterangan saksi dengan alat bukti lain; c. alasan yang mungkin dipergunakan oleh saksi untuk memberi keterangan yang tertentu; d. cara hidup dan kesusilaan saksi serta segala sesuatu yang pada umumnya dapat mempengaruhi dapat tidaknya keterangan itu dipercaya; www.djpp.kemenkumham.go.id']"} |
Beberapa waktu lalu, di berita maupun medsos viral kembali kasus hewan dianiaya. Misalnya di Jakarta, telah beredar video sekuriti mal aniaya anjing penjaga. Kemudian, viral video aksi keji 4 pemuda Jember siksa anjing Maltese. Lalu, ada juga kejadian di Malang di mana kucing dipaku di pohon. Menurut berita yang beredar, kucing disiksa, digorok, dan dipaku di pohon hingga mati. Pertanyaan saya, dalam KUHP, apa pasal yang mengatur tentang penganiayaan hewan? | ULASAN LENGKAP Artikel ini dibuat berdasarkan KUHP lama dan UU 1/2023 tentang KUHP yang diundangkan pada tanggal 2 Januari 2023. . Isi Pasal 302 KUHP Menjawab pertanyaan Anda, tindak pidana penganiayaan terhadap hewan telah diatur dalam Pasal 302 KUHP lama yang saat artikel ini diterbitkan masih berlaku, sebagai berikut: Diancam dengan pidana penjara paling lama tiga bulan atau pidana denda paling banyak Rp4,5 juta [1] karena melakukan penganiayaan ringan terhadap hewan barang siapa tanpa tujuan yang patut atau secara melampaui batas, dengan sengaja menyakiti atau melukai hewan atau merugikan kesehatannya ; barang siapa tanpa tujuan yang patut atau dengan melampaui batas yang diperlukan untuk mencapai tujuan itu, dengan sengaja tidak memberi makanan yang diperlukan untuk hidup kepada hewan, yang seluruhnya atau sebagian menjadi kepunyaannya dan ada di bawah pengawasannya, atau kepada hewan yang wajib dipeliharanya. Jika perbuatan itu mengakibatkan sakit lebih dari seminggu , atau cacat atau menderita luka-luka berat lainnya, atau mati , yang bersalah diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan, atau pidana denda paling banyak Rp300 ribu [2] , karena penganiayaan hewan . Jika hewan itu milik yang bersalah, maka hewan itu dapat dirampas. Percobaan melakukan kejahatan tersebut tidak dipidana. Unsur Pasal 302 KUHP Berdasarkan contoh kasus penganiayaan hewan yang Anda berikan, jika benar dugaan bahwa pelaku menganiaya hewan, agar pelaku dapat dihukum berdasarkan Pasal 302 KUHP maka harus memenuhi unsur-unsur pasalnya. Menurut S.R. Sianturi dalam bukunya Tindak Pidana di KUHP Berikut Uraiannya (hal. 273-274), unsur-unsur Pasal 302 ayat (1) KUHP tentang penganiayaan hewan adalah: unsur subjek : barangsiapa; unsur kesalahan : dengan sengaja; unsur bersifat melawan hukum : tanpa tujuan yang patut atau secara melampaui batas untuk mencapai suatu tujuan yang diperkenankan; unsur tindakan : menyakiti, melukai atau merugikan kesehatan hewan (ayat 1 sub 1) atau tidak memberi kebutuhan hidup yang diperlukan untuk hidup (ayat 1 sub 2). Sedangkan penganiayaan hewan dalam Pasal 302 ayat (2) KUHP menitikberatkan pada akibat yang terjadi pada hewan , yaitu ditentukan sebagai penganiayaan hewan, jika tindakan-tindakan dalam ayat (1) mengakibatkan hewan itu: [3] sakit lebih dari seminggu; atau cacat; atau menderita luka-luka berat lainnya; atau mati. Lebih lanjut, Pasal 302 ayat (3) KUHP menentukan bahwa jika hewan itu milik yang bersalah, maka hewan itu dapat dirampas. Jadi, ketentuan ini merupakan pidana tambahan yang berupa perampasan barang tertentu , dalam hal ini hewan teraniaya yang dimiliki oleh orang yang bersalah/orang yang menganiaya hewan tersebut. Adapun Pasal 302 ayat (4) KUHP mengatur bahwa percobaan melakukan penganiayaan terhadap hewan tidak dipidana. [4] Bunyi Pasal 337 UU 1/2023 Selain diatur dalam KUHP lama, pasal penganiayaan terhadap hewan juga diatur dalam Pasal 337 UU 1/2023 tentang KUHP baru yang berlaku 3 tahun sejak tanggal diundangkan, [5] yaitu tahun 2026, sebagai berikut: Dipidana karena melakukan penganiayaan hewan dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau pidana denda paling banyak kategori II, yaitu Rp10 juta [6] Setiap Orang yang: menyakiti atau melukai hewan atau merugikan kesehatannya dengan melampaui batas atau tanpa tujuan yang patut ; atau melakukan hubungan seksual dengan hewan. Jika perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan hewan sakit lebih dari 1 (satu) minggu, cacat, Luka Berat, atau mati , dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun 6 (enam) Bulan atau pidana denda paling banyak kategori III, yaitu Rp50 juta . [7] Dalam hal hewan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) milik pelaku tindak pidana, hewan tersebut dapat dirampas dan ditempatkan ke tempat yang layak bagi hewan. : Jangan Sembarangan Aniaya Hewan, Ini Jerat Hukumnya! Kesimpulannya, jika hewan yang dianiaya sakit lebih dari 1 minggu, cacat, luka berat, atau mati, maka pelaku dapat diancam pidana penjara maksimal 9 bulan, atau pidana denda maksimal Rp300 ribu berdasarkan Pasal 302 ayat (2) KUHP . Sedangkan berdasarkan Pasal 337 ayat (2) UU 1/2023 , pelaku penganiayaan terhadap hewan dapat dipidana maksimal 1 tahun 6 bulan, atau denda maksimal Rp50 juta. Perkaya riset hukum Anda dengan analisis hukum terbaru dwibahasa, serta koleksi terjemahan peraturan yang terintegrasi dalam Hukumonline Pro, pelajari lebih lanjut di sini . Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. Dasar Hukum : Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ; Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ; Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2012 tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda dalam KUHP . Referensi : Jeremia Pinontoan (et.al). Penganiayaan Hewan (Pasal 302, 540, 541, 544 KUHP) Sebagai Delik Terhadap Perasaan Kepatutan. Jurnal Lex Administratum, Vol. IX/No. 4/Apr/EK/2021; S.R. Sianturi. Tindak Pidana di KUHP Berikut Uraiannya . Jakarta: Alumni AHM-PTHM, 1983. [1] Pasal 3 Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2012 tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda dalam KUHP (“Perma 2/2012”) denda dilipatgandakan menjadi 1000 kali [2] Pasal 3 Perma 2/2012 [3] Jeremia Pinontoan (et.al). Penganiayaan Hewan (Pasal 302, 540, 541, 544 KUHP) Sebagai Delik Terhadap Perasaan Kepatutan. Jurnal Lex Administratum, Vol. IX/No. 4/Apr/EK/2021, hal. 219 [4] Jeremia Pinontoan (et.al). Penganiayaan Hewan (Pasal 302, 540, 541, 544 KUHP) Sebagai Delik Terhadap Perasaan Kepatutan. Jurnal Lex Administratum, Vol. IX/No. 4/Apr/EK/2021, hal. 219 [5] Pasal 624 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“UU 1/2023”) [6] Pasal 79 ayat (1) huruf b UU 1/2023 [7] Pasal 79 ayat (1) huruf c UU 1/2023 TAGS kuhp potd perkara pidana | {258: 'Tiap jumlah maksimum hukuman denda yang diancamkan dalam KUHPkecuali pasal 303 ayat 1 dan ayat 2, 303 bis ayat 1 dan ayat 2, dilipatgandakan menjadi 1.000 (seribu) kall,', 259: 'Tiap jumlah maksimum hukuman denda yang diancamkan dalam KUHPkecuali pasal 303 ayat 1 dan ayat 2, 303 bis ayat 1 dan ayat 2, dilipatgandakan menjadi 1.000 (seribu) kall,', 264: 'Artikel Jeremia Pinontoan dkk. dalam Jurnal Lex Administratum, Volume IX Nomor 4 April 2021, berjudul "Penganiayaan Hewan (Pasal 302, 540, 541, 544 KUHP) Sebagai Delik Terhadap Perasaan Kepatutan" membahas penganiayaan hewan sebagai tindak pidana yang melanggar rasa kepatutan. Artikel ini menganalisis berbagai pasal dalam KUHP lama yang relevan, termasuk Pasal 302, yang mengatur tentang penganiayaan hewan secara umum, dan pasal-pasal lainnya yang mungkin terkait dengan konteks penganiayaan hewan tergantung pada jenis hewan, tingkat keparahan, dan akibat yang ditimbulkan. Penulis menelaah unsur-unsur pidana dalam pasal-pasal tersebut serta implikasi hukumnya.', 128: 'Undang-Undang ini mulai berlaku setelah 3 (tiga) tahun terhitung sejak tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.', 37: "['(1) pidana denda paling banyak ditetapkan berdasarkan: a. kategori i, rp1.000.000,00 (satu juta rupiah); b. kategori ii, rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah); c. kategori iii, rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah); d. kategori iv, rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah); e. kategori v, rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah); f. kategori vi, rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah); g. kategori vii, rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah); dan h. kategori viii, rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah).']", 25: "['(1) pidana denda paling banyak ditetapkan berdasarkan: a. kategori i, rp1.000.000,00 (satu juta rupiah); b. kategori ii, rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah); c. kategori iii, rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah); d. kategori iv, rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah); e. kategori v, rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah); f. kategori vi, rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah); g. kategori vii, rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah); dan h. kategori viii, rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah).']"} |
Apakah pidana bersyarat itu sama dengan pidana percobaan? Saya mau bertanya, dimanakah letak perbedaannya? Terima kasih. | ULASAN LENGKAP dari artikel dengan judul Adakah Perbedaan Antara Pidana Bersyarat dan Pidana Percobaan? yang dibuat oleh Tri Jata Ayu Pramesti, S.H. dan pertama kali dipublikasikan pada 23 Februari 2015. Artikel ini dibuat berdasarkan KUHP lama dan UU 1/2023 tentang KUHP yang diundangkan pada tanggal 2 Januari 2023. . Apakah Pidana Bersyarat Itu Sama dengan Pidana Percobaan? Menjawab pertanyaan Anda, mari kita simak ketentuan Pasal 14a KUHP lama yang masih berlaku saat ini, sebagai berikut: Apabila hakim menjatuhkan pidana paling lama satu tahun atau pidana kurungan, tidak termasuk pidana kurungan pengganti maka dalam putusannya hakim dapat memerintahkan pula bahwa pidana tidak usah dijalani, kecuali jika di kemudian hari ada putusan hakim yang menentukan lain , disebabkan karena terpidana melakukan suatu tindak pidana sebelum masa percobaan yang ditentukan dalam perintah tersebut di atas habis, atau karena terpidana selama masa percobaan tidak memenuhi syarat khusus yang mungkin ditentukan lain dalam perintah itu. Hakim juga mempunyai kewenangan seperti di atas, kecuali dalam perkara-perkara mengenai penghasilan dan persewaan negara apabila menjatuhkan pidana denda, tetapi harus ternyata kepadanya bahwa pidana denda atau perampasan yang mungkin diperintahkan pula akan sangat memberatkan terpidana. Dalam menerapkan ayat ini, kejahatan dan pelanggaran candu hanya dianggap sebagai perkara mengenai penghasilan negara, jika terhadap kejahatan dan pelanggaran itu ditentukan bahwa dalam hal dijatuhkan pidana denda, tidak diterapkan ketentuan pasal 30 ayat 2. Jika hakim tidak menentukan lain, maka perintah mengenai pidana pokok juga mengenai pidana tambahan. Perintah tidak diberikan, kecuali hakim setelah menyelidiki dengan cermat berkeyakinan bahwa dapat diadakan pengawasan yang cukup untuk dipenuhinya syarat umum, bahwa terpidana tidak akan melakukan tindak pidana, dan syarat-syarat khusus jika sekiranya ditetapkan. Perintah tersebut dalam ayat 1 harus disertai hal-hal atau keadaan- keadaan yang menjadi alasan perintah itu. Wirjono Prodjodikoro dalam bukunya Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia (hal. 183 – 184) menjelaskan mengenai pidana bersyarat (penghukuman bersyarat) dalam Pasal 14a KUHP, bahwa apabila seseorang dihukum penjara selama-lamanya satu tahun atau kurungan, maka hakim dapat menentukan bahwa hukuman itu tidak dijalankan . Kecuali, kemudian ditentukan lain oleh hakim, apabila si terhukum dalam tenggat waktu percobaan melakukan tindak pidana lagi atau tidak memenuhi syarat tertentu , misalnya tidak membayar ganti kerugian kepada si korban dalam waktu tertentu. Dengan demikian, dapat diketahui bahwa pidana bersyarat adalah pidana yang memungkinkan terpidana tidak menjalankan hukumannya berdasarkan putusan hakim, dengan syarat si terpidana tersebut dikenakan hukuman kurungan atau pidana penjara paling lama satu tahun. Namun, pidana bersyarat itu dikecualikan jika misalnya si terpidana melakukan tindak pidana lagi atau tidak memenuhi syarat tertentu selama masa percobaan itu. Lebih lanjut, disarikan dari artikel Hukuman Masa Percobaan , arti dari hukuman masa percobaan adalah terpidana diputus untuk menjalani hukumannya namun tidak dikurung di lembaga pemasyarakatan, melainkan di daerah sendiri untuk diawasi. Apabila terpidana melanggar ketentuan pada masa percobaan, maka akan dikirim ke lembaga pemasyarakatan tanpa menjalani sidang terlebih dahulu. Adapun, masa percobaan bagi kejahatan dan pelanggaran dalam Pasal 492, Pasal 504, Pasal 505, Pasal 506, dan Pasal 536 KUHP paling lama 3 tahun dan pelanggaran lainnya paling lama 2 tahun. Masa percobaan ini tidak dihitung selama terpidana ditahan secara sah. [1] Lantas, apakah pidana bersyarat itu sama dengan pidana percobaan? Pada dasarnya, pidana bersyarat sering dipersamakan dengan pidana percobaan karena adanya keterkaitan antara pidana bersyarat dengan masa percobaan selama masa pidana bersyarat dilakukan. Seseorang yang menjalani pidana bersyarat haruslah sejalan dengan syarat-syarat tertentu atau ketentuan yang berlaku selama masa percobaan. Apabila masa percobaan tersebut habis, maka berlaku ketentuan Pasal 14f ayat (2) KUHP , yang berbunyi: Setelah masa percobaan habis, perintah supaya pidana dijalankan tidak dapat diberikan lagi, kecuali jika sebelum masa percobaan habis, terpidana dituntut karena melakukan tindak pidana di dalam masa percobaan dan penuntutan itu kemudian berakhir dengan pemidanaan yang menjadi tetap. Dalam hal itu, dalam waktu dua bulan setelah pemidanaan menjadi tetap, hakim masih boleh memerintahkan supaya pidananya dijalankan, karena melakukan tindak pidana tadi. Pidana Pengawasan dalam KUHP Baru Adapun, dalam KUHP baru yaitu Pasal 75 dan Pasal 76 UU 1/2023 yang berlaku 3 tahun sejak tanggal diundangkan yaitu tahun 2026, [2] pidana bersyarat atau hukuman masa percobaan disebut dengan pidana pengawasan. Pidana pengawasan adalah pembinaan di luar lembaga atau di luar lembaga atau di luar penjara, yang serupa dengan pidana penjara bersyarat dalam KUHP lama. Pidana ini merupakan alternatif dari pidana penjara dan tidak ditujukan untuk tindak pidana yang berat sifatnya. [3] Pidana pengawasan dapat dijatuhkan kepada terdakwa yang melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara paling lama 5 tahun. [4] Penjatuhan pidana pengawasan ini sepenuhnya terletak pada pertimbangan hakim dan dijatuhkan kepada orang yang pertama kali melakukan tindak pidana. [5] Adapun, pidana pengawasan ini dijatuhkan paling lama sama dengan pidana penjara yang diancamkan yang tidak lebih dari 3 tahun . Dalam putusan pidana pengawasan ditetapkan syarat umum , yaitu terpidana tidak akan melakukan tindak pidana lagi. [6] Selain syarat umum, terdapat pula syarat khusus , berupa: [7] terpidana dalam waktu tertentu yang lebih pendek dari masa pidana pengawasan harus mengganti seluruh atau sebagian kerugian yang timbul akibat tindak pidana yang dilakukan; dan/atau terpidana harus melakukan atau tidak melakukan sesuatu tanpa mengurangi kemerdekaan beragama, kemerdekaan menganut kepercayaan, dan/atau kemerdekaan berpolitik. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa pidana bersyarat disebut juga dengan pidana percobaan atau hukuman masa percobaan. Sedangkan di dalam KUHP baru, pidana bersyarat ini disebut dengan pidana pengawasan. Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. Dasar Hukum : Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana ; Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana . Referensi: Wirjono Prodjodikoro. Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia . PT Refika Aditama, 2003. [1] Pasal 14b ayat (1) dan (3) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana [2] Pasal 624 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“UU 1/2023”) [3] Penjelasan Pasal 75 UU 1/2023 [4] Pasal 75 UU 1/2023 [5] Penjelasan Pasal 76 ayat (1) UU 1/2023 [6] Pasal 76 ayat (1) dan (2) UU 1/2023 [7] Pasal 76 ayat (3) UU 1/2023 TAGS hukum pidana bersyarat hukumonline klinik hukumonline | {359: "['(1) apabila hakim menjatuhkan pidana paling lama satu tahun atau pidana kurungan, tidak termasuk pidana kurungan pengganti maka dalam putusnya hakim dapat memerintahkan pula bahwa pidana tidak usah dijalani, kecuali jika dikemudianhari ada putusan hakim yang menentukan lain, disebabkan karena si terpidana melakukan suatu tindak pidana sebelum masa percobaan yang ditentukan dalam perintah tersebut diatas habis, atau karena si terpidana selama masa percobaan tidak memenuhi syarat khusus yang mungkin ditentukan lain dalam perintah itu.', '(2) hakim juga mempunyai kewenangan seperti di atas, kecuali dalam perkara-perkara yang mangenai penghasilan dan persewaan negara apabila menjatuhkan pidana denda, tetapi harus ternyata kepadanya bahwa pidana denda atau perampasan yang mungkin diperintahkan pula akan sangat memberatkan si terpidana. dalam menerapkan ayat ini, kejahatan dan pelanggaran candu hanya dianggap sebagai perkara mengenai biro hukum dan humas badan urusan administrasi mahkamah agung-ri\\x01 \\x01 penghasilan negara, jika terhadap kejahatan dan pelanggaran itu ditentukan bahwa dalam hal dijatuhkan pidana denda, tidak diterapkan ketentuan pasal 30 ayat 2.', '(3) jika hakim tidak menentukan lain, maka perintah mengenai pidana pokok juga mengenai pidana pokok juga mengenai pidana tambahan.', '(4) perintah tidak diberikan, kecuali hakim setelah menyelidiki dengan cermat berkeyakinan bahwa dapat diadakan pengawasan yang cukup untuk dipenuhinya syarat umum, bahwa terpidana tidak akan melakukan tindak pidana, dan syarat-syarat khusus jika sekiranya ditetapkan.']", 4: 'Undang-Undang ini mulai berlaku setelah 3 (tiga) tahun terhitung sejak tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.', 360: 'Pidana pengawasan merupakan salah satu jenis pidana pokok, namun sebenarnya merupakan cara pelaksanaan dari pidana penjara sehingga tidak diancamkan secara khusus dalam perumusan suatu Tindak Pidana. Pidana pengawasan merupakan pembinaan di luar lembaga atau di luar penjara, yang serupa dengan pidana penjara bersyarat yang terdapat dalam Wetboek van Strafrecht (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana sebagaimana ditetapkan dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana). Pidana ini merupakan alternatif dari pidana penjara dan tidak ditujukan untuk Tindak Pidana yang berat sifatnya.', 361: 'pasal 75 terdakwa yang melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dapat dijatuhi pidana pengawasan dengan tetap memperhatikan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 51 sampai dengan pasal 54 dan pasal 70 .', 362: 'Penjatuhan pidana pengawasan terhadap orang yang melakukan Tindak Pidana yang diancam dengan pidana penjara, sepenuhnya terletak pada pertimbangan hakim, dengan memperhatikan keadaan dan perbuatan terpidana. Jenis pidana ini dijatuhkan kepada orang yang pertama kali melakukan Tindak Pidana.', 363: "['(1) pidana pengawasan sebagaimana dimaksud dalam pasal 75 dijatuhkan paling lama sama dengan pidana penjara yang diancamkan yang tidak lebih dari 3 (tiga) tahun.', '(2) dalam putusan pidana pengawasan ditetapkan syarat umum, berupa terpidana tidak akan melakukan tindak pidana lagi.', '(3) selain syarat umum sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dalam putusan juga dapat ditetapkan syarat khusus, berupa: a. terpidana dalam waktu tertentu yang lebih pendek dari masa pidana pengawasan harus mengganti seluruh atau sebagian kerugian yang timbul akibat tindak pidana yang dilakukan; dan/atau b. terpidana harus melakukan atau tidak melakukan sesuatu tanpa mengurangi kemerdekaan beragama, kemerdekaan menganut kepercayaan, dan/atau kemerdekaan berpolitik.', '(4) dalam hal terpidana melanggar syarat umum sebagaimana dimaksud pada ayat (2), terpidana wajib menjalani pidana penjara yang lamanya tidak lebih dari ancaman pidana penjara bagi tindak pidana itu.', '(5) dalam hal terpidana melanggar syarat khusus tanpa alasan yang sah, jaksa berdasarkan pertimbangan pembimbing kemasyarakatan mengusulkan kepada hakim agar terpidana menjalani pidana penjara atau memperpanjang masa pengawasan yang ditentukan oleh hakim yang lamanya tidak lebih dari pidana pengawasan yang dijatuhkan.', '(6) jaksa dapat mengusulkan pengurangan masa pengawasan kepada hakim jika selama dalam pengawasan terpidana menunjukkan kelakuan yang baik, berdasarkan pertimbangan pembimbing kemasyarakatan. 20 / 260']", 364: "['(1) pidana pengawasan sebagaimana dimaksud dalam pasal 75 dijatuhkan paling lama sama dengan pidana penjara yang diancamkan yang tidak lebih dari 3 (tiga) tahun.', '(2) dalam putusan pidana pengawasan ditetapkan syarat umum, berupa terpidana tidak akan melakukan tindak pidana lagi.', '(3) selain syarat umum sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dalam putusan juga dapat ditetapkan syarat khusus, berupa: a. terpidana dalam waktu tertentu yang lebih pendek dari masa pidana pengawasan harus mengganti seluruh atau sebagian kerugian yang timbul akibat tindak pidana yang dilakukan; dan/atau b. terpidana harus melakukan atau tidak melakukan sesuatu tanpa mengurangi kemerdekaan beragama, kemerdekaan menganut kepercayaan, dan/atau kemerdekaan berpolitik.', '(4) dalam hal terpidana melanggar syarat umum sebagaimana dimaksud pada ayat (2), terpidana wajib menjalani pidana penjara yang lamanya tidak lebih dari ancaman pidana penjara bagi tindak pidana itu.', '(5) dalam hal terpidana melanggar syarat khusus tanpa alasan yang sah, jaksa berdasarkan pertimbangan pembimbing kemasyarakatan mengusulkan kepada hakim agar terpidana menjalani pidana penjara atau memperpanjang masa pengawasan yang ditentukan oleh hakim yang lamanya tidak lebih dari pidana pengawasan yang dijatuhkan.', '(6) jaksa dapat mengusulkan pengurangan masa pengawasan kepada hakim jika selama dalam pengawasan terpidana menunjukkan kelakuan yang baik, berdasarkan pertimbangan pembimbing kemasyarakatan. 20 / 260']"} |
Mau tanya, apabila si A mengizinkan anak di bawah umur yang bekerja kepadanya sebagai pekerja rumah tangga (PRT) dibawa pergi oleh si B untuk pindah kerja, dan ternyata anak tersebut dianiaya atau mengalami tindak kekerasan, apakah si A terkena sanksi pidana juga? | ULASAN LENGKAP dari artikel dengan judul Ancaman Pidana Pelaku Kekerasan Terhadap PRT Anak yang dibuat oleh Tri Jata Ayu Pramesti, S.H. dan pertama kali dipublikasikan pada 15 Maret 2017 . . Penyertaan dalam Tindak Pidana Untuk menjawabnya, kami akan menggunakan pendekatan teori penyertaan dalam tindak pidana sebagaimana termuat pada Pasal 55 KUHP lama maupun Pasal 20 UU 1/2023 tentang KUHP baru yang berlaku 3 tahun sejak tanggal diundangk an, [1] yaitu tah un 2026. Pasal 55 KUHP Pasal 20 UU 1/2023 Dipidana sebagai pelaku tindak pidana: mereka yang melakukan , yang menyuruh melakukan , dan yang turut serta melakukan perbuatan; mereka yang dengan memberi atau menjanjikan sesuatu, dengan menyalahgunakan kekuasaan atau martabat, dengan kekerasan, ancaman atau penyesatan, atau dengan memberi kesempatan, sarana atau keterangan, sengaja menganjurkan orang lain supaya melakukan perbuatan. Terhadap penganjur , hanya perbuatan yang sengaja dianjurkan sajalah yang diperhitungkan, beserta akibat-akibatnya. Setiap orang dipidana sebagai pelaku tindak pidana jika: melakukan sendiri tindak pidana; melakukan tindak pidana dengan perantaraan alat atau menyuruh orang lain yang tidak dapat dipertanggungjawabkan; turut serta melakukan tindak pidana; atau menggerakkan orang lain supaya melakukan tindak pidana dengan cara memberi atau menjanjikan sesuatu, menyalahgunakan kekuasaan atau martabat, melakukan kekerasan, menggunakan ancaman kekerasan, melakukan penyesatan, atau dengan memberi kesempatan, sarana, atau keterangan. Adapun berdasarkan kedua pasal tersebut dapat disimpulkan bahwa terdapat empat golongan orang yang dapat dipidanakan, yakni: Pelaku ( pleger ); Menyuruh melakukan ( doenpleger ); Turut serta ( medepleger ); Penganjur ( uitlokker ). R. Soesilo dalam bukunya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal menjelaskan mengenai apa yang dimaksud dengan “orang yang turut melakukan” ( medepleger ) dalam Pasal 55 KUHP (hal. 73). Menurut R. Soesilo, “turut melakukan” dalam arti kata “bersama-sama melakukan”. Sedikit-dikitnya harus ada dua orang, ialah orang yang melakukan ( pleger ) dan orang yang turut melakukan ( medepleger ) peristiwa pidana. Di sini diminta bahwa kedua orang itu semuanya melakukan perbuatan pelaksanaan, jadi melakukan anasir atau elemen dari peristiwa tindak pidana itu. Oleh karena itu, tidak boleh misalnya hanya melakukan perbuatan persiapan saja atau perbuatan yang sifatnya hanya menolong, sebab jika demikian, maka orang yang menolong itu tidak masuk “ medepleger ” akan tetapi dihukum sebagai “membantu melakukan” ( medeplichtige ). Penjelasan lebih lanjut dapat Anda simak dalam artikel Perbedaan Turut Serta dan Pembantuan Tindak Pidana . Kemudian apabila mengacu pada penggolongan pelaku pidana di atas, menurut hemat kami A tidak dapat disebut sebagai “pelaku” ( pleger ) karena pelaku kekerasan sesungguhnya adalah B. Adapun A juga bukan termasuk orang yang “menyuruh melakukan” ( doenpleger ) karena A tidak menyuruh B untuk melakukan kekerasan pada si pekerja anak tersebut. Selanjutnya A juga tidak bisa dikategorikan “turut serta” ( medepleger ) karena A tidak melakukan perbuatan pelaksanaan dari tindak kekerasan tersebut. Selain itu, A juga tidak memenuhi unsur sebagai “penganjur” ( uitlokker ) karena B melakukan kekerasan kepada anak tersebut bukan anjuran/saran dari A. Sehingga berdasarkan keterangan di atas, A tidak dapat dipidana karena A tidak dapat dikategorikan ke dalam empat golongan yang dapat dipidanakan menurut KUHP atau UU 1/2023. : Di Usia Berapa Anak Boleh Dipekerjakan? Pasal Penganiayaan Anak dalam UU Perlindungan Anak Perlu diperhatikan bahwa pada dasarnya pasal tentang penganiayaan anak ini diatur khusus dalam Pasal 76C UU 35/2014 yang berbunyi sebagai berikut: Setiap Orang dilarang menempatkan, membiarkan, melakukan, menyuruh melakukan, atau turut serta melakukan Kekerasan terhadap Anak . Adapun selanjutnya sanksi bagi orang yang melanggar pasal di atas (pelaku kekerasan/penganiayaan) ditentukan dalam Pasal 80 UU 35/2014 : Setiap Orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76C, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun 6 (enam) bulan dan/atau denda paling banyak Rp72 juta. Dalam hal Anak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) luka berat, maka pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp100 juta. Dalam hal Anak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mati, maka pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan/atau denda paling banyak Rp3 miliar. Pidana ditambah sepertiga dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat apabila yang melakukan penganiayaan tersebut Orang Tuanya. Penjelasan lebih lanjut tentang tindak pidana penganiayaan anak dapat Anda simak artikel Jerat Pasal Penganiayaan Anak yang Menyebabkan Koma . Perspektif UU Penghapusan KDRT Dalam hal si anak bekerja sebagai pembantu untuk B, maka perbuatan B juga dapat dijerat dengan ketentuan UU PKDRT dikarenakan karena perbuatannya itu termasuk kategori kekerasan dalam rumah tangga (“KDRT”). Adapun lingkup rumah tangga dalam UU PKDRT dapat meliputi juga orang yang bekerja membantu rumah tangga dan menetap dalam rumah tangga tersebut . [2] Hal ini dapat diartikan bahwa anak yang dipekerjakan oleh B masuk ke dalam orang dalam lingkup rumah tangga. Setiap orang dilarang melakukan kekerasan dalam rumah tangga terhadap orang dalam lingkup rumah tangganya, termasuk salah satunya kekerasan fisik . [3] Perlu diperhatikan bahwa bagi setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan fisik dalam lingkup rumah tangga dipidana penjara paling lama 5 tahun atau denda paling banyak Rp15 juta. [4] Contoh Kasus Dalam praktiknya, perbuatan B ini dituntut berdasarkan UU PKDRT dan UU Perlindungan Anak. Sebagai contoh, dalam Putusan MA No. 1449 K/Pid/2012 Tahun 2012 . Dalam putusan tersebut diketahui bahwa terdakwa dituntut berdasarkan UU Perlindungan Anak dan UU PKDRT karena menganiaya pembantu rumah tangga yang masih berusia anak (hal. 36). Adapun hakim memutus terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan telah bersalah melakukan tindak pidana “secara bersama-sama melakukan perbuatan kekerasan fisik dalam lingkup rumah tangga yang mengakibatkan korban (pembantunya) jatuh sakit” dan menghukum terdakwa dengan pidana penjara selama 2 (dua) tahun (hal. 42-43). Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. Dasar Hukum : Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ; Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang diubah kedua kalinya dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang telah ditetapkan menjadi undang-undang dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Menjadi Undang-Undang ; Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga ; Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana . Putusan : Putusan Mahkamah Agung Nomor 1449 K/Pid/2012 Tahun 2012 . [1] Pasal 624 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“UU 1/2023”) [2] Pasal 2 ayat (1) huruf c Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (“UU PKDRT”) [3] Pasal 5 huruf a UU PKDRT [4] Pasal 44 ayat (1) UU PKDRT TAGS anak prt kdrt kekerasan dalam rumah tangga | {4: 'Undang-Undang ini mulai berlaku setelah 3 (tiga) tahun terhitung sejak tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.', 365: "['(1) lingkup rumah tangga dalam undang-undang ini meliputi : a. suami … a. suami, isteri, dan anak; b. orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga dengan orang sebagaimana dimaksud pada huruf a karena hubungan darah, perkawinan, persusuan, pengasuhan, dan perwalian, yang menetap dalam rumah tangga; dan/atau c. orang yang bekerja membantu rumah tangga dan menetap dalam rumah tangga tersebut.']", 366: 'pasal 5 setiap orang dilarang melakukan kekerasan dalam rumah tangga terhadap orang dalam lingkup rumah tangganya, dengan cara : a. kekerasan fisik; b. kekerasan psikis; c. kekerasan seksual; atau d. penelantaran rumah tangga.', 104: "['(1) setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan fisik dalam lingkup rumah tangga sebagaimana dimaksud dalam pasal 5 huruf a dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak rp 15.000.000,00 (lima belas juta rupiah).', '(2) dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan korban mendapat jatuh sakit atau luka berat, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun atau denda paling banyak rp 30.000.000,00 (tiga puluh juta rupiah).', '(3) dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mengakibatkan matinya korban, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun atau denda paling banyak rp 45.000.000,00 (empat puluh lima juta rupiah).']"} |
Apa bunyi Pasal 6 dan 7 KUHP baru? Apakah Pasal 6 dan 7 KUHP baru mengatur tentang asas universal? Jika benar, apa itu asas universal? | ULASAN LENGKAP Artikel ini dibuat berdasarkan KUHP lama dan UU 1/2023 tentang KUHP yang diundangkan pada tanggal 2 Januari 2023. . Apa itu Asas Universal? Prinsip atau asas universal pada dasarnya dikenal di dalam hukum internasional. Berdasarkan prinsip ini, setiap negara memiliki yurisdiksi untuk mengadili pelaku kejahatan internasional yang dilakukan di mana pun, tanpa memperhatikan kebangsaan pelaku maupun korban. [1] Penjelasan selengkapnya mengenai kejahatan internasional dapat Anda baca pada artikel Tanggung Jawab Negara dan Individu atas Kejahatan Internasional dan Perbedaan Kejahatan Internasional dengan Transnasional . Kemudian, menurut Sefriani dalam bukunya yang berjudul Hukum Internasional: Suatu Pengantar (hal. 244), alasan munculnya prinsip ini adalah bahwa pelaku dianggap orang yang sangat kejam, musuh segala umat manusia, dan jangan sampai ada tempat untuk pelaku meloloskan diri dari hukuman, sehingga tuntutan yang dilakukan oleh sesuatu negara terhadap pelaku adalah atas nama seluruh masyarakat internasional. Adapun contoh kejahatan yang dianggap sebagai musuh seluruh umat manusia (hostis humani generis) adalah perdagangan budak, pembajakan di laut, perdagangan gelap narkotika dan bahan psikotropika, kejahatan genosida, kejahatan perang, pembajakan pesawat udara, atau kejahatan penerbangan. [2] Isi Pasal 4 KUHP Sebelum menjawab pertanyaan Anda lebih lanjut, disarikan dari Berbuat Pidana di LN, Bisakah WNI Memilih Hukum yang Lebih Meringankan Baginya? , perlu diketahui bahwa asas universal tercermin dalam Pasal 4 angka 2 dan 4 KUHP lama yang pada saat artikel ini diterbitkan masih berlaku, sebagai berikut: Ketentuan pidana dalam perundang-undangan Indonesia diterapkan bagi setiap orang yang melakukan di luar Indonesia : suatu kejahatan mengenai mata uang atau uang kertas yang dikeluarkan oleh negara atau bank, ataupun mengenai meterai yang dikeluarkan dan merek yang digunakan oleh Pemerintah Indonesia; salah satu kejahatan yang tersebut dalam pasal-pasal 438, 444 sampai dengan 446 tentang pembajakan laut dan pasal 447 tentang penyerahan kendaraan air kepada kekuasaan bajak laut dan pasal 479 huruf j tentang penguasaan pesawat udara secara melawan hukum, pasal 479 huruf l, m, n, dan o tentang kejahatan yang mengancam keselamatan penerbangan sipil. Isi Pasal 6 dan 7 UU 1/2023 Sedangkan dalam UU 1/2023 tentang KUHP baru yang berlaku 3 tahun sejak tanggal diundangkan, [3] yaitu tahun 2026, asas universal secara eksplisit diatur dalam Pasal 6 dan Pasal 7 sebagai berikut: Pasal 6 Ketentuan pidana dalam Undang-Undang berlaku bagi Setiap Orang yang berada di luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang melakukan Tindak Pidana menurut hukum internasional yang telah ditetapkan sebagai Tindak Pidana dalam Undang-Undang. Pasal 7 Ketentuan pidana dalam Undang-Undang berlaku bagi Setiap Orang yang melakukan Tindak Pidana di luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang penuntutannya diambil alih oleh Pemerintah Indonesia atas dasar suatu perjanjian internasional yang memberikan kewenangan kepada Pemerintah Indonesia untuk melakukan penuntutan pidana. Selanjutnya, berdasarkan Penjelasan Pasal 6 UU 1/2023 , ketentuan ini mengandung asas universal yang melindungi kepentingan hukum Indonesia dan/atau kepentingan hukum negara lain. Landasan pengaturan asas ini terdapat dalam konvensi internasional yang telah disahkan oleh Indonesia, misalnya: konvensi internasional mengenai uang palsu ( UU 6/1981 tentang pengesahan International Convention for the Suppression of Counterfeiting Currency and Protocol, Geneve 1929 ); konvensi internasional mengenai laut bebas dan hukum laut yang di dalamnya mengatur tindak pidana pembajakan laut ( UU 17/1985 tentang pengesahan UNCLOS 1982 ); konvensi internasional mengenai kejahatan penerbangan dan kejahatan terhadap sarana atau prasarana penerbangan ( UU 2/1976 tentang pengesahan Tokyo Convention 1963, Hague Convention 1970, Montreal Convention 1971 ); atau konvensi internasional mengenai pemberantasan peredaran gelap narkotika dan psikotropika ( UU 7/1997 tentang pengesahan UN Convention Against Illicit Traffic In Narcotic Drugs And Psychotropic Substances, 1988 ) Adapun menurut Penjelasan Pasal 7 UU 1/2023 , ketentuan ini dimaksudkan untuk mengantisipasi perkembangan adanya perjanjian antara Indonesia dan negara lain yang memungkinkan warga negara dari negara lain tersebut penuntutannya diambil alih dan diadili oleh Indonesia karena melakukan tindak pidana tertentu yang diatur dalam perjanjian tersebut. : 5 Asas-Asas Hukum Pidana dalam KUHP Baru Demikian jawaban kami, semoga bermanfaat. Dasar Hukum : Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ; Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1976 tentang Pengesahan Konvensi Tokyo 1963, Konvensi The Hague 1970, dan Konvensi Montreal 1971 ; Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1981 tentang Pengesahan Konvensi Internasional mengenai Pemberantasan Uang Palsu beserta Protokol ( International Convention for the Suppression of Counterfeiting Currency and Protocol, Geneve 1929 ) ; Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1985 tentang Pengesahan United Nations Convention on the Law of the Sea (Konvensi Perserikatan Bangsa-bangsa Tentang Hukum Laut) ; Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1997 tentang Pengesahan United Nations Convention Against Illicit Traffic in Narcotic Drugs and Psychotropic Substances, 1988 (Konvensi Perserikatan Bangsa-bangsa tentang Pemberantasan Peredaran Gelap Narkotika dan Psikotropika , 1988) ; Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana . Referensi : I Dewa Gede Palguna (et.al). Buku Ajar Hukum Internasional. Denpasar: Erika Books Media Publishing, 2023; Hukum Internasional: Suatu Pengantar. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2010. [1] Sefriani. Hukum Internasional: Suatu Pengantar. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2010, hal. 244 [2] I Dewa Gede Palguna (et.al). Buku Ajar Hukum Internasional. Denpasar: Erika Books Media Publishing, 2023, hal. 104 [3] Pasal 624 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana TAGS asas pidana kuhp | {367: 'Prinsip atau asas universal pada dasarnya dikenal di dalam hukum internasional. Berdasarkan prinsip ini, setiap negara memiliki yurisdiksi untuk mengadili pelaku kejahatan internasional yang dilakukan di mana pun, tanpa memperhatikan kebangsaan pelaku maupun korban.', 368: 'Adapun contoh kejahatan yang dianggap sebagai musuh seluruh umat manusia (hostis humani generis) adalah perdagangan budak, pembajakan di laut, perdagangan gelap narkotika dan bahan psikotropika, kejahatan genosida, kejahatan perang, pembajakan pesawat udara, atau kejahatan penerbangan.', 20: 'Undang-Undang ini mulai berlaku setelah 3 (tiga) tahun terhitung sejak tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.'} |
Istri saya laptopnya tertinggal di angkot, setelah dicari, supir angkot menghilang. Kami sudah melakukan hal persuasif, namun supir angkot tidak mau mengembalikan laptopnya, sekarang laptopnya sudah digadaikan supir tersebut, bagaimana menyelesaikan kasus ini secara hukum? | ULASAN LENGKAP dari artikel dengan judul Sopir Angkot Gadaikan Barang Penumpang yang Tertinggal, Ini Jerat Hukumnya yang dibuat oleh Jatendra Hutabarat, S.H. dan pertama kali dipublikasikan pada 18 Mei 2021. Artikel ini dibuat berdasarkan KUHP lama dan UU 1/2023 tentang KUHP yang diundangkan pada tanggal 2 Januari 2023. . Penggelapan atau Pencurian? Sebelum kami menjawab pertanyaan, dari kronologi singkat yang Anda sampaikan, kami mengasumsikan bahwa Anda dan istri sudah memastikan yang mengambil atau mencuri laptop adalah sopir angkot tersebut. Sebelum kami mengulas tentang delik yang diduga dilakukan oleh sopir angkot apakah pencurian atau penggelapan, kami akan mengulas terlebih dahulu mengenai tindak pidana penggelapan sendiri diatur dalam Pasal 372 KUHP lama yang pada saat artikel ini diterbitkan masih berlaku atau Pasal 486 UU 1/2023 tentang KUHP baru yang berlaku terhitung 3 tahun sejak tanggal diundangkan, yaitu tahun 2026, [1] sebagai berikut: Pasal 372 KUHP Pasal 486 UU 1/2023 Barang siapa dengan sengaja dan melawan hukum memiliki barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang lain , tetapi yang ada dalam kekuasaannya bukan karena kejahatan diancam karena penggelapan , dengan pidana penjara paling lama 4 tahun atau pidana denda paling banyak Rp900 ribu. [2] Setiap Orang yang secara melawan hukum memiliki suatu barang yang sebagian atau seluruhnya milik orang lain , yang ada dalam kekuasaannya bukan karena tindak pidana , dipidana karena penggelapan , dengan pidana penjara paling lama 4 tahun atau pidana denda paling banyak kategori IV, yaitu Rp200 juta. [3] Memang antara pencurian dan penggelapan sulit untuk dibedakan, sebagaimana yang disebutkan oleh R. Soesilo dalam bukunya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal (hal. 258) dengan bunyi sebagai berikut: Kadang-kadang sukar sekali untuk membedakan antara pencurian dan penggelapan, misalnya A menemukan uang di jalanan lalu diambilnya. Jika pada waktu mengambil itu sudah ada maksud (niat) untuk memiliki uang tersebut, maka peristiwa ini adalah pencurian. Apabila pada waktu mengambil itu pikiran A adalah: “uang itu akan saya serahkan ke kantor polisi” dan betul diserahkannya, maka A tidak berbuat suatu peristiwa pidana, akan tetapi jika sebelum sampai di kantor polisi kemudian timbul maksud untuk memiliki uang itu dan dibelanjakan, maka A salah menggelapkan. Berdasarkan pendapat R. Soesilo di atas, nantinya yang menentukan bahwa si sopir angkot diduga melakukan pencurian atau penggelapan adalah niatnya. Apakah pada saat menemukan laptop istri Anda, supir angkot tersebut awalnya memiliki niat untuk mengembalikan kepada istri Anda atau tidak? Karena jika ada niat awal untuk mengembalikan kepada istri Anda maka perbuatannya dapat dikategorikan sebagai penggelapan. Namun apabila si sopir angkot pada saat menemukan laptop istri Anda sudah berniat untuk menguasai dan menggadaikan laptop tersebut, maka perbuatannya dapat dikategorikan sebagai pencurian. Selain pendapat R. Soesilo, terkait penggelapan Cleiren juga berpendapat, sebagaimana yang dikutip Andi Hamzah dalam buku Delik-Delik Tertentu (Speciale Delicten) di dalam KUHP (hal. 107), sebagai berikut: Inti penggelapan ialah penyalahgunaan kepercayaan, selalu menyangkut secara melawan hukum memiliki suatu barang yang dipercayakan kepada orang yang menggelapkan itu. Berdasarkan pendapat Cleiren, penggelapan adalah penyalahgunaan kepercayaan yang dipercayakan kepada orang yang menggelapkan itu. Sehingga, berdasarkan pendapat tersebut, karena dari kronologi yang Anda sampaikan istri Anda tidak mempercayakan laptopnya kepada si sopir angkot, seperti menitipkannya, maka tindakan yang dilakukan si sopir angkot dapat dikatakan sebagai pencurian. Adapun agar suatu tindakan dapat dijerat pasal pencurian maka haruslah memenuhi unsur dalam pasal sebagai berikut: Pasal 362 KUHP Pasal 476 UU 1/2023 Barang siapa mengambil barang sesuatu, yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain, dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum, diancam karena pencurian , dengan pidana penjara paling lama 5 tahun atau pidana denda paling banyak Rp900 ribu. [4] Setiap Orang yang mengambil suatu Barang yang sebagian atau seluruhnya milik orang lain, dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum, dipidana karena pencurian , dengan pidana penjara paling lama 5 tahun atau pidana denda paling banyak kategori V, yaitu Rp500 juta. [5] Perlu diketahui terkait pasal ini, pada dasarnya R. Soesilo dalam bukunya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal (hal. 249) menjelaskan bahwa ini adalah “pencurian biasa”, berbagai elemen sebagai berikut: Perbuatan mengambil Perbuatan mengambil adalah tindakan mengambil barang dilakukan dengan maksud untuk menguasainya. Hal ini diartikan sebagai waktu saat pencuri mengambil barang tersebut namun barang itu belum ada pada penguasaannya. Yang diambil harus sesuatu barang Adapun barang yang dimaksud oleh R. Soesilo adalah segala sesuatu yang memiliki wujud, yang mana hal ini termasuk pula binatang. Jenis barang juga diartikan termasuk gas maupun daya listrik yang dialirkan melalui kawat atau pipa meskipun tidak berwujud. Perlu diperhatikan bahwa barang ini tidak memerlukan harga yang bersifat ekonomis. Oleh karena itu, sebagai contoh tindakan untuk mengambil beberapa helai rambut wanita untuk kenang-kenangan tidak disertai izin dari wanita itu, termasuk sebagai pencurian, meskipun dua helai rambut tidak ada harganya. Barang itu harus seluruhnya atau sebagian milik orang lain . Pengambilan itu harus dilakukan dengan maksud untuk memiliki barang itu dengan melawan hukum (melawan hak) . Dilihat dari unsur-unsur dilakukan tindak pidana pencurian di atas, maka dapat diketahui barang kepunyaan orang lain yang diambil secara melawan hukum merupakan barang hasil kejahatan. Karena telah dilakukan upaya persuasif dan belakangan diketahui laptop istri Anda telah digadaikan, maka terdapat dugaan bahwa si sopir angkot sedari awal berniat untuk mengambil, memiliki, bahkan menggadaikan laptop tersebut secara melawan hukum. Sehingga istri Anda berhak melaporkan si sopir angkot ke pihak kepolisian setempat atas peristiwa pencurian laptop. Tindak Pidana Penadahan Adapun pihak penerima gadai atas laptop juga dapat dilaporkan atas dugaan tindak pidana penadahan sebagaimana diatur dalam Pasal 480 KUHP atau Pasal 591 UU 1/2023 sebagai berikut: Pasal 480 KUHP Pasal 591 UU 1/2023 Diancam dengan pidana penjara paling lama 4 tahun atau pidana denda paling banyak Rp900 ribu: [6] barang siapa membeli, menyewa, menukar, menerima gadai , menerima hadiah, atau untuk menarik keuntungan, menjual, menyewakan, menukarkan, menggadaikan, mengangkut, meyimpan atau menyembunyikan sesuatu benda, yang diketahui atau sepatutnya harus diduga bahwa diperoleh dari kejahatan penadahan ; barang siapa menarik keuntungan dari hasil sesuatu benda, yang diketahuinya atau sepatutnya harus diduga bahwa diperoleh dari kejahatan. Dipidana karena penadahan dengan pidana penjara paling lama 4 tahun atau pidana denda paling banyak kategori V yaitu Rp500 juta, [7] setiap orang yang: membeli, menawarkan, menyewa, menukarkan, menerima jaminan atau gadai , menerima hadiah atau untuk menarik keuntungan, menjual, menyewakan, menukarkan, menggadaikan, mengangkut, menyimpan atau menyembunyikan suatu benda yang diketahui atau patut diduga bahwa benda tersebut diperoleh dari tindak pidana; atau menarik keuntungan dari hasil suatu benda, yang diketahui atau patut diduga bahwa benda tersebut diperoleh dari tindak pidana. Mengenai penadahan, Yurisprudensi MA No. 2/Yur/Pid/2018 menjelaskan sebagai berikut: Barang yang dibeli dengan harga yang tidak sesuai harga pasar patut diduga bahwa barang tersebut diperoleh dari kejahatan. Sebagaimana telah diuraikan di atas, sebaiknya Anda terlebih dahulu menanyakan kepada pihak penerima gadai mengenai siapa yang menggadaikan laptop, apabila ternyata si sopir angkot yang menggadaikan, berarti benar si sopir angkot telah melakukan pencurian dan penerima gadai sebagai penadah. Namun demikian, kami tetap menyarankan agar Anda memastikan kembali dan mengumpulkan bukti yang cukup terkait kebenaran sopir angkot yang mencuri dan menggadaikan laptop Anda. Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. Dasar Hukum: Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ; Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ; Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2012 tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda dalam KUHP . Putusan : Putusan Mahkamah Agung Nomor 2/Yur/Pid/2018 . Referensi : Andi Hamzah, Delik-Delik Tertentu (Speciale Delicten) di Dalam KUHP . (Sinar Grafika: Jakarta). 2009; Rony A. Walandouw dkk., Unsur Melawan Hukum yang Subjektif dalam Tindak Pidana Pencurian Pasal 362 KUHP, Jurnal Lex Crimen, Vol. IX/No. 3/Jul-Sep/2020. [1] Pasal 624 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“UU 1/2023”) [2] Pasal 3 Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2012 tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda dalam KUHP [3] Pasal 79 ayat (1) huruf d UU 1/2023 [4] Pasal 3 Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2012 tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda dalam KUHP (“Perma 2/2012”) [5] Pasal 79 ayat (1) huruf e UU 1/2023 [6] Pasal 3 Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2012 tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda dalam KUHP , denda dilipatgandakan menjadi 1000 kali [7] Pasal 79 ayat (1) huruf e UU 1/2023 TAGS penumpang angkutan umum pencurian penggelapan | {4: 'Undang-Undang ini mulai berlaku setelah 3 (tiga) tahun terhitung sejak tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.', 369: 'Tiap jumlah maksimum hukuman denda yang diancamkan dalam KUHPkecuali pasal 303 ayat 1 dan ayat 2, 303 bis ayat 1 dan ayat 2, dilipatgandakan menjadi 1.000 (seribu) kall,', 6: "['(1) pidana denda paling banyak ditetapkan berdasarkan: a. kategori i, rp1.000.000,00 (satu juta rupiah); b. kategori ii, rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah); c. kategori iii, rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah); d. kategori iv, rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah); e. kategori v, rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah); f. kategori vi, rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah); g. kategori vii, rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah); dan h. kategori viii, rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah).']", 266: 'Tiap jumlah maksimum hukuman denda yang diancamkan dalam KUHPkecuali pasal 303 ayat 1 dan ayat 2, 303 bis ayat 1 dan ayat 2, dilipatgandakan menjadi 1.000 (seribu) kall,', 7: "['(1) pidana denda paling banyak ditetapkan berdasarkan: a. kategori i, rp1.000.000,00 (satu juta rupiah); b. kategori ii, rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah); c. kategori iii, rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah); d. kategori iv, rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah); e. kategori v, rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah); f. kategori vi, rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah); g. kategori vii, rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah); dan h. kategori viii, rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah).']", 370: 'Tiap jumlah maksimum hukuman denda yang diancamkan dalam KUHPkecuali pasal 303 ayat 1 dan ayat 2, 303 bis ayat 1 dan ayat 2, dilipatgandakan menjadi 1.000 (seribu) kall,'} |
Saya seorang web developer dan baru-baru ini ada tawaran dari klien untuk bekerjasama, yaitu men-develop website judi online/judol. Secara hukum, apakah orang yang men-develop sistem website judi online juga terlibat? Jika ya, apa jerat hukum membuat website judi online? Sejauh ini, saya belum menyetujui tawaran dalam perjanjian kerja sama tersebut. | ULASAN LENGKAP dari artikel dengan judul Hukum Membuat Website Perjudian yang dibuat oleh Adi Condro Bawono, S.H., M.H. dan pertama kali dipublikasikan pada 2 Januari 2012. Seluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata – mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihat Pernyataan Penyangkalan selengkapnya). . Pengertian Judi Online Sebelum menjawab pertanyaan Anda, penting untuk diketahui bahwa menurut KBBI , yang dimaksud dengan judi adalah permainan dengan memakai uang atau barang berharga sebagai taruhan (seperti main dadu, kartu). Oleh karena itu, judi online (“judol”) berarti permainan dengan memakai uang atau barang berharga sebagai taruhan secara daring melalui website atau aplikasi konten judol. : Perbedaan Game Online dengan Judi Online . Jerat Hukum Membuat Website Judi Online Menurut KUHP Mengenai larangan pembuatan website judi online , pada dasarnya dapat merujuk pada Pasal 303 KUHP lama yang saat artikel ini diterbitkan masih berlaku, dan Pasal 426 UU 1/2023 tentang KUHP baru yang berlaku 3 tahun sejak tanggal diundangkan, [1] yaitu pada tahun 2026, yang berbunyi: Pasal 303 KUHP Pasal 426 UU 1/2023 Diancam dengan pidana penjara paling lama 10 tahun atau pidana denda paling banyak Rp25 juta, barang siap tanpa mendapat izin: Dengan sengaja menawarkan atau memberikan kesempatan untuk permainan judi dan menjadikannya sebagai pencarian , atau dengan sengaja turut serta dalam suatu perusahaan untuk itu ; Dengan sengaja menawarkan atau memberi kesempatan kepada khalayak umum untuk bermain judi atau dengan sengaja turut serta dalam perusahaan untuk itu , dengan tidak peduli apakah untuk menggunakan kesempatan adanya sesuatu syarat atau dipenuhinya sesuatu tata-cara; Menjadikan turut serta pada permainan judi sebagai pencarian. Kalau yang bersalah melakukan kejahatan tersebut dalam menjalankan pencariannya, maka dapat dicabut haknya untuk menjalankan pencarian itu. Yang disebut permainan judi adalah tiap-tiap permainan, di mana pada umumnya kemungkinan mendapat untung bergantung pada peruntungan belaka, juga karena pemainnya lebih terlatih atau lebih mahir. Di situ termasuk segala pertaruhan tentang keputusan perlombaan atau permainan lain-lainnya yang tidak diadakan antara mereka yang turut berlomba atau bermain, demikian juga segala pertaruhan lainnya. Dipidana dengan pidana penjara paling lama 9 tahun atau pidana denda paling banyak kategori VI, yaitu sebesar Rp2 miliar, [2] setiap orang yang tanpa izin: Menawarkan atau memberi kesempatan untuk main judi dan menjadikan sebagai mata pencaharian atau turut serta dalam perusahaan perjudian ; Menawarkan atau memberi kesempatan kepada umum untuk main judi atau turut serta dalam perusahaan perjudian , terlepas dari ada tidaknya suatu syarat atau tata cara yang harus dipenuhi untuk menggunakan kesempatan tersebut; atau Menjadikan turut serta pada permainan judi sebagai mata pencaharian. Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam menjalankan profesi dijatuhi pidana tambahan berupa pencabutan hak sebagaimana dimaksud Pasal 86 huruf f. Terkait Pasal 303 KUHP, R. Soesilo dalam bukunya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal demi Pasal (hal.222) menjelaskan bahwa yang dihukum menurut Pasal 303 KUHP adalah orang yang: Mengadakan atau memberi kesempatan main judi tersebut sebagai pencaharian. Jadi, seperti seorang bandar atau orang lain yang sebagai perusahaan membuka perjudian . Orang yang turut campur dalam hal ini pun dihukum juga. Perjudiannya sendiri tidak perlu di tempat umum atau untuk umum, meskipun ditempat yang tertutup atau kalangan yang tertutup sudah cukup, asal perjudian itu belum mendapat izin dari yang berwajib. Dengan sengaja mengadakan atau memberi kesempatan untuk main judi kepada khalayak umum . Perjudian disini tidak perlu sebagai pencaharian, tetapi harus ditempat umum atau yang dapat dikunjungi oleh umum. Turut main judi sebagai pencaharian. Kemudian, berdasarkan Penjelasan Pasal 426 ayat (1) UU 1/2023 , yang dimaksud dengan " izin " adalah izin yang ditetapkan oleh pemerintah dengan memperhatikan hukum yang hidup dalam masyarakat. Penjelasan selengkapnya mengenai pasal perjudian dapat Anda baca dalam Ini Bunyi Pasal 303 KUHP tentang Perjudian . Berdasarkan penjelasan di atas, Anda sebagai seorang web developer yang mengembangkan atau membuat website perjudian dapat diancam pidana penjara maksimal 10 tahun atau pidana denda maksimal Rp25 juta berdasarkan Pasal 303 ayat (1) KUHP . Karena pembuat website perjudian dapat dianggap telah memberikan kesempatan untuk terjadinya permainan judi, dan dapat dianggap turut serta dalam suatu perusahaan yang melakukan perjudian. Sedangkan menurut Pasal 426 ayat (1) UU 1/2023 , Anda berpotensi dipidana penjara maksimal 9 tahun atau denda maksimal Rp2 miliar . Hukum Membuat Website Judi Online Menurut UU ITE Selain dapat dijerat dengan KUHP dan UU 1/2023, web developer yang membuat website judi online juga berpotensi dipidana berdasarkan UU 1/2024 tentang perubahan kedua UU ITE . Judi online merupakan perbuatan yang dilarang dalam Pasal 27 ayat (2) UU 1/2024 yang berbunyi sebagai berikut: Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan , mentransmisikan , dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan perjudian . Adapun menurut Penjelasan Pasal 27 ayat (2) UU 1/2024 , ketentuan pada ayat ini mengacu pada ketentuan perjudian dalam hal menawarkan atau memberikan kesempatan untuk permainan judi , menjadikannya sebagai mata pencaharian, menawarkan atau memberikan kesempatan kepada umum untuk bermain judi , dan turut serta dalam perusahaan untuk itu . Dari bunyi Pasal 27 ayat (2) UU 1/2024, terdapat beberapa penjelasan unsur sebagai berikut: [3] Mendistribusikan, yaitu mengirimkan dan/atau menyebarkan informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik kepada banyak orang atau berbagai pihak melalui sistem elektronik Mentransmisikan, yaitu mengirimkan informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang ditujukan kepada pihak lain melalui sistem elektronik. Membuat dapat diakses, yaitu semua perbuatan lain selain mendistribusikan dan mentransmisikan melalui sistem elektronik yang menyebabkan informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik dapat diketahui pihak lain atau publik. Lalu, orang yang melanggar ketentuan Pasal 27 ayat (2) UU 1/2024 berpotensi dipidana penjara paling lama 10 tahun dan/atau denda paling banyak Rp10 miliar , sebagaimana diatur dalam Pasal 45 ayat (3) UU 1/2024 . : Bunyi Pasal 27 Ayat (2) UU ITE 2024 tentang Judi Online Kemudian, pasal mana yang dapat digunakan untuk menjerat seseorang yang membuat website judi online ? Hal ini bergantung pada pihak penegak hukum untuk menentukan kapan harus menggunakan Pasal 303 KUHP atau Pasal 426 UU 1/2023, dan kapan harus menggunakan Pasal 27 ayat (2) jo. Pasal 45 ayat (3) UU 1/2024 . Namun, pada praktiknya, pihak penegak hukum dapat mengenakan pasal-pasal berlapis terhadap suatu tindak pidana yang memenuhi unsur-unsur perbuatan mengadakan main judi sebagaimana diatur dalam KUHP atau UU 1/2023, dan memenuhi unsur-unsur tindak pidana UU 1/2024. Artinya, bila memang unsur-unsur tindak pidananya terpenuhi, penegak hukum dapat menggunakan pasal-pasal tersebut, atau penegak hukum dapat mengajukan dakwaan secara alternatif . Berdasarkan artikel Bentuk-bentuk Surat Dakwaan , dakwaan alternatif digunakan jika belum didapat kepastian tentang tindak pidana mana yang paling tepat dapat dibuktikan . Dalam dakwaan alternatif, meskipun dakwaan terdiri dari beberapa lapisan, hanya satu dakwaan saja yang dibuktikan tanpa harus memperhatikan urutannya dan jika salah satu telah terbukti maka dakwaan lainnya tidak perlu dibuktikan lagi. : Surat Dakwaan: Pengertian, Fungsi, dan Jenisnya Jadi, berdasarkan penjelasan di atas, kami menyarankan Anda untuk tidak menerima tawaran kerja sama dari klien untuk membuat website judi online , karena membuat website judi online merupakan perbuatan yang dilarang oleh peraturan perundang-undangan. Selain itu, jika Anda menerima tawaran dari klien tersebut, maka perjanjian kerjasama antara Anda dengan klien tidak sah menurut hukum dan perjanjian bisa batal demi hukum . Hal ini karena salah satu syarat sah perjanjian dalam Pasal 1320 KUH Perdata adalah adanya sebab yang halal/tidak terlarang . : Pasal 1320 KUH Perdata tentang Syarat Sah Perjanjian Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. Dasar Hukum : Kitab Undang-Undang Hukum Perdata ; Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ; Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik yang diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dan diubah kedua kali dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2024 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik ; Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana . Referensi : KBBI, judi , yang diakses pada 17 Juli 2024, pukul 11.21 WIB. [1] Pasal 624 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“UU 1/2023”) [2] Pasal 79 ayat (1) huruf f UU 1/2023 [3] Penjelasan Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2024 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (“UU 1/2024”) TAGS judi online perjudian website | {4: 'Undang-Undang ini mulai berlaku setelah 3 (tiga) tahun terhitung sejak tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.', 296: "['(1) pidana denda paling banyak ditetapkan berdasarkan: a. kategori i, rp1.000.000,00 (satu juta rupiah); b. kategori ii, rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah); c. kategori iii, rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah); d. kategori iv, rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah); e. kategori v, rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah); f. kategori vi, rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah); g. kategori vii, rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah); dan h. kategori viii, rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah).']", 221: 'Yang dimaksud dengan "menyiarkan" termasuk perbuatan mentransmisikan, mendistribusikan, dan membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dalam Sistem Elektronik. Yang dimaksud dengan "mendistribusikan" adalah mengirimkan dan/atau menyebarkan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik kepada banyak Orang atau berbagai pihak melalui Sistem Elektronik. Yang dimaksud dengan "mentransmisikan" adalah mengirimkan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang ditujukan kepada pihak lain melalui Sistem Elektronik. Yang dimaksud dengan "membuat dapat diakses" adalah semua perbuatan lain selain mendistribusikan dan mentransmisikan melalui Sistem Elektronik yang menyebabkan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dapat diketahui pihak lain atau publik. Yang dimaksud dengan "melanggar kesusilaan" adalah melakukan perbuatan mempertunjukkan ketelanjangan, alat kelamin, dan aktivitas seksual yang bertentangan dengan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat di tempat dan waktu perbuatan tersebut dilakukan. Penafsiran pengertian kesusilaan disesuaikan dengan standar yang berlaku pada masyarakat dalam waktu dan tempat tertentu (contemporary community standard). Yang dimaksud dengan "diketahui umum" adalah untuk dapat atau sehingga dapat diakses oleh kumpulan orang banyak yang sebagian besar tidak saling mengenal.'} |
Bagaimana aturan hukum positif Indonesia, apabila kita mengambil buah yang berada di tanah negara. Diduga pohon itu tumbuh sendiri atau ditanam sendiri oleh seseorang. Apakah ketika kita mengambil bisa dikatakan mencuri? | ULASAN LENGKAP dari artikel dengan judul Jerat Pidana Pencurian Buah di Tanah Negara yang dibuat oleh Dr. Flora Dianti, S.H., M.H. dan pertama kali dipublikasikan pada 3 Maret 2020. Artikel ini dibuat berdasarkan KUHP lama dan UU 1/2023 tentang KUHP yang diundangkan pada tanggal 2 Januari 2023. . Untuk menjawab pertanyaan Anda, perlu dipahami terlebih dahulu mengenai tindak pidana pencurian dan macam-macamnya. Pencurian Biasa Dalam hukum positif Indonesia, rumusan pasal tentang tindak pidana pencurian biasa diatur dalam Pasal 362 KUHP dan Pasal 476 UU 1/2023 tentang KUHP baru yang berlaku 3 tahun sejak tanggal diundangkan, [1] yaitu pada tahun 2026, yang berbunyi sebagai berikut: Pasal 362 KUHP Pasal 476 UU 1/2023 Barang siapa mengambil barang sesuatu, yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain , dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum, diancam karena pencurian, dengan pidana penjara paling lama 5 tahun atau pidana denda paling banyak Rp900 ribu. [2] Setiap orang yang mengambil suatu barang yang sebagian atau seluruhnya milik orang lain , dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum, dipidana karena pencurian, dengan pidana penjara paling lama 5 tahun atau pidana denda paling banyak kategori V, yaitu sebesar Rp500 juta. [3] Berdasarkan rumusan tersebut, maka unsur-unsur tindak pidana pencurian biasa adalah sebagai berikut: Unsur objektif , yang meliputi unsur-unsur: mengambil; suatu barang; yang seluruhnya atau sebagian milik orang lain. Unsur subjektif, yang meliputi unsur-unsur: dengan maksud; untuk memiliki barang/benda tersebut untuk dirinya sendiri; secara melawan hukum. Selain itu, R. Soesilo pada buku Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal (hal.249), menjelaskan bahwa Pasal 362 KUHP adalah pencurian biasa dan unsur-unsurnya adalah sebagai berikut: Perbuatan mengambil; Yang diambil harus sesuatu barang; Barang itu harus seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain; Pengambilan itu harus dilakukan dengan maksud untuk memiliki barang itu dengan melawan hukum (melawan hak). Adapun, dalam KUHP baru, Penjelasan Pasal 476 UU 1/2023 menyatakan bahwa yang dimaksud dengan “mengambil” tidak hanya diartikan secara fisik, tetapi juga meliputi bentuk perbuatan “mengambil” lainnya secara fungsional (nonfisik) mengarah pada maksud “memiliki barang orang lain secara melawan hukum.” Misalnya, pencurian uang dengan cara mentransfer atau menggunakan tenaga Listrik tanpa hak. Yang dimaksud “dimiliki” adalah mempunyai hak atas barang tersebut. Pencurian Ringan Selain pencurian biasa, terdapat pula tindak pidana pencurian ringan, yang menurut KUHP lama jika barang yang dicuri nilainya tidak lebih dari Rp2,5 juta atau Rp500 ribu menurut UU 1/2023. Berikut uraiannya: Pasal 364 KUHP jo. Pasal 1 Perma 2/2012 Pasal 478 UU 1/2023 Perbuatan yang diterangkan dalam Pasal 362 dan Pasal 363 butir 4, begitu pun perbuatan yang diterangkan dalam Pasal 363 butir 5, apabila tidak dilakukan dalam sebuah rumah atau pekarangan tertutup yang ada rumahnya, jika harga barang yang dicuri tidak lebih dari Rp2,5 juta , [4] diancam karena pencurian ringan dengan pidana penjara paling lama 3 bulan atau pidana denda paling banyak Rp250 ribu. [5] Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 476 dan Pasal 477 ayat (1) huruf f dan huruf g dilakukan tidak dalam sebuah rumah atau pekarangan tertutup yang ada rumahnya, dan harga barang yang dicurinya tidak lebih dari Rp500 ribu , dipidana karena pencurian ringan , dengan pidana denda paling banyak kategori II, yaitu sebesar Rp10 juta. [6] Berdasarkan Pasal 364 KUHP, menurut R. Soesilo yang dinamakan pencurian ringan yaitu: [7] Pencurian biasa asal harga barang yang dicuri tidak lebih dari Rp2,5 juta. Pencurian dilakukan oleh dua orang atau lebih, asal harga barang tidak lebih dari Rp2,5 juta. Pencurian dengan masuk ke tempat barang yang diambilnya dengan jalan membongkar, memecah dan yang lainnya, jika: Harga tidak lebih dari Rp2,5 juta. Tidak dilakukan dalam rumah atau pekarangan tertutup yang ada rumahnya. Dengan demikian, menjawab pertanyaan Anda, kami berpendapat bahwa sepanjang buah tersebut memang jelas kepemilikannya, termasuk jika buah itu milik negara misalnya milik perkebunan negara atau ditanam di tanah negara dan memang terdapat maksud untuk memiliki buah/barang tersebut tanpa adanya izin dari pemilik barang, maka hal tersebut termasuk tindak pidana pencurian. Jika buah yang dicuri harganya di bawah Rp2,5 juta menurut KUHP atau Rp500 ribu menurut UU 1/2023, maka termasuk tindak pidana pencurian ringan. Perkaya riset hukum Anda dengan analisis hukum terbaru dwibahasa, serta koleksi terjemahan peraturan yang terintegrasi dalam Hukumonline Pro, pelajari lebih lanjut di sini . Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. Dasar Hukum : Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ; Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ; Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2012 tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda Dalam KUHP . Referensi: R. Soesilo . Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal . Sukabumi: Politeia, 1991. [1] Pasal 624 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“UU 1/2023”) [2] Pasal 3 Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2012 tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda dalam KUHP (“Perma 2/2012”), denda dikali 1000 [3] Pasal 79 ayat (1) huruf e UU 1/2023 [4] Pasal 1 Perma 2/2012 [5] Pasal 3 Perma 2/2012, denda dikali 1000 [6] Pasal 79 ayat (1) huruf b UU 1/2023 [7] R. Soesilo . Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal . Sukabumi: Politeia, 1991, hal. 252-253 TAGS negara hukumonline jerat pencurian tanah pidana | {4: 'Undang-Undang ini mulai berlaku setelah 3 (tiga) tahun terhitung sejak tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.', 200: 'Tiap jumlah maksimum hukuman denda yang diancamkan dalam KUHP kecuali pasal 303 ayat 1 dan ayat 2, 303 bis ayat 1 dan ayat 2, dilipatgandakan menjadi 1.000 (seribu) kall,', 7: "['(1) pidana denda paling banyak ditetapkan berdasarkan: a. kategori i, rp1.000.000,00 (satu juta rupiah); b. kategori ii, rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah); c. kategori iii, rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah); d. kategori iv, rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah); e. kategori v, rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah); f. kategori vi, rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah); g. kategori vii, rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah); dan h. kategori viii, rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah).']", 267: 'Tiap jumlah maksimum hukuman denda yang diancamkan dalam KUHPkecuali pasal 303 ayat 1 dan ayat 2, 303 bis ayat 1 dan ayat 2, dilipatgandakan menjadi 1.000 (seribu) kall,', 202: 'Tiap jumlah maksimum hukuman denda yang diancamkan dalam KUHP kecuali pasal 303 ayat 1 dan ayat 2, 303 bis ayat 1 dan ayat 2, dilipatgandakan menjadi 1.000 (seribu) kall,', 37: "['(1) pidana denda paling banyak ditetapkan berdasarkan: a. kategori i, rp1.000.000,00 (satu juta rupiah); b. kategori ii, rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah); c. kategori iii, rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah); d. kategori iv, rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah); e. kategori v, rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah); f. kategori vi, rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah); g. kategori vii, rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah); dan h. kategori viii, rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah).']", 371: 'pencurian ringan yaitu: Pencurian biasa asal harga barang yang dicuri tidak lebih dari Rp2,5 juta. Pencurian dilakukan oleh dua orang atau lebih, asal harga barang tidak lebih dari Rp2,5 juta. Pencurian dengan masuk ke tempat barang yang diambilnya dengan jalan membongkar, memecah dan yang lainnya, jika: Harga tidak lebih dari Rp2,5 juta. Tidak dilakukan dalam rumah atau pekarangan tertutup yang ada rumahnya'} |
Belum lama, salah satu terdakwa kasus korupsi inisial SYL telah diputus oleh majelis hakim Pengadilan Tipikor dengan hukuman 10 tahun penjara. Sebagai masyarakat awam, saya skeptis hukuman 10 tahun itu akan akan genap dijalani 10 tahun karena pasti dipotong berbagai jenis remisi. Pertanyaan saya, apakah remisi bisa dicabut khusus untuk kasus korupsi? | ULASAN LENGKAP . Aturan Pemberian Remisi dalam Kasus Tindak Pidana Korupsi Apakah kasus korupsi bisa mendapatkan remisi? Ya, benar. Remisi sebenarnya merupakan hak setiap narapidana yang telah memenuhi persyaratan tanpa terkecuali . [1] yang dimaksud dengan “tanpa terkecuali” tersebut berlaku sama bagi narapidana untuk mendapatkan haknya dan tidak mendasarkan pada tindak pidana yang telah dilakukan, kecuali dicabut berdasarkan putusan pengadilan. [2] Adapun, yang dimaksud dengan remisi adalah pengurangan masa menjalani pidana yang diberikan kepada narapidana yang memenuhi syarat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. [3] Jenis remisi pada dasarnya ada dua, yaitu remisi umum dan remisi khusus. Remisi umum diberikan pada saat hari peringatan Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia tanggal 17 Agustus. Sementara, remisi khusus diberikan pada saat hari besar keagamaan yang dianut narapidana. [4] Selain remisi umum dan remisi khusus, terdapat juga remisi kemanusiaan yang diberikan sebesar remisi umum yang diperoleh pada tahun terakhir, [5] serta remisi tambahan yaitu sebesar 1/2 atau 1/3 dari remisi umum yang diperoleh pada tahun berjalan. [6] Adapun, mengenai jenis-jenis remisi, besaran remisi, dan syarat-syarat yang harus dipenuhi narapidana untuk mendapatkan remisi dapat Anda baca selengkapnya dalam artikel Syarat Remisi dan Besarannya bagi Narapidana . Secara umum, untuk bisa mendapatkan remisi, syarat yang harus dipenuhi narapidana adalah: [7] berkelakuan baik yang dibuktikan dengan: tidak sedang menjalani hukuman disiplin dalam kurun waktu 6 bulan terakhir; dan telah mengikuti program pembinaan yang diselenggarakan oleh LAPAS dengan predikat baik. telah menjalani masa pidana lebih dari 6 bulan ; aktif mengikuti program pembinaan ; [8] dan telah menunjukkan penurunan tingkat risiko . [9] Khusus untuk pemberian remisi bagi koruptor , selain memenuhi syarat sebagaimana disebutkan di atas, juga harus memenuhi syarat: [10] bersedia bekerja sama dengan penegak hukum untuk membantu membongkar perkara tindak pidana yang dilakukannya; dan telah membayar lunas denda dan uang pengganti sesuai dengan putusan pengadilan . Namun, syarat bersedia bekerja sama dengan penegak hukum untuk membantu membongkar perkara tindak pidana korupsi, menurut Putusan MA No. 28 P/HUM/2021 (hal. 139 – 140) tidak lagi menjadi suatu kewajiban. Sehingga, normanya menjadi “pemberian remisi bagi narapidana tidak harus memenuhi persyaratan bekerja sama dengan penegak hukum untuk membantu membongkar perkara tindak pidana yang dilakukannya, bagi narapidana yang dipidana karena melakukan tindak pidana korupsi.” : Bisakah Koruptor Dapat Remisi Jika Tak Bayar Denda atau Uang Pengganti? Apakah Remisi Bisa Dicabut untuk Narapidana Koruptor? Menjawab pertanyaan Anda apakah remisi bisa dicabut khusus untuk kasus korupsi? Kami mengasumsikan bahwa yang Anda maksud pencabutan remisi adalah tindakan tidak memberikan hak atas remisi kepada koruptor. Apabila demikian, maka jawabannya bisa dengan setidaknya 3 cara, yaitu melalui pencabutan keputusan pemberian remisi, pembatalan usulan remisi oleh Kepala LAPAS, dan melalui putusan pengadilan. Menurut Pasal 135 Permenkumham 03/2018 , pencabutan keputusan pemberian remisi yang ditetapkan terhadap narapidana dapat dilakukan dalam kondisi : terdapat kekeliruan dalam penghitungan masa menjalani pidana; terdapat kesalahan dalam perhitungan besaran remisi; dan/atau terdapat kesalahan penerapan peraturan perundang-undangan dalam penetapan remisi. Selain pencabutan, Kepala LAPAS juga dapat membatalkan usul pemberian remisi terhadap narapidana apabila narapidana yang bersangkutan melakukan: [11] tindak pidana; dan/atau pelanggaran tata tertib di dalam LAPAS dan tercatat dalam buku register F. Lebih lanjut, jika merujuk pada Penjelasan Pasal 10 ayat (1) UU Pemasyarakatan , hak untuk mendapatkan remisi pada dasarnya berlaku bagi semua narapidana, kecuali jika dicabut berdasarkan putusan pengadilan . Artinya, pencabutan remisi juga dapat dilakukan melalui putusan pengadilan. Pencabutan remisi melalui putusan pengadilan tersebut sepanjang penelusuran kami dijelaskan di dalam Pasal 18 ayat (1) huruf d UU Tipikor bahwa salah satu pidana tambahan dalam kasus tindak pidana korupsi adalah pencabutan seluruh atau sebagian hak-hak tertentu atau penghapusan seluruh atau sebagian keuntungan tertentu, yang telah diberikan atau dapat diberikan oleh pemerintah kepada terpidana. Dalam hal ini, remisi merupakan hak narapidana yang diberikan oleh pemerintah yaitu Menteri Hukum dan HAM kepada narapidana yang memenuhi syarat. [12] Sehingga, kami berpendapat bahwa pencabutan hak untuk mendapatkan remisi kepada koruptor dapat dilakukan sebagai bentuk pidana tambahan melalui putusan pengadilan sebagaimana diatur di dalam UU Tipikor. Perkaya riset hukum Anda dengan analisis hukum terbaru dwibahasa, serta koleksi terjemahan peraturan yang terintegrasi dalam Hukumonline Pro, pelajari lebih lanjut di sini . Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. Dasar Hukum : Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi ; Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2022 tentang Pemasyarakatan ; Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1999 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan sebagaimana diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1999 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan yang diubah kedua kalinya dengan Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1999 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan ; Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 03 Tahun 2018 tentang Syarat dan Tata Cara Pemberian Remisi, Asimilasi, Cuti Mengunjungi Keluarga, Pembebasan Bersyarat, Cuti Menjelang Bebas, dan Cuti Bersyarat sebagaimana diubah dengan Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 7 Tahun 2022 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 03 Tahun 2018 tentang Syarat dan Tata Cara Pemberian Remisi, Asimilasi, Cuti Mengunjungi Keluarga, Pembebasan Bersyarat, Cuti Menjelang Bebas, dan Cuti Bersyarat dan diubah ketiga kalinya dengan Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Nomor 16 Tahun 2023 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 03 Tahun 2018 tentang Syarat dan Tata Cara Pemberian Remisi, Asimilasi, Cuti Mengunjungi Keluarga, Pembebasan Bersyarat, Cuti Menjelang Bebas, dan Cuti Bersyarat . Putusan: Putusan Mahkamah Agung Nomor 28 P/HUM/2021 . [1] Pasal 10 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2022 tentang Pemasyarakatan (“UU Pemasyarakatan”) [2] Penjelasan Pasal 10 ayat (1) UU Pemasyarakatan [3] Penjelasan Pasal 10 ayat (1) huruf a UU Pemasyarakatan [4] Pasal 3 Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 03 Tahun 2018 tentang Syarat dan Tata Cara Pemberian Remisi, Asimilasi, Cuti Mengunjungi Keluarga, Pembebasan Bersyarat, Cuti Menjelang Bebas, dan Cuti Bersyarat (“Permenkumham 03/2018”) [5] Pasal 30 Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Nomor 16 Tahun 2023 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 03 Tahun 2018 tentang Syarat dan Tata Cara Pemberian Remisi, Asimilasi, Cuti Mengunjungi Keluarga, Pembebasan Bersyarat, Cuti Menjelang Bebas, dan Cuti Bersyarat [6] Pasal 36 Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 7 Tahun 2022 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 03 Tahun 2018 tentang Syarat dan Tata Cara Pemberian Remisi, Asimilasi, Cuti Mengunjungi Keluarga, Pembebasan Bersyarat, Cuti Menjelang Bebas, dan Cuti Bersyarat [7] Pasal 34 Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1999 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan (“PP 99/2012”) [8] Pasal 10 ayat (2) huruf b UU Pemasyarakatan [9] Pasal 10 ayat (2) huruf c UU Pemasyarakatan [10] Pasal 34A ayat (1) huruf a dan b PP 99/2012 [11] Pasal 133 Permenkumham 03/2018 [12] Pasal 5 ayat (1) Permenkumham 03/2018 TAGS koruptor korupsi remisi | {372: "['(1) selain hak sebagaimana dimaksud dalam pasal 9 , narapidana yang telah memenuhi persyaratan tertentu tanpa terkecuali juga berhak atas: a. remisi; b. asimilasi; c. cuti mengunjungi atau dikunjungi keluarga; d. cuti bersyarat; e. cuti menjelang bebas; f. pembebasan bersyarat; dan g. hak lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.', '(2) persyaratan tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. berkelakuan baik; b. aktif mengikuti program pembinaan; dan c. telah menunjukkan penurllnan tingkat risiko.', '(3) selain memenuhi persyaratan tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (2), bagi narapidana yang akan diberikan cuti menjelang bebas atau pembebasan bersyarat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e dan huruf f juga harus telah menjalani masa pidana paling singkat 213 (dua pertiga) dengan ketentuan 213 (dua pertiga) masa pidana tersebut paling sedikit 9 (sembilan) bulan. sk no 143391 a']", 373: 'Yang dimaksud dengan tanpa terkecuali adalah berlaku sama bagi Narapidana untuk mendapatkan haknya dan tidak mendasarkan pada tindak pidana yang telah dilakukan, kecuali dicabut berdasarkan putusan pengadilan.', 374: 'Yang dimaksud dengan remisi adalah pengurangan masa menjalani pidana yang diberikan kepada Narapidana yang memenuhi syarat sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan.', 375: "['(1) remisi sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 terdiri atas: a. remisi umum; dan b. remisi khusus.', '(2) remisi umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a diberikan pada saat hari peringatan proklamasi kemerdekaan republik indonesia tanggal 17 agustus.']", 376: 'Remisi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (1) diberikan masing-masing sebesar Remisi umum yang diperoleh pada tahun terakhir.', 377: 'Pemberian Remisi tambahan bagi Narapidana dan Anak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 dan Pasal 34 ayat (1) diberikan sebesar 1/2 (satu per dua) dari Remisi umum yang diperoleh pada tahun berjalan. (2) Pemberian Remisi tambahan bagi Narapidana dan Anak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (1) diberikan sebesar 1/3 (satu per tiga) dari Remisi umum yang diperoleh pada tahun berjalan.', 378: '(1) Setiap Narapidana dan Anak Pidana berhak mendapatkan Remisi. (2) Remisi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diberikan kepada Narapidana dan Anak Pidana yang telah memenuhi syarat: a. berkelakuan baik; dan b. telah menjalani masa pidana lebih dari 6 (enam) bulan. (3) Persyaratan berkelakuan baik sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dibuktikan dengan: a. tidak sedang menjalani hukuman disiplin dalam kurun waktu 6 (enam) bulan terakhir, terhitung sebelum tanggal pemberian Remisi; dan b. telah mengikuti program pembinaan yang diselenggarakan oleh LAPAS dengan predikat baik. ', 379: "['(1) selain hak sebagaimana dimaksud dalam pasal 9 , narapidana yang telah memenuhi persyaratan tertentu tanpa terkecuali juga berhak atas: a. remisi; b. asimilasi; c. cuti mengunjungi atau dikunjungi keluarga; d. cuti bersyarat; e. cuti menjelang bebas; f. pembebasan bersyarat; dan g. hak lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.', '(2) persyaratan tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. berkelakuan baik; b. aktif mengikuti program pembinaan; dan c. telah menunjukkan penurllnan tingkat risiko.', '(3) selain memenuhi persyaratan tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (2), bagi narapidana yang akan diberikan cuti menjelang bebas atau pembebasan bersyarat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e dan huruf f juga harus telah menjalani masa pidana paling singkat 213 (dua pertiga) dengan ketentuan 213 (dua pertiga) masa pidana tersebut paling sedikit 9 (sembilan) bulan. sk no 143391 a']", 380: "['(1) selain hak sebagaimana dimaksud dalam pasal 9 , narapidana yang telah memenuhi persyaratan tertentu tanpa terkecuali juga berhak atas: a. remisi; b. asimilasi; c. cuti mengunjungi atau dikunjungi keluarga; d. cuti bersyarat; e. cuti menjelang bebas; f. pembebasan bersyarat; dan g. hak lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.', '(2) persyaratan tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. berkelakuan baik; b. aktif mengikuti program pembinaan; dan c. telah menunjukkan penurllnan tingkat risiko.', '(3) selain memenuhi persyaratan tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (2), bagi narapidana yang akan diberikan cuti menjelang bebas atau pembebasan bersyarat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e dan huruf f juga harus telah menjalani masa pidana paling singkat 213 (dua pertiga) dengan ketentuan 213 (dua pertiga) masa pidana tersebut paling sedikit 9 (sembilan) bulan. sk no 143391 a']", 381: '(1) Pemberian Remisi bagi Narapidana yang dipidana karena melakukan tindak pidana terorisme, narkotika dan prekursor narkotika, psikotropika, korupsi, kejahatan terhadap keamanan negara, kejahatan hak asasi manusia yang berat, serta kejahatan transnasional terorganisasi lainnya, selain harus memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 juga harus memenuhi persyaratan: a. bersedia bekerjasama dengan penegak hukum untuk membantu membongkar perkara tindak pidana yang dilakukannya; b. telah membayar lunas denda dan uang pengganti sesuai dengan putusan pengadilan untuk Narapidana yang dipidana karena melakukan tindak pidana korupsi; dan', 382: "['(1) kepala lapas dapat membatalkan usul pemberian remisi, asimilasi, cuti mengunjungi keluarga, pembebasan bersyarat, cuti menjelang bebas, dan cuti 2018, no.282 -74- bersyarat terhadap narapidana dan anak.', '(2) usul pemberian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibatalkan apabila narapidana dan anak melakukan: a. tindak pidana; b. pelanggaran tata tertib di dalam lapas dan tercatat dalam buku register f; dan/atau c. memiliki perkara pidana lain yang sedang dalam proses peradilan.']", 383: "['(1) remisi dapat diberikan oleh menteri kepada narapidana yang telah memenuhi syarat: a. berkelakuan baik; dan b. telah menjalani masa pidana lebih dari 6 (enam) bulan.']"} |
Apakah dalam kutipan putusan perkara pidana perlu dimuat detail penahanan terdakwa? Dan apa dasar hukumnya? Adakah contoh kutipan putusan? Mohon penjelasan. | ULASAN LENGKAP dari artikel dengan judul Pengaturan Mengenai Kutipan Putusan yang dibuat oleh Tri Jata Ayu Pramesti, S.H. dan pertama kali dipublikasikan pada 8 April 2014. . Kutipan atau Petikan Putusan Merujuk pada KBBI , kutipan diartikan sebagai hasil mengutip; pungutan; petikan ; nukilan; sitat. Adapun kutipan putusan atau yang disebut juga dengan petikan putusan dalam perkara pidana dapat kita temukan pengaturannya dalam Pasal 226 ayat (1) KUHAP yang berbunyi: Petikan surat putusan pengadilan diberikan kepada terdakwa atau penasihat hukumnya segera setelah putusan diucapkan. Terkait dengan pemberian kutipan putusan ini, M. Yahya Harahap dalam bukunya yang berjudul Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP: Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali , antara lain mengatakan bahwa (hal. 393): petikan putusan mesti diberikan kepada terdakwa atau penasehat hukum; sifatnya imperatif, dalam arti pengadilan negeri wajib memberikan kepada terdakwa atau penasehat hukum dengan tanpa syarat dan tanpa diminta; pemberian dilakukan segera setelah putusan diucapkan. Di samping merujuk pada KUHAP, ketentuan mengenai kutipan putusan juga merujuk pada SEMA 1/2011 yang menyebutkan bahwa petikan putusan perkara pidana diberikan kepada terdakwa, penuntut umum dan rumah tahanan negara atau lembaga pemasyarakatan segera setelah putusan diucapkan. Kemudian, dalam artikel Petikan Putusan Bisa Dijadikan Dasar Eksekusi , Mahkamah Agung (“MA”) menegaskan petikan putusan pengadilan sudah bisa dijadikan dasar mengeksekusi terpidana. Petikan putusan berisi amar yang diputuskan majelis . Berbekal petikan putusan pun sebenarnya jaksa sudah bisa mengeksekusi putusan yang telah berkekuatan hukum tetap. Di samping itu, dalam artikel tersebut juga disebutkan bahwa petikan putusan pemidanaan sudah bisa jadi dasar eksekusi, sebab di dalamnya ada amar/diktum putusan, tetapi pertimbangan hukumnya belum dimuat . Contoh Petikan Putusan Untuk mempermudah pemahaman Anda, kami berikan contoh Petikan Putusan PM Surabaya No. 05–K/PM.III-12/AU/I/2020 yang pada intinya berisi: identitas terdakwa; amar putusan yang menyatakan: terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan kekerasan fisik dalam rumah tangga terhadap orang dalam lingkup rumah tangganya; memidanakan terdakwa dengan pidana penjara 2 bulan dengan perintah supaya pidana tersebut tidak usah dijalani kecuali apabila dikemudian hari ada putusan hakim yang menyatakan terdakwa bersalah melakukan suatu tindak pidana atau melakukan pelanggaran disiplin militer sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 UU 25/2014 , sebelum masa percobaan selama 4 bulan berakhir; menetapkan beberapa barang bukti berupa barang dan surat-surat yang dilekatkan dalam berkas perkara; membebankan biaya perkara pada terdakwa sejumlah Rp15 ribu. Dengan demikian, dapat diketahui petikan putusan tidaklah menyatakan detail penahanan, namun cukup menyebutkan amar putusan yang salah satunya menyatakan lamanya masa pidana yang harus dijalani atau dengan kata lain perintah penahanan, tetap dalam tahanan, atau pembebasan sebagaimana dimaksud Pasal 197 ayat (1) huruf k KUHAP jo. Putusan MK No. 69/PUU-X/2012 . Terkait dengan ini, M. Yahya Harahap dalam sumber buku yang sama (hal. 370) mengatakan bahwa yang perlu diingat, setiap putusan yang dijatuhkan pengadilan harus secara tegas memuat diktum atau amar yang berisi perintah yang ditentukan dalam Pasal 197 ayat (1) huruf k KUHAP tersebut. Terserah pada penilaian hakim perintah yang bagaimana yang akan dikenakan kepada terdakwa. Seandainya menurut penilaiannya terdakwa yang tidak ditahan perlu ditahan maka pada saat putusan dijatuhkan, pengadilan dengan tegas mencantumkan perintah penahanan dalam amar putusan, begitupula sebaliknya. Merujuk pada pendapat M. Yahya Harahap, dapat disimpulkan pula bahwa yang ditekankan dalam sebuah kutipan putusan yang berisi amar putusan adalah penegasan hakim mengenai perintah ditahan atau tidak ditahannya terdakwa . Jadi, tidak diperlukan untuk menyebutkan detail penahanan. Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. Dasar Hukum : Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana ; Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2014 tentang Hukum Disiplin Militer ; Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2010 tentang Penyampaian Salinan dan Petikan Putusan sebagaimana diubah dengan Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perubahan Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2010 tentang Penyampaian Salinan dan Petikan Putusan . Putusan : Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-X/2012 ; Petikan Putusan Pengadilan Militer Surabaya Nomor 05–K/PM.III-12/AU/I/2020 . Referensi : M. Yahya Harahap. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP: Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali. Jakarta: Sinar Grafika, 2005; KBBI, kutipan , yang diakses pada 16 Juli 2024, pukul 11.14 WIB. TAGS putusan putusan hakim hakim kuhap | {384: "(1) Surat putusan pemidanaan memuat : k. perintah supaya terdakwa ditahan atau tetap dalam'tahanan atau dibebaskan; ;; (1) Petikan surat putusan pengadilan diberikan kepada terdakwa atau penasihat hukumnya segera setelah putusan diucapkan. ", 385: 'Jenis Pelanggaran Hukum Disiplin Militer terdiri atas: a. segala perbuatan yang bertentangan dengan perintah kedinasan, peraturan kedinasan, atau perbuatan yang tidak sesuai dengan Tata Tertib Militer; dan b. perbuatan yang melanggar peraturan perundang-undangan pidana yang sedemikian ringan sifatnya.', 386: '1. Pengadilan yang memeriksa dan mengadili perkara Perdata sudah harus menyediakan salinan putusan untuk para pihak dalam waktu 14 (empat belas) hari kerja sejak putusan diucapkan. Karena salinan putusan dalam perkara Perdata dikenakan biaya PNBP, maka penyampaian salinan putusan tersebut harus atas permintaan pihak yang bersangkutan; 2. Untuk perkara Pidana Pengadilan wajib menyampaikan salinan putusan dalam jangka waktu paling lambat 14 (empat belas) hari kerja sejak putusan diucapkan kepada Terdakwa atau Penasihat Hukumnya, Penyidik dan Penuntut ‘Umum, kecuali untuk perkara cepat diselesaikan sesuai dengan ketentuan KUHAP ; 3. Petikan Putusan Perkara Pidana diberikan kepada Terdakwa, Penuntut Umum dan Rumah Tahanan Negara atau Lembaga Permasyarakatan segera setelah Putusan diucapkan ; 4. Apabila Pengadilan tidak melaksanakan ketentuan tersebut di atas, maka Ketua Pengadilan dikenakan sanksi sebagaimana diatur dalam Peraturan Perundang-undangan yang berlaku ; '} |
Beberapa waktu terakhir sedang ramai diberitakan kasus mabuk kecubung yang mengakibatkan 47 orang dirawat dan 2 orang meninggal dunia. Saya ingin bertanya, apakah kecubung termasuk golongan narkotika? Apakah penyalahgunaan kecubung dapat dipidana? | ULASAN LENGKAP . Untuk menjawab pertanyaan Anda, perlu dipahami bahwa narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik sintetis maupun semi sintetis, yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan, yang dibedakan ke dalam golongan-golongan sebagaimana terlampir dalam peraturan perundang-undangan. [1] Penggolongan Narkotika Mengenai penggolongan narkotika, dapat ditemukan pengaturannya dalam UU Narkotika . Berdasarkan Pasal 6 ayat (1) UU Narkotika dan penjelasannya , narkotika dibagi menjadi 3 golongan, yaitu: Narkotika Golongan I , yaitu narkotika yang hanya dapat digunakan untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan dan tidak digunakan dalam terapi, serta mempunyai potensi sangat tinggi mengakibatkan ketergantungan; [2] Narkotika Golongan II , yaitu narkotika berkhasiat pengobatan digunakan sebagai pilihan terakhir dan dapat digunakan dalam terapi dan/atau untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi tinggi mengakibatkan ketergantungan; [3] dan Narkotika Golongan III , yaitu narkotika berkhasiat pengobatan dan banyak digunakan dalam terapi dan/atau untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi ringan mengakibatkan ketergantungan. [4] Kemudian, mengenai penggolongan narkotika untuk pertama kali ditetapkan dalam Lampiran I UU Narkotika yang merupakan bagian yang tak terpisahkan dari undang-undang. [5] Kemudian, mengenai ketentuan perubahan penggolongan narkotika diatur dengan peraturan menteri. [6] Sepanjang penelusuran kami, ketentuan mengenai perubahan penggolongan narkotika terbaru terdapat dalam Permenkes 30/2023 . Adapun, daftar penggolongan narkotika tercantum di dalam Lampiran Permenkes 30/2023 , di mana narkotika golongan I berjumlah 217 jenis, narkotika golongan II berjumlah 90 jenis, dan narkotika golongan III berjumlah 15 jenis. Sebagai contoh, berikut jenis narkotika berdasarkan golongannya: Narkotika Golongan I: kokain mentah, tanaman koka, tanaman ganja, etorfina, tiofentanil dan lain sebagainya. Narkotika Golongan II: alfametadol, alfentanil, benzetidin, betametadol, betaprodina dan lain sebagainya. Narkotika Golongan III: propiram, polkodina, nikokdina, kodeina, etilmorfina dan lain sebagainya. : Penggolongan Narkotika Terbaru dalam Permenkes Apakah Kecubung Termasuk Golongan Narkotika? Kecubung merupakan tanaman yang memiliki efek halusinogenik yang banyak tumbuh di negara-negara dengan iklim tropis dan sub-tropis, termasuk Indonesia dan memiliki beberapa nama lain seperti angel’s trumpet, Jimson weed, devil’s trumpet, Loco weed, Datura metel, dan lain-lain . [7] Lantas, apakah kecubung dapat digolongkan sebagai narkotika? Sepanjang penelusuran kami dalam UU Narkotika dan Permenkes 30/2023, kecubung tidak termasuk ke dalam salah satu dari tiga golongan narkotika. Lebih lanjut, berdasarkan Pedoman Penyalahgunaan dan Peredaran Gelap Narkoba (P4GN) dari Badan Narkotika Nasional (“BNN”) sebagaimana dikutip Monica Djaja Saputera dan Jessica Djaja Saputera dalam jurnal berjudul Intoksikasi Kecubung: Sebuah Laporan Kasus pada Remaja Laki-Laki Usia 16 Tahun di Kabupaten Kuningan (hal. 226) menyatakan bahwa kecubung adalah suatu substansi yang memiliki efek halusinogenik yang belum dikategorikan sebagai kelompok narkotika . Selain itu, dilansir dari website BNN Kabupaten Tana Toraja yang berdasarkan artikel Dibalik rupanya yang cantik, Bunga Kecubung ternyata menyimpan sejumlah zat mematikan diterangkan bahwa kecubung bukanlah merupakan golongan narkotika , akan tetapi kerap digunakan sebagai penghilang kesadaran atau sebagai zat pembius, sebab daun kecubung berkhasiat sebagai anestesi. Hal ini karena kecubung mengandung metil kristalin yang mempunyai efek relaksasi. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa kecubung saat ini masih belum digolongkan sebagai narkotika, karena belum terdapat aturan hukum yang mengaturnya. Oleh karena itu, penyalahgunaan kecubung tidak dapat dipidana. Perkaya riset hukum Anda dengan analisis hukum terbaru dwibahasa, serta koleksi terjemahan peraturan yang terintegrasi dalam Hukumonline Pro, pelajari lebih lanjut di sini . Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. Dasar Hukum : Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika ; Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja yang telah ditetapkan sebagai undang-undang dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 ; Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 30 Tahun 2023 tentang Perubahan Penggolongan Narkotika . Referensi : Monica Djaja Saputera dan Jessica Djaja Saputera. Intoksikasi Kecubung: Sebuah Laporan Kasus pada Remaja Laki-Laki Usia 16 Tahun di Kabupaten Kuningan . Jurnal Penyakit Dalam Indonesia, Vol. 9, No. 4, Article 25, 2022. BNN Kabupaten Tana Toraja , yang diakses pada tanggal 15 Juli 2024, pukul 16.30 WIB. [1] Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika (“UU Narkotika”) [2] Penjelasan Pasal 6 ayat (1) huruf a UU Narkotika [3] Penjelasan Pasal 6 ayat (1) huruf b UU Narkotika [4] Penjelasan Pasal 6 ayat (1) huruf c UU Narkotika [5] Pasal 6 ayat (2) UU Narkotika [6] Pasal 6 ayat (3) UU Narkotika [7] Monica Djaja Saputera dan Jessica Djaja Saputera. Intoksikasi Kecubung: Sebuah Laporan Kasus pada Remaja Laki-Laki Usia 16 Tahun di Kabupaten Kuningan . Jurnal Penyakit Dalam Indonesia, Vol. 9, No. 4, Article 25, 2022, hal. 226 TAGS narkotika bnn narkoba | {387: '1. narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik sintetis maupun semisintetis, yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan, yang dibedakan ke dalam golongan- golongan sebagaimana terlampir dalam undang-undang ini', 388: 'Dalam ketentuan ini yang dimaksud dengan ”Narkotika Golongan I” adalah Narkotika yang hanya dapat digunakan untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan dan tidak digunakan dalam terapi, serta mempunyai potensi sangat tinggi mengakibatkan ketergantungan.', 389: 'Dalam ketentuan ini yang dimaksud dengan ”Narkotika Golongan II” adalah Narkotika berkhasiat pengobatan digunakan sebagai pilihan terakhir dan dapat digunakan dalam terapi dan/atau untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi tinggi mengakibatkan ketergantungan.', 390: 'Dalam ketentuan ini yang dimaksud dengan ”Narkotika Golongan III” adalah Narkotika berkhasiat pengobatan dan banyak digunakan dalam terapi dan/atau untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi ringan mengakibatkan ketergantungan.', 391: "['(1) narkotika sebagaimana dimaksud dalam pasal 5 digolongkan ke dalam: a. narkotika golongan i; b. narkotika golongan ii; dan c. narkotika golongan iii.', '(2) penggolongan narkotika sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk pertama kali ditetapkan sebagaimana tercantum dalam lampiran i dan merupakan bagian yang tak terpisahkan dari undang-undang ini.']", 392: "['(1) narkotika sebagaimana dimaksud dalam pasal 5 digolongkan ke dalam: a. narkotika golongan i; b. narkotika golongan ii; dan c. narkotika golongan iii.', '(2) penggolongan narkotika sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk pertama kali ditetapkan sebagaimana tercantum dalam lampiran i dan merupakan bagian yang tak terpisahkan dari undang-undang ini.']", 393: 'Kecubung merupakan tanaman yang memiliki efek halusinogenik yang banyak tumbuh di negara-negara dengan iklim tropis dan sub-tropis, termasuk Indonesia dan memiliki beberapa nama lain seperti angel’s trumpet, Jimson weed, devil’s trumpet, Loco weed, Datura metel, dan lain-lain. Lantas, apakah kecubung dapat digolongkan sebagai narkotika? Sepanjang penelusuran kami dalam UU Narkotika dan Permenkes 30/2023, kecubung tidak termasuk ke dalam salah satu dari tiga golongan narkotika. Lebih lanjut, berdasarkan Pedoman Penyalahgunaan dan Peredaran Gelap Narkoba (P4GN) dari Badan Narkotika Nasional (“BNN”) sebagaimana dikutip Monica Djaja Saputera dan Jessica Djaja Saputera dalam jurnal berjudul Intoksikasi Kecubung: Sebuah Laporan Kasus pada Remaja Laki-Laki Usia 16 Tahun di Kabupaten Kuningan (hal. 226) menyatakan bahwa kecubung adalah suatu substansi yang memiliki efek halusinogenik yang belum dikategorikan sebagai kelompok narkotika.'} |
Saya adalah wanita yang sudah mempunyai pacar dan saya tinggal bersama pacar saya selama 3 tahun. Tapi pacar saya mandul. Suatu hari saat sedang bertengkar dengan pacar, saya khilaf melakukan hubungan dengan teman kos. Sekarang, saya hamil 7 bulan dan saya menuntut teman kos saya untuk tanggung jawab. Tetapi, ia tak mau bertanggungjawab dan malah mau melaporkan saya atas pencemaran nama baik. Adakah solusi terbaik buat saya untuk menjerat dia agar dihukum? Bisakah bukti tes DNA digunakan untuk menjerat dia? Berapa lama waktu hukuman yang akan dia jalani? | ULASAN LENGKAP dari artikel dengan judul Bisakah Menuntut Karena Dihamili Teman Kos? yang dibuat oleh Try Indriadi, S.H. dan pertama kali dipublikasikan pada 5 April 2012. . Apakah Perbuatan Zina Dapat Dipidana? Sebagaimana disarikan dari Hukumnya Jika Pacar Tak Mau Bertanggung Jawab Menikahi , berdasarkan ketentuan dalam KUHP atau UU 1/2023 tentang KUHP baru yang berlaku 3 tahun sejak tanggal diundangkan, [1] yaitu tahun 2026 dinyatakan bahwa jika dua orang dewasa yang belum terikat perkawinan melakukan hubungan badan dengan kesadaran penuh, maka tidak dapat dilakukan penuntutan pidana terhadap laki–laki tersebut. Adapun termuat dalam KUHP perlu diperhatikan bahwa larangan melakukan hubungan seksual dengan orang yang bukan suami atau istrinya pada dasarnya dapat dituntut atas dasar pengaduan dari suami atau istri bagi orang yang terikat perkawinan. Sedangkan dalam UU 1/2023 disebutkan pula penuntutan tindak pidana perzinaan dapat dilakukan atas dasar pengaduan orang tua atau anaknya bagi orang yang tidak terikat perkawinan. Tak Mau Bertanggungjawab Setelah Menghamili Untuk dapat menindaklanjuti perbuatan teman Anda yang tak mau bertanggungjawab setelah menghamili, maka harus dilihat terlebih dahulu ada tidaknya janji menikahi sebelumnya. Sebab ini berhubungan dengan pengajuan gugatan perdata ke pengadilan dengan dasar Perbuatan Melawan Hukum (“PMH”). Adapun PMH ini diatur dalam Pasal 1365 KUH Perdata yang berbunyi sebagai berikut: Tiap perbuatan yang melanggar hukum dan membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang menimbulkan kerugian itu karena kesalahannya untuk menggantikan kerugian tersebut. Menurut Mariam Darus Badrulzaman dalam bukunya KUH Perdata Buku III Hukum Perikatan dengan Penjelasan , seperti dikutip Rosa Agustina dalam buku Perbuatan Melawan Hukum (hal. 36) menjabarkan unsur-unsur PMH dalam Pasal 1365 KUH Perdata adalah sebagai berikut: Harus ada perbuatan (positif maupun negatif); Perbuatan itu harus melawan hukum; Ada kerugian; Ada hubungan sebab akibat antara perbuatan melawan hukum itu dengan kerugian; Ada kesalahan. Lebih lanjut Rosa Agustina menerangkan yang dimaksud dengan “perbuatan melawan hukum”, antara lain (hal. 117): Bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku; Bertentangan dengan hak subjektif orang lain; Bertentangan dengan kesusilaan; Bertentangan dengan kepatutan, ketelitian dan kehati-hatian. Disarikan dari Menggugat Janji-janji Kekasih, Bisakah? , janji menikahi pada dasarnya tidak menimbulkan hak untuk menuntut di muka hakim untuk dilangsungkannya perkawinan. Juga tidak menimbulkan hak untuk menuntut penggantian biaya, kerugian, dan bunga, akibat tidak dipenuhinya janji itu. Semua persetujuan ganti rugi dalam hal ini adalah batal. Namun jika pemberitahuan nikah tersebut telah diikuti suatu pengumuman, maka hal ini dapat menjadi dasar untuk menuntut kerugian. Masa daluwarsa untuk menuntut ganti rugi tersebut adalah 18 bulan terhitung sejak pengumuman rencana perkawinan. Selain itu, setidaknya ada beberapa putusan MA yang mendukung atau dapat menjadi dasar apabila hendak mengajukan gugatan karena janji mengawini antara lain adalah Putusan MA No. 522 K/Sip/1994 , Putusan MA No. 3191 K/Pdt/1984 , dan Putusan MA No. 3277 K/Pdt/2000 . Oleh karena itu, apabila sebelumnya tidak ada janji mengawini yang diikuti dengan suatu pengumuman sebelumnya, berarti perbuatan teman kos Anda tidak memenuhi unsur-unsur perbuatan melawan hukum. : Bisakah Menuntut Pasangan yang Membatalkan Perkawinan? Tes DNA untuk Anak Luar Kawin Selanjutnya mengenai bisakah hasil tes DNA digunakan untuk menjerat teman kos Anda, kami akan merujuk pada Putusan MK No. 46/PUU-VIII/2010 sebagaimana mengatur mengenai Pengujian Pasal 43 ayat (1) UU Perkawinan yang akhirnya menambah frasa dengan berbunyi sebagai berikut: Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya . Adapun berdasarkan putusan MK tersebut, melalui pembuktian dengan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti dengan cara tes DNA, dapat membuat teman kos Anda tidak dapat memungkiri bahwa ia memiliki hubungan darah dan hubungan keperdataan dengan anak yang Anda kandung . : Anak di Luar Kawin, Bagaimana Status Hukumnya? Hal ini mengingat secara alamiah, tidaklah mungkin seorang perempuan hamil tanpa terjadinya pertemuan antara ovum dan spermatozoa baik melalui hubungan seksual ( coitus ) maupun melalui cara lain berdasarkan perkembangan teknologi yang menyebabkan terjadinya pembuahan. Oleh karena itu, tidak tepat dan tidak adil manakala hukum menetapkan bahwa anak yang lahir karena hubungan seksual di luar perkawinan hanya memiliki hubungan dengan ibunya. Adalah tidak tepat dan tidak adil pula jika hukum membebaskan laki-laki (ayahnya) yang melakukan hubungan seksual hingga menyebabkan terjadinya kehamilan dan kelahiran anak tersebut dari tanggung jawabnya sebagai seorang bapak dan bersamaan dengan itu hukum meniadakan hak-hak anak terhadap lelaki tersebut sebagai bapaknya. Terlebih jika berdasarkan perkembangan teknologi yang ada memungkinkan dapat dibuktikan anak itu dari laki-laki tertentu (hal. 34-35). Dengan demikian, alih-alih mengajukan gugatan atau tuntutan pidana terhadap teman kos Anda yang tidak bertanggungjawab, Anda dapat mengajukan pengakuan anak luar kawin. Simak selengkapnya dalam ulasan artikel Bisakah Mengakui Anak Hasil Zina? Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. Dasar Hukum: Kitab Undang-Undang Hukum Perdata ; Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ; Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ; Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan . Putusan: Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 ; Putusan Mahkamah Agung Nomor 522 K/Sip/1994; Putusan Mahkamah Agung Nomor 3191 K/Pdt/1984 ; Putusan Mahkamah Agung Nomor 3277 K/Pdt/2000 . [1] Pasal 624 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana TAGS anak luar kawin perzinaan kuhperdata | {20: 'Undang-Undang ini mulai berlaku setelah 3 (tiga) tahun terhitung sejak tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.'} |
Saya mau tanya, apakah ada sanksi untuk seorang bos yang dengan sengaja menampar karyawannya dengan suatu alat? Misalnya menggunakan spatula untuk masak. Pemukulan tersebut lebih dari satu kali dengan alasan hanya karena pekerjaan tidak sesuai dengan yang dia inginkan. Apa langkah hukum jika pekerja ditampar atasan? | ULASAN LENGKAP kedua dari artikel dengan judul sama yang ditulis oleh Dimas Hutomo, S.H. dan dipublikasikan pada 5 Juli 2019. Seluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata – mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihat Pernyataan Penyangkalan selengkapnya). . Pasal Penganiayaan Ringan dalam KUHP dan UU 1/2023 Berdasarkan informasi yang Anda berikan, penamparan yang dilakukan oleh atasan atau bos terhadap karyawannya merupakan tindak pidana penganiayaan yang diatur dalam KUHP lama yang saat artikel ini diterbitkan masih berlaku, atau UU 1/2023 tentang KUHP baru yang berlaku 3 tahun sejak tanggal diundangkan, [1] yaitu tahun 2026. Jika akibat dari penamparan tersebut karyawan tidak mengalami luka berat atau kematian, maka atasan/bos berpotensi dipidana dengan pasal penganiayaan ringan , sebagai berikut: Pasal 352 KUHP Pasal 471 UU 1/2023 Kecuali yang tersebut dalam pasal 353 dan 356, maka penganiayaan yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau pencarian, diancam, sebagai penganiayaan ringan , dengan pidana penjara paling lama 3 bulan atau pidana denda paling banyak Rp4.5 juta. [2] Pidana dapat ditambah 1/3 bagi orang yang melakukan kejahatan itu terhadap orang yang bekerja padanya, atau menjadi bawahannya . Percobaan untuk melakukan kejahatan ini tidak dipidana Selain penganiayaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 467 dan Pasal 470, penganiayaan yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan profesi jabatan atau mata pencaharian, dipidana karena penganiayaan ringan , dengan pidana penjara paling lama 6 bulan atau pidana denda paling banyak kategori II, yaitu Rp10 juta. [3] Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan terhadap orang yang bekerja padanya atau menjadi bawahannya, pidananya dapat ditambah 1/3 . Percobaan melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1), tidak dipidana. Kemudian, disarikan dari artikel Begini Bunyi Pasal 352 KUHP tentang Penganiayaan Ringan , unsur-unsur tindak pidana penganiayaan ringan dalam Pasal 352 KUHP adalah: bukan penganiayaan berencana (Pasal 353 KUHP) ; bukan penganiayaan yang dilakukan: terhadap ibu atau bapaknya yang sah, istri atau anaknya; terhadap pejabat yang ketika atau karena menjalankan tugasnya yang sah; dengan memberikan bahan yang berbahaya bagi nyawa atau kesehatan untuk dimakan atau diminum (Pasal 356 KUHP) . tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau pencarian. Selanjutnya, menurut R. Soesilo dalam bukunya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal (hal. 246) menjelaskan bahwa peristiwa pidana dalam Pasal 352 KUHP disebut “penganiayaan ringan” dan termasuk kejahatan ringan. Yang termasuk dalam Pasal 352 ini adalah penganiayaan yang tidak: menjadikan sakit (“ziek” bukan “pijn”) atau terhalang untuk melakukan jabatan atau pekerjaannya sehari-hari. Berdasarkan kasus yang Anda sampaikan, jika perbuatan atasan terbukti memenuhi unsur-unsur di atas, maka atasan berpotensi dijerat Pasal 352 KUHP atau Pasal 471 UU 1/2023. Terlebih, pidananya dapat ditambah 1/3, karena penamparan dilakukan oleh atasan/bos terhadap bawahannya (karyawan). Namun, bagaimana jika yang dilakukan adalah penganiayaan berat? Pasal Penganiayaan Berat dalam KUHP dan UU 1/2023 Tindak pidana penganiayaan berat diatur dalam pasal-pasal sebagai berikut: Pasal 351 KUHP Pasal 466 UU 1/2023 Penganiayaan diancam dengan pidana penjara paling lama 2 tahun 8 bulan atau pidana denda paling banyak Rp4,5 juta. [4] Jika perbuatan mengakibatkan luka-luka berat , yang bersalah diancam dengan pidana penjara paling lama 5 tahun. Jika mengakibatkan mati , diancam dengan pidana penjara paling lama 7 tahun. Dengan penganiayaan disamakan sengaja merusak kesehatan. Percobaan untuk melakukan kejahatan ini tidak dipidana. Setiap Orang yang melakukan penganiayaan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 tahun 6 bulan atau pidana denda paling banyak kategori III, yaitu Rp50 juta. [5] Jika perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan luka berat , dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun. Jika perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan matinya orang , dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 tahun. Termasuk dalam penganiayaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah perbuatan yang merusak kesehatan. Percobaan melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1), tidak dipidana. Mengenai penganiayaan yang termuat pada Pasal 351 KUHP, R. Soesilo dalam buku yang sama (hal.245), mengatakan bahwa undang-undang tidak memberi ketentuan apakah yang diartikan dengan “penganiayaan” itu sendiri. Adapun menurut yurisprudensi, penganiayaan diartikan sebagai tindakan sengaja menyebabkan perasaan tidak enak (penderitaan), rasa sakit, atau luka. Lalu, menurut Pasal 351 angka 4 KUHP , sengaja merusak kesehatan orang juga masuk dalam pengertian penganiayaan. Kemudian, contoh mengenai apa yang dimaksud dengan perasaan tidak enak, rasa sakit, luka, dan merusak kesehatan adalah: [6] perasaan tidak enak misalnya mendorong orang terjun ke kali sehingga basah, menyuruh orang berdiri di terik matahari, dan sebagainya; rasa sakit misalnya menyubit, mendupak, memukul, menempeleng, dan sebagainya; luka misalnya mengiris, memotong, menusuk dengan pisau dan lain-lain; merusak kesehatan misalnya orang sedang tidur, dan berkeringat, dibuka jendela kamarnya, sehingga orang itu masuk angin. Lebih lanjut, menurut Penjelasan Pasal 466 UU 1/2023 , ketentuan ini tidak memberi perumusan mengenai pengertian penganiayaan. Hal ini diserahkan kepada penilaian hakim untuk memberikan interpretasi terhadap kasus yang dihadapi sesuai dengan perkembangan nilai-nilai sosial dan budaya serta perkembangan dunia kedokteran. Ini berarti bahwa pengertian penganiayaan tidak harus berarti terbatas pada penganiayaan fisik dan sebaliknya tidak setiap penderitaan fisik selalu diartikan sebagai penganiayaan. Dalam ketentuan ini juga tidak dicantumkan unsur "dengan sengaja" karena hal tersebut sudah diatur dalam Pasal 36 dan Pasal 54 huruf j UU 1/2023 dalam rangka pemberatan pidana. Penjelasan selengkapnya mengenai tindak pidana penganiayaan berat dapat Anda baca dalam Ini Bunyi Pasal 351 KUHP tentang Penganiayaan . Jadi, jika penamparan yang dilakukan atasan/bos mengakibatkan luka berat dan/atau matinya korban (karyawan), ia berpotensi dipidana karena melakukan penganiayaan berat dalam Pasal 351 KUHP atau Pasal 466 UU 1/2023. : Perbedaan Pasal Penganiayaan Ringan dan Penganiayaan Berat Adapun Anda atau karyawan yang menjadi korban penganiayaan dapat melaporkan tindakan atasan ke pihak kepolisian. Sebagai referensi, Anda dapat simak artikel Mau Melaporkan Tindak Pidana ke Polisi? Begini Prosedurnya . Upaya yang Dapat Dilakukan Sebagai Pekerja Menjawab pertanyaan Anda mengenai langkah hukum yang dapat dilakukan jika pekerja ditampar atasan, pada dasarnya, secara tidak langsung ketentuan dalam UU Ketenagakerjaan mengatur bahwa pekerja atau buruh memiliki hak perlindungan atas perlakuan kasar dari atasannya . Ketentuan tersebut termuat dalam Pasal 86 ayat (1) UU Ketenagakerjaan yang berbunyi sebagai berikut: Setiap pekerja/buruh mempunyai hak untuk memperoleh perlindungan atas: keselamatan dan kesehatan kerja; moral dan kesusilaan; dan perlakuan yang sesuai dengan harkat dan martabat manusia serta nilai-nilai agama. Menurut hemat kami, jika karyawan/pekerja mengalami perlakukan yang tidak baik yang dilakukan oleh atasan, maka pekerja dapat menyampaikan pengaduan keluh kesah tersebut kepada pihak-pihak yang berkepentingan. Adapun tata cara penyampaian pengaduan dan keluh kesah adalah sebagai berikut: [7] Tingkat pertama: disampaikan kepada atasannya secara langsung; Tingkat kedua: apabila penyelesaian tidak diperoleh pada tingkat pertama maka pengaduan dilanjurkan pada Lembaga Bipartit; Tingkat ketiga: apabila penyelesaian tidak diperoleh pada tingkat kedua maka pengaduan diteruskan Serikat Pekerja untuk menyelesaikan dengan pengusaha; Tingkat keempat: apabila penyelesaian tidak diperoleh pada tingkat ketiga maka pengaduan disampaikan oleh salah satu pihak kepada pegawai perantara. Karyawan sebagai korban penganiayaan juga dapat mengajukan permohonan Pemutusan Hubungan Kerja (“PHK”) kepada lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial/ Pengadilan Hubungan Industrial dalam hal pengusaha melakukan perbuatan menganiaya, menghina secara kasar atau mengancam pekerja/buruh. [8] Selain itu, atas PHK karena pelanggaran yang dilakukan oleh pengusaha, karyawan juga berhak mendapatkan: [9] uang pesangon sebesar 1 kali; uang penghargaan masa kerja sebesar 1 kali; uang penggantian hak; sesuai ketentuan dalam PP 35/2021 . Selengkapnya mengenai perhitungan uang pesangon, uang penghargaan masa kerja, dan uang penggantian hak, dapat Anda temukan dalam artikel Cara Hitung Pesangon Berdasarkan UU Cipta Kerja . Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. Dasar Hukum : Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ; Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan ; Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial ; Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ; Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja yang telah ditetapkan sebagai undang-undang melalui Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 ; Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2021 tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, Alih Daya, Waktu Kerja dan Waktu Istirahat, dan Pemutusan Hubungan Kerja ; Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2012 tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda dalam KUHP . Referensi : R. Soesilo. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal. Bogor: Politeia, 1991. [1] Pasal 624 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“UU 1/2023”) [2] Pasal 3 Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2012 tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda dalam KUHP (“Perma 2/2012”), denda dikali 1.000 kali [3] Pasal 79 ayat (1) huruf b UU 1/2023 [4] Pasal 3 Perma 2/2012, denda dikali 1.000 kali [5] Pasal 79 ayat (1) huruf c UU 1/2023 [6] R. Soesilo. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal . Bogor: Politeia, 1991, hal. 245 [7] Lihat Pasal 3 dan Pasal 4 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (“UU PPHI”) [8] Pasal 81 angka 45 Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja Menjadi Undang-Undang (“Perppu Cipta Kerja”) yang menambah baru Pasal 154A ayat (1) huruf g Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (“UU Ketenagakerjaan”) [9] Pasal 48 Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2021 tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, Alih Daya, Waktu Kerja dan Waktu Istirahat, dan Pemutusan Hubungan Kerja (“PP 35/2021”) TAGS pekerja ketenagakerjaan kuhp penganiayaan pidana bos | {4: 'Undang-Undang ini mulai berlaku setelah 3 (tiga) tahun terhitung sejak tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.', 35: 'Tiap jumlah maksimum hukuman denda yang diancamkan dalam KUHP kecuali pasal 303 ayat 1 dan ayat 2, 303 bis ayat 1 dan ayat 2, dilipatgandakan menjadi 1.000 (seribu) kall,', 37: "['(1) pidana denda paling banyak ditetapkan berdasarkan: a. kategori i, rp1.000.000,00 (satu juta rupiah); b. kategori ii, rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah); c. kategori iii, rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah); d. kategori iv, rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah); e. kategori v, rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah); f. kategori vi, rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah); g. kategori vii, rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah); dan h. kategori viii, rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah).']", 36: 'Tiap jumlah maksimum hukuman denda yang diancamkan dalam KUHP kecuali pasal 303 ayat 1 dan ayat 2, 303 bis ayat 1 dan ayat 2, dilipatgandakan menjadi 1.000 (seribu) kall,', 25: "['(1) pidana denda paling banyak ditetapkan berdasarkan: a. kategori i, rp1.000.000,00 (satu juta rupiah); b. kategori ii, rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah); c. kategori iii, rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah); d. kategori iv, rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah); e. kategori v, rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah); f. kategori vi, rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah); g. kategori vii, rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah); dan h. kategori viii, rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah).']", 394: 'Kemudian, contoh mengenai apa yang dimaksud dengan perasaan tidak enak, rasa sakit, luka, dan merusak kesehatan adalah:', 395: "['(1) perselisihan hubungan industrial wajib diupayakan penyelesaiannya terlebih dahulu melalui perundingan bipartit secara musyawarah untuk mencapai mufakat.', '(2) penyelesaian perselisihan melalui bipartit sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), harus diselesaikan paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja sejak tanggal dimulainya perundingan.']", 396: 'Pasal 154A (1) Pemutusan Hubungan Kerja dapat terjadi karena alasan: ... g. adanya permohonan Pemutusan Hubungan Kerja yang diajukan oleh Pekerja/Buruh dengan alasan Pengusaha melakukan perbuatan sebagai berikut: 1. menganiaya, menghina secara kasar atau mengancam Pekerja/Buruh; 2. membujuk dan/atau menyuruh Pekerja/Buruh untuk melakukan perbuatan yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan; 3. tidak membayar Upah tepat pada waktu yang telah ditentukan selama 3 (tiga) bulan berturut-turut atau lebih, meskipun Pengusaha membayar Upah secara tepat waktu sesudah itu; 4. tidak melakukan kewajiban yang telah dijanjikan kepada Pekerja/Buruh; 5. memerintahkan Pekerja/Buruh untuk melaksanakan pekerjaan di luar yang diperjanjikan; atau 6. memberikan pekerjaan yang membahayakan jiwa, keselamatan, kesehatan, dan kesusilaan Pekerja/Buruh sedangkan pekerjaan tersebut tidak dicantumkan pada Perjanjian Kerja;', 397: 'Pengusaha dapat melakukan Pemutusan Hubungan Kerja terhadap Pekerja/Buruh karena alasan adanya permohonan Pemutusan Hubungan Kerja yang diajukan oleh Pekerja/Buruh dengan alasan Pengusaha melakukan perbuatan sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 36 huruf g maka Pekerja/Buruh berhak atas: a. uang pesangon sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal 40 ayat (2); b. uang penghargaan masa kerja sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal 40 ayat (3); dan c. uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 40 ayat (4).'} |
Salah satu kasus penetapan tersangka yang dinyatakan tidak sah dan batal demi hukum oleh praperadilan adalah kasus Pegi Setiawan. Pertanyaan saya: | ULASAN LENGKAP dari artikel dengan judul Praperadilan yang dibuat oleh Dinna Sabriani dan pertama kali dipublikasikan pada 31 Mei 2005. . Putusan Praperadilan tentang Penetapan Tersangka Salah satu objek praperadilan adalah penetapan tersangka, seperti kasus yang Anda sebutkan dalam pertanyaan. Dasar hukum praperadilan adalah Pasal 77 KUHAP jo. Putusan MK No. 21/PUU-XII/2014 (hal. 110) yang menyatakan bahwa pengadilan negeri berwenang untuk memeriksa dan memutus, sesuai dengan ketentuan yang diatur di dalam KUHAP tentang: sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan, atau penghentian penuntutan, termasuk penetapan tersangka , penggeledahan, dan penyitaan; ganti kerugian dan atau rehabilitasi bagi seorang yang perkara pidananya dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan. Terkait dengan objek praperadilan mengenai penetapan tersangka, dalam Pasal 2 ayat (2) PERMA 4/2016 diatur bahwa pemeriksaan praperadilan terhadap permohonan tentang tidak sahnya penetapan tersangka hanya menilai aspek formil , yaitu apakah ada paling sedikit dua alat bukti yang sah dan tidak memasuki materi perkara. Putusan praperadilan yang mengabulkan permohonan tentang tidak sahnya penetapan tersangka tidak menggugurkan kewenangan penyidik untuk menetapkan yang bersangkutan sebagai tersangka lagi , setelah memenuhi paling sedikit dua alat bukti baru yang sah , berbeda dengan alat bukti sebelumnya yang berkaitan dengan materi perkara. [1] Adapun, persidangan perkara praperadilan tentang tidak sahnya penetapan tersangka dipimpin hakim tunggal karena sifat pemeriksaannya yang tergolong singkat dan pembuktiannya yang hanya memeriksa aspek formil. Praperadilan ini diajukan dan diproses sebelum perkara pokok disidangkan di pengadilan negeri. Namun, jika perkara pokok sudah mulai diperiksa, maka perkara praperadilannya menjadi gugur. [2] : Seluk Beluk Praperadilan: Dari Objek Hingga Upaya Hukumnya Adakah Upaya Hukum Terhadap Putusan Praperadilan? Apakah putusan praperadilan dapat diajukan banding, kasasi, dan peninjauan kembali? Untuk menjawab hal tersebut, Pasal 83 ayat (1) KUHAP mengatur yang pada prinsipnya adalah putusan praperadilan tidak dapat dimintakan banding . Hal ini karena putusan praperadilan merupakan putusan akhir, yang terhadapnya tidak dapat dilakukan upaya banding. Hal ini sesuai dengan asas tata cara pemeriksaan praperadilan yang dilakukan dengan acara cepat. Selain itu, tujuan dibentuknya lembaga praperadilan ialah untuk mewujudkan putusan dan kepastian hukum dalam waktu yang relatif singkat. Lebih lanjut, Pasal 45A ayat (2) huruf a UU 5/2004 juga memberikan pengecualian terhadap putusan praperadilan untuk diajukan kasasi. Artinya, selain tidak dapat diajukan banding, putusan praperadilan juga tidak dapat diajukan kasasi . Lantas, apakah putusan praperadilan dapat dilakukan peninjauan kembali? Hal tersebut telah diatur di dalam Pasal 1 dan Pasal 3 ayat (1) PERMA 4/2016 yang menyatakan bahwa putusan praperadilan dilarang/tidak dapat diajukan peninjauan kembali. Jika putusan praperadilan diajukan peninjauan kembali, maka permohonannya dinyatakan tidak dapat diterima dengan penetapan Ketua Pengadilan Negeri dan penetapan tersebut tidak dapat diajukan upaya hukum. [3] Dengan demikian, menjawab pertanyaan Anda yang kedua, terhadap putusan praperadilan tidak dapat diajukan upaya hukum banding, kasasi, maupun peninjaun kembali. Meski demikian, Mahkamah Agung tetap memiliki wewenang untuk melakukan pengawasan terhadap praperadilan, yang meliputi: [4] mengawasi tingkah laku dan perbuatan para hakim dalam menjalankan tugas praperadilan; meminta keterangan tentang teknis pemeriksaan praperadilan; dan memberi petunjuk, teguran, atau peringatan yang dipandang perlu terhadap putusan praperadilan yang menyimpang secara fundamental. Perkaya riset hukum Anda dengan analisis hukum terbaru dwibahasa, serta koleksi terjemahan peraturan yang terintegrasi dalam Hukumonline Pro, pelajari lebih lanjut di sini . Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. Dasar Hukum : Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana ; Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung dan diubah kedua kalinya dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung ; Peraturan Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2016 tentang Larangan Peninjauan Kembali Putusan Praperadilan . TAGS objek praperadilan praperadilan kuhap | {384: "(1) Surat putusan pemidanaan memuat : k. perintah supaya terdakwa ditahan atau tetap dalam'tahanan atau dibebaskan; ;; (1) Petikan surat putusan pengadilan diberikan kepada terdakwa atau penasihat hukumnya segera setelah putusan diucapkan. ", 398: 'Permohonan praperadilan akan gugur jika perkara pokok yang dimohonkan praperadilan sudah mulai diperiksa di Pengadilan Negeri. Hal ini sesuai dengan putusan Mahkamah Konstitusi (MK). Praperadilan adalah proses yang diajukan sebelum perkara pokok disidangkan di Pengadilan Negeri. Beberapa pihak yang berhak mengajukan praperadilan adalah: Tersangka, jika penahanannya melanggar Pasal 21 KUHAP atau melebihi batas waktu Pasal 24 KUHAP Penyidik Penuntut Umum Pihak ketiga, seperti saksi atau korban Putusan praperadilan bersifat akhir dan tidak dapat dimintakan banding. Putusan praperadilan juga tidak dapat diajukan peninjauan kembali. ', 399: "['(1) putusan praperadilan tidak dapat diajukan peninjauan kembali.', '(2) permohonan peninjauan kembali terhadap praperadilan dinyatakan tidak dapat diterima dengan penetapan ketua pengadilan negeri dan berkas perkara tidak dikirim ke mahkamah agung.']"} |
Baru-baru ini, ramai diberitakan seorang anggota DPRD Lampung Tengah tembak warga hingga tewas. Menurut berita yang beredar, kronologinya terdapat kegiatan adat dalam resepsi pernikahan untuk menyambut keluarga besan. Anggota DPRD Lampung Tengah hadir sebagai warga yang ditokohkan, untuk melepaskan tembakan sambutan. Namun, senjata api yang digunakan oleh pelaku malah mengarah ke seorang warga di lokasi resepsi pernikahan. Selain itu, senjata api yang digunakan adalah senjata api ilegal, dan polisi sudah sita senjata api ilegal anggota DPRD tersebut. | ULASAN LENGKAP Artikel ini dibuat berdasarkan KUHP lama dan UU 1/2023 tentang KUHP yang diundangkan pada tanggal 2 Januari 2023. . Pasal Kelalaian yang Mengakibatkan Kematian Menjawab pertanyaan Anda, menurut hemat kami, perbuatan anggota DPRD yang tidak sengaja tembak warga di resepsi pernikahan, termasuk kelalaian yang mengakibatkan kematian . Tindak pidana kelalaian yang menyebabkan kematian telah diatur dalam Pasal 359 KUHP lama yang saat artikel ini diterbitkan masih berlaku, dan Pasal 474 ayat (3) UU 1/2023 tentang KUHP baru yang berlaku 3 tahun sejak tanggal diundangkan, [1] yaitu pada tahun 2026, yang berbunyi: Pasal 359 KUHP Pasal 474 ayat (3) UU 1/2023 Barang siapa karena kesalahannya (kealpaannya) menyebabkan orang lain mati , diancam dengan pidana penjara paling lama 5 tahun atau pidana kurungan paling lama 1 tahun. Setiap orang yang karena kealpaannya mengakibatkan matinya orang lain , dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun atau pidana denda paling banyak kategori V, yaitu sebesar Rp500 juta. [2] Kemudian, sebagaimana dijelaskan dalam artikel Pasal 359 KUHP tentang Kelalaian yang Menyebabkan Kematian , unsur-unsur Pasal 359 KUHP adalah: barang siapa; karena kesalahannya/kealpaannya; menyebabkan orang lain meninggal dunia/mati. Lebih lanjut, disarikan dari artikel Pasal Kelalaian yang Mengakibatkan Kematian dalam KUHP dan UU 1/2023 , R.Soesilo dalam bukunya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal demi Pasal (hal.248), menjelaskan bahwa mati orang pada Pasal 359 KUHP tidak dimaksud sama sekali oleh terdakwa, akan tetapi kematian tersebut hanya merupakan akibat dari pada kurang hati-hati atau lalainya terdakwa (delik culpa ) . Sebagai contoh, seorang sopir menjalankan kendaraan mobilnya terlalu kencang, sehingga menabrak orang sampai mati, atau seorang berburu melihat sosok hitam-hitam dalam tumbuh-tumbuhan , dikira babi rusa terus ditembak mati , tetapi ternyata sosok yang dikira babi itu adalah manusia , atau orang main-main dengan senjata api , karena kurang hati-hati meletus dan mengenai orang lain sehingga mati dan sebagainya. Sedangkan, yang dimaksud dengan “karena kesalahannya” adalah kurang hati-hati, lalai lupa, amat kurang perhatian. Adapun, jika kematian ternyata dikehendaki pelaku , maka pasal yang dapat dikenakan adalah Pasal 338 atau 340 KUHP dan Pasal 458 UU 1/2023 atau Pasal 459 UU 1/2023 . Penjelasan mengenai kematian yang dikehendaki pelaku, dapat Anda baca dalam Bunyi Pasal 338 KUHP tentang Pembunuhan dan Unsur Pasalnya dan Pasal 340 KUHP: Pembunuhan Berencana dan Unsurnya . Apa itu Kealpaan dalam Hukum Pidana? Menjawab pertanyaan Anda mengenai apa itu kealpaan dalam hukum pidana? Pada dasarnya, kealpaan, kelalaian, atau ketidaksengajaan dikenal dengan istilah culpa dalam hukum pidana. [3] Kealpaan merujuk pada ketidaksengajaan atau ketidakhati-hatian dalam melakukan suatu tindakan. Dalam hal ini, pelaku tidak bermaksud melanggar hukum , tetapi karena kurang berhati-hati atau tidak memperhitungkan konsekuensi tindakannya , ia dapat dianggap bertanggung jawab secara hukum . [4] Penjelasan selengkapnya mengenai culpa, dapat Anda simak dalam Kelalaian yang Merugikan Orang Lain Menurut Hukum Pidana . Berdasarkan penjelasan di atas, jika memenuhi unsur-unsur Pasal 359 KUHP atau Pasal 474 ayat (3) UU 1/2023, maka anggota DPRD yang tidak sengaja menembak warga sampai tewas, berpotensi dijerat pasal kelalaian yang menyebabkan kematian. Hal ini karena anggota DPRD tersebut tidak bermaksud melanggar hukum, tetapi karena kurang berhati-hati dalam menggunakan senjata api di resepsi pernikahan, ia dianggap bertanggung jawab secara hukum. Kepemilikan Senjata Api Ilegal Selain anggota DPRD tersebut berpotensi dikenakan sanksi pidana berdsarkan KUHP atau UU 1/2023, menurut hemat kami, ia juga berpotensi dikenakan sanksi pidana berdasarkan Pasal 1 ayat (1) UU Darurat sebagai berikut: Barang siapa yang tanpa hak memasukkan ke Indonesia, membuat, menerima, mencoba memperoleh, menyerahkan atau mencoba menyerahkan, menguasai, membawa, mempunyai persediaan padanya atau mempunyai dalam miliknya, menyimpan, mengangkut, menyembunyikan, mempergunakan , atau mengeluarkan dari indonesia sesuatu senjata api , amunisi atau sesuatu bahan peledak, dihukum dengan hukuman mati atau hukuman penjara seumur hidup atau hukuman penjara sementara setinggi-tingginya dua puluh tahun . Dari bunyi pasal tersebut, dapat disimpulkan bahwa jika anggota DPRD terbukti mempunyai senjata api ilegal, ia dapat dijerat dengan hukuman mati atau hukuman penjara seumur hidup atau hukuman penjara setinggi-tingginya 20 tahun. Lantas, apakah anggota DPRD tersebut dapat diberhentikan? Pemberhentian Anggota DPRD Berdasarkan informasi yang Anda berikan, anggota DPRD yang tidak sengaja tembak warga merupakan anggota DPRD Kabupaten/Kota Lampung Tengah . Adapun alasan pemberhentian anggota DPRD kabupaten/kota dapat ditemukan pada UU MD3 dan perubahannya. Pada Pasal 405 ayat (1) UU MD3 diatur bahwa anggota DPRD kabupaten/kota berhenti antarwaktu karena: meninggal dunia; mengundurkan diri; atau diberhentikan. Kemudian, dalam hal anggota DPRD kabupaten/kota diberhentikan antarwaktu , alasannya adalah apabila: [5] tidak dapat melaksanakan tugas secara berkelanjutan atau berhalangan tetap sebagai anggota DPRD kabupaten/kota selama 3 bulan berturut-turut tanpa keterangan apa pun; melanggar sumpah/janji jabatan dan kode etik DPRD kabupaten/kota; dinyatakan bersalah berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana dengan ancaman pidana penjara paling singkat 5 tahun ; tidak menghadiri rapat paripurna dan/atau rapat alat kelengkapan DPRD kabupaten/kota yang menjadi tugas dan kewajibannya sebanyak 6 kali berturut-turut tanpa alasan yang sah; diusulkan oleh partai politiknya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; tidak lagi memenuhi syarat sebagai calon anggota DPRD kabupaten/kota sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai pemilihan umum; melanggar ketentuan larangan sebagaimana diatur dalam undang-undang ini; diberhentikan sebagai anggota partai politik sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; atau menjadi anggota partai politik lain. Selain itu, anggota DPRD kabupaten/kota juga dapat diberhentikan secara sementara jika: [6] menjadi terdakwa dalam perkara tindak pidana umum yang diancam dengan pidana penjara paling singkat 5 tahun ; atau menjadi terdakwa dalam perkara tindak pidana khusus. Sehingga, jika anggota DPRD kabupaten/kota dinyatakan bersalah melakukan tindak pidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap , maka anggota DPRD kabupaten/kota yang bersangkutan diberhentikan. [7] Sedangkan, jika tidak terbukti melakukan tindak pidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, maka anggota DPRD kabupaten/kota yang bersangkutan diaktifkan kembali. [8] Berdasarkan uraian di atas, kami berpendapat bahwa anggota DPRD kabupaten/kota berpotensi diberhentikan jika melakukan tindak pidana , secara khusus penggunaan senjata api ilegal sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (1) UU Darurat . Hal ini dikarenakan ancaman pidana penjara untuk tindak pidana kelalaian yang menyebabkan kematian dalam KUHP dan UU 1/2023 paling lama hanya 5 tahun. Sedangkan penggunaan senjata api ilegal dalam UU Darurat ancaman pidana penjaranya setinggi-tingginya 20 tahun. Sebagaimana telah kami jelaskan, untuk diberhentikan karena tindak pidana, anggota DPRD kabupaten/kota harus dinyatakan bersalah melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara paling singkat 5 tahun berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Untuk memperjelas pemahaman Anda, Fabian Fadhly Jambak , dosen hukum tata negara Fakultas Hukum Universitas Islam Bandung juga berpendapat bahwa dalam interpretasi pasal dalam UU MD3 maupun analisis kasus konkret tindak pidana kelalaian yang menyebabkan kematian, tidak ada dasar hukum yang memadai untuk memberhentikan antarwaktu atau sementara anggota DPRD berdasarkan ancaman pidana maksimal 5 tahun yang diatur dalam Pasal 359 KUHP atau UU 1/2023. Hal ini menunjukkan bahwa legislator perlu mengambil pendekatan yang berhati-hati dalam mengatur konsekuensi hukum untuk kasus tindak pidana kelalaian yang berbeda dengan tindak pidana lain yang dianggap lebih serius . Contoh Kasus Sebagai contoh kasus perbuatan kelalaian yang menyebabkan kematian, dalam Putusan PN No. 137/Pid.B/2016/PN.Pts , terdakwa berniat untuk berburu binatang jenis babi dengan menggunakan senjata api di pinggiran sungai. Setelah berjalan menyusuri sungai, terdakwa melihat rumput atau dahan bergerak serta melihat sosok hitam seperti kepala binatang jenis babi sedang mencari makan. Tanpa memastikan terlebih dahulu sasaran yang menjadi target, korban langsung menembak target dengan senapan. Setelah menembak, terdakwa mendekati target dan melihat seorang manusia yang telah tertembak pada bagian dada sebelah kanan (hal. 3). Lalu, korban tewas akibat luka tembak (hal. 4). Atas perbuatannya tersebut, terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana “karena kealpaannya menyebabkan matinya orang lain” dan dipidana berdasarkan Pasal 359 KUHP, dengan hukuman pidana penjara selama 3 bulan 15 hari (hal. 14). Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. Dasar Hukum : Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ; Undang-Undang Darurat Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 1951 tentang Mengubah “Ordonnantietijdelikje Bijzondere Strafbepalingen” (STBL. 1948 No. 17) dan Undang-Undang Republik Indonesia Dahulu Nomor 8 Tahun 1948 ; Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ; Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang diubah dengan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang diubah kedua kali dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2018 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan diubah terakhir kali dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2019 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah . Referensi : P.A.F. Lamintang dan Franciscus Theojunior Lamintang. Dasar-Dasar Hukum Pidana di Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika, 2014; R. Soesilo. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal . Sukabumi: Politeia, 1991; Rijan Widowati. Perbandingan Hukum Pidana . Malang: PT. Literasi Nusantara Abadi Grup, 2023. Putusan : Putusan Pengadilan Negeri Putussibau Nomor 137/Pid.B/2016/PN.Pts . Catatan : Kami telah melakukan wawancara via WhatsApp dengan dosen hukum tata negara Fakultas Hukum Universitas Islam Bandung, Fabian Fadhly Jambak, S.Sy., S.H., M.H. pada Kamis, 11 Juli 2024, pukul 16.00 WIB. [1] Pasal 624 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“UU 1/2023”) [2] Pasal 79 ayat (1) huruf e UU 1/2023 [3] P.A.F. Lamintang dan Franciscus Theojunior Lamintang. Dasar-Dasar Hukum Pidana di Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika, 2014, hal. 278 [4] Rijan Widowati. Perbandingan Hukum Pidana . Malang: PT. Literasi Nusantara Abadi Grup, 2023, hal. 32 [5] Pasal 405 ayat (2) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (“UU MD3”) [6] Pasal 412 ayat (1) UU MD3 [7] Pasal 412 ayat (2) UU MD3 [8] Pasal 412 ayat (3) UU MD3 TAGS anggota dprd kelalaian uu darurat senjata api | {4: 'Undang-Undang ini mulai berlaku setelah 3 (tiga) tahun terhitung sejak tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.', 7: "['(1) pidana denda paling banyak ditetapkan berdasarkan: a. kategori i, rp1.000.000,00 (satu juta rupiah); b. kategori ii, rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah); c. kategori iii, rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah); d. kategori iv, rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah); e. kategori v, rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah); f. kategori vi, rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah); g. kategori vii, rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah); dan h. kategori viii, rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah).']", 400: 'Menjawab pertanyaan Anda mengenai apa itu kealpaan dalam hukum pidana? Pada dasarnya, kealpaan, kelalaian, atau ketidaksengajaan dikenal dengan istilah culpa dalam hukum pidana.', 401: 'Dalam hal pertanggungjawaban pidana, mengenai dapat atau tidak dapatnya seseorang dipidana yang mana hal tersebut berhubungan dengan asas tiada pidana tanpa kesalahan. Menurut konsepnya pertanggungjawaban pidana mempunyai 2 (dua) unsur yaitu unsur kesalahan dan bentuk kesalahan. Unsur kesalahan terdiri dari beberapa hal antara lain: melakukan tindak pidana, kemampuan untuk bertanggung jawab, dan tidak adanya alasan pemaaf. Sedangkan unsur bentuk kesalahan meliputi kesengajaan atau kealpaan. Salah satu yang harus dipenuhi dalam tindak pidana adalah unsur subjektifnya, yaitu tentang adanya kesalahan. Ada dua macam kesalahan dalam kajian hukum pidana yaitu kesengajaan (dolus) dan kealpaan (culpa). ;; pelaku yang tidak bermaksud melanggar hukum, tetapi karena kurang berhati-hati atau tidak memperhitungkan konsekuensi tindakannya, dapat dianggap bertanggung jawab secara hukum. Dalam hukum pidana, kondisi ini disebut kelalaian atau culpa yang merupakan salah satu bentuk kesalahan. Kelalaian terjadi ketika seseorang kurang hati-hati sehingga melakukan perbuatan yang tidak disengaja, tetapi membahayakan atau merugikan orang atau barang. Contoh pasal yang mengatur kelalaian dalam hukum pidana adalah Pasal 359 KUHP yang mengatur tentang kelalaian yang menyebabkan kematian. Pasal ini menyatakan bahwa pelaku yang karena kesalahannya menyebabkan orang lain meninggal dunia dapat diancam dengan pidana penjara paling lama 5 tahun atau pidana kurungan paling lama 1 tahun. ', 402: "['(1) anggota dprd kabupaten/kota berhenti antarwaktu karena: a. meninggal . . . a. meninggal dunia; b. mengundurkan diri; atau c. diberhentikan.']", 403: "['(1) anggota dprd kabupaten/kota diberhentikan sementara karena: a. menjadi terdakwa dalam perkara tindak pidana umum yang diancam dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun; atau b. menjadi terdakwa dalam perkara tindak pidana khusus.', '(2) dalam hal anggota dprd kabupaten/kota dinyatakan terbukti bersalah karena melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud ayat (1) huruf a atau huruf b berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, anggota dprd kabupaten/kota yang bersangkutan diberhentikan sebagai anggota dprd kabupaten/kota.', '(3) dalam hal anggota dprd kabupaten/kota dinyatakan tidak terbukti melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a atau huruf b berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, anggota dprd kabupaten/kota yang bersangkutan diaktifkan.', '(4) anggota dprd kabupaten/kota yang diberhentikan sementara, tetap mendapatkan hak keuangan tertentu.']", 404: "['(1) anggota dprd kabupaten/kota diberhentikan sementara karena: a. menjadi terdakwa dalam perkara tindak pidana umum yang diancam dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun; atau b. menjadi terdakwa dalam perkara tindak pidana khusus.', '(2) dalam hal anggota dprd kabupaten/kota dinyatakan terbukti bersalah karena melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud ayat (1) huruf a atau huruf b berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, anggota dprd kabupaten/kota yang bersangkutan diberhentikan sebagai anggota dprd kabupaten/kota.', '(3) dalam hal anggota dprd kabupaten/kota dinyatakan tidak terbukti melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a atau huruf b berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, anggota dprd kabupaten/kota yang bersangkutan diaktifkan.', '(4) anggota dprd kabupaten/kota yang diberhentikan sementara, tetap mendapatkan hak keuangan tertentu.']", 405: "['(1) anggota dprd kabupaten/kota diberhentikan sementara karena: a. menjadi terdakwa dalam perkara tindak pidana umum yang diancam dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun; atau b. menjadi terdakwa dalam perkara tindak pidana khusus.', '(2) dalam hal anggota dprd kabupaten/kota dinyatakan terbukti bersalah karena melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud ayat (1) huruf a atau huruf b berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, anggota dprd kabupaten/kota yang bersangkutan diberhentikan sebagai anggota dprd kabupaten/kota.', '(3) dalam hal anggota dprd kabupaten/kota dinyatakan tidak terbukti melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a atau huruf b berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, anggota dprd kabupaten/kota yang bersangkutan diaktifkan.', '(4) anggota dprd kabupaten/kota yang diberhentikan sementara, tetap mendapatkan hak keuangan tertentu.']"} |
Berkaitan dengan Piala Eropa 2024 yang tengah berlangsung, tidak sedikit orang-orang yang melakukan judi bola, tebak skor, taruhan kapan bola keluar atau tim mana yang mendapat lemparan bebas, tebak tim yang lolos ke babak berikutnya, dll. Sebagai contoh, teman saya ikut judi bola Piala Eropa 2024, yang menang dapat Rp50 ribu. Pertanyaan saya, jika uangnya sedikit apakah tetap termasuk judi? Jika ya, apa hukumnya bermain judi pertandingan sepak bola? Lalu, dalam hal judi Piala Eropa 2024 dilakukan secara online, apa sanksi hukumnya? | ULASAN LENGKAP Artikel di bawah ini ada pemutakhiran dari artikel dengan judul sama yang dibuat oleh Dimas Hutomo, S.H. dan dipublikasikan pertama kali pada 28 Juni 2019. Artikel ini dibuat berdasarkan KUHP lama dan UU 1/2023 tentang KUHP yang diundangkan pada tanggal 2 Januari 2023. . Pasal Perjudian dalam KUHP dan UU 1/2023 Pada dasarnya, tindak pidana perjudian diatur dalam Pasal 303 dan Pasal 303 bis KUHP lama yang saat artikel ini diterbitkan masih berlaku, juga dalam Pasal 426 dan Pasal 427 UU 1/2023 tentang KUHP baru yang berlaku 3 tahun sejak tanggal diundangkan, [1] yaitu tahun 2026. KUHP UU 1/2023 Pasal 303 Diancam dengan pidana penjara paling lama sepuluh tahun atau pidana denda paling banyak dua puluh lima juta rupiah, barang siapa tanpa mendapat izin: dengan sengaja menawarkan atau memberikan kesempatan untuk permainan judi dan menjadikannya sebagai pencarian, atau dengan sengaja turut serta dalam suatu perusahaan untuk itu; dengan sengaja menawarkan atau memberi kesempatan kepada khalayak umum untuk bermain judi atau dengan sengaja turut serta dalam perusahaan untuk itu, dengan tidak peduli apakah untuk menggunakan kesempatan adanya sesuatu syarat atau dipenuhinya sesuatu tata-cara; menjadikan turut serta pada permainan judi sebagai pencarian. Kalau yang bersalah melakukan kejahatan tersebut dalam menjalankan pencariannya, maka dapat dicabut haknya untuk menjalankan pencarian itu. Yang disebut permainan judi adalah tiap-tiap permainan, di mana pada umumnya kemungkinan mendapat untung bergantung pada peruntungan belaka, juga karena pemainnya lebih terlatih atau lebih mahir. Di situ termasuk segala pertaruhan tentang keputusan perlombaan atau permainan lain-lainnya yang tidak diadakan antara mereka yang turut berlomba atau bermain, demikian juga segala pertaruhan lainnya. Pasal 426 Dipidana dengan pidana penjara paling lama 9 tahun atau pidana denda paling banyak kategori VI, yaitu Rp2 miliar [2] Setiap Orang yang tanpa izin : menawarkan atau memberi kesempatan untuk main judi dan menjadikan sebagai mata pencaharian atau turut serta dalam perusahaan perjudian; menawarkan atau memberi kesempatan kepada umum untuk main judi atau turut serta dalam perusahaan perjudian, terlepas dari ada tidaknya suatu syarat atau tata cara yang harus dipenuhi untuk menggunakan kesempatan tersebut; atau menjadikan turut serta pada permainan judi sebagai mata pencaharian. Jika Tindak Pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam menjalankan profesi, dapat dijatuhi pidana tambahan berupa pencabutan hak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 86 huruf f . Pasal 303 bis Diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun atau pidana denda paling banyak Rp10 juta: barang siapa menggunakan kesempatan main judi , yang diadakan dengan melanggar ketentuan Pasal 303; barang siapa ikut serta main judi di jalan umum atau di pinggir jalan umum atau di tempat yang dapat dikunjungi umum, kecuali kalau ada izin dari penguasa yang berwenang yang telah memberi izin untuk mengadakan perjudian itu. Jika ketika melakukan pelanggaran belum lewat dua tahun sejak ada pemidanaan yang menjadi tetap karena salah satu dari pelanggaran ini, dapat dikenakan pidana penjara paling lama enam tahun atau pidana denda paling banyak Rp15 juta. Pasal 427 Setiap Orang yang menggunakan kesempatan main judi yang diadakan tanpa izin, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 tahun atau pidana denda paling banyak kategori III, yaitu Rp50 juta [3] . Berdasarkan bunyi pasal perjudian dalam KUHP di atas, R. Soesilo dalam bukunya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal , orang yang mengadakan main judi dihukum menurut Pasal 303 KUHP , sementara orang yang ikut pada permainan judi dikenakan hukuman menurut Pasal 303 bis KUHP (hal. 222). Masih bersumber dari buku yang sama, R. Soesilo menjelaskan bahwa yang menjadi objek di pasal perjudian ialah permainan judi/ hazardspel . Namun, bukan semua permainan masuk hazardspel . Yang diartikan hazardspel yaitu tiap-tiap permainan yang mendasarkan pengharapan buat menang pada umumnya bergantung kepada untung-untungan saja , dan kalau pengharapan itu jadi bertambah besar , hai ini karena kepintaran dan kebiasaan pemain . Lalu, yang juga termasuk main judi/ hazardspel ialah pertaruhan tentang keputusan perlombaan atau permainan lain, yang tidak diadakan oleh mereka yang turut berlomba atau bermain itu, demikian juga segala pertaruhan yang lain-lain. Contoh hazardspel misalnya main dadu, main selikuran, main jemeh, kodok-ulo, roulette , bakarat, kemping keles, kocok, keplek, tombola, dan lain-lain. Selain itu, pertandingan sepak bola dan totalisator pada pacuan kuda juga termasuk judi. Selanjutnya, yang dimaksud dengan "izin" dalam Pasal 426 ayat (1) UU 1/2023 adalah izin yang ditetapkan oleh pemerintah dengan memperhatikan hukum yang hidup dalam masyarakat. [4] Kemudian, dari bunyi pasal perjudian dalam UU 1/2023, dapat kami simpulkan bahwa orang yang mengadakan main judi dihukum menurut Pasal 426 UU 1/2023 , sementara orang yang ikut pada permainan judi dihukum menurut Pasal 427 UU 1/2023 . Berdasarkan penjelasan di atas, memang sepak bola pada umumnya soal menang kalah, tapi apabila taruhannya mengenai kapan terjadi lemparan bebas, kapan bola keluar lapangan, dan di dalamnya terdapat unsur untung-untungan maka menurut hemat kami hal itu termasuk tindak pidana perjudian. Kemudian, meskipun uang yang dipertaruhkan hanya puluhan ribu, tapi jika memenuhi unsur perjudian sebagaimana dijelaskan di atas, maka termasuk tindak pidana perjudian. : Ini Bunyi Pasal 303 KUHP tentang Perjudian Lalu, dalam hal judi Piala Eropa 2024 dilakukan secara online , apa sanksi hukumnya? Hukumnya Judi Bola Online Menjawab pertanyaan Anda, pada dasarnya, judi online adalah perbuatan yang dilarang dalam Pasal 27 ayat (2) UU 1/2024 tentang perubahan kedua UU ITE , yang berbunyi sebagai berikut: Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan , mentransmisikan , dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan perjudian . Adapun yang dimaksud pada Pasal 27 ayat (2) UU 1/2024 di atas mengacu pada ketentuan perjudian dalam hal menawarkan atau memberikan kesempatan untuk permainan judi , menjadikannya sebagai mata pencaharian , menawarkan atau memberikan kesempatan kepada umum untuk bermain judi , dan turut serta dalam perusahaan untuk itu. [5] Lalu, orang yang melanggar ketentuan Pasal 27 ayat (2) UU 1/2024 berpotensi dipidana penjara maksimal 10 tahun dan/atau denda maksimal Rp10 miliar, sebagaimana diatur dalam Pasal 45 ayat (3) UU 1/2024 . Penjelasan selengkapnya mengenai pasal judi online , dapat Anda baca dalam artikel Bunyi Pasal 27 Ayat (2) UU ITE 2024 tentang Judi Online . Contoh Kasus Sebagai contoh kasus, dapat kita lihat contoh kasus pada Putusan Pengadilan Negeri Banyuwangi Nomor 399/Pid.B/2019/PN Byw . Di mana terdakwa telah terbukti secara sah dan menyakinkan melakukan tindak pidana “ mempergunakan kesempatan main judi yang diadakan dengan melanggar Pasal 303 KUHP ” sebagaimana diatur pada Pasal 303 bis (1) ke-1 KUHP . Perbuatan terdakwa dilakukan dengan cara menawarkan judi kepada para penonton sepak bola. Taruhan dilakukan dengan ketentuan apabila bola meninggalkan lapangan melalui sisi barat maka terdakwa mendapat uang sebesar Rp20 ribu dari penonton , lalu jika bola meninggalkan lapangan melalui sisi timur maka terdakwa membayar uang sebesar Rp20 ribu kepada penonton . Akibat perbuatannya, terdakwa dihukum pidana penjara selama 3 (tiga) bulan dan 10 (sepuluh) hari. Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. Dasar Hukum : Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ; Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik yang diubah kedua kalinya dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2024 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik ; Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana . Putusan : Putusan Pengadilan Negeri Banyuwangi Nomor 399/Pid.B/2019/PN Byw . Referensi : R. Soesilo. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal . Bogor: Politeia, 1991. [1] Pasal 624 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“UU 1/2023”) [2] Pasal 79 ayat (1) huruf f UU 1/2023 [3] Pasal 79 ayat (1) huruf c UU 1/2023 [4] Penjelasan Pasal 426 ayat (1) UU 1/2023 [5] Penjelasan Pasal 27 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2024 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik TAGS judi online pidana kuhp | {128: 'Undang-Undang ini mulai berlaku setelah 3 (tiga) tahun terhitung sejak tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.', 296: "['(1) pidana denda paling banyak ditetapkan berdasarkan: a. kategori i, rp1.000.000,00 (satu juta rupiah); b. kategori ii, rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah); c. kategori iii, rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah); d. kategori iv, rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah); e. kategori v, rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah); f. kategori vi, rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah); g. kategori vii, rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah); dan h. kategori viii, rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah).']", 25: "['(1) pidana denda paling banyak ditetapkan berdasarkan: a. kategori i, rp1.000.000,00 (satu juta rupiah); b. kategori ii, rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah); c. kategori iii, rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah); d. kategori iv, rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah); e. kategori v, rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah); f. kategori vi, rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah); g. kategori vii, rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah); dan h. kategori viii, rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah).']", 406: "['(1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 9 (sembilan) tahun atau pidana denda paling banyak kategori vi, setiap orang yang tanpa izin: a. menawarkan atau memberi kesempatan untuk main judi dan menjadikan sebagai mata pencaharian atau turut serta dalam perusahaan perjudian; b. menawarkan atau memberi kesempatan kepada umum untuk main judi atau turut serta dalam perusahaan perjudian, terlepas dari ada tidaknya suatu syarat atau tata cara yang harus dipenuhi untuk menggunakan kesempatan tersebut; atau c. menjadikan turut serta pada permainan judi sebagai mata pencaharian.']", 407: 'Ketentuan pada ayat ini mengacu pada ketentuan perjudian dalam hal menawarkan atau memberikan kesempatan untuk permainan judi, menjadikannya sebagai mata pencaharian, menawarkan atau memberikan kesempatan kepada umum untuk bermain judi, dan turut serta dalam perusahaan untuk itu.'} |
Apa bunyi Pasal 303 KUHP? Apakah benar Pasal 303 KUHP mengatur tentang perjudian? Jika benar, apa perbedaan Pasal 303 KUHP dengan Pasal 303 bis KUHP? | ULASAN LENGKAP Artikel ini dibuat berdasarkan KUHP lama dan UU 1/2023 tentang KUHP yang diundangkan pada tanggal 2 Januari 2023. . Bunyi Pasal 303 dan Pasal 303 bis KUHP Sebelum menjawab pertanyaan Anda, sebaiknya kita pahami terlebih dahulu apa arti judi. Menurut KBBI , judi adalah permainan dengan memakai uang atau barang berharga sebagai taruhan (seperti main dadu, kartu). Selanjutnya, menurut Kartini Kartono dalam bukunya yang berjudul Patologi Sosial , perjudian adalah pertaruhan dengan sengaja, yaitu upaya mempertaruhkan satu nilai atau sesuatu yang dianggap bernilai dengan menyadari adanya resiko dan harapan-harapan pada peristiwa-peristiwa, permainan, pertandingan, perlombaan, dan kejadian-kejadian yang tidak atau belum pasti hasilnya (hal. 58). Kemudian, ketentuan mengenai tindak pidana perjudian diatur di dalam Pasal 303 KUHP lama yang saat artikel ini diterbitkan masih berlaku. Berikut bunyi Pasal 303 KUHP: Diancam dengan pidana penjara paling lama sepuluh tahun atau pidana denda paling banyak dua puluh lima juta rupiah, barang siapa tanpa mendapat izin: dengan sengaja menawarkan atau memberikan kesempatan untuk permainan judi dan menjadikannya sebagai pencarian, atau dengan sengaja turut serta dalam suatu perusahaan untuk itu; dengan sengaja menawarkan atau memberi kesempatan kepada khalayak umum untuk bermain judi atau dengan sengaja turut serta dalam perusahaan untuk itu, dengan tidak peduli apakah untuk menggunakan kesempatan adanya sesuatu syarat atau dipenuhinya sesuatu tata-cara; menjadikan turut serta pada permainan judi sebagai pencarian. Kalau yang bersalah melakukan kejahatan tersebut dalam menjalankan pencariannya, maka dapat dicabut haknya untuk menjalankan pencarian itu. Yang disebut permainan judi adalah tiap-tiap permainan, di mana pada umumnya kemungkinan mendapat untung bergantung pada peruntungan belaka, juga karena pemainnya lebih terlatih atau lebih mahir. Di situ termasuk segala pertaruhan tentang keputusan perlombaan atau permainan lain-lainnya yang tidak diadakan antara mereka yang turut berlomba atau bermain, demikian juga segala pertaruhan lainnya. Selain itu, tindak pidana perjudian diatur juga dalam Pasal 303 bis KUHP , sebagai berikut: Diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun atau pidana denda paling banyak sepuluh juta rupiah: barang siapa menggunakan kesempatan main judi , yang diadakan dengan melanggar ketentuan Pasal 303; barang siapa ikut serta main judi di jalan umum atau di pinggir jalan umum atau di tempat yang dapat dikunjungi umum, kecuali kalau ada izin dari penguasa yang berwenang yang telah memberi izin untuk mengadakan perjudian itu. Jika ketika melakukan pelanggaran belum lewat dua tahun sejak ada pemidanaan yang menjadi tetap karena salah satu dari pelanggaran ini, dapat dikenakan pidana penjara paling lama enam tahun atau pidana denda paling banyak lima belas juta rupiah. Penerapan Pasal 303 dan Pasal 303 bis KUHP Selanjutnya, menjawab pertanyaan Anda mengenai perbedaan Pasal 303 dan Pasal 303 bis KUHP, menurut R. Soesilo dalam bukunya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal , orang yang mengadakan main judi dihukum menurut Pasal 303 KUHP , sementara orang yang ikut pada permainan judi dikenakan hukuman menurut Pasal 303 bis KUHP (hal. 222). Bunyi Pasal 426 dan Pasal 427 UU 1/2023 dan Penjelasannya Lebih lanjut, dalam UU 1/2023 tentang KUHP baru yang berlaku 3 tahun sejak tanggal diundangkan, [1] yaitu tahun 2026, tindak pidana berjudi diatur dalam pasal-pasal berikut: Pasal 426 jo. Pasal 79 ayat (1) Dipidana dengan pidana penjara paling lama 9 (sembilan) tahun atau pidana denda paling banyak kategori VI, (yaitu Rp2 miliar [2] ) Setiap Orang yang tanpa izin : menawarkan atau memberi kesempatan untuk main judi dan menjadikan sebagai mata pencaharian atau turut serta dalam perusahaan perjudian; menawarkan atau memberi kesempatan kepada umum untuk main judi atau turut serta dalam perusahaan perjudian, terlepas dari ada tidaknya suatu syarat atau tata cara yang harus dipenuhi untuk menggunakan kesempatan tersebut; atau menjadikan turut serta pada permainan judi sebagai mata pencaharian. Jika Tindak Pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam menjalankan profesi, dapat dijatuhi pidana tambahan berupa pencabutan hak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 86 huruf f . Adapun menurut Pasal 86 huruf f UU 1/2023 , pidana tambahan berupa pencabutan hak dapat berupa hak menjalankan profesi tertentu . Lalu, berdasarkan Penjelasan Pasal 426 ayat (1) UU 1/2023 , yang dimaksud dengan " izin " adalah izin yang ditetapkan oleh pemerintah dengan memperhatikan hukum yang hidup dalam masyarakat Kemudian, selain diatur dalam Pasal 426 UU 1/2023, tindak pidana perjudian juga diatur dalam Pasal 427 jo. Pasal 79 ayat (1) sebagai berikut: Setiap Orang yang menggunakan kesempatan main judi yang diadakan tanpa izin, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau pidana denda paling banyak kategori III (yaitu Rp50 juta [3] ). Dari bunyi pasal perjudian dalam UU 1/2023, dapat kami simpulkan bahwa orang yang mengadakan main judi dihukum menurut Pasal 426 UU 1/2023 , sementara orang yang ikut pada permainan judi dihukum menurut Pasal 427 UU 1/2023 . Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. Dasar Hukum : Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ; Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana . Referensi : Kartini Kartono. Patologi Sosial (Jilid I) . Jakarta: Rajawali, 2006; R. Soesilo. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal . Bogor: Politeia, 1991; KBBI, judi , yang diakses pada 10 Juli 2024, pukul 00:54 WIB. [1] Pasal 624 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“UU 1/2023”) [2] Pasal 79 ayat (1) huruf f UU 1/2023 [3] Pasal 79 ayat (1) huruf c UU 1/2023 TAGS perjudian judi online kuhp | {128: 'Undang-Undang ini mulai berlaku setelah 3 (tiga) tahun terhitung sejak tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.', 296: "['(1) pidana denda paling banyak ditetapkan berdasarkan: a. kategori i, rp1.000.000,00 (satu juta rupiah); b. kategori ii, rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah); c. kategori iii, rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah); d. kategori iv, rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah); e. kategori v, rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah); f. kategori vi, rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah); g. kategori vii, rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah); dan h. kategori viii, rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah).']", 25: "['(1) pidana denda paling banyak ditetapkan berdasarkan: a. kategori i, rp1.000.000,00 (satu juta rupiah); b. kategori ii, rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah); c. kategori iii, rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah); d. kategori iv, rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah); e. kategori v, rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah); f. kategori vi, rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah); g. kategori vii, rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah); dan h. kategori viii, rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah).']"} |
Bisakah�menuntut orang yang mengakibatkan orang lain meninggal dunia, misal pegawai kedai yang malas memeriksa gas yang rusak sehingga terjadi kebakaran dan menyebabkan kematian orang lain? Apa pasal kelalaian yang mengakibatkan kematian? Terima kasih. | ULASAN LENGKAP kedua dari artikel dengan judul Pasal Kelalaian yang Mengakibatkan Kematian dalam KUHP yang dibuat oleh Letezia Tobing, S.H., M.Kn. dan pertama kali dipublikasikan pada 20 Mei 2013, kemudian dimutakhirkan pertama kali oleh Bernadetha Aurelia Oktavira, S.H. pada 28 juni 2022. Artikel ini dibuat berdasarkan KUHP lama dan UU 1/2023 tentang KUHP yang diundangkan pada tanggal 2 Januari 2023. Seluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata – mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihat Pernyataan Penyangkalan selengkapnya). . Pasal Kelalaian yang Mengakibatkan Kematian Menjawab pertanyaan Anda, kami berasumsi bahwa si pegawai kedai memang mempunyai tanggung jawab/kewajiban untuk memeriksa gas, tapi ia melalaikan kewajibannya tersebut sehingga terjadi kebakaran yang mengakibatkan orang lain meninggal dunia. Sehingga atas peristiwa tersebut, pegawai kedai dapat dijerat dengan pasal kelalaian yang mengakibatkan kematian . Pada dasarnya, baik KUHP lama yang saat artikel ini diterbitkan masih berlaku, maupun UU 1/2023 tentang KUHP baru yang berlaku 3 tahun sejak tanggal diundangkan, [1] yaitu pada tahun 2026, mengatur tentang kelalaian yang menyebabkan kematian dalam pasal-pasal berikut: Pasal 359 KUHP Pasal 474 ayat (3) UU 1/2023 Barang siapa karena kesalahannya (kealpaannya) menyebabkan orang lain mati , diancam dengan pidana penjara paling lama 5 tahun atau pidana kurungan paling lama 1 tahun. Setiap orang yang karena kealpaannya mengakibatkan matinya orang lain , dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun atau pidana denda paling banyak kategori V, yaitu sebesar Rp500 juta. [2] Terkait Pasal 359 KUHP, R. Soesilo dalam bukunya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal demi Pasal , menjelaskan bahwa mati orang di sini tidak dimaksud sama sekali oleh terdakwa , akan tetapi kematian tersebut hanya merupakan akibat dari kurang hati-hati atau lalainya terdakwa (delik culpa ). R. Soesilo mencontohkan misalnya, seorang sopir menjalankan kendaraan mobilnya terlalu kencang, sehingga menabrak orang sampai mati, atau seorang berburu melihat sosok hitam-hitam dalam tumbuh-tumbuhan, dikira babi rusa terus ditembak mati, tetapi ternyata sosok yang dikira babi itu adalah manusia, atau orang main-main dengan senjata api, karena kurang hati-hati meletus dan mengenai orang lain sehingga mati dan sebagainya. Sedangkan, yang dimaksud dengan “karena kesalahannya” adalah kurang hati-hati, lalai lupa, amat kurang perhatian. Sementara itu, jika kematian ternyata dikehendaki pelaku , maka pasal yang dapat diberlakukan adalah Pasal 338 atau 340 KUHP dan Pasal 458 UU 1/2023 atau Pasal 459 UU 1/2023 . Berkaitan dengan penjelasan kematian yang dikehendaki pelaku, Anda dapat membaca Bunyi Pasal 338 KUHP tentang Pembunuhan dan Unsur Pasalnya dan Pasal 340 KUHP: Pembunuhan Berencana dan Unsurnya . Lebih lanjut, berdasarkan Penjelasan Pasal 474 ayat (1) KUHP , pengertian kealpaan menunjukkan bahwa pelaku tidak menghendaki terjadinya akibat dari perbuatannya, yaitu kematian atau luka-luka. Namun, dalam kejadian konkret terdapat kesulitan untuk menentukan bahwa suatu perbuatan dapat disebut dengan kealpaan, misalnya, seseorang yang sedang mengendarai kendaraan sedemikian rupa sehingga membahayakan lalu lintas umum yang kemungkinan besar menimbulkan korban. Oleh karena itu, berdasarkan pertimbangan tersebut pengertian kealpaan diserahkan kepada pertimbangan hakim untuk melakukan penilaian terhadap kasus yang dihadapi. : Kelalaian yang Merugikan Orang Lain Menurut Hukum Pidana Dengan demikian, jika pegawai kedai memenuhi unsur-unsur pasal di atas, ia berpotensi dipidana penjara maksimal lama 5 tahun atau pidana kurungan maksimal 1 tahun, berdasarkan Pasal 359 KUHP. Sedangkan dalam Pasal 474 ayat (3) UU 1/2023, ia berpotensi dipidana penjara maksimal 5 tahun atau denda maksimal Rp500 juta. Pasal Kelalaian yang Mengakibatkan Kebakaran Selain Pasal 359 KUHP dan Pasal 474 ayat (3) UU 1/2023, dalam hal kelalaian seseorang mengakibatkan kebakaran atau banjir, dapat dilakukan penuntutan berdasarkan Pasal 188 KUHP atau Pasal 311 UU 1/2023 yang berbunyi: Pasal 188 KUHP Pasal 311 UU 1/2023 Barang siapa karena kesalahan (kealpaan) menyebabkan kebakaran , ledakan atau banjir, diancam dengan pidana penjara paling lama 5 tahun atau pidana kurungan paling lama 1 tahun atau pidana denda paling banyak Rp4,5 juta, [3] jika perbuatan itu timbul bahaya umum bagi barang, jika karena perbuatan itu timbul bahaya bagi nyawa orang lain, atau karena perbuatan itu mengakibatkan orang mati . Setiap orang yang karena kealpaannya mengakibatkan terjadinya kebakaran , ledakan, atau banjir yang mengakibatkan bahaya umum bagi barang, bahaya bagi nyawa orang lain, atau mengakibatkan matinya orang , dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun atau pidana denda paling banyak kategori V, yaitu sebesar Rp500 juta. [4] Pada dasarnya, mengenai penjelasan Pasal 188 KUHP sama dengan Pasal 187 KUHP , bedanya bahwa Pasal 188 dilakukan tidak dengan sengaja (delik culpa ) , sedangkan Pasal 187 KUHP dilakukan sengaja (delik solus ) . [5] Selain itu, perlu diketahui juga bahwa yang dimaksud dengan bahaya umum bagi barang-barang adalah bahaya bagi barang-barang kepunyaan dua orang atau lebih atau sejumlah banyak barang kepunyaan seseorang. [6] Sebagai informasi, pasal mana yang dapat digunakan untuk menjerat pelaku bergantung pada pihak penegak hukum untuk menentukan kapan harus menggunakan Pasal 359 KUHP atau Pasal 474 ayat (3) UU 1/2023, dan kapan harus menggunakan Pasal 188 KUHP atau Pasal 311 UU 1/2023. Namun, pada praktiknya, pihak penegak hukum dapat mengenakan pasal-pasal berlapis terhadap suatu tindak pidana yang memenuhi unsur-unsur tindak pidana penipuan sebagaimana diatur dalam KUHP atau UU 1/2023. Artinya, bila memang unsur-unsur tindak pidananya terpenuhi, penegak hukum dapat menggunakan pasal-pasal tersebut, atau penegak hukum dapat mengajukan dakwaan secara alternatif . : Surat Dakwaan: Pengertian, Fungsi, dan Jenisnya Merujuk pada artikel Bentuk-bentuk Surat Dakwaan , dijelaskan bahwa dakwaan alternatif digunakan jika belum didapat kepastian tentang tindak pidana mana yang paling tepat dapat dibuktikan . Dalam dakwaan alternatif, meskipun dakwaan terdiri dari beberapa lapisan, hanya satu dakwaan saja yang dibuktikan tanpa harus memperhatikan urutannya dan jika salah satu telah terbukti maka dakwaan lainnya tidak perlu dibuktikan lagi. Contoh Kasus Setelah memahami bagaimana bunyi pasal kelalaian yang mengakibatkan kematian, berikut ini kami berikan contoh kasus kelalaian yang mengakibatkan orang mati dalam Putusan MA No. 902 K/Pid/2019 . Dalam putusan ini, terdakwa selaku guru melakukan kegiatan renang pada danau bekas galian tambang yang kedalamannya tidak dapat diperkirakan dan tempat tersebut bukan diperuntukkan untuk kegiatan renang dan terdakwa tidak mengawasi secara ketat siswa-siswi yang bisa berenang dan yang tidak bisa berenang (hal. 5). Terdapat fakta bahwa karena kelalaian terdakwa tanpa menghitung jumlah siswa yang pada saat itu terdapat sekitar 60 siswa dan siswi yang seharusnya didampingi 3 orang guru pendamping sesuai dengan perbandingan tersebut, sehingga mengakibatkan 2 anak meninggal dunia akibat tenggelam di danau bekas galian (hal. 5). Di tingkat kasasi, MA berpendapat bahwa perbuatan terdakwa tersebut telah memenuhi unsur delik Pasal 359 KUHP, sehingga putusan judex facti /Pengadilan Negeri Mempawah yang diubah putusannya di tingkat Pengadilan Tinggi Pontianak adalah sudah benar dan tepat menurut hukum (hal. 5). Kemudian, contoh lain pasal kelalaian yang mengakibatkan kebakaran terjadi dalam Putusan MA No. 992 K/PID/2017 . Terdakwa membakar daun-daun kering di dekat pohon bambu dalam kondisi kering dengan menggunakan macis, lalu meninggalkannya. Lalu, api merambat menyulut pohon bambu. Seharusnya, terdakwa dapat menduga api dari tumpukan daun kering yang dibakar tersebut dapat merambat ke pohon bambu yang sudah kering (hal. 7). Di tingkat kasasi, MA berpendapat bahwa putusan judex facti Pengadilan Tinggi yang menguatkan putusan judex facti Pengadilan Negeri yang menyatakan terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana karena kealpaannya/kelalaiannya menyebabkan kebakaran yang menimbulkan bahaya umum bagi barang, tidak salah menerapkan hukum (hal. 6-7). Dengan demikian, perbuatan terdakwa tersebut telah memenuhi unsur delik dalam Pasal 188 KUHP (hal. 7). Demikian jawaban dari kami tentang pasal kelalaian yang mengakibatkan kematian, semoga bermanfaat. Dasar Hukum : Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ; Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ; Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2012 tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda dalam KUHP . Putusan : Putusan Mahkamah Agung Nomor 992 K/PID/2017 ; Putusan Mahkamah Agung Nomor 902 K/Pid/2019 . Referensi : R. Soesilo. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal . Bogor: Politeia, 1991. [1] Pasal 624 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“UU 1/2023”) [2] Pasal 79 ayat (1) huruf e UU 1/2023 [3] Pasal 3 Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2012 tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda dalam KUHP , denda dikali 1000 kali [4] Pasal 79 ayat (1) huruf e UU 1/2023 [5] R. Soesilo. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal . Bogor: Politeia, 1991, hal. 155 [6] R. Soesilo. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal . Bogor: Politeia, 1991, hal. 154 TAGS kelalaian kuhp kebakaran | {4: 'Undang-Undang ini mulai berlaku setelah 3 (tiga) tahun terhitung sejak tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.', 7: "['(1) pidana denda paling banyak ditetapkan berdasarkan: a. kategori i, rp1.000.000,00 (satu juta rupiah); b. kategori ii, rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah); c. kategori iii, rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah); d. kategori iv, rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah); e. kategori v, rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah); f. kategori vi, rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah); g. kategori vii, rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah); dan h. kategori viii, rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah).']", 408: 'Tiap jumlah maksimum hukuman denda yang diancamkan dalam KUHPkecuali pasal 303 ayat 1 dan ayat 2, 303 bis ayat 1 dan ayat 2, dilipatgandakan menjadi 1.000 (seribu) kall,', 409: 'Pada dasarnya, mengenai penjelasan Pasal 188 KUHP sama dengan Pasal 187 KUHP, bedanya bahwa Pasal 188 dilakukan tidak dengan sengaja (delik culpa), sedangkan Pasal 187 KUHP dilakukan sengaja (delik solus). Selain itu, perlu diketahui juga bahwa yang dimaksud dengan bahaya umum bagi barang-barang adalah bahaya bagi barang-barang kepunyaan dua orang atau lebih atau sejumlah banyak barang kepunyaan seseorang', 410: '[5] Selain itu, perlu diketahui juga bahwa yang dimaksud dengan bahaya umum bagi barang-barang adalah bahaya bagi barang-barang kepunyaan dua orang atau lebih atau sejumlah banyak barang kepunyaan seseorang.'} |
Apakah kepala desa bisa diberhentikan karena perilakunya yang gemar meniduri beberapa perempuan yang sudah bersuami yang juga warganya sendiri? | ULASAN LENGKAP dari artikel dengan judul Pemberhentian Kades yang Gemar Berbuat Zina , yang dibuat oleh Bernadetha Aurelia Oktavira, S.H. dan pertama kali dipublikasikan pada 28 November 2019. Artikel ini dibuat berdasarkan KUHP lama dan UU 1/2023 tentang KUHP yang diundangkan pada tanggal 2 Januari 2023. . Pemberhentian Kepala Desa Pada dasarnya, kepala desa adalah pejabat pemerintah desa yang mempunyai wewenang, tugas dan kewajiban untuk menyelenggarakan rumah tangga desanya dan melaksanakan tugas dari pemerintah dan pemerintah daerah. [1] Berkaitan dengan pertanyaan Anda, pengangkatan dan pemberhentian kepala desa diatur dalam Permendagri 82/2015 sebagaimana diperbaharui dengan Permendagri 66/2017 . Pemberhentian kepala desa dapat terjadi dengan berbagai alasan, yaitu: [2] meninggal dunia; permintaan sendiri; atau diberhentikan . Lebih lanjut dijelaskan bahwa kepala desa dapat diberhentikan , karena: [3] berakhir masa jabatannya; tidak dapat melaksanakan tugas secara berkelanjutan atau berhalangan tetap secara berturut-turut selama 6 bulan karena menderita sakit yang mengakibatkan baik fisik maupun mental, tidak berfungsi secara normal yang dibuktikan dengan surat keterangan dokter yang berwenang dan/atau tidak diketahui keberadaannya; tidak lagi memenuhi syarat sebagai kepala desa; melanggar larangan sebagai kepala desa ; adanya perubahan status desa menjadi kelurahan, penggabungan 2 desa atau lebih menjadi 1 desa baru, atau penghapusan desa; tidak melaksanakan kewajiban sebagai kepala desa ; dan/atau dinyatakan sebagai terpidana yang diancam dengan pidana penjara paling singkat 5 tahun berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap . Selain itu, kepala desa juga dapat diberhentikan sementara oleh bupati/walikota, karena: [4] tidak melaksanakan kewajiban sebagai kepala desa; melanggar larangan sebagai kepala desa; dinyatakan sebagai terdakwa yang diancam dengan pidana penjara paling singkat 5 tahun berdasarkan register perkara di pengadilan; dan ditetapkan sebagai tersangka dalam tindak pidana korupsi, teroris, makar, dan/atau tindak pidana terhadap keamanan negara. Selanjutnya, Badan Permusyawaratan Desa melaporkan kepada bupati/walikota melalui camat atau sebutan lain, jika kepala desa berhenti. [5] Laporan tersebut memuat materi kasus yang dialami oleh kepala desa yang bersangkutan dan kemudian bupati/walikota melakukan kajian untuk proses selanjutnya atas laporan tersebut. [6] Lebih lanjut, pengesahan pemberhentian kepala desa ditetapkan dengan keputusan bupati/walikota yang disampaikan kepada kepala desa yang bersangkutan dan para pejabat terkait pada tingkat provinsi dan kabupaten/kota. [7] Kewajiban dan Larangan bagi Kepala Desa Adapun dalam Pasal 26 ayat (4) huruf c, d, dan n UU 3/2024 , kepala desa dalam melaksanakan tugas, berkewajiban untuk: memelihara ketentraman masyarakat desa; menaati dan menegakkan peraturan perundang-undangan; membina dan melestarikan nilai sosial budaya masyarakat desa. Selain itu, dalam Pasal 29 huruf c dan e UU Desa , kepala desa dilarang untuk: menyalahgunakan wewenang, tugas, hak, dan/atau kewajibannya; melakukan tindakan meresahkan sekelompok masyarakat desa. Selengkapnya mengenai wewenang, hak, dan kewajiban kepala desa dapat Anda temukan dalam Pasal 26 UU 3/2024 . Sedangkan untuk larangan bagi kepala desa dapat Anda temukan dalam Pasal 29 UU Desa . : Bolehkah Jadi Calon Kepala Desa Jika Pernah Dipidana? Tindak Pidana Perzinaan Perbuatan yang dilakukan oleh kepala desa sebagaimana Anda terangkan, menurut hemat kami, dapat dipandang sebagai perzinaan atau perkosaan . Hal ini tergantung bagaimana perbuatan itu dilakukan. Dalam hal kepala desa berzina, perbuatan zina diatur dalam Pasal 284 ayat (1) KUHP lama dan Pasal 411 ayat (1) UU 1/2023 tentang KUHP baru yang mulai berlaku 3 tahun terhitung sejak tanggal diundangkan, [8] yakni pada tahun 2026, yang selengkapnya berbunyi: Pasal 284 ayat (1) KUHP Pasal 411 ayat (1) UU 1/2023 Diancam dengan pidana penjara paling lama 9 bulan : a. seorang pria yang telah kawin yang melakukan gendak (overspel) , padahal diketahui bahwa pasal 27 BW berlaku baginya, b. seorang wanita yang telah kawin yang melakukan gendak, padahal diketahui bahwa Pasal 27 BW berlaku baginya. a. seorang pria yang turut serta melakukan perbuatan itu , padahal diketahuinya bahwa yang turut bersalah telah kawin ; b. seorang wanita yang telah kawin serta turut melakukan perbuatan itu, padahal diketahui olehnya bahwa yang turut bersalah telah kawin dan Pasal 27 BW berlaku baginya. Setiap orang yang melakukan persetubuhan dengan orang yang bukan suami atau istrinya , dipidana karena perzinaan , dengan pidana penjara paling lama 1 tahun atau pidana denda paling banyak kategori II, yaitu sebesar Rp10 juta. [9] R. Soesilo dalam bukunya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal menggunakan istilah ‘ zina ’ untuk menerangkan gendak (hal. 208 – 209). R. Soesilo menjelaskan bahwa zina merupakan persetubuhan oleh laki-laki atau perempuan yang telah kawin dengan perempuan atau laki-laki yang bukan isteri atau suaminya. Supaya masuk pasal ini, maka persetubuhan itu harus dilakukan dengan suka sama suka dan tidak boleh ada paksaan dari salah satu pihak (hal. 209). Selain itu, delik perzinaan adalah delik aduan absolut , sehingga tidak dapat dituntut jika tidak ada pengaduan dari suami/istri yang dirugikan. R. Soesilo juga menambahkan bahwa pengaduan ini tidak boleh dibelah . Misalnya, apabila laki-laki (A) mengadukan bahwa istrinya (B) telah berzina dengan laki-laki lain (C), maka (B) sebagai yang melakukan perzinaan dan C sebagai yang turut melakukan perzinaan, kedua-duanya harus dituntut . [10] Ketentuan mengenai delik absolut tersebut diatur dalam Pasal 284 ayat (2) KUHP dan Pasal 411 ayat (2) UU 1/2023 . Penjelasan selengkapnya mengenai pasal perzinaan dan unsur-unsurnya dapat Anda baca dalam Bunyi Pasal 284 KUHP tentang Perzinaan . : Apakah Delik Aduan Bisa Dicabut Kembali? Tindak Pidana Perkosaan Mengenai tindak pidana perkosaan, merujuk pada Pasal 285 KUHP dan Pasal 473 UU 1/2023 , yang berbunyi: Pasal 285 KUHP Pasal 473 ayat (1) UU 1/2023 Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang wanita bersetubuh dengan dia di luar perkawinan , diancam karena melakukan perkosaan dengan pidana penjara paling lama 12 tahun . Setiap orang yang dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seseorang bersetubuh dengannya , dipidana karena melakukan perkosaan , dengan pidana penjara paling lama 12 tahun . Menurut P.A.F. Lamintang dan Theo Lamintang , tindak pidana perkosaan yang diatur dalam Pasal 285 KUHP memiliki unsur-unsur sebagai berikut: [11] barangsiapa; dengan kekerasan atau dengan ancaman akan memakai kekerasan; memaksa; seorang wanita (perempuan); mengadakan hubungan kelamin di luar perkawinan; dengan dirinya. Kemudian, R. Soesilo menjelaskan bahwa yang diancam hukuman dalam pasal ini ialah dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa perempuan yang bukan istrinya untuk bersetubuh dengan dia (hal. 210). Namun, untuk tindak pidana perkosaan berlaku delik biasa dan bukan delik aduan seperti tindak pidana perzinaan sebagaimana diterangkan dalam artikel Proses Hukum Kejahatan Perkosaan, Pencabulan, dan Perzinahan . : Masa Daluwarsa Menuntut Pelaku Tindak Pidana Pemerkosaan Tindak Pidana Kekerasan Seksual pada UU TPKS Selain dapat dijerat dengan tindak pidana perzinaan dan perkosaan dalam KUHP dan UU 1/2023, perbuatan yang dilakukan oleh kepala desa tersebut juga berpotensi dijerat pasal tindak pidana kekerasan seksual, yaitu Pasal 6 huruf c UU TPKS sebagai berikut: Setiap orang yang menyalahgunakan kedudukan , wewenang , kepercayaan, atau perbawa yang timbul dari tipu muslihat atau hubungan keadaan atau memanfaatkan kerentanan, ketidaksetaraan atau ketergantungan seseorang, memaksa atau dengan penyesatan menggerakkan orang itu untuk melakukan atau membiarkan dilakukan persetubuhan atau perbuatan cabul dengannya atau dengan orang lain, dipidana dengan pidana penjara paling lama 12 tahun dan/atau denda paling banyak Rp300 juta. Berdasarkan uraian di atas, kami berpendapat bahwa kepala desa berpotensi diberhentikan jika melakukan tindak pidana , secara khusus perkosaan dalam KUHP atau UU 1/2023 , atau tindak pidana kekerasan seksual karena menyalahgunakan kedudukan dan wewenang dalam UU TPKS . Hal ini dikarenakan ancaman pidana penjara untuk perzinaan dalam KUHP paling lama hanya 9 bulan, dan dalam UU 1/2023 paling lama 1 tahun. Sedangkan perkosaan dalam KUHP atau UU 1/2023 dan kekerasan seksual dalam UU TPKS ancaman pidana penjaranya paling lama 12 tahun. Sebagaimana telah kami jelaskan, untuk diberhentikan karena tindak pidana, kepala desa harus dinyatakan bersalah melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara paling singkat 5 tahun berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Lalu sebagai informasi, dalam praktiknya penyidik dapat mengenakan pasal berlapis terhadap suatu tindak pidana yang memenuhi unsur-unsur perkosaan dan kekerasan seksual sebagaimana diatur dalam KUHP atau UU 1/2023, serta UU TPKS. Artinya, jika unsur-unsur tindak pidananya terpenuhi, penyidik dapat menggunakan pasal-pasal tersebut. Selanjutnya, Anda tidak menerangkan mengenai modus yang digunakan oleh kepala desa dalam melakukan perbuatannya. Oleh karena itu, kami asumsikan ia memanfaatkan jabatannya sebagai kepala desa untuk bersetubuh dengan perempuan di desanya. Maka dari itu, kepala desa juga dapat memenuhi alasan pemberhentian lain, yaitu pelanggaran larangan mengenai menyalahgunakan wewenangnya dan/atau melakukan perbuatan yang meresahkan masyarakat desa , karena kerap kali berbuat zina dan/atau memaksa berhubungan badan dengan para istri dari warganya. Alasan pemberhentian lain, yaitu kepala desa tidak melaksanakan kewajibannya dengan berselingkuh dan bersetubuh dengan perempuan bersuami, sehingga, menurut hemat kami, dapat dipandang sebagai perbuatan yang tidak memelihara ketentraman dan ketertiban serta membina nilai sosial budaya masyarakat . Perbuatan tersebut juga bertentangan dengan kewajibannya untuk menaati dan menegakkan peraturan perundang-undangan . Perkaya riset hukum Anda dengan analisis hukum terbaru dwi bahasa, serta koleksi terjemahan peraturan yang terintegrasi dalam Hukumonline Pro, pelajari lebih lanjut di sini. Demikian jawaban kami, semoga bermanfaat. Dasar Hukum : Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ; Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa yang diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2024 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa ; Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual ; Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ; Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja yang telah ditetapkan sebagai undang-undang melalui Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 . Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 82 Tahun 2015 tentang Pengangkatan dan Pemberhentian Kepala Desa yang diubah dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 66 Tahun 2017 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 82 Tahun 2015 tentang Pengangkatan dan Pemberhentian Kepala Desa . Referensi : P.A.F. Lamintang dan Theo Lamintang. Kejahatan Melanggar Norma Kesusilaan & Norma Kepatutan . Jakarta: SInar Grafika, 2009; R. Soesilo. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal . Sukabumi: Politeia, 1991. [1] Pasal 1 angka 4 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 66 Tahun 2017 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 82 Tahun 2015 tentang Pengangkatan dan Pemberhentian Kepala Desa (“Permendagri 66/2017”) [2] Pasal 8 ayat (1) Permendagri 66/2017 [3] Pasal 8 ayat (2) Permendagri 66/2017 [4] Pasal 9 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 82 Tahun 2015 tentang Pengangkatan dan Pemberhentian Kepala Desa (“Permendagri 82/2015”) [5] Pasal 8 ayat (3) jo. Pasal 8 ayat (1) Permendagri 66/2017 [6] Pasal 8 ayat (4) dan (5) Permendagri 66/2017 [7] Pasal 10 Permendagri 82/2015 [8] Pasal 624 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“UU 1/2023”) [9] Pasal 79 ayat (1) huruf b UU 1/2023 [10] R. Soesilo. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal. Bogor: Politeia, 1991, hal. 209 [11] P.A.F. Lamintang dan Theo Lamintang. Kejahatan Melanggar Norma Kesusilaan & Norma Kepatutan . Jakarta: SInar Grafika, 2009, hal. 97 TAGS kepala desa kuhp perzinaan uu desa pidana perkosaan | {411: '4. Kepala Desa adalah pejabat Pemerintah Desa yang mempunyai wewenang, tugas dan kewajiban untuk menyelenggarakan rumah tangga Desanya dan melaksanakan tugas dari Pemerintah dan Pemerintah Daerah.', 412: '(1) Kepala Desa berhenti karena: a. meninggal dunia; b. permintaan sendiri; atau c. diberhentikan.', 413: '(2) Kepala Desa diberhentikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c karena: a. berakhir masa jabatannya; b. tidak dapat melaksanakan tugas secara berkelanjutan atau berhalangan tetap secara berturut-turut selama 6 (enam) bulan karena menderita sakit yang mengakibatkan baik fisik maupun mental, tidak berfungsi secara normal yang dibuktikan dengan surat keterangan dokter yang berwenang dan/atau tidak diketahui keberadaannya; c. tidak lagi memenuhi syarat sebagai kepala Desa; d. melanggar larangan sebagai kepala Desa; e. adanya perubahan status Desa menjadi kelurahan, penggabungan 2 (dua) Desa atau lebih menjadi 1 (satu) Desa baru, atau penghapusan Desa; f. tidak melaksanakan kewajiban sebagai kepala Desa; dan/ atau g. dinyatakan sebagai terpidana yang diancam dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap', 414: 'pasal 9 kepala desa dapat diberhentikan sementara oleh bupati/walikota karena : a. tidak melaksanakan kewajiban sebagai kepala desa; b. melanggar larangan sebagai kepala desa; c. dinyatakan sebagai terdakwa yang diancam dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun berdasarkan register perkara di pengadilan; dan d. ditetapkan sebagai tersangka dalam tindak pidana korupsi, teroris, makar, dan/atau tindak pidana terhadap keamanan negara. bagian ketiga pengesahan pemberhentian', 415: '(3) Apabila kepala Desa berhenti sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Badan Permusyawaratan Desa melaporkan kepada bupati/wali kota melalui camat atau sebutan lain ;; (1) Kepala Desa berhenti karena: a. meninggal dunia; b. permintaan sendiri; atau c. diberhentikan.', 416: '(4) Laporan pimpinan Badan Permusyawaratan Desa kepada bupati/wali kota sebagaimana dimaksud pada ayat (3) memuat materi kasus yang di alami oleh kepala Desa yang bersangkutan.', 417: "['(1) pengesahan pemberhentian kepala desa sebagaimana dimaksud dalam pasal 8 ayat (1) ditetapkan dengan keputusan bupati/walikota.']", 4: 'Undang-Undang ini mulai berlaku setelah 3 (tiga) tahun terhitung sejak tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.', 37: "['(1) pidana denda paling banyak ditetapkan berdasarkan: a. kategori i, rp1.000.000,00 (satu juta rupiah); b. kategori ii, rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah); c. kategori iii, rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah); d. kategori iv, rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah); e. kategori v, rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah); f. kategori vi, rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah); g. kategori vii, rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah); dan h. kategori viii, rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah).']", 418: '**418:** Dalam bukunya, *Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal* (Bogor: Politeia, 1991), R. Soesilo pada halaman 209 menjelaskan mengenai delik aduan dalam pasal perzinaan. Soesilo menekankan bahwa pengaduan tidak boleh dipecah. Jika suami mengadukan perzinaan istrinya dengan pria lain, maka keduanya harus dituntut, bukan hanya salah satu. Penjelasan ini relevan dalam konteks kasus perzinaan yang melibatkan pastor.', 419: 'Lamintang dan Theo Lamintang, tindak pidana perkosaan yang diatur dalam Pasal 285 KUHP memiliki unsur-unsur sebagai berikut:'} |
Pasal 339 tentang apa? Bagaimana bunyi Pasal 339 KUHP selengkapnya? | ULASAN LENGKAP Artikel ini dibuat berdasarkan KUHP lama dan UU 1/2023 tentang KUHP yang diundangkan pada tanggal 2 Januari 2023. . Isi Pasal 339 KUHP Pada dasarnya, pembunuhan yang diikuti, disertai atau didahului oleh suatu perbuatan pidana diatur dalam Pasal 339 KUHP lama yang saat artikel ini diterbitkan masih berlaku, yaitu: Pembunuhan yang diikuti, disertai atau didahului oleh suatu perbuatan pidana , yang dilakukan dengan maksud untuk mempersiapkan atau mempermudah pelaksanaannya, atau untuk melepaskan diri sendiri maupun peserta lainnya dari pidana dalam hal tertangkap tangan, ataupun untuk memastikan penguasaan barang yang diperolehnya secara melawan hukum, diancam dengan pidana penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu, paling lama dua puluh tahun. Unsur-unsur Pasal 339 KUHP Adapun unsur-unsur dari tindak pidana dalam rumusan Pasal 339 KUHP adalah: [1] Unsur subjektif: dengan sengaja; dengan maksud. Unsur objektif: menghilangkan nyawa orang lain; diikuti, disertai, dan didahului dengan tindak pidana lain; untuk menyiapkan/memudahkan pelaksanaan dari tindak pidana yang akan, sedang atau telah dilakukan; untuk menjamin tidak dapat dipidananya diri sendiri atau lainnya (peserta) dalam tindak pidana yang bersangkutan; untuk dapat menjamin tetap dapat dikuasainya benda yang telah diperoleh secara melawan hukum, dalam ia/mereka kepergok pada waktu melaksanakan tindak pidana. Kemudian, R. Soesilo dalam bukunya berjudul Kitab Undang Undang Hukum Pidana serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal menjelaskan bahwa pembunuhan biasa yang bukan pembunuhan dengan direncanakan lebih dahulu , diancam hukuman lebih berat apabila dilakukannya dengan diikuti , disertai atau didahului dengan peristiwa pidana yang lain . Akan tetapi, pembunuhan itu dilakukan harus dengan maksud untuk menyiapkan atau memudahkan peristiwa pidana itu atau jika tertangkap tangan akan melindungi dirinya atau kawan-kawannya dari pada hukuman atau akan mempertahankan barang yang didapatkannya dengan melawan hak (hal. 241). Bunyi Pasal 458 Ayat (3) UU 1/2023 Selanjutnya, dalam UU 1/2023 tentang KUHP baru yang berlaku 3 tahun sejak tanggal diundangkan, [2] yaitu tahun 2026, tindak pidana pembunuhan yang diikuti, disertai, atau didahului suatu tindak pidana diatur dalam Pasal 458 ayat (3) sebagai berikut: Pembunuhan yang diikuti, disertai, atau didahului suatu tindak pidana yang dilakukan dengan maksud untuk mempersiapkan atau mempermudah pelaksanaannya, atau untuk melepaskan diri atau peserta lainnya dari pidana dalam hal tertangkap tangan, atau untuk memastikan penguasaan barang yang diperolehnya secara melawan hukum, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun. Untuk mempermudah pemahaman Anda, kami memberikan contoh yang dapat dituntut menurut Pasal 339 KUHP atau Pasal 458 ayat (3) UU 1/2023 ini misalnya seorang pencuri yang sedang melakukan pencurian di sebuah rumah, lalu perbuatannya ini diketahui oleh pemilik rumah. Lalu, si pencuri yang menyadari hal ini segera bertindak, yakni supaya jangan sampai ia tertangkap dan dihukum, maka ia membunuh pemilik rumah itu. Setelah ia selesai melakukan pembunuhan, ia meneruskan pencurian tersebut. [3] : Bunyi Pasal 338 KUHP tentang Pembunuhan dan Unsur Pasalnya Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. Dasar Hukum : Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ; Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana . Referensi : Frangky Maitulung. Penanganan Terhadap Pelaku Tindak Pidana Pembunuhan yang Dilakukan Psikopat . Jurnal Lex Crimen, Vol. 2, No. 7, 2013; Hermanto Wenas (et.al). Kajian Yuridis Terhadap Tindak Pidana Pembunuhan dengan Unsur yang Memberatkan dan Unsur yang Meringankan Berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Jurnal Lex Crimen, Vol. 12, No. 1, 2023; Soesilo. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal . Politeia: Bogor, 1991. [1] Frangky Maitulung. Penanganan Terhadap Pelaku Tindak Pidana Pembunuhan yang Dilakukan Psikopat . Jurnal Lex Crimen, Vol. 2, No. 7, 2013, hal. 129-130 [2] Pasal 624 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana [3] Hermanto Wenas (et.al). Kajian Yuridis Terhadap Tindak Pidana Pembunuhan dengan Unsur yang Memberatkan dan Unsur yang Meringankan Berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Jurnal Lex Crimen, Vol. 12, No. 1, 2023, hal. 2 TAGS potd kuhp pembunuhan | {420: 'Unsur-unsur dari tindak pidana dengan keadaan-keadaan yang memberatkan dalam rumusan Pasal 339 KUHP atau Pasal 458 ayat (3) UU 1/2023 adalah: Unsur subjektif: dengan sengaja; dengan maksud. Unsur objektif: menghilangkan nyawa orang lain; diikuti, disertai, dan didahului dengan tindak pidana lain; untuk menyiapkan/memudahkan pelaksanaan dari tindak pidana yang akan, sedang atau telah dilakukan; untuk menjamin tidak dapat dipidananya diri sendiri atau lainnya (peserta) dalam tindak pidana yang bersangkutan; untuk dapat menjamin tetap dapat dikuasainya benda yang telah diperoleh secara melawan hukum, dalam ia/mereka kepergok pada waktu melaksanakan tindak pidana.', 20: 'Undang-Undang ini mulai berlaku setelah 3 (tiga) tahun terhitung sejak tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.', 421: 'Setelah ia selesai melakukan pembunuhan, ia meneruskan pencurian tersebut.'} |
Apa saja kejahatan siber yang terjadi di Indonesia? | ULASAN LENGKAP kedua dari artikel dengan judul Definisi Kejahatan dan Jenis-jenis Kejahatan Internet yang dibuat oleh Anandito Utomo, S.H. dan pertama kali dipublikasikan pada Kamis, 30 Mei 2013, yang pertama kali dimutakhirkan pada 25 Maret 2022. . Macam-macam Kejahatan Siber di Indonesia Seiring berkembangnya teknologi dan internet, muncul berbagai kasus kejahatan siber di Indonesia. Secara sederhana, kejahatan siber adalah kejahatan yang dilakukan dengan komputer atau perangkat jaringan. Meski kejahatannya dilakukan melalui jaringan internet atau siber, kerugian yang mengintai tidak main-main. Karenanya, agar terhindar dari bahaya kejahatan internet yang mungkin mengintai, mari kenali macam-macam kejahatan siber di internet berikut ini. Kejahatan siber atau yang sering kita dengar dengan istilah cybercrime dapat Anda temukan pengaturannya dalam UU ITE dan perubahannya. Adapun macam-macam kejahatan di internet yang diatur dalam UU ITE, antara lain: Tindak pidana yang berhubungan dengan aktivitas ilegal , yaitu: Dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan atau menyebarkan, mentransmisikan, agar dapat diaksesnya konten ilegal, yang terdiri dari: muatan yang melanggar kesusilaan; [1] muatan perjudian; [2] muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik; [3] muatan pemerasan dan/atau pengancaman; [4] berita bohong dan menyesatkan yang mengakibatkan kerugian konsumen dalam transaksi elektronik; [5] informasi yang menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan suku, agama, ras, dan antar golongan (SARA); [6] informasi dan/atau dokumen elektronik yang berisi ancaman kekerasan atau menakut-nakuti yang ditujukan secara pribadi; [7] dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum mengakses komputer dan/atau sistem elektronik milik orang lain dengan cara apapun; [8] intersepsi atau penyadapan ilegal terhadap informasi dan/atau dokumen elektronik dan sistem elektronik milik orang lain. [9] 2. Tindak pidana yang berhubungan dengan gangguan (interferensi) , yaitu: Gangguan terhadap informasi dan/atau dokumen elektronik, misalnya mengubah, menambah, mengurangi, merusak, menghilangkan, memindahkan, menyembunyikan ( data interference ) informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik; [10] Gangguan terhadap sistem elektronik ( system interference ) sehingga tidak bisa bekerja sebagaimana mestinya; [11] Tindak pidana memfasilitasi perbuatan yang dilarang : melawan hukum memproduksi, menjual, mengadakan untuk digunakan, mengimpor, mendistribusikan, menyediakan, atau memiliki perangkat keras atau perangkat lunak komputer, sandi lewat komputer, dan kode akses untuk melakukan tindak pidana yang diatur dalam UU ITE (Pasal 27 s.d. Pasal 33 UU ITE); [12] Tindak pidana pemalsuan informasi dan/atau dokumen elektronik sehingga dianggap seolah-olah data otentik ; [13] Tindak pidana tambahan ( accessoir ) bagi yang melakukan perbuatan dalam Pasal 30 sampai dengan Pasal 34 UU ITE yang mengakibatkan kerugian bagi orang lain; [14] Pemberatan-pemberatan terhadap ancaman pidana dengan kondisi tertentu ; [15] Skimming yaitu kejahatan siber dengan menggunakan kartu kredit yang dilakukan dengan cara menyalin informasi pada magnetic stripe kartu ATM secara ilegal untuk memiliki kendali atas rekening korban; Kejahatan dengan memasukkan virus ke internet disebut dengan cyber sabotage and extortion . Disarikan dari Jenis Cybercrime Berdasarkan Motif dan Aktivitasnya , pada laman Bapenda Jabar , kejahatan ini dilakukan dengan membuat gangguan, perusakan atau penghancuran terhadap suatu data, program komputer atau sistem jaringan komputer yang terhubung dengan internet. Biasanya kejahatan internet cyber sabotage and extortion ini dilakukan dengan menyusupkan suatu logic bomb , virus komputer, sehingga data, program komputer atau sistem jaringan komputer tidak dapat digunakan, tidak berjalan sebagaimana mestinya; Web forgery atau web phising yaitu jenis kejahatan siber yang bertujuan menyerupai website yang asli. Tampilan dalam situs web ini memang dibuat semirip aslinya. Korban lalu dituntun untuk memasukkan identitasnya dalam suatu formulir yang sudah disiapkan pelaku. Setelah korban memasukkan user id dan password -nya, data akan tersimpan dalam database situs web tersebut. Data yang tersimpan inilah yang diincar pelaku untuk disalahgunakan demi kepentingannya. Sehubungan dengan banyaknya contoh kejahatan siber sebagaimana disebutkan, kami menyarankan para pengguna internet harus tetap waspada, berhati-hati dan bijak dalam menggunakan internet, karena modus kejahatan internet terus berkembang, dan jangan sampai kejahatan siber mengincar Anda. Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. Dasar Hukum: Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik yang kedua kalinya diubah dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2024 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik . Referensi : Jenis Cybercrime Berdasarkan Motif dan Aktivitasnya , yang diakses pada 5 Juli 2024, pukul 15.00 WIB. [1] Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2024 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (“UU 1/2024”) [2] Pasal 27 ayat (2) UU 1/2024 [3] Pasal 27A UU 1/2024 [4] Pasal 27B UU 1/2024 [5] Pasal 28 ayat (1) UU 1/2024 [6] Pasal 28 ayat (2) UU 1/2024 [7] Pasal 29 UU 1/2024 [8] Pasal 30 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (“UU ITE”) [9] Pasal 31 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik [10] Pasal 32 UU ITE [11] Pasal 33 UU ITE [12] Pasal 34 UU ITE [13] Pasal 35 UU ITE [14] Pasal 36 UU 1/2024 [15] Pasal 52 UU ITE TAGS cyber crime kejahatan kejahatan siber | {422: '(1) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak menyiarkan, mempertunjukkan, mendistribusikan, mentransmisikan, dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/ atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan untuk diketahui umum.', 423: '(2) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan, mentransmisikan, dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan perjudian.', 424: 'Pasal 27A Setiap Orang dengan sengaja menyerang kehormatan atau nama baik orang lain dengan cara menuduhkan suatu hal, dengan maksud supaya hal tersebut diketahui umum dalam bentuk Informasi Elektronik dan/ atau Dokumen Elektronik yang dilakukan melalui Sistem Elektronik.', 425: '(1) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik, dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, memaksa orang dengan ancaman kekerasan untuk: a. memberikan suatu barang, yang sebagian atau seluruhnya milik orang tersebut atau milik orang lain; atau memberi utang, membuat pengakuan utang, atau menghapuskan piutang. (2) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik, dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, dengan ancarnan pencemaran atau dengan ancaman akan membuka rahasia, memaksa orang supaya: a. memberikan suatu barang yang sebagial atau seluruhnya milik orang tersebut atau milik orang lain; atau b. memberi utang, membuat pengakuan utang, atau menghapuskan piutang.', 426: '(1) Setiap Orang dengan sengaja dan/atau mentransmisikan Informasi Elektronik dan/ atau Dokumen Elektronik yang berisi pemberitahuan bohong atau informasi menyesatkan yang mengakibatkan kerugian materiel bagi konsumen dalam Transaksi Elektronik.', 427: '(2) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang sifatnya menghasut, mengajak, atau memengaruhi orang lain sehingga menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan terhadap individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan ras, kebangsaan, etnis, warna kulit, agama, kepercayaan, jenis kelamin, disabilitas mental, atau disabilitas fisik.', 428: 'Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik secara langsung kepada korban yang berisi ancam.rn kekerasan dan/ atau menakutnakuti.', 429: "['(1) setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum mengakses komputer dan/atau sistem elektronik milik orang lain dengan cara apa pun.', '(2) setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum mengakses komputer dan/atau sistem elektronik dengan cara apa pun dengan tujuan untuk memperoleh informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik.']", 430: "['(1) setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum melakukan intersepsi atau penyadapan atas informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik dalam suatu komputer dan/atau sistem elektronik tertentu milik orang lain. (21 setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum melakukan intersepsi atas transmisi informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang tidak bersifat publik dari, ke, dan di dalam suatu komputer dan/atau sistem elektronik tertentu milik orang lain, baik yang tidak menyebabkan perubahan apa pun maupun yang menyebabkan adanya perubahan, penghilangan, dan/atau penghentian informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang sedang ditransmisikan. (3) ketentuan . presiden repu blik indonesia -7 - (3) ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayal (21 tidak berlaku terhadap intersepsi atau penyadapan yang dilakukan dalam rangka penegakan hukum atas permintaan kepolisian, kejaksaan, atau institusi lainnya yang kewenangannya ditetapkan berdasarkan undang- undang. (41 ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara intersepsi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan undang-undang. 6. di antara ayat', '(2) dan ayat']", 431: "['(1) setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum dengan cara apa pun mengubah, menambah, mengurangi, melakukan transmisi, merusak, menghilangkan, memindahkan, menyembunyikan suatu informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik milik orang lain atau milik publik.', '(2) setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum dengan cara apa pun memindahkan atau mentransfer informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik kepada sistem elektronik orang lain yang tidak berhak.']", 432: 'pasal 33 setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum melakukan tindakan apa pun yang berakibat terganggunya sistem elektronik dan/atau mengakibatkan sistem elektronik menjadi tidak bekerja sebagaimana mestinya.', 433: "['(1) setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum memproduksi, menjual, mengadakan untuk digunakan, mengimpor, mendistribusikan, menyediakan, atau memiliki: a. perangkat keras atau perangkat lunak komputer yang dirancang atau secara khusus dikembangkan untuk memfasilitasi perbuatan sebagaimana dimaksud dalam pasal 27 sampai dengan pasal 33 ; b. sandi lewat komputer, kode akses, atau hal yang sejenis dengan itu yang ditujukan agar sistem elektronik menjadi dapat diakses dengan tujuan memfasilitasi perbuatan sebagaimana dimaksud dalam pasal 27 sampai dengan pasal 33 .']", 434: 'pasal 35 setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum melakukan manipulasi, penciptaan, perubahan, penghilangan, pengrusakan informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik dengan tujuan agar informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik tersebut dianggap seolah-olah data yang otentik.', 435: 'Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 sampai dengan Pasal 34 yang mengakibatkan kerugian materiel bagi Orang lain.', 436: "['(1) dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam pasal 27 ayat (1) menyangkut kesusilaan atau eksploitasi seksual terhadap anak dikenakan pemberatan sepertiga dari pidana pokok.']"} |
Teman saya menduplikat kunci gembok sepeda saya tanpa sepengetahuan saya, atau dalam arti lain tanpa izin saya. Lalu, ia mencuri sepeda saya dengan cara membuka gembok menggunakan kunci duplikat tersebut. Apakah teman saya dapat dijerat pasal pencurian dengan pemberatan? | ULASAN LENGKAP dari artikel dengan judul Pencurian yang Dilakukan Dengan Kunci Duplikat , yang dibuat oleh Dimas Hutomo, S.H . dan pertama kali dipublikasikan pada 12 Juli 2019. Artikel ini dibuat berdasarkan KUHP lama dan UU 1/2023 tentang KUHP yang diundangkan pada tanggal 2 Januari 2023. . Pasal Pencurian Biasa dalam KUHP Sebelum menjawab inti pertanyaan Anda, pada dasarnya tindak pidana pencurian biasa diatur dalam Pasal 362 KUHP lama yang saat artikel ini diterbitkan masih berlaku, dan Pasal 476 UU 1/2023 tentang KUHP baru yang berlaku 3 tahun sejak tanggal diundangkan, [1] yaitu pada tahun 2026, sebagai berikut: Pasal 362 KUHP Pasal 476 UU 1/2023 Barang siapa mengambil barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain, dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum, diancam karena pencurian , dengan pidana penjara paling lama 5 tahun atau pidana denda paling banyak Rp900 ribu. [2] Setiap orang yang mengambil suatu barang yang sebagian atau seluruhnya milik orang lain, dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum, dipinda karena pencurian , dengan pidana penjara paling lama 5 tahun atau pidana denda paling banyak kategori V, yaitu Rp500 juta. [3] Dari bunyi Pasal 362 KUHP, R.Soesilo dalam bukunya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal (hal. 249 - 250) menjelaskan bahwa tindak pidana yang terdapat pada Pasal 362 KUHP adalah pencurian biasa dengan unsur-unsurnya sebagai berikut: perbuatan mengambil; yang diambil harus sesuatu barang; barang itu harus seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain; pengambilan barang itu harus dilakukan dengan maksud untuk memiliki barang itu dengan melawan hukum (melawan hak). Penjelasan selengkapnya mengenai unsur-unsur Pasal 362 KUHP dapat Anda temukan pada artikel Ini Bunyi Pasal 362 KUHP tentang Pencurian . Adapun menurut Penjelasan Pasal 476 UU 1/2023 , yang dimaksud dengan “mengambil” tidak hanya diartikan secara fisik, tetapi juga meliputi bentuk perbuatan “mengambil” lainnya secara fungsional (nonfisik) mengarah pada maksud “memiliki barang orang lain secara melawan hukum”. Misalnya, pencurian uang dengan cara mentransfer atau menggunakan tenaga listrik tanpa hak. Sementara yang dimaksud dengan “dimiliki” adalah mempunyai hak atas barang tersebut. Pasal Pencurian dengan Pemberatan dalam KUHP Selanjutnya, berdasarkan pertanyaan Anda, teman Anda mencuri sepeda menggunakan kunci gembok sepeda yang ia duplikat tanpa izin Anda. Kami asumsikan kunci gembok sepeda yang Anda maksud adalah kunci untuk membuka gembok sepeda milik Anda. Menurut KBBI, duplikat adalah salinan atau tembusan (surat dan sebagainya) yang serupa benar dengan aslinya . Dalam KUHP dan UU 1/2023, istilah kunci duplikat dikenal dengan anak kunci palsu . Selanjutnya, yang dimaksud dengan anak kunci palsu adalah segala macam anak kunci yang tidak dipergunakan oleh yang berhak untuk membuka kunci dari sesuatu barang seperti lemari, rumah, dan sebagainya. Anak kunci duplikat bila tidak dipergunakan oleh yang berhak, maka termasuk anak kunci palsu . [4] Menurut hemat kami, teman Anda berpotensi dijerat pasal pencurian dengan pemberatan yang diatur dalam Pasal 363 KUHP sebagai berikut: (1) Diancam dengan pidana penjara paling lama 7 tahun: pencurian ternak; pencurian pada waktu ada kebakaran, letusan, banjir gempa bumi, atau gempa laut, gunung meletus, kapal karam, kapal terdampar, kecelakaan kereta api, huru-hara, pemberontakan atau bahaya perang; pencurian di waktu malam dalam sebuah rumah atau pekarangan tertutup yang ada rumahnya, yang dilakukan oleh orang yang ada di situ tidak diketahui atau tidak dikehendaki oleh yang berhak; pencurian yang dilakukan oleh dua orang atau lebih dengan bersekutu; pencurian yang untuk masuk ke tempat melakukan kejahatan, atau untuk sampai pada barang yang diambil , dilakukan dengan merusak, memotong atau memanjat, atau dengan memakai anak kunci palsu , perintah palsu atau pakaian jabatan palsu. (2) Jika pencurian yang diterangkan dalam butir 3 disertai dengan salah satu hal dalam butir 4 dan 5, maka diancam dengan pidana penjara paling lama 9 tahun. Masih bersumber dari buku yang sama, R. Soesilo menjelaskan bahwa pencurian yang dimaksud pada Pasal 363 adalah pencurian dengan pemberatan atau pencurian dengan kualifikasi (hal. 251). Apa itu pencurian dengan pemberatan? Pencurian dengan pemberatan adalah pencurian biasa yang dalam pelaksanaannya disertai oleh keadaan tertentu yang memberatkan . [5] Kemudian, sebagaimana dijelaskan dalam artikel Bunyi Pasal 363 KUHP tentang Pencurian dengan Pemberatan , unsur-unsur yang memberatkan ancaman pidana dalam pencurian dengan kualifikasi disebabkan karena perbuatan itu ditujukan kepada objeknya yang khas atau karena dilakukan dengan cara yang khas dan dapat terjadi karena perbuatan itu menimbulkan akibat yang khas . Pasal Pencurian yang Bersifat Khusus dalam UU 1/2023 Selanjutnya, perlu diketahui bahwa dalam UU 1/2023, seseorang yang melakukan pencurian dengan cara menggunakan anak kunci palsu untuk sampai pada barang yang diambil, berpotensi dijerat pasal pencurian yang bersifat khusus atau pencurian dikualifikasi . [6] Berikut bunyi pasalnya: Pasal 477 UU 1/2023 Dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 tahun atau pidana denda paling banyak kategori V, yaitu Rp500 juta [7] setiap orang yang melakukan: pencurian benda suci keagamaan atau kepercayaan; pencurian benda purbakala; pencurian ternak atau barang yang merupakan sumber mata pencaharian atau sumber nafkah utama seseorang; pencurian pada waktu ada kebakaran, ledakan, bencana alam, kapal karam, kapal terdampar, kecelakaan pesawat udara, kecelakaan kereta api, kecelakaan lalu lintas jalan, huru-hara, pemberontakan, atau perang; pencurian pada malam dalam suatu rumah atau dalam pekarangan tertutup yang ada rumahnya, yang dilakukan oleh orang yang adanya di situ tidak diketahui atau tidak dikehendaki oleh yang berhak; pencurian dengan cara merusak, membongkar, memotong, memecah, memanjat, memakai anak kunci palsu , menggunakan perintah palsu, atau memakai pakaian jabatan palsu, untuk masuk ke tempat melakukan tindak pidana atau sampai pada barang yang diambil ; atau pencurian secara bersama-sama dan bersekutu. Jika perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e disertai dengan salah satu cara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf f dan huruf g, dipidana dengan pidana penjara paling lama 9 tahun. Sebagai informasi, tindak pidana pencurian dengan pemberatan dalam UU/2023 diatur tersendiri dalam Pasal 479 . Kesimpulannya, terhadap teman Anda yang mencuri sepeda menggunakan anak kunci palsu (kunci gembok duplikat) untuk sampai pada barang yang dicuri (sepeda), ia dapat dijerat Pasal 363 ayat (1) angka 5 KUHP dengan ancaman pidana penjara maksimal 7 tahun , karena melakukan pencurian dengan pemberatan . Sedangkan dalam KUHP baru, teman Anda berpotensi dijerat Pasal 477 ayat (1) huruf f UU 1/2023 , dengan ancaman pidana penjara maksimal 7 tahun atau pidana denda maksimal Rp500 juta , karena melakukan pencurian yang bersifat khusus . Contoh Kasus Untuk mempermudah pemahaman Anda, kami akan berikan contoh Putusan PN Pasangkayu 112/PID.B/2018/PN PKY . Meskipun kasusnya tidak sama persis, tetapi pencurian ini dilakukan dengan menggunakan kunci duplikat yang merupakan rangkaian pencurian. Pada awalnya, terdakwa meminjam sepeda motor korban untuk membeli obat, akan tetapi, setelah membeli obat muncul niat terdakwa untuk mengambil sepeda motor milik korban. Sehingga, setelah itu terdakwa langsung datang ke tukang pembuat duplikat kunci untuk menggandakan kunci sepeda motor milik korban. Kemudian, terdakwa mengembalikan sepeda motor milik korban ke rumahnya (hal. 4). Setelah mengantar motor ke rumah korban, terdakwa kembali ke tempat tukang duplikat kunci lalu berangkat ke rumah korban dengan membawa kunci duplikat sepeda motor. Setelah sampai di rumah korban, terdakwa langsung menggunakan kunci duplikat tersebut untuk melakukan pencurian motor (hal. 4). Atas tindakannya tersebut, terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “ pencurian dalam keadaan memberatkan ” atas dasar Pasal 363 ayat (1) ke-3 dan ke-5 KUHP dengan pidana penjara selama 7 bulan (hal. 17-18). Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. Dasar Hukum : Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ; Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2012 tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda dalam KUHP . Putusan : Putusan Pengadilan Negeri Pasangkayu Nomor 112/Pid.B/2018/PN Pky Referensi : Alan Wahyu Pratama (et.al) . Tinjauan Yuridis Terhadap Tindak Pidana Pencurian dengan Pemberatan yang dilakukan oleh Anak Secara Bersama-Sama (Studi Putusan No.03/Pidsusanak/2015 /Pn.Pwd). Diponegoro Law Journal, Vol. 5, No. 3, 2016; R. Soesilo. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal . Sukabumi: Politeia, 1991; KBBI, duplikat , diakses pada 5 Juli 2024, pukul 13.22 WIB. [1] Pasal 624 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“UU 1/2023”) [2] Pasal 3 Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2012 tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda dalam KUHP (“Perma 2/2012”), denda dikali 1000 [3] Pasal 79 angka 1 huruf e UU 1/2023 [4] R. Soesilo. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal . Sukabumi: Politeia, 1991 (hal. 105) [5] Alan Wahyu Pratama (et.al) . Tinjauan Yuridis Terhadap Tindak Pidana Pencurian dengan Pemberatan yang dilakukan oleh Anak Secara Bersama-Sama (Studi Putusan No.03/Pidsusanak/2015 /Pn.Pwd). Diponegoro Law Journal, Vol. 5, No. 3, 2016, hal. 6 [6] Penjelasan Pasal 477 ayat (1) UU 1/2023 [7] Pasal 79 ayat (1) huruf e UU 1/2023 TAGS sepeda pencurian pidana | {4: 'Undang-Undang ini mulai berlaku setelah 3 (tiga) tahun terhitung sejak tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.', 200: 'Tiap jumlah maksimum hukuman denda yang diancamkan dalam KUHP kecuali pasal 303 ayat 1 dan ayat 2, 303 bis ayat 1 dan ayat 2, dilipatgandakan menjadi 1.000 (seribu) kall,', 437: "['(1) pidana denda paling banyak ditetapkan berdasarkan: a. kategori i, rp1.000.000,00 (satu juta rupiah); b. kategori ii, rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah); c. kategori iii, rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah); d. kategori iv, rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah); e. kategori v, rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah); f. kategori vi, rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah); g. kategori vii, rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah); dan h. kategori viii, rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah).']", 438: 'definisi atau penjelasan lebih lanjut mengenai "anak kunci palsu" dalam konteks hukum pidana, menjelaskan bahwa penggunaan kunci duplikat tanpa izin merupakan bentuk dari anak kunci palsu dan termasuk tindak pidana. Penjelasan tersebut mungkin merujuk pada pasal-pasal KUHP yang mengatur tentang pencurian dengan pemberatan, menjelaskan perbedaan antara "anak kunci palsu" dengan kunci duplikat yang digunakan secara sah oleh pemiliknya. Buku ini secara umum membahas interpretasi pasal-pasal KUHP, sehingga bagian ini kemungkinan memberikan analisis yuridis atas penggunaan kunci duplikat dalam kasus pencurian.', 439: 'Apa itu pencurian dengan pemberatan? Pencurian dengan pemberatan adalah pencurian biasa yang dalam pelaksanaannya disertai oleh keadaan tertentu yang memberatkan.', 440: "['(1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun atau pidana denda paling banyak kategori v, setiap orang yang melakukan: a. pencurian benda suci keagamaan atau kepercayaan; b. pencurian benda purbakala; c. pencurian ternak atau barang yang merupakan sumber mata pencaharian atau sumber nafkah utama seseorang; d. pencurian pada waktu ada kebakaran, ledakan, bencana alam, kapal karam, kapal terdampar, kecelakaan pesawat udara, kecelakaan kereta api, kecelakaan lalu lintas jalan, huru-hara, pemberontakan, atau perang; e. pencurian pada malam dalam suatu rumah atau dalam pekarangan tertutup yang ada rumahnya, yang dilakukan oleh orang yang adanya di situ tidak diketahui atau tidak dikehendaki oleh yang berhak; f. pencurian dengan cara merusak, membongkar, memotong, memecah, memanjat, memakai anak kunci palsu, menggunakan perintah palsu, atau memakai pakaian jabatan palsu, untuk masuk ke tempat melakukan tindak pidana atau sampai pada barang yang diambil; atau g. pencurian secara bersama-sama dan bersekutu.']", 7: "['(1) pidana denda paling banyak ditetapkan berdasarkan: a. kategori i, rp1.000.000,00 (satu juta rupiah); b. kategori ii, rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah); c. kategori iii, rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah); d. kategori iv, rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah); e. kategori v, rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah); f. kategori vi, rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah); g. kategori vii, rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah); dan h. kategori viii, rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah).']"} |
Ormas kerap diberitakan melakukan aksi sweeping dan bahkan baru-baru ini terjadi di Solo, ormas mendatangi suatu festival kuliner non halal di Solo yang diselenggarakan di sebuah mal dan merasa keberatan atas terselenggaranya acara tersebut karena menimbulkan keresahan masyarakat khususnya umat Islam. Atas kejadian ini, acara festival kuliner non halal di Solo tersebut sampai ditutup sementara. Sebenarnya apakah ormas berwenang melakukan tindakan seperti sweeping warung makan pada bulan puasa, hotel, dan meminta penutupan suatu acara, dan perbuatan lain yang meresahkan warga? Adakah dasar hukumnya? | ULASAN LENGKAP dari artikel dengan judul Bolehkah Ormas Melakukan Sweeping di Tempat-tempat Umum? yang dibuat oleh Sovia Hasanah, S.H. d an pertama kali dipublikasikan pada 10 Januari 2017. . Organisasi Masyarakat Organisasi kemasyarakatan (“ormas”) adalah organisasi yang didirikan dan dibentuk oleh masyarakat secara sukarela berdasarkan kesamaan aspirasi, kehendak, kebutuhan, kepentingan, kegiatan, dan tujuan untuk berpartisipasi dalam pembangunan demi tercapainya tujuan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 . [1] Ormas berfungsi sebagai sarana: [2] penyalur kegiatan sesuai dengan kepentingan anggota dan/atau tujuan organisasi; pembinaan dan pengembangan anggota untuk mewujudkan tujuan organisasi; penyalur aspirasi masyarakat; pemberdayaan masyarakat; pemenuhan pelayanan sosial; partisipasi masyarakat untuk memelihara, menjaga, dan memperkuat persatuan dan kesatuan bangsa; dan/atau pemelihara dan pelestari norma, nilai, dan etika dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Adapun ormas memiliki bidang kegiatan sesuai dengan Anggaran Dasar (“AD”)/Anggaran Rumah Tangga (“ART”) masing-masing, yang mana bidang kegiatan ormas sesuai dengan sifat, tujuan, dan fungsi ormas. [3] Hak dan Kewajiban Ormas Ormas berhak: [4] mengatur dan mengurus rumah tangga organisasi secara mandiri dan terbuka; memperoleh hak atas kekayaan intelektual untuk nama dan lambang ormas sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; memperjuangkan cita-cita dan tujuan organisasi; melaksanakan kegiatan untuk mencapai tujuan organisasi; mendapatkan perlindungan hukum terhadap keberadaan dan kegiatan organisasi; dan melakukan kerja sama dengan pemerintah, pemerintah daerah, swasta, ormas lain, dan pihak lain dalam rangka pengembangan dan keberlanjutan organisasi. Selain memiliki hak, ormas juga mempunyai kewajiban yaitu: [5] melaksanakan kegiatan sesuai dengan tujuan organisasi; menjaga persatuan dan kesatuan bangsa serta keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia; memelihara nilai agama, budaya, moral, etika, dan norma kesusilaan serta memberikan manfaat untuk masyarakat; menjaga ketertiban umum dan terciptanya kedamaian dalam masyarakat; melakukan pengelolaan keuangan secara transparan dan akuntabel; dan berpartisipasi dalam pencapaian tujuan Negara. Hal-hal yang Dilarang Dilakukan oleh Ormas Kemudian perlu Anda ketahui pula, dalam menjalankan kegiatannya, ormas dilarang: [6] menggunakan nama, lambang, bendera, atau atribut yang sama dengan nama, lambang, bendera, atau atribut lembaga pemerintahan; menggunakan dengan tanpa izin nama, lambang, bendera negara lain atau lembaga/badan internasional menjadi nama, lambang, atau bendera ormas; menggunakan nama, lambang, bendera, atau tanda gambar yang mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan nama, lambang, bendera, atau tanda gambar ormas lain atau partai politik. menerima dari atau memberikan kepada pihak manapun sumbangan dalam bentuk apapun yang bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; mengumpulkan dana untuk partai politik; melakukan tindakan permusuhan terhadap suku, agama, ras, atau golongan ; melakukan penyalahgunaan, penistaan, atau penodaan terhadap agama yang dianut di Indonesia; melakukan tindakan kekerasan, mengganggu ketenteraman dan ketertiban umum, atau merusak fasilitas umum dan fasilitas sosial ; melakukan kegiatan yang menjadi tugas dan wewenang penegak hukum sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan ; menggunakan nama, lambang, bendera, atau simbol organisasi yang mempunyaipersamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan nama, lambang, bendera, atausimbol organisasi gerakan separatis atau organisasi terlarang; melakukan kegiatan separatis yang mengancam kedaulatan Negara Kesatuan RepublikIndonesia; dan/ atau menganut, mengembangkan, serta menyebarkan ajaran atau paham yang bertentangandengan Pancasila. Jika dalam berkegiatan ormas melakukan tindakan yang dilarang sebagaimana disebutkan di atas, ormas dapat dijatuhi sanksi administratif dan/atau sanksi pidana. [7] Sanksi administratif tersebut terdiri atas: [8] peringatan tertulis; penghentian kegiatan; dan/atau pencabutan surat keterangan terdaftar atau pencabutan status badan hukum. Apakah Ormas Berwenang Melakukan Tindakan Sweeping ? Berdasarkan pernyataan Anda, di sini kami asumsikan aksi ormas yang mendatangi dan menyampaikan keberatan atas terselenggaranya festival kuliner non halal di Solo karena menimbulkan keresahan masyarakat khususnya umat Islam ini berkaitan dengan tindakan penertiban atau ormas sweeping . Perlu diketahui, yang bertugas pokok melakukan penertiban masyarakat adalah penegak hukum seperti polisi [9] dan Satuan Polisi Pamong Paraja (“Satpol PP”) bagi di daerah-daerah untuk menegakkan peraturan daerah (“perda”) dan peraturan kepala derah (“perkada”), menyelenggarakan ketertiban umum dan ketenteraman, serta menyelenggarakan perlindungan masyarakat. [10] Salah satu kewenangan satpol PP adalah melakukan tindakan penertiban non-yustisial terhadap warga masyarakat, aparatur, atau badan hukum yang melakukan pelanggaran atas perda dan/atau perkada. [11] Yang dimaksud dengan “tindakan penertiban non-yustisial” adalah tindakan yang dilakukan oleh satpol PP dalam rangka menjaga dan/atau memulihkan ketertiban umum dan ketenteraman masyarakat terhadap pelanggaran perda dan/atau perkada dengan cara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan tidak sampai proses peradilan. [12] Sehingga menjawab pertanyaan Anda, ormas dilarang melakukan kegiatan yang menjadi tugas dan wewenang penegak hukum sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Sehingga pada hakikatnya ormas dilarang melakukan penertiban masyarakat karena tindakan tersebut merupakan wewenang aparat penegak hukum seperti polisi dan satpol PP. Jika dilanggar, anggota dan/atau pengurus ormas dipidana penjara paling singkat 6 bulan dan paling lama 1 tahun. [13] Di sisi lain, apabila perbuatan ormas sweeping tersebut disertai dengan melakukan tindakan permusuhan terhadap suku, agama, ras, atau golongan, anggota dan/atau pengurus ormas dapat dipidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 5 tahun dan paling lama 20 tahun. [14] Sedangkan jika perbuatan ormas sweeping disertai dengan melakukan tindakan kekerasan, mengganggu ketenteraman dan ketertiban umum, atau merusak fasilitas umum dan fasilitas sosial, anggota dan/atau pengurus ormas dipidana penjara paling singkat 6 bulan dan paling lama 1 tahun. [15] Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. Dasar Hukum: Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia ; Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2017 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan Menjadi Undang-Undang ; Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah Menjadi Undang-Undang dan diubah kedua kalinya dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah ; Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja yang telah ditetapkan sebagai undang-undang melalui Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 . [1] Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2017 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan Menjadi Undang-Undang (“UU 16/2017”) [2] Pasal 6 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan (“UU 17/2013”) [3] Pasal 7 UU 17/2013 [4] Pasal 20 UU 17/2013 [5] Pasal 21 UU 17/2013 [6] Pasal 59 UU 16/2017 [7] Pasal 60 UU 16/2017 [8] Pasal 61 ayat (1) dan (3) UU 16/2017 [9] Pasal 13 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia [10] Pasal 255 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (“UU 23/2014”) [11] Pasal 255 ayat (2) huruf a UU 23/2014 [12] Penjelasan Pasal 255 ayat (2) huruf a UU 23/2014 [13] Pasal 82A ayat (1) UU 16/2017 [14] Pasal 82A ayat (2) UU 16/2017 [15] Pasal 82A ayat (1) UU 16/2017 TAGS hukumonline google ormas islam ormas fpi kepolisian organisasi kemasyarakatan satpol pp tata negara hukum media & penyiaran klinik hak asasi manusia razia uud 1945 klinik hukumonline polisi | {441: 'pasal 1 peraturan pemerintatr pengganti undang-und,ang nomor 2 tahun 20t7 tentang perubahan atas undang-undang nomor 17 tahun 20l3 tentang organisasi kemasyarakatan (lembaran negara republik indonesia tahun 20iz nomor 138, tambahan lembaran negara repubrik indonesia nomor 6084) ditetapkan menjadi undang-undang dan melampirkannya sebagai bagian yang tidak terpisahkan aari undang-undang ini.', 442: 'pasal 6 ormas berfungsi sebagai sarana: a. penyalur kegiatan sesuai dengan kepentingan anggota dan/atau tujuan organisasi; b. pembinaan dan pengembangan anggota untuk mewujudkan tujuan organisasi; c. penyalur aspirasi masyarakat; d. pemberdayaan masyarakat; e. pemenuhan pelayanan sosial; f. partisipasi masyarakat untuk memelihara, menjaga, dan memperkuat persatuan dan kesatuan bangsa; dan/atau g. pemelihara dan pelestari norma, nilai, dan etika dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.', 443: "['(1) ormas memiliki bidang kegiatan sesuai dengan ad/art masing-masing.']", 444: 'pasal 20 ormas berhak: a. mengatur dan mengurus rumah tangga organisasi secara mandiri dan terbuka; b. memperoleh hak atas kekayaan intelektual untuk nama dan lambang ormas sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; c. memperjuangkan cita-cita dan tujuan organisasi; d. melaksanakan kegiatan untuk mencapai tujuan organisasi; e. mendapatkan perlindungan hukum terhadap keberadaan dan kegiatan organisasi; dan f. melakukan kerja sama dengan pemerintah, pemerintah daerah, swasta, ormas lain, dan pihak lain dalam rangka pengembangan dan keberlanjutan organisasi.', 445: 'pasal 21 ormas berkewajiban: a. melaksanakan kegiatan sesuai dengan tujuan organisasi; b. menjaga persatuan dan kesatuan bangsa serta keutuhan negara kesatuan republik indonesia; c. memelihara nilai agama, budaya, moral, etika, dan norma kesusilaan serta memberikan manfaat untuk masyarakat; d. menjaga ketertiban umum dan terciptanya kedamaian dalam masyarakat; e. melakukan pengelolaan keuangan secara transparan dan akuntabel; dan f. berpartisipasi dalam pencapaian tujuan negara. bab vii . . . bab vii organisasi, kedudukan, dan kepengurusan bagian kesatu organisasi', 446: '(1) Ormas dilarang: a. menggunakan natna, lambang, bendera, atau atribut yang sama dengan nama, lambang, bendera, atau atribut lembaga pernerintahan; 2. b. menggunakan dengan tanpa izin nama, lambang, bendera negara lain atau lembaga/badan internasional menjadi narna, lambang, atau bendera Ormas; dan/atau c. menggunakan nama, lambang, bendera, atau tanda gambar yang mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan nama, lambang, bendera, atau tanda gambar Ormas lain atau partai politik.', 447: 'Ormas yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21, Pasal 51, dan Pasal 59 ayat (1) dan ayat (2) dijatuhi sanksi administratif. Ormas yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 dan Pasal 59 ayat (3) dan ayat (4) dijatuhi sanksi administratif dan/atau sanksi pidana.', 448: '(1) Sanksi administratif sebegaimana dimaksud dalam Pasal 60 ayat (1) terdiri atas: a. peringatantertulis; b. penghentian kegiatan; dan/atau c. pencabutan surat keterangan terdaftar atau pencabutan status badan hukum.', 449: 'pasal 13 tugas pokok kepolisian negara republik indonesia adalah: a. memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat; b. menegakkan hukum; dan c. memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat.', 450: "['(1) satuan polisi pamong praja dibentuk untuk menegakkan perda dan perkada, menyelenggarakan ketertiban umum dan ketenteraman, serta menyelenggarakan pelindungan masyarakat.']", 451: "['(1) satuan polisi pamong praja dibentuk untuk menegakkan perda dan perkada, menyelenggarakan ketertiban umum dan ketenteraman, serta menyelenggarakan pelindungan masyarakat.']", 452: "['(1) satuan polisi pamong praja dibentuk untuk menegakkan perda dan perkada, menyelenggarakan ketertiban umum dan ketenteraman, serta menyelenggarakan pelindungan masyarakat.']", 453: '(1) Setiap orarlg yang menjadi anggota dan/atau pengurus Ormas yang dengan sengaja dan secara langsung atau tidak langsung melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 ayat (3) huruf c dan huruf d dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 1 (satu) tahun.', 454: '(2) Setiap orang yang menjadi anggota dan/atau pengurus Ormas yang dengan sengaja dan secara langsung atau tidak langsung melanggar ketentuan .sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 ayat (3) huruf a dan huruf b, dan ayat (4) dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun.'} |
Bagaimanakah pelaksanaan hukuman mati di Indonesia? | ULASAN LENGKAP kedua dari artikel dengan judul Pelaksanaan Hukuman Mati Kejahatan Narkotika yang dibuat Diana Kusumasari, S.H., M.H. yang pertama kali dipublikasikan pada Sabtu, 7 Mei 2011, dan pertama kali dimutakhirkan pada 15 Februari 2023. Artikel ini dibuat berdasarkan KUHP lama dan UU 1/2023 tentang KUHP yang diundangkan pada tanggal 2 Januari 2023. Apa itu Hukuman Mati? Kami sampaikan bahwa pelaksanaan hukuman mati di Indonesia atau yang lebih dikenal dengan pidana mati di Indonesia diatur dalam Penpres 2/1964 . Adapun pelaksanaan pidana mati yang dijatuhkan oleh pengadilan di lingkungan peradilan umum atau peradilan militer, dilakukan dengan ditembak sampai mati . [1] Siapa yang melaksanakan hukuman mati? Eksekusi pidana mati dilakukan oleh regu penembak dari Brigade Mobil (“Brimob”) yang dibentuk oleh Kepala Kepolisian Daerah di wilayah kedudukan pengadilan yang menjatuhkan pidana mati. Regu tembak tersebut terdiri dari seorang Bintara, 12 orang Tamtama, di bawah pimpinan seorang Perwira. [2] Lebih lanjut, pengaturan teknis mengenai eksekusi hukuman mati atau pidana mati diatur dalam Perkapolri 12/2010 . Berdasarkan Pasal 1 Perkapolri 12/2010 pidana mati atau hukuman mati adalah salah satu hukuman pokok yang dijatuhkan oleh hakim kepada terpidana yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap . Tata Cara Pelaksanaan Hukuman Mati Lantas, pidana mati dilaksanakan seperti apa? Terkait pelaksanaan hukuman mati atau pidana mati, ketentuan Pasal 4 Perkapolri 12/2010 mengatur sejumlah tata cara pelaksanaan pidana mati yang terdiri dari tahapan persiapan, pengorganisasian, pelaksanaan, dan pengakhiran sebagai berikut. Persiapan [3] Setelah adanya permintaan tertulis dari Kejaksaan kepada Kapolda, lalu Kapolda memerintahkan ke Kepala Satuan Brimob Daerah (Kasat Brimobda) untuk menyiapkan pelaksanaan pidana mati. Persiapan ini mencakup personel, materiel, dan pelatihan. Adapun kegiatan pelatihan yang dilakukan adalah menembak dasar, menembak jarak 10 s.d. 15 meter pada siang dan malam hari, menembak secara serentak atau salvo sikap berdiri, dan gladi pelaksanaan penembakan pidana mati. Pengorganisasian [4] Dibagi menjadi regu penembak dan regu pendukung yang berasal dari anggota Brimob, dengan rincian berikut ini. Regu Penembak, terdiri dari 1 orang komandan pelaksana berpangkat Inspektur Polisi, 1 orang komandan regu berpangkat Brigadir atau Brigadir Polisi Kepala (Bripka), dan 12 orang anggota berpangkat Brigadir Polisi Dua (Bripda) atau Brigadir Polisi Satu (Briptu). Regu Pendukung, terdiri dari regu 1 tim survei dan perlengkapan, regu 2 pengawalan terpidana, regu 3 pengawalan pejabat, regu 4 penyesatan route, dan regu 5 pengamanan area. Pelaksanaan [5] Terpidana diberikan pakaian yang bersih, sederhana, dan berwarna putih sebelum dibawa ke tempat atau lokasi pelaksanaan pidana mati; Pada saat dibawa ke tempat atau lokasi pelaksanaan pidana mati, terpidana dapat didampingi oleh seorang rohaniawan; Regu pendukung telah siap di tempat yang telah ditentukan, 2 jam sebelum waktu pelaksanaan pidana mati; Regu penembak telah siap di lokasi pelaksanaan pidana mati, 1 jam sebelum pelaksanaan dan berkumpul di daerah persiapan; Regu penembak mengatur posisi dan meletakkan 12 pucuk senjata api laras panjang di depan posisi tiang pelaksanaan pidana mati pada jarak 5 s.d. 10 meter dan kembali ke daerah persiapan; Komandan pelaksana melaporkan kesiapan regunya kepada Jaksa Eksekutor dengan ucapan “LAPOR, PELAKSANAAN PIDANA MATI SIAP”; Jaksa Eksekutor mengadakan pemeriksaan terakhir terhadap terpidana mati dan persenjataan yang digunakan untuk pelaksanaan pidana mati; Setelah pemeriksaan selesai, Jaksa Eksekutor kembali ke tempat semula dan memerintahkan kepada komandan pelaksana dengan ucapan “LAKSANAKAN” kemudian komandan pelaksana mengulangi dengan ucapan “LAKSANAKAN”; Komandan pelaksana memerintahkan komandan regu penembak untuk mengisi amunisi dan mengunci senjata ke dalam 12 pucuk senjata api laras panjang dengan 3 butir peluru tajam dan 9 butir peluru hampa yang masing-masing senjata api berisi 1 butir peluru, disaksikan oleh Jaksa Eksekutor; Jaksa Eksekutor memerintahkan komandan regu 2 dengan anggota regunya untuk membawa terpidana ke posisi penembakan dan melepaskan borgol lalu mengikat kedua tangan dan kaki terpidana ke tiang penyangga pelaksanaan pidana mati dengan posisi berdiri, duduk, atau berlutut, kecuali ditentukan lain oleh Jaksa; Terpidana diberi kesempatan terakhir untuk menenangkan diri paling lama 3 menit dengan didampingi seorang rohaniawan; Komandan regu 2 menutup mata terpidana dengan kain hitam, kecuali jika terpidana menolak; Dokter memberi tanda berwarna hitam pada baju terpidana tepat pada posisi jantung sebagai sasaran penembakan, kemudian dokter dan regu 2 menjauhkan diri dari terpidana; Komandan regu 2 melaporkan kepada Jaksa Eksekutor bahwa terpidana telah siap untuk dilaksanakan pidana mati; Jaksa Eksekutor memberikan tanda/isyarat kepada komandan pelaksana untuk segera dilaksanakan penembakan terhadap terpidana; Komandan pelaksana memberikan tanda/isyarat kepada komandan regu penembak untuk membawa regu penembak mengambil posisi dan mengambil senjata dengan posisi depan senjata dan menghadap ke arah terpidana; Komandan pelaksana mengambil tempat di samping kanan depan regu penembak dengan menghadap ke arah serong kiri regu penembak dan mengambil sikap istirahat di tempat; Pada saat komandan pelaksana mengambil sikap sempurna, regu penembak mengambil sikap salvo ke atas; Komandan pelaksana menghunus pedang sebagai isyarat bagi regu penembak untuk membidik sasaran ke arah jantung terpidana; Komandan pelaksana mengacungkan pedang ke depan setinggi dagu sebagai isyarat kepada regu penembak untuk membuka kunci senjata; Komandan pelaksana menghentakkan pedang ke bawah pada posisi hormat pedang sebagai isyarat kepada regu penembak untuk melakukan penembakan secara serentak; Setelah penembakan selesai, komandan pelaksana menyarungkan pedang sebagai isyarat kepada regu penembak mengambil sikap depan senjata; Komandan pelaksana, Jaksa Eksekutor, dan dokter memeriksa kondisi terpidana dan apabila menurut dokter bahwa terpidana masih menunjukkan tanda-tanda kehidupan, Jaksa Eksekutor memerintahkan komandan pelaksana melakukan penembakan pengakhir; Komandan pelaksana memerintahkan komandan regu penembak untuk melakukan penembakan pengakhir dengan menempelkan ujung laras senjata genggam pada pelipis terpidana tepat di atas telinga; Penembakan pengakhir ini dapat diulangi, apabila menurut keterangan dokter masih ada tanda-tanda kehidupan; Pelaksanaan pidana mati dinyatakan selesai, apabila dokter sudah menyatakan bahwa tidak ada lagi tanda-tanda kehidupan pada terpidana; Selesai pelaksanaan penembakan, komandan regu penembak memerintahkan anggotanya untuk melepas magasin dan mengosongkan senjatanya; dan Komandan pelaksana melaporkan hasil penembakan kepada Jaksa Eksekutor dengan ucapan “PELAKSANAAN PIDANA MATI SELESAI”. Pengakhiran [6] Setelah pelaksanaan pidana mati selesai, komandan pelaksana memerintahkan komandan regu penembak membawa regu penembak keluar dari lokasi penembakan untuk konsolidasi; Jaksa Eksekutor memerintahkan komandan regu 2 dengan anggota regunya untuk membawa dan mengawal jenazah bersama tim medis menuju rumah sakit serta pengawalan sampai dengan proses pemakaman jenazah; Regu 1 mengumpulkan peralatan dan perlengkapan yang digunakan untuk pelaksanaan pidana mati dan membersihkan lokasi penembakan; dan Semua regu melaksanakan konsolidasi yang dipimpin oleh komandan regu masing-masing. Ketentuan Pidana Mati dalam KUHP Baru Sebagai tambahan informasi, KUHP baru yang dimuat dalam UU 1/2023 yang mulai berlaku 3 tahun terhitung sejak tanggal diundangkan, [7] yakni pada tahun 2026 mengatur pidana mati diancamkan secara alternatif sebagai upaya terakhir untuk mencegah dilakukannya tindak pidana dan mengayomi masyarakat. [8] Pidana mati dalam KUHP baru tidak terdapat dalam stelsel pidana pokok. Pidana mati ditentukan dalam pasal tersendiri untuk menunjukkan bahwa jenis pidana ini benar-benar bersifat khusus sebagai upaya terakhir untuk mengayomi masyarakat. Pidana mati adalah pidana yang paling berat dan harus selalu diancamkan secara altematif dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling lama 20 tahun . [9] Pidana mati ini dapat dilaksanakan setelah permohonan grasi bagi terpidana ditolak Presiden. [10] Hakim menjatuhkan pidana mati dengan masa percobaan selama 10 tahun dengan memperhatikan: [11] rasa penyesalan terdakwa dan ada harapan untuk memperbaiki diri; atau peran terdakwa dalam tindak pidana. Pidana mati dengan masa percobaan ini harus dicantumkan dalam putusan pengadilan. Tenggang waktu masa percobaan 10 tahun dimulai 1 hari setelah putusan pengadilan memperoleh kekuatan hukum tetap. [12] Jika terpidana selama masa percobaan menunjukkan sikap dan perbuatan yang terpuji, pidana mati dapat diubah menjadi pidana penjara seumur hidup dengan Keputusan Presiden setelah mendapatkan pertimbangan Mahkamah Agung. Pidana penjara seumur hidup akan dihitung sejak Keputusan Presiden ditetapkan. [13] Sebaliknya jika terpidana selama masa percobaan tidak menunjukkan sikap dan perbuatan yang terpuji serta tidak ada harapan untuk diperbaiki, pidana mati dapat dilaksanakan atas perintah Jaksa Agung. [14] Kemudian, patut pula Anda ketahui, jika permohonan grasi terpidana mati ditolak dan pidana mati tidak dilaksanakan selama 10 tahun sejak grasi ditolak bukan karena terpidana melarikan diri, pidana mati dapat diubah menjadi pidana penjara seumur hidup dengan Keputusan Presiden. [15] Demikian jawaban dari kami terkait hukuman mati di Indonesia sebagaimana ditanyakan, semoga bermanfaat. Dasar Hukum: Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ; Penetapan Presiden Nomor 2 Tahun 1964 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati yang Dijatuhkan oleh Pengadilan di Lingkungan Peradilan Umum dan Militer ; Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2010 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati . [1] Pasal 1 Penetapan Presiden Nomor 2 Tahun 1964 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati yang Dijatuhkan oleh Pengadilan di Lingkungan Peradilan Umum dan Militer (“Penpres 2/1964”) [2] Pasal 10 ayat (1) Penpres 2/1964 [3] Pasal 5 ayat (1) dan (2) jo. Pasal 6 ayat (1) dan (4) Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2010 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati (“Perkapolri 12/2010”) [4] Pasal 7, Pasal 8 ayat (1), dan Pasal 9 Perkapolri 12/2010 [5] Pasal 15 Perkapolri 12/2010 [6] Pasal 18 Perkapolri 12/2010 [7] Pasal 624 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“UU 1/2023”) [8] Pasal 98 UU 1/2023 [9] Penjelasan Pasal 98 UU 1/2023 [10] Pasal 99 ayat (1) UU 1/2023 [11] Pasal 100 ayat (1) UU 1/2023 [12] Pasal 100 ayat (2) dan (3) UU 1/2023 [13] Pasal 100 ayat (4) dan (5) UU 1/2023 [14] Pasal 100 ayat (6) UU 1/2023 [15] Pasal 101 UU 1/2023 TAGS eksekusi putusan kuhp kuhp baru pidana mati | {455: 'Dengan tidak mengurangi ketentuan-ketentuan hukum acara pidana yang ada tentang penjalanan putusan pengadilan, maka pelaksanaan pidana mati, yang dijatuhkan oleh pengadilan di lingkungan peradilan umum atau peradilan militer, dilakukan dengan ditembak sampai mati, menurut ketentuan-ketentuan dalam pasal-pasal berikut.', 456: '(1) Untuk pelaksanaan pidana mati Kepala Polisi Komisariat Daerah tersebut dalam pasal 3 ayat (1) membentuk sebuah regu Penembak yang terdiri dari seorang Bintara, dua belas orang Tamtama, di bawah pimpinan seorang Perwira, semuanya dari Brigade Mobile', 457: "['(1) persiapan sebagaimana dimaksud dalam pasal 4 huruf a dilakukan setelah adanya permintaan tertulis dari kejaksaan kepada kapolda, sesuai dengan daerah hukum pengadilan yang menjatuhkan putusan. pasal 2', '(2) setelah menerima permintaan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kapolda memerintahkan kepada kepala satuan brimob daerah (kasat brimobda) untuk menyiapkan pelaksanaan pidana mati.']", 458: 'pasal 7 pengorganisasian sebagaimana dimaksud dalam pasal 4 huruf b dalam pelaksanaan pidana mati terdiri dari: a. regu penembak; dan b. regu pendukung. regu penembak dan regu pendukung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berasal dari anggota brimob polri.', 459: 'pasal 15 pelaksanaan sebagaimana dimaksud dalam pasal 4 huruf c meliputi kegiatan sebagai berikut: pasal 13 a. terpidana diberikan pakaian yang bersih, sederhana, dan berwarna putih sebelum dibawa ke tempat atau lokasi pelaksanaan pidana mati; b. pada saat dibawa ke tempat atau lokasi pelaksanaan pidana mati, terpidana dapat didampingi oleh seorang rohaniawan; c. regu pendukung telah siap di tempat yang telah ditentukan, 2 (dua) jam sebelum waktu pelaksanaan pidana mati; d. regu penembak telah siap di lokasi pelaksanaan pidana mati, 1 (satu) jam sebelum pelaksanaan dan berkumpul di daerah persiapan; e. regu penembak mengatur posisi dan meletakkan 12 (dua belas) pucuk senjata api laras panjang di depan posisi tiang pelaksanaan pidana mati pada jarak 5 (lima) meter sampai dengan 10 (sepuluh) meter dan kembali ke daerah persiapan; f. komandan pelaksana melaporkan kesiapan regunya kepada jaksa eksekutor dengan ucapan ’’lapor, pelaksanaan pidana mati siap”; g. jaksa eksekutor mengadakan pemeriksaan terakhir terhadap terpidana mati dan persenjataan yang digunakan untuk pelaksanaan pidana mati; h. setelah pemeriksaan selesai, jaksa eksekutor kembali ke tempat semula dan memerintahkan kepada komandan pelaksana dengan ucapan ’’laksanakan” kemudian komandan pelaksana mengulangi dengan ucapan ’’laksanakan”; i. komandan pelaksana memerintahkan komandan regu penembak untuk mengisi amunisi dan mengunci senjata ke dalam 12 (dua belas) pucuk senjata api laras panjang dengan 3 (tiga) butir peluru tajam dan 9 (sembilan) butir peluru hampa yang masing-masing senjata api berisi 1 (satu) butir peluru, disaksikan oleh jaksa eksekutor; j. jaksa eksekutor memerintahkan komandan regu 2 dengan anggota regunya untuk membawa terpidana ke posisi penembakan dan melepaskan borgol lalu mengikat kedua tangan dan kaki terpidana ke tiang penyangga pelaksanaan pidana mati dengan posisi berdiri, duduk, atau berlutut, kecuali ditentukan lain oleh jaksa; k. terpidana diberi kesempatan terakhir untuk menenangkan diri paling lama 3 (tiga) menit dengan didampingi seorang rohaniawan; l. komandan regu 2 menutup mata terpidana dengan kain hitam, kecuali jika terpidana menolak; m. dokter memberi tanda berwarna hitam pada baju terpidana tepat pada posisi jantung sebagai sasaran penembakan, kemudian dokter dan regu 2 menjauhkan diri dari terpidana; n. komandan regu 2 melaporkan kepada jaksa eksekutor bahwa terpidana telah siap untuk dilaksanakan pidana mati; o. jaksa eksekutor memberikan tanda/isyarat kepada komandan pelaksana untuk segera dilaksanakan penembakan terhadap terpidana; p. komandan pelaksana memberikan tanda/isyarat kepada komandan regu penembak untuk membawa regu penembak mengambil posisi dan mengambil senjata dengan posisi depan senjata dan menghadap ke arah terpidana; q. komandan pelaksana mengambil tempat di samping kanan depan regu penembak dengan menghadap ke arah serong kiri regu penembak; dan mengambil sikap istirahat di tempat; u. v. y- bb. (1) pada saat komandan pelaksana mengambil sikap sempurna, regu penembak mengambil sikap salvo ke atas; komandan pelaksana menghunus pedang sebagai isyarat bagi regu penembak untuk membidik sasaran ke arah jantung terpidana; komandan pelaksana mengacungkan pedang ke depan setinggi dagu sebagai isyarat kepada regu penembak untuk membuka kunci senjata; komandan pelaksana menghentakkan pedang ke bawah pada posisi hormat pedang sebagai isyarat kepada regu penembak untuk melakukan penembakan secara serentak; setelah penembakan selesai, komandan pelaksana menyarungkan pedang sebagai isyarat kepada regu penembak mengambil sikap depan senjata; komandan pelaksana, jaksa eksekutor, dan dokter memeriksa kondisi terpidana dan apabila menurut dokter bahwa terpidana masih menunjukkan tanda-tanda kehidupan. jaksa eksekutor memerintahkan komandan pelaksana melakukan penembakan pengakhir; komandan pelaksana memerintahkan komandan regu penembak untuk melakukan penembakan pengakhir dengan menempelkan ujung laras senjata genggam pada pelipis terpidana tepat di atas telinga; penembakan pengakhir ini dapat diulangi, apabila menurut keterangan dokter masih ada tanda-tanda kehidupan; pelaksanaan pidana mati dinyatakan selesai, apabila dokter sudah menyatakan bahwa tidak ada lagi tanda-tanda kehidupan pada terpidana; selesai pelaksanaan penembakan. komandan regu penembak memerintahkan anggotanya untuk melepas magasin dan mengosongkan senjatanya; dan komandan pelaksana melaporkan hasil penembakan kepada jaksa eksekutor dengan ucapan ’’pelaksanaan pidana mati selesai”.', 460: 'pasal 18 pengakhiran sebagaimana dimaksud dalam pasal 4 huruf d dilakukan dengan kegiatan sebagai berikut: a. setelah pelaksanaan pidana mati selesai, komandan pelaksana memerintahkan komandan regu penembak membawa regu penembak keluar dari lokasi penembakan untuk konsolidasi; b. jaksa eksekutor memerintahkan komandan regu 2 dengan anggota regunya untuk membawa dan mengawal jenazah bersama tim medis menuju rumah sakit serta pengawalan sampai dengan proses pemakaman jenazah; c. regu 1 mengumpulkan peralatan dan perlengkapan yang digunakan untuk pelaksanaan pidana mati dan membersihkan lokasi penembakan; dan d. semua regu melaksanakan konsolidasi yang dipimpin oleh komandan regu masing-masing. bab iii peralatan dan perlengkapan', 4: 'Undang-Undang ini mulai berlaku setelah 3 (tiga) tahun terhitung sejak tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.', 461: 'pasal 98 pidana mati diancamkan secara alternatif sebagai upaya terakhir untuk mencegah dilakukannya tindak pidana dan mengayomi masyarakat.', 462: 'Pidana mati tidak terdapat dalam stelsel pidana pokok. Pidana mati ditentukan dalam pasal tersendiri untuk menunjukkan bahwa jenis pidana ini benar-benar bersifat khusus sebagai upaya terakhir untuk mengayomi masyarakat. Pidana mati adalah pidana yang paling berat dan harus selalu diancamkan secara alternatif dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun. Pidana mati dijatuhkan dengan masa percobaan, sehingga dalam tenggang waktu masa percobaan tersebut terpidana diharapkan dapat memperbaiki diri sehingga pidana mati tidak perlu dilaksanakan, dan dapat diganti dengan pidana penjara seumur hidup.', 463: "['(1) pidana mati dapat dilaksanakan setelah permohonan grasi bagi terpidana ditolak presiden.', '(2) pidana mati sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dilaksanakan di muka umum.', '(3) pidana mati dilaksanakan dengan menembak terpidana sampai mati oleh regu tembak atau dengan cara lain yang ditentukan dalam undang-undang. 26 / 260']", 464: "['(1) hakim menjatuhkan pidana mati dengan masa percobaan selama 10 (sepuluh) tahun dengan memperhatikan: a. rasa penyesalan terdakwa dan ada harapan untuk memperbaiki diri; atau b. peran terdakwa dalam tindak pidana.', '(2) pidana mati dengan masa percobaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dicantumkan dalam putusan pengadilan.', '(3) tenggang waktu masa percobaan 10 (sepuluh) tahun dimulai 1 (satu) hari setelah putusan pengadilan memperoleh kekuatan hukum tetap.', '(4) jika terpidana selama masa percobaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menunjukkan sikap dan perbuatan yang terpuji, pidana mati dapat diubah menjadi pidana penjara seumur hidup dengan keputusan presiden setelah mendapatkan pertimbangan mahkamah agung.', '(5) pidana penjara seumur hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dihitung sejak keputusan presiden ditetapkan.']", 465: "['(1) hakim menjatuhkan pidana mati dengan masa percobaan selama 10 (sepuluh) tahun dengan memperhatikan: a. rasa penyesalan terdakwa dan ada harapan untuk memperbaiki diri; atau b. peran terdakwa dalam tindak pidana.', '(2) pidana mati dengan masa percobaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dicantumkan dalam putusan pengadilan.', '(3) tenggang waktu masa percobaan 10 (sepuluh) tahun dimulai 1 (satu) hari setelah putusan pengadilan memperoleh kekuatan hukum tetap.', '(4) jika terpidana selama masa percobaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menunjukkan sikap dan perbuatan yang terpuji, pidana mati dapat diubah menjadi pidana penjara seumur hidup dengan keputusan presiden setelah mendapatkan pertimbangan mahkamah agung.', '(5) pidana penjara seumur hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dihitung sejak keputusan presiden ditetapkan.']", 466: "['(1) hakim menjatuhkan pidana mati dengan masa percobaan selama 10 (sepuluh) tahun dengan memperhatikan: a. rasa penyesalan terdakwa dan ada harapan untuk memperbaiki diri; atau b. peran terdakwa dalam tindak pidana.', '(2) pidana mati dengan masa percobaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dicantumkan dalam putusan pengadilan.', '(3) tenggang waktu masa percobaan 10 (sepuluh) tahun dimulai 1 (satu) hari setelah putusan pengadilan memperoleh kekuatan hukum tetap.', '(4) jika terpidana selama masa percobaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menunjukkan sikap dan perbuatan yang terpuji, pidana mati dapat diubah menjadi pidana penjara seumur hidup dengan keputusan presiden setelah mendapatkan pertimbangan mahkamah agung.', '(5) pidana penjara seumur hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dihitung sejak keputusan presiden ditetapkan.']", 467: "['(1) hakim menjatuhkan pidana mati dengan masa percobaan selama 10 (sepuluh) tahun dengan memperhatikan: a. rasa penyesalan terdakwa dan ada harapan untuk memperbaiki diri; atau b. peran terdakwa dalam tindak pidana.', '(2) pidana mati dengan masa percobaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dicantumkan dalam putusan pengadilan.', '(3) tenggang waktu masa percobaan 10 (sepuluh) tahun dimulai 1 (satu) hari setelah putusan pengadilan memperoleh kekuatan hukum tetap.', '(4) jika terpidana selama masa percobaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menunjukkan sikap dan perbuatan yang terpuji, pidana mati dapat diubah menjadi pidana penjara seumur hidup dengan keputusan presiden setelah mendapatkan pertimbangan mahkamah agung.', '(5) pidana penjara seumur hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dihitung sejak keputusan presiden ditetapkan.']", 468: 'pasal 101 jika permohonan grasi terpidana mati ditolak dan pidana mati tidak dilaksanakan selama 10 (sepuluh) tahun sejak grasi ditolak bukan karena terpidana melarikan diri, pidana mati dapat diubah menjadi pidana penjara seumur hidup dengan keputusan presiden.'} |
Apabila ada seseorang yang melakukan perbuatan cabul terhadap perempuan yang telah dewasa misalnya berusia 35 tahun, tetapi korban memiliki gangguan kejiwaan, yang mau saya tanyakan apakah ada aturan yang dapat menjerat pelaku tersebut? | ULASAN LENGKAP dari artikel dengan judul Sanksi Bagi yang Mencabuli Penderita Gangguan Mental yang dibuat oleh Tri Jata Ayu Pramesti, S.H. dan pertama kali dipublikasikan pada 17 Desember 2014. Artikel ini dibuat berdasarkan KUHP lama dan UU 1/2023 tentang KUHP yang diundangkan pada tanggal 2 Januari 2023. . Orang Dengan Gangguan Jiwa Sebelum menjawab pertanyaan Anda, perlu diketahui bahwa gangguan jiwa merupakan sindrom pola perilaku seseorang yang secara khas berkaitan dengan suatu gejala penderitaan ( distress ) atau hendaya ( impairment ) di dalam satu atau lebih fungsi yang penting dari manusia, seperti fungsi psikologi, perilaku, biologi, dan gangguan itu tidak hanya terletak di dalam hubungan antara orang itu tetapi juga dengan masyarakat. [1] Sedangkan, mengenai Orang Dengan Gangguan Jiwa (“ODGJ”) dapat ditemukan penjelasannya pada Pasal 1 angka 3 UU 18/2014 yang sudah dicabut dengan UU Kesehatan . ODGJ adalah orang yang mengalami gangguan dalam pikiran, perilaku dan perasaan yang termanifestasi dalam bentuk sekumpulan gejala dan/atau perubahan perilaku yang bermakna serta dapat menimbulkan penderitaan dan hambatan dalam menjalankan fungsi orang sebagai manusia. [2] : Penganiayaan ODGJ, Begini Jerat Hukumnya Tindak Pidana Pencabulan Menurut R. Soesilo pada bukunya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal (hal. 212) menjelaskan bahwa perbuatan cabul adalah segala perbuatan yang melanggar kesusilaan (kesopanan) atau perbuatan yang keji, semuanya itu dalam lingkungan nafsu birahi kelamin. Misalnya, cium-ciuman, meraba-raba anggota kemaluan, meraba-raba buah dada, persetubuhan dan sebagainya. Disarikan pada artikel Jerat Pidana Pasal Pelecehan Seksual dan Pembuktiannya , KUHP hanya mengenal istilah perbuatan cabul , yakni diatur dalam Pasal 289 sampai dengan Pasal 296 KUHP . Selain itu pada UU 1/2023 tentang KUHP baru yang mulai berlaku 3 tahun terhitung sejak tanggal diundangkan, [3] yakni pada tahun 2026, mengenai perbuatan cabul diatur dalam Pasal 414 sampai dengan Pasal 423 UU 1/2023 . Terdapat perbedaan antara pengaturan mengenai perbuatan cabul pada KUHP dan UU 1/2023. Pada Pasal 423 UU 1/2023 , menjelaskan tindak pidana sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 414 sampai dengan Pasal 422 merupakan tindak pidana kekerasan seksual. Artinya, pada UU 1/2023 mengenal istilah kekerasan seksual, tidak seperti KUHP yang hanya mengenal istilah perbuatan cabul. Hal pokok yang disampaikan dalam artikel tersebut juga adalah unsur penting dari pelecehan seksual yakni adanya ketidakinginan atau penolakan pada apapun bentuk-bentuk perhatian yang bersifat seksual . Mengenai seseorang yang melakukan perbuatan cabul terhadap ODGJ, maka ia dapat dijerat dengan Pasal 290 ayat (1) KUHP atau Pasal 415 huruf a UU 1/2023 yang berbunyi: KUHP UU 1/2023 Pasal 290 ayat (1) Diancam dengan pidana penjara paling lama 7 tahun: Barang siapa melakukan perbuatan cabul dengan seorang, padahal diketahuinya bahwa orang itu pingsan atau tidak berdaya ; Pasal 415 huruf a Dipidana dengan pidana penjara paling lama 9 tahun, setiap orang yang: Melakukan perbuatan cabul dengan seseorang yang diketahui orang tersebut pisang atau tidak berdaya ; Pasal 291 Jika tindak pidana tersebut mengakibatkan luka-luka berat, maka dijatuhkan pidana penjara paling lama 12 tahun. Sedangkan, jika mengakibatkan kematian dijatuhkan pidana penjara paling lama 15 tahun. Pasal 416 Jika tindak pidana tersebut mengakibatkan luka berat maka, dipidana penjara paling lama 12 tahun. Sedangkan, jika mengakibatkan kematian, dipidana penjara paling lama 15 tahun. [4] Pelecehan Seksual dalam UU TPKS Selain pada KUHP dan UU 1/2023, perbuatan pelecehan terhadap ODGJ juga diatur dalam UU TPKS . Berdasarkan Pasal 6 UU TPKS , setiap orang yang melakukan perbuatan seksual secara fisik yang ditujukan terhadap tubuh, keinginan seksual, dan/atau organ reproduksi dengan maksud merendahkan harkat dan martabat seseorang berdasarkan seksualitas dan/atau kesusilaannya yang tidak termasuk dalam ketentuan pidana lain yang lebih berat dengan pidana penjara paling lama 4 tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp50 juta. Selanjutnya perlu diketahui bahwa, ODGJ menurut UU TPKS termasuk kepada penyandang disabilitas. Seperti yang dijelaskan pada Pasal 1 angka 8 UU TPKS bahwa, penyandang disabilitas adalah setiap orang yang mengalami keterbatasan fisik, intelektual , mental , dan/atau sensorik dalam jangka waktu lama yang dalam berinteraksi dengan lingkungan dapat mengalami hambatan dan kesulitan untuk berpartisipasi secara penuh dan efektif dengan warga negara lainnya berdasarkan kesamaan hak. Oleh karena itu, terhadap pelecehan seksual yang dilakukan terhadap ODGJ pidananya ditambah 1/3, sebagaimana yang sudah dijelaskan pada Pasal 15 ayat (1) huruf h UU TPKS . Contoh Kasus Agar Anda lebih bisa memahami penjelasan kami di atas, perhatikan contoh kasus yang dapat kita temukan dalam Putusan PN Oelamasi No. 190/ Pid.b/2012/PN.Olm. Dalam putusan tersebut diketahui bahwa terdakwa mencabuli anak tirinya yang diketahui oleh terdakwa adalah orang dengan gangguan mental sejak kecil namun terdakwa tetap melakukannya karena terdakwa nafsu melihat kancing celana korban yang tidak tertutup. Terdakwa melakukannya untuk memuaskan nafsu birahinya dengan memasukan jarinya ke dalam kemaluan korban yang mana sudah dilakukan oleh terdakwa lebih dari satu kali (hal. 15). Dalam pertimbangannya, hakim mengatakan bahwa gangguan mental atau cacat mental dapat dikategorikan sebagai “tidak berdaya” dalam kemampuan akan pendekatan yang wajar secara fisik sebagaimana dalam keadaan sehat, tetapi tidak berdaya dalam akal budi sehingga terdakwa dapat dengan leluasa untuk melakukan perbuatannya (hal. 14). Pada amar putusan, terdakwa dihukum berdasarkan Pasal 290 ayat (1) KUHP. Ia terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “melakukan perbuatan cabul padahal diketahui bahwa orang itu tidak berdaya” dan dihukum pidana penjara selama tiga tahun (hal. 17). Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. Dasar Hukum: Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ; Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan ; Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ; Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual . Putusan: Putusan Pengadilan Negeri Oelamasi Nomor 190/ Pid.b/2012/PN.Olm. Referensi: Dewi Norma Palupi, et.al , Karakteristik Keluarga ODGJ dan Kepesertaan JKN Hubungannya dengan Tindakan Pencarian Pengobatan bagi ODGJ , Jurnal Kesehatan, Vol. 7, No. 2, 2019; R. Soesilo. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal . Sukabumi: Politeia, 1991. [1] Dewi Norma Palupi, et.al , Karakteristik Keluarga ODGJ dan Kepesertaan JKN Hubungannya dengan Tindakan Pencarian Pengobatan bagi ODGJ , Jurnal Kesehatan, Vol. 7, No. 2, 2019, hal. 82 [2] Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2014 tentang Kesehatan Jiwa [3] Pasal 624 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“UU 1/2023”) [4] Pasal 416 UU 1/2023 TAGS gangguan jiwa cabul seksual pelecehan | {469: 'Sebelum menjawab pertanyaan Anda, perlu diketahui bahwa gangguan jiwa merupakan sindrom pola perilaku seseorang yang secara khas berkaitan dengan suatu gejala penderitaan (distress) atau hendaya (impairment) di dalam satu atau lebih fungsi yang penting dari manusia, seperti fungsi psikologi, perilaku, biologi, dan gangguan itu tidak hanya terletak di dalam hubungan antara orang itu tetapi juga dengan masyarakat.', 470: 'pasal 1 dalam undang-undang ini yang dimaksud dengan: 1. kesehatan jiwa adalah kondisi dimana seorang individu dapat berkembang secara fisik, mental, spiritual, dan sosial sehingga individu tersebut menyadari kemampuan sendiri, dapat mengatasi tekanan, dapat bekerja secara produktif, dan mampu memberikan kontribusi untuk komunitasnya. 2. orang dengan masalah kejiwaan yang selanjutnya disingkat odmk adalah orang yang mempunyai masalah fisik, mental, sosial, pertumbuhan dan perkembangan, dan/atau kualitas hidup sehingga memiliki risiko mengalami gangguan jiwa. 3. orang dengan gangguan jiwa yang selanjutnya disingkat odgj adalah orang yang mengalami gangguan dalam pikiran, perilaku, dan perasaan yang termanifestasi dalam bentuk sekumpulan gejala dan/atau perubahan perilaku yang bermakna, serta dapat menimbulkan penderitaan dan hambatan dalam menjalankan fungsi orang sebagai manusia. 4. upaya . . . 4. upaya kesehatan jiwa adalah setiap kegiatan untuk mewujudkan derajat kesehatan jiwa yang optimal bagi setiap individu, keluarga, dan masyarakat dengan pendekatan promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif yang diselenggarakan secara menyeluruh, terpadu, dan berkesinambungan oleh pemerintah, pemerintah daerah, dan/atau masyarakat. 5. pemerintah pusat yang selanjutnya disebut pemerintah adalah presiden republik indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan negara republik indonesia sebagaimana dimaksud dalam undang-undang dasar negara republik indonesia tahun 1945. 6. pemerintah daerah adalah gubernur, bupati, atau walikota dan perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah. 7. menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kesehatan.', 4: 'Undang-Undang ini mulai berlaku setelah 3 (tiga) tahun terhitung sejak tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.', 471: "['(1) jika salah satu tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam pasal 414 dan pasal 415 mengakibatkan luka berat, dipidana dengan pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun.']"} |
Pasal 318 KUHP tentang apa? Apakah benar Pasal 318 KUHP mengatur tentang persangkaan palsu? Jika benar, apa bunyi Pasal 318 KUHP? | ULASAN LENGKAP Artikel ini dibuat berdasarkan KUHP lama dan UU 1/2023 tentang KUHP yang diundangkan pada tanggal 2 Januari 2023. . Isi Pasal 318 KUHP Tindak pidana persangkaan palsu diatur dalam Pasal 318 KUHP lama yang saat artikel ini diterbitkan masih berlaku, sebagai berikut: Barang siapa dengan sesuatu perbuatan sengaja menimbulkan secara palsu persangkaan terhadap seseorang bahwa dia melakukan suatu perbuatan pidana , diancam karena menimbulkan persangkaan palsu , dengan pidana penjara paling lama empat tahun. Pencabutan hak-hak berdasarkan pasal 35 No. 1 - 3 dapat dijatuhkan. Unsur-unsur Pasal 318 KUHP Bila dirinci, unsur-unsur Pasal 318 ayat (1) KUHP adalah: [1] Barang siapa , yaitu merupakan unsur tentang pelaku atau subjek tindak pidana. Kata “barang siapa” menunjukkan bahwa siapa saja dapat menjadi pelaku tindak pidana menimbulkan persangkaan palsu. [2] Dengan sengaja , yaitu unsur yang berkaitan dengan pertanggungjawaban pidana atau kesalahan. Suatu perbuatan dilakukan dengan sengaja jika perbuatan itu dilakukan dengan dikehendaki dan diketahui. [3] Melakukan suatu perbuatan/dengan suatu perbuatan , yakni di sini perbuatan atau tindakan itu sebenarnya sesuatu yang palsu atau tidak benar, yang ditujukan kepada seseorang tertentu sehingga karenanya seseorang tertentu itu akan disangka telah melakukan suatu perbuatan pidana (tindak pidana). [4] Menimbulkan secara palsu persangkaan terhadap seseorang , bahwa dia (seolah-olah) melakukan delik pidana . Pada unsur ini, harus dibuktikan bahwa perbuatan tindak pidana si pelaku memang dengan sengaja dimaksudkan untuk menimbulkan secara palsu persangkaan terhadap seseorang bahwa dia melakukan suatu perbuatan pidana. Sebagai contoh, harus dibuktikan misalnya bahwa perbuatan pelaku yang menempatkan barang curian ke dalam rumah seseorang memang disengaja untuk menimbulkan persangkaan bahwa si pemilik rumah adalah pencuri dari barang tersebut. [5] Adapun Pasal 318 ayat (2) KUHP mengatur mengenai pidana tambahan , yaitu dalam tindak pidana, maka pidana tambahan berupa pencabutan hak tertentu di Pasal 35 ayat (1) angka 1, 2, dan 3 KUHP dapat dijatuhkan. Hak-hak terpidana yang dapat dicabut antara lain: Pasal 35 ayat (1) Hak-hak terpidana yang dengan putusan hakim dapat dicabut dalam hal-hal yang ditentukan dalam kitab undang-undang ini, atau dalam aturan umum lainnya ialah: hak memegang jabatan pada umumnya atau jabatan yang tertentu; hak memasuki Angkatan Bersenjata; hak memilih dan dipilih dalam pemilihan yang diadakan berdasarkan aturan-aturan umum; Isi Pasal 438 UU 1/2023 Dalam UU 1/2023 tentang KUHP baru yang berlaku 3 tahun sejak tanggal diundangkan, [6] yaitu tahun 2026, persangkaan palsu diatur dalam Pasal 438 yaitu: Setiap Orang yang dengan suatu perbuatan menimbulkan persangkaan palsu terhadap orang lain bahwa orang tersebut melakukan suatu Tindak Pidana , dipidana karena menimbulkan persangkaan palsu , dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun 6 (enam) Bulan atau pidana denda paling banyak kategori IV. Adapun pidana denda paling banyak kategori IV adalah maksimal Rp200 juta. [7] Kemudian, tindak pidana dalam Pasal 438 UU 1/2023 terjadi jika seseorang dengan suatu perbuatan menimbulkan persangkaan bahwa orang lain melakukan tindak pidana, sedangkan persangkaan tersebut tidak benar, misalnya, A meletakkan jam tangan milik C di dalam laci B dengan maksud agar B dituduh mencuri jam tangan milik C. Hal ini sebagaimana dijelaskan dalam Penjelasan Pasal 438 UU 1/2023 . Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. Dasar Hukum : Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ; Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana . Referensi : Andi Hamzah. Delik-delik Tertentu (Speciale Delicten) di dalam KUHP . Jakarta: Sinar Grafika, 2015; Meivy Mentang (et.al). Tindak Pidana melakukan Perbuatan yang menimbulkan Persangkaan Seseorang yang melakukan Tindak Pidana menurut Pasal 318 Ayat (1) KUHP . Lex Crimen, Vol. 11, No. 3, 2022. [1] Andi Hamzah. Delik-delik Tertentu (Speciale Delicten) di dalam KUHP . Jakarta: Sinar Grafika, 2015, hal. 195 [2] Meivy Mentang (et.al). Tindak Pidana melakukan Perbuatan yang menimbulkan Persangkaan Seseorang yang melakukan Tindak Pidana menurut Pasal 318 Ayat (1) KUHP . Lex Crimen, Vol. 11, No. 3, 2022, hal. 4 [3] Meivy Mentang (et.al). Tindak Pidana melakukan Perbuatan yang menimbulkan Persangkaan Seseorang yang melakukan Tindak Pidana menurut Pasal 318 Ayat (1) KUHP . Lex Crimen, Vol. 11, No. 3, 2022, hal. 5 [4] Meivy Mentang (et.al). Tindak Pidana melakukan Perbuatan yang menimbulkan Persangkaan Seseorang yang melakukan Tindak Pidana menurut Pasal 318 Ayat (1) KUHP . Lex Crimen, Vol. 11, No. 3, 2022, hal. 5 [5] Meivy Mentang (et.al). Tindak Pidana melakukan Perbuatan yang menimbulkan Persangkaan Seseorang yang melakukan Tindak Pidana menurut Pasal 318 Ayat (1) KUHP . Lex Crimen, Vol. 11, No. 3, 2022, hal. 6 [6] Pasal 624 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“UU 1/2023”) [7] Pasal 79 ayat (1) huruf d UU 1/2023 TAGS kuhp potd | {472: 'unsur-unsur Pasal 318 ayat (1) KUHP adalah: Barang siapa, Dengan sengaja, Melakukan suatu perbuatan/dengan suatu perbuatan, Menimbulkan secara palsu persangkaan terhadap seseorang,', 473: 'Barang siapa, yaitu merupakan unsur tentang pelaku atau subjek tindak pidana. Kata “barang siapa” menunjukkan bahwa siapa saja dapat menjadi pelaku tindak pidana menimbulkan persangkaan palsu. Dengan sengaja, yaitu unsur yang berkaitan dengan pertanggungjawaban pidana atau kesalahan. Suatu perbuatan dilakukan dengan sengaja jika perbuatan itu dilakukan dengan dikehendaki dan diketahui. Melakukan suatu perbuatan/dengan suatu perbuatan, yakni di sini perbuatan atau tindakan itu sebenarnya sesuatu yang palsu atau tidak benar, yang ditujukan kepada seseorang tertentu sehingga karenanya seseorang tertentu itu akan disangka telah melakukan suatu perbuatan pidana (tindak pidana). ', 474: 'Artikel ini mengacu pada karya Meivy Mentang dkk. yang berjudul "Tindak Pidana Melakukan Perbuatan yang Menimbulkan Persangkaan Seseorang Melakukan Tindak Pidana Menurut Pasal 318 Ayat (1) KUHP". Artikel tersebut dimuat dalam jurnal Lex Crimen, volume 11, nomor 3 tahun 2022, halaman 5. Karya ini membahas secara spesifik unsur-unsur pasal 318 ayat (1) KUHP lama terkait tindak pidana persangkaan palsu, menganalisis setiap elemen perbuatan yang mengakibatkan timbulnya persangkaan palsu terhadap seseorang yang melakukan tindak pidana, dan mungkin juga membahas konsekuensi hukumnya. Kajian ini relevan dengan pembahasan pasal tersebut dalam konteks KUHP lama sebelum berlakunya UU 1/2023.', 475: 'Menimbulkan secara palsu persangkaan terhadap seseorang, bahwa dia (seolah-olah) melakukan delik pidana. Pada unsur ini, harus dibuktikan bahwa perbuatan tindak pidana si pelaku memang dengan sengaja dimaksudkan untuk menimbulkan secara palsu persangkaan terhadap seseorang bahwa dia melakukan suatu perbuatan pidana. Sebagai contoh, harus dibuktikan misalnya bahwa perbuatan pelaku yang menempatkan barang curian ke dalam rumah seseorang memang disengaja untuk menimbulkan persangkaan bahwa si pemilik rumah adalah pencuri dari barang tersebut.', 4: 'Undang-Undang ini mulai berlaku setelah 3 (tiga) tahun terhitung sejak tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.', 6: "['(1) pidana denda paling banyak ditetapkan berdasarkan: a. kategori i, rp1.000.000,00 (satu juta rupiah); b. kategori ii, rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah); c. kategori iii, rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah); d. kategori iv, rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah); e. kategori v, rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah); f. kategori vi, rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah); g. kategori vii, rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah); dan h. kategori viii, rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah).']"} |
Suami saya tersangkut kasus pencurian dengan pemberatan, ditahan di polsek lalu dititipkan di polres dalam keadaan sehat tanpa riwayat penyakit. Berjalan waktu beberapa hari di tahanan polres tiba-tiba suami dibawa ke UGD oleh polres dengan kondisi kritis. Sebelum meninggal dunia, suami berkata bahwa ia dianiaya di dalam sel oleh sesama tahanan. Namun, suami meninggal dunia satu hari setelah dibawa ke UGD. Semua biaya RS dibebankan kepada istri, sampai dengan biaya pemulangan jenazah.
Pertanyaan saya: | ULASAN LENGKAP Artikel ini dibuat berdasarkan KUHP lama dan UU 1/2023 tentang KUHP yang diundangkan pada tanggal 2 Januari 2023. . Jika Tahanan Meninggal pada Saat Menjalani Penahanan Polisi Terkait dengan kasus yang Anda sampaikan, pertama-tama kami akan menjelaskan mengenai definisi dari penahanan menurut Pasal 1 angka 21 KUHAP sebagai berikut: Penahanan adalah penempatan tersangka atau terdakwa di tempat tertentu oleh penyidik, atau penuntut umum atau hakim dengan penetapannya , dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini. Kemudian, tempat dilakukannya penahanan disebut dengan ruang tahanan Polri yaitu suatu tempat khusus yang digunakan untuk menahan seseorang sesuai dengan tindak pidana yang dipersangkakan kepadanya dalam proses peradilan. [1] Ruang tahanan Polri tersebut diperuntukkan bagi tahanan dalam proses penyidikan Polri dan titipan dari penegak hukum di luar Polri yang berwenang melakukan penahanan, yang berlokasi di: [2] Markas Besar Polri (Mabes Polri); Kepolisian Daerah (Polda); Kepolisian Resor (Polres); dan Kepolisian Sektor (Polsek). Adapun, yang dimaksud dengan tahanan adalah tersangka atau terdakwa yang ditempatkan pada ruang tahanan/rumah tahanan Polri. [3] Dalam menjalani proses penahanan, terkadang terdapat kondisi dimana tahanan meninggal sebelum adanya putusan hakim. Meninggalnya tahanan dapat disebabkan oleh beberapa hal, antara lain karena penyakit, bunuh diri, dan kekerasan. [4] Sementara itu, setiap tahanan yang meninggal dunia pada saat menjadi tahanan Polri seharusnya dimintakan visum et repertum sebagaimana diatur di dalam Pasal 16 ayat (3) Perkapolri 4/2015 yang berbunyi: Tahanan Polri yang meninggal dunia dimintakan visum et repertum dari dokter yang berwenang dan segera memberitahukan kepada keluarga Tahanan yang meninggal dunia . Kami mengasumsikan bahwa almarhum suami Anda belum dilakukan visum et repertum. Sehingga, menurut hemat kami, karena belum diketahui dengan jelas penyebab kematian suami Anda akibat tidak dilakukannya visum et repertum, maka keluarga harus membuat laporan Polisi atas adanya dugaan tindak pidana penganiayaan yang menyebabkan kematian dengan menggunakan Pasal 351 ayat (3) KUHP lama yang pada saat artikel ini diterbitkan masih berlaku atau Pasal 466 ayat (3) UU 1/2023 tentang KUHP baru yang berlaku 3 tahun sejak tanggal diundangkan [5] yaitu tahun 2026. Selengkapnya mengenai pasal penganiayaan dapat Anda simak dalam artikel Ini Bunyi Pasal 351 KUHP tentang Penganiayaan . Laporan polisi yang disampaikan oleh pihak keluarga tersebut, akan menjadi dasar bagi penyidik untuk melakukan penyidikan terhadap dugaan penganiayaan yang menyebabkan kematian suami Anda sebagai tahanan. Lalu, siapa yang berhak untuk membuat laporan polisi? Menurut Pasal 108 ayat (1) KUHAP dikatakan bahwa: Setiap orang yang mengalami, melihat, menyaksikan, dan atau menjadi korban peristiwa yang merupakan tindak pidana berhak untuk mengajukan laporan atau pengaduan kepada penyelidik atau penyidik baik lisan atau tertulis. Artinya, siapapun berhak untuk membuat laporan polisi, jika ia mengalami, melihat, menyaksikan dan atau menjadi korban tindak pidana. Autopsi terhadap Tahanan yang Meninggal Dunia Berdasarkan KBBI , autopsi adalah pemeriksaan mayat dengan jalan pembedahan untuk mengetahui penyebab kematian, penyakit, dan sebagainya; bedah mayat. Pasal 120 KUHAP menyebutkan bahwa dalam hal penyidik menganggap perlu, ia dapat meminta pendapat orang ahli atau orang yang memiliki keahlian khusus, dalam hal ini seperti visum ataupun autopsi. Ketentuan tersebut kemudian diperjelas dalam Pasal 133 KUHAP yakni guna kepentingan peradilan menangani seorang korban, baik luka, keracunan, ataupun mati yang diduga karena peristiwa tindak pidana , penyidik berwenang mengajukan permintaan keterangan ahli kepada ahli kedokteran kehakiman, atau dokter dan ahli lainnya . Lebih lanjut, dalam Pasal 156 ayat (2) UU Kesehatan dinyatakan bahwa dalam rangka melakukan pelayanan kedokteran untuk kepentingan hukum dapat dilakukan bedah mayat forensik sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan , pemeriksaan laboratorium, dan/atau autopsi virtual pascakematian. : Pengertian dan Dasar Hukum Autopsi Forensik di Indonesia Lantas, apakah proses autopsi harus atas izin keluarga korban? Memang sebaiknya proses autopsi dilakukan setelah memperoleh izin dari keluarga korban. Namun di dalam KUHAP tidak ada persyaratan yang menyatakan autopsi harus dilakukan seizin keluarga , karena sifatnya hanyalah pemberitahuan. Hal ini sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 134 ayat (1) KUHAP sebagai berikut: Dalam hal sangat diperlukan di mana untuk keperluan pembuktian bedah mayat tidak mungkin lagi dihindari, penyidik wajib memberitahukan terlebih dahulu kepada keluarga korban. Ketika keluarga merasa keberatan, maka penyidik diharuskan menerangkan sejelas-jelasnya maksud dan tujuan pembedahan (autopsi) tersebut. [6] Jika dalam waktu dua hari keluarga tidak memberi tanggapan atau pihak yang perlu diberitahu tidak ditemukan, maka penyidik harus segera mengirimkan mayat kepada dokter untuk dilakukan autopsi. [7] Siapa yang Berhak Memberikan Persetujuan Autopsi? Berkaitan dengan orang tua suami Anda yang dibujuk polisi untuk menolak melakukan autopsi, sedangkan Anda menginginkan agar dilakukan autopsi, maka kita harus melihat sejauh mana orang tua dan istri dapat melakukan tindakan hukum untuk meminta atau menolak autopsi tersebut. Jika berangkat dari Pasal 45 UU Perkawinan dikatakan bahwa kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka sebaik-baiknya. Namun, kewajiban orang tua tersebut berlaku sampai anak itu kawin atau dapat berdiri sendiri. Lebih lanjut, dalam Pasal 31 ayat (1) dan (2) UU Perkawinan diatur bahwa hak dan kedudukan istri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam masyarakat. Masing-masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan hukum . Berdasarkan ketentuan di atas, kami berpendapat bahwa Anda selaku istri dapat melakukan suatu perbuatan hukum. Adapun, yang dimaksud dengan perbuatan hukum adalah setiap perbuatan manusia yang dilakukan dengan sengaja untuk menimbulkan hak dan kewajiban . Perbuatan hukum adalah setiap perbuatan subjek hukum (manusia atau badan hukum) yang akibatnya diatur oleh hukum, karena akibat itu bisa dianggap sebagai kehendak dari yang melakukan hukum . [8] Dengan demikian, menurut hemat kami, seharusnya Anda sebagai istri korbanlah yang berhak untuk melakukan perbuatan hukum dalam hal meminta atau menolak dilakukannya autopsi agar dapat diketahui dengan jelas fakta penyebab kematian suami Anda. Namun, dalam hal ini masih terbuka upaya untuk mengetahui penyebab kematian suami Anda dengan melakukan upaya hukum membuat laporan Polisi sesuai dengan yang telah dijelaskan sebelumnya. Selanjutnya, berkaitan dengan polisi yang membujuk orang tua suami Anda untuk tidak melakukan autopsi dan segera dilakukan penguburan jenazah merupakan tindakan yang tidak profesional . Sebab, autopsi merupakan prosedur yang diperlukan apabila ada tahanan yang meninggal agar diketahui penyebab kematian dengan jelas. Dalam hal ini, apabila terdapat oknum polisi yang membujuk orang tua suami Anda untuk tidak melakukan autopsi, maka Anda dapat mengadukan tindakan tidak profesional oknum polisi tersebut kepada Propam Polri. Anda dapat mengajukan aduan secara online melalui laman Pengaduan Propam Polri atau bisa melalui aplikasi PROPAM PRESISI . Perkaya riset hukum Anda dengan analisis hukum terbaru dwibahasa, serta koleksi terjemahan peraturan yang terintegrasi dalam Hukumonline Pro, pelajari lebih lanjut di sini . Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. Dasar Hukum : Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ; Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan ; Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana ; Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ; Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan ; Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2015 tentang Perawatan Tahanan di Lingkungan Kepolisian Negara Republik Indonesia . Referensi : Albert Wirya. Mati Di Bui Pembelajaran Bagi Sistem Pemasyarakatan. Jakarta Selatan: Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat, 2018; Soeroso. Pengantar Ilmu Hukum . Jakarta: Sinar Grafika, 2011; Autopsi , yang diakses pada Selasa, 2 Juni 2024, pukul 10.41 WIB; Pengaduan Propam Polri , yang diakses pada Selasa, 2 Juni 2024, pukul 12.41 WIB; PROPAM PRESISI , yang diakses pada Selasa, 2 Juni 2024, pukul 12.45 WIB. [1] Pasal 1 angka 4 Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2015 tentang Perawatan Tahanan di Lingkungan Kepolisian Negara Republik Indonesia (“Perkapolri 4/2015”) [2] Pasal 4 ayat (2) dan (3) Perkapolri 4/2015 [3] Pasal 1 angka 2 Perkapolri 4/2015 [4] Albert Wirya. Mati di Bui Pembelajaran Bagi Sistem Pemasyarakatan. Jakarta Selatan: Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat, 2018, hal. 10. [5] Pasal 624 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana [6] Pasal 134 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (“KUHAP”) [7] Pasal 134 ayat (3) KUHAP [8] R. Soeroso. Pengantar Ilmu Hukum . Jakarta: Sinar Grafika, 2011, hal. 291 TAGS rumah tahanan tahanan tersangka | {476: 'pasal 1 dalam peraturan ini yang dimaksud dengan: 1. kepolisian negara republik indonesia yang selanjutnya disingkat polri adalah alat negara yang berperan dalam memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, serta memberikan perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka terpeliharanya keamanan dalam negeri. 2. tahanan adalah tersangka atau terdakwa yang ditempatkan pada ruang tahanan/rumah tahanan polri. 3. perawatan tahanan adalah proses pelayanan tahanan yang dilaksanakan mulai penerimaan sampai dengan pengeluaran tahanan. 4. ruang tahanan pada kantor polri yang selanjutnya disebut ruang tahanan polri adalah suatu tempat khusus yang digunakan untuk menahan seseorang sesuai dengan tindak pidana yang dipersangkakan kepadanya dalam proses peradilan. 5. peminjaman atau bon tahanan adalah surat permintaan yang diajukan oleh pejabat yang berwenang kepada penyidik untuk melaksanakan proses penyidikan. 6. pengeluaran tahanan adalah keluarnya tahanan dari ruang tahanan karena kepentingan proses peradilan, berubah status, pindah ke tempat penahanan lain atau kepentingan pribadi tahanan. 7. petugas jaga tahanan yang selanjutnya disebut petugas jaga adalah anggota polri yang ditugaskan untuk melaksanakan penjagaan tahanan pada ruang tahanan polri.', 477: "['(1) perawatan tahanan dilaksanakan terhadap tahanan yang berada di ruang tahanan polri.', '(2) ruang tahanan polri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlokasi di: a. markas besar polri (mabes polri); b. kepolisian daerah (polda); c. kepolisian resor (polres); dan d. kepolisian sektor (polsek).']", 478: 'pasal 1 dalam peraturan ini yang dimaksud dengan: 1. kepolisian negara republik indonesia yang selanjutnya disingkat polri adalah alat negara yang berperan dalam memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, serta memberikan perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka terpeliharanya keamanan dalam negeri. 2. tahanan adalah tersangka atau terdakwa yang ditempatkan pada ruang tahanan/rumah tahanan polri. 3. perawatan tahanan adalah proses pelayanan tahanan yang dilaksanakan mulai penerimaan sampai dengan pengeluaran tahanan. 4. ruang tahanan pada kantor polri yang selanjutnya disebut ruang tahanan polri adalah suatu tempat khusus yang digunakan untuk menahan seseorang sesuai dengan tindak pidana yang dipersangkakan kepadanya dalam proses peradilan. 5. peminjaman atau bon tahanan adalah surat permintaan yang diajukan oleh pejabat yang berwenang kepada penyidik untuk melaksanakan proses penyidikan. 6. pengeluaran tahanan adalah keluarnya tahanan dari ruang tahanan karena kepentingan proses peradilan, berubah status, pindah ke tempat penahanan lain atau kepentingan pribadi tahanan. 7. petugas jaga tahanan yang selanjutnya disebut petugas jaga adalah anggota polri yang ditugaskan untuk melaksanakan penjagaan tahanan pada ruang tahanan polri.', 479: 'data menunjukkan bahwa penyebab umum Meninggalnya tahanan adalah beberapa hal, antara lain karena penyakit, bunuh diri, dan kekerasan. ;; menurut R. Soeroso dalam bukunya Pengantar Ilmu Hukum tahun 2011 Perbuatan hukum adalah setiap perbuatan subjek hukum (manusia atau badan hukum) yang akibatnya diatur oleh hukum, karena akibat itu bisa dianggap sebagai kehendak dari yang melakukan hukum', 20: 'Undang-Undang ini mulai berlaku setelah 3 (tiga) tahun terhitung sejak tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.', 480: "['(1) dalam hal sangat diperlukan di mana untuk keperluan pembuktian bedah mayat tidak mungkin lagi dihindari, penyidik wajib memberitahukan terlebih dahulu kepada keluarga korban.', '(2) dalam hal keluarga keberatan, penyidik wajib menerangkan dengan sejelas-jelasnya tentang maksud dan tujuan perlu dilakukannya pembedahan tersebut.']", 481: "['(1) dalam hal sangat diperlukan di mana untuk keperluan pembuktian bedah mayat tidak mungkin lagi dihindari, penyidik wajib memberitahukan terlebih dahulu kepada keluarga korban.', '(2) dalam hal keluarga keberatan, penyidik wajib menerangkan dengan sejelas-jelasnya tentang maksud dan tujuan perlu dilakukannya pembedahan tersebut.']", 482: 'Perbuatan hukum adalah setiap perbuatan subjek hukum (manusia atau badan hukum) yang akibatnya diatur oleh hukum, karena akibat itu bisa dianggap sebagai kehendak dari yang melakukan hukum.'} |
Apakah berkas perkara bisa P-21 untuk tindak pidana penadahan sepeda motor jika pencurinya belum diketahui? | ULASAN LENGKAP dari artikel dengan judul Masalah Pembuktian Tindak Pidana Penadahan yang dibuat oleh Elida Damaiyanti Napitupulu, S.H. dan pertama kali dipublikasikan pada 1 Mei 2013. Artikel ini dibuat berdasarkan KUHP lama dan UU 1/2023 tentang KUHP yang diundangkan pada tanggal 2 Januari 2023. . Pertama-tama, kami akan membahas mengenai apa yang dimaksud dengan P-21. Berdasarkan Butir A angka 7 Keputusan Jaksa Agung Kep-132/JA/11/1994 , P-21 merupakan formulir pemberitahuan bahwa hasil penyidikan sudah lengkap . Ketentuan mengenai P-21 ini tersirat di dalam Pasal 8 ayat (3) huruf b KUHAP yang menyatakan bahwa dalam hal penyidikan sudah dianggap selesai , penyidik menyerahkan tanggung jawab atas tersangka dan barang bukti kepada penuntut umum. Tindak Pidana Penadahan Selanjutnya, aturan tindak pidana penadahan adalah KUHP lama yang pada saat artikel ini diterbitkan masih berlaku dan UU 1/2023 tentang KUHP baru yang baru berlaku 3 tahun sejak tanggal diundangkan, [1] yaitu tahun 2026, dalam Pasal 480 dan Pasal 591 sebagai berikut: Pasal 480 KUHP Pasal 591 UU 1/2023 Diancam dengan pidana penjara paling lama tahun atau pidana denda paling banyak Rp900 ribu: [2] barang siapa membeli, menyewa, menukar, menerima gadai, menerima hadiah, atau untuk menarik keuntungan, menjual, menyewakan, menukarkan, menggadaikan, mengangkut, meyimpan atau menyembunyikan sesuatu benda, yang diketahui atau sepatutnya harus diduga bahwa diperoleh dari kejahatan penadahan; barang siapa menarik keuntungan dari hasil sesuatu benda, yang diketahuinya atau sepatutnya harus diduga bahwa diperoleh dari kejahatan. Dipidana karena penadahan dengan pidana penjara paling lama 4 tahun atau pidana denda paling banyak kategori V yaitu Rp500 juta, [3] Setiap orang yang: membeli, menawarkan, menyewa, menukarkan, menerima jaminan atau gadai, menerima hadiah atau untuk menarik keuntungan, menjual, menyewakan, menukarkan, menggadaikan, mengangkut, menyimpan atau menyembunyikan suatu benda yang diketahui atau patut diduga bahwa benda tersebut diperoleh dari tindak pidana; atau menarik keuntungan dari hasil suatu benda, yang diketahui atau patut diduga bahwa benda tersebut diperoleh dari tindak pidana. Adapun, unsur objektif dan subjektif dari Pasal 480 KUHP menurut P .A.F. Lamintang dan C. Djisman Samosir dalam buku Delik-Delik Khusus Kejahatan yang Ditujukan Terhadap Hak Milik dan Lain-Lain Hak yang Timbul dari Hak Milik (hal. 328-329), yaitu: Unsur o bjektif Membeli, menyewa, menukar, menerima gadai, menerima hadiah; Untuk menarik keuntungan, menjual, menyewakan, menukarkan, menggadaikan, mengangkut, menyimpan, atau menyembunyikan; Suatu benda, yang diperoleh dari kejahatan; dan Unsur s ubjektif yang diketahui; dan yang sepatutnya harus diduga. Berdasarkan penjelasan di atas, maka seseorang dapat disangka melakukan tindak pidana penadahan jika memang barang yang dibeli atau diperoleh dari orang lain merupakan hasil kejahatan, sehingga dalam hal ini pembeli dianggap telah mengetahui atau patut menduga bahwa barang yang dijual dengan harga yang tidak wajar adalah barang yang berasal dari hasil kejahatan seperti pencurian. Selengkapnya mengenai unsur-unsur dalam tindak pidana penadahan dapat Anda simak dalam artikel Pasal 480 KUHP tentang Penadahan . Adapun, terkait dengan tindak pidana pencurian sebagaimana Anda sebutkan dapat disimak dalam artikel Ini Bunyi Pasal 362 KUHP Tentang Pencurian . Dengan demikian, berdasarkan penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa tindak pidana penadahan dan pencurian merupakan tindak pidana yang berbeda yang dimana deliknya berdiri sendiri-sendiri serta diatur dalam pasal dan unsur yang berbeda juga. Bisakah Perkara Penadahan P-21 Jika Pencurinya Tidak Diketahui? Pertanyaan lebih lanjut, apakah berkas perkara tindak pidana penadahan bisa P-21 jika pencurinya belum diketahui? Jika dicermati, dalam Pasal 480 KUHP maupun Pasal 591 UU 1/2023 tentang tindak pidana penadahan tidak tercantum ketentuan bahwa pelaku pencurian harus ditangkap terlebih dahulu dari pelaku penadahan. Pasal penadahan hanya menjelaskan bahwa unsur-unsur tindak pidana penadahan harus dipenuhi dan dibuktikan untuk menetapkan seseorang menjadi tersangka penadahan. Selanjutnya, pelaku penadahan dapat ditangkap terlebih dahulu dari pelaku pencurian oleh penyidik jika memang sudah ada laporan polisi serta sudah memiliki bukti permulaan yang cukup untuk menetapkan seseorang sebagai pelaku tindak pidana penadahan. Jawaban atas pertanyaan Anda juga dapat kita temukan dalam Yurisprudensi Mahkamah Agung, yaitu dalam Putusan MA No. 79 K/Kr/1958, dan Putusan MA No. 126 K/Kr/1969 , yang selengkapnya menyatakan: Tidak ada peraturan yang mengharuskan untuk lebih dahulu menuntut dan menghukum orang yang mencuri sebelum menuntut dan menghukum orang yang menadah. Pemeriksaan tindak pidana penadahan tidak perlu menunggu adanya keputusan mengenai tindak pidana yang menghasilkan barang-barang tadahan yang bersangkutan. Berdasarkan hal tersebut, maka penyidik tidak wajib mencari atau mengetahui pelaku pencurian terlebih dahulu agar berkas perkara penadahan dapat dinyatakan lengkap (P-21) oleh penuntut umum untuk selanjutnya dilimpahkan ke pengadilan agar disidangkan. Akan tetapi, sebagai negara hukum yang menjunjung tinggi hukum, keadilan, dan persamaan setiap orang di hadapan hukum ( equality before the law ) alangkah baiknya juga jika pelaku pencurian dapat ditangkap dan diproses hukum. Jika keberadaan terduga pelaku pencurian tidak diketahui, baik oleh si penadah maupun polisi dikarenakan melarikan diri, sedangkan berdasarkan bukti permulaan yang cukup telah ditetapkan sebagai tersangka, maka nantinya pelaku pencurian tersebut tetap akan diproses oleh penegak hukum. Polisi akan mengeluarkan penetapan status Daftar Pencarian Orang (DPO) bagi tersangka untuk mempermudah mencari keberadaannya. Berdasarkan uraian kami di atas, dapat disimpulkan bahwa perkara pidana penadahan dapat dinyatakan P-21 atau berkas perkaranya lengkap oleh penuntut umum tanpa harus menangkap atau mengetahui terlebih dahulu pelaku pencurian barang tersebut. Perkaya riset hukum Anda dengan analisis hukum terbaru dwibahasa, serta koleksi terjemahan peraturan yang terintegrasi dalam Hukumonline Pro, pelajari lebih lanjut di sini . Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. Dasar Hukum: Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ; Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana ; Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ; Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2012 tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda dalam KUHP ; Keputusan Jaksa Agung Nomor 132/JA/11/1994 tentang Administrasi Perkara Tindak Pidana yang telah diubah dengan Keputusan Jaksa Agung Nomor 518/A/J.A/11/2001 tentang Perubahan Keputusan Jaksa Agung Nomor 132/JA/11/1994 tentang Administrasi Perkara Tindak Pidana . Putusan : Putusan Mahkamah Agung Nomor: 79 K/Kr/1958, tanggal, 9 Juli 1958; Putusan Mahkamah Agung Nomor: 126 K/Kr/1969 tanggal, 29 November 1972. Referensi: P.A.F. Lamintang dan C. Djisman Samosir. Delik-Delik Khusus Kejahatan yang Ditujukan Terhadap Hak Milik dan Lain-Lain Hak yang Timbul dari Hak Milik . Bandung: Nuansa Aulia, 1990. [1] Pasal 624 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“UU 1/2023”) [2] Pasal 3 Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2012 tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda dalam KUHP denda dilipatgandakan menjadi 1000 kali [3] Pasal 79 ayat (1) huruf e UU 1/2023 TAGS tindak pidana penadahan kuhp | {4: 'Undang-Undang ini mulai berlaku setelah 3 (tiga) tahun terhitung sejak tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.', 495: 'Tiap jumlah maksimum hukuman denda yang diancamkan dalam KUHPkecuali pasal 303 ayat 1 dan ayat 2, 303 bis ayat 1 dan ayat 2, dilipatgandakan menjadi 1.000 (seribu) kall,', 7: "['(1) pidana denda paling banyak ditetapkan berdasarkan: a. kategori i, rp1.000.000,00 (satu juta rupiah); b. kategori ii, rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah); c. kategori iii, rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah); d. kategori iv, rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah); e. kategori v, rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah); f. kategori vi, rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah); g. kategori vii, rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah); dan h. kategori viii, rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah).']"} |
Saya memberikan hadiah cendera mata kepada seorang kawan berupa sebuah pisau belati dengan tujuan sebagai koleksi. Namun, kawan saya mengancam akan bunuh diri menggunakan pisau hadiah cendera mata tersebut. Apakah saya bisa dituntut hukuman jika terjadi kasus bunuh diri? Mohon penjelasannya. Terima kasih. | ULASAN LENGKAP dari artikel dengan judul sama yang dibuat oleh Eko Ardiansyah Pandiangan, S.H. dari Lembaga Bantuan Hukum Mawar Saron dan pertama kali dipublikasikan pada 7 Juli 2020. Artikel ini dibuat berdasarkan KUHP lama dan UU 1/2023 tentang KUHP yang diundangkan pada tanggal 2 Januari 2023. . Kesalahan dalam Pertanggungjawaban Pidana Sebelum menjawab inti pertanyaan Anda, sebaiknya kita pahami terlebih dahulu mengenai pertanggungjawaban pidana. Menurut Albert Aries pada buku Hukum Pidana Indonesia Menurut KUHP Lama & KUHP Baru Dilengkapi dengan Asas, Yurisprudensi & Postulat Lain (hal.135), makna dari pertanggungjawaban pidana (criminal responsibility) adalah seseorang tidak dapat dianggap sebagai pelaku tindak pidana hanya berdasarkan perbuatan yang dilakukan seseorang, namun juga melihat bagaimana sikap batin dari pelaku yang pada faktor perbuatan ( actus reus ). Dalam arti lain, pertanggungjawaban pidana adalah suatu mekanisme untuk menentukan apakah seseorang terdakwa atau tersangka dipertanggungjawabkan atas suatu tindakan pidana yang terjadi atau tidak. : Memahami Pertanggungjawaban Pidana dalam KUHP Baru Perbuatan agar dapat dipertanggungjawabkan secara pidana, harus mengandung unsur kesalahan . Kesalahan tersebut terdiri dari dua jenis yaitu kesengajaan (opzet) dan kelalaian (culpa). Selengkapnya mengenai kesengajaan dan kelalaian dapat Anda baca pada Perbedaan ‘Sengaja’ dan ‘Tidak Sengaja’ dalam Hukum Pidana . Lantas, jika Anda memberikan hadiah pisau kepada seseorang dengan tujuan koleksi atau cendera mata, dan orang tersebut bunuh diri dengan pisau, apakah Anda dapat dipidana? Perbuatan Menolong/Memberi Sarana Orang Lain untuk Bunuh Diri Pada dasarnya, pasal yang mengatur perbuatan menolong/memberi sarana orang lain bunuh bunuh diri dapat Anda temukan di Pasal 345 KUHP lama yang saat artikel ini diterbitkan masih berlaku, dan Pasal 462 UU 1/2023 tentang KUHP baru yang berlaku 3 tahun sejak tanggal diundangkan, [1] yaitu pada tahun 2026, sebagai berikut: Pasal 345 KUHP Pasal 462 UU 1/2023 Barang siapa sengaja mendorong orang lain untuk bunuh diri, menolongnya dalam perbuatan itu atau memberi sarana kepadanya untuk itu, diancam dengan pidana penjara paling lama 4 tahun kalau orang itu jadi bunuh diri . Setiap orang yang mendorong, membantu, atau memberi sarana kepada orang lain untuk bunuh diri dan orang tersebut mati karena bunuh diri , dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 tahun. Terkait Pasal 345 KUHP, R.Soesilo dalam bukunya Kitab Undang-Undang hukum Pidana Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal demi Pasal (hal.243), menjelaskan bahwa orang yang bunuh diri tidak diancam hukuman , akan tetapi orang yang sengaja menghasut menolong orang lain untuk bunuh diri dapat dikenakan Pasal 345 KUHP . Untuk dijerat pasal ini, orang yang bunuh diri tersebut harus benar-benar mati , jika tidak atau hanya percobaan, maka orang yang menghasut tersebut tidak dapat dihukum . Sebagai contoh, dalam buku yang sama, R. Soesilo menjelaskan bahwa penjual obat yang menjual obat atau orang yang memberikan tali kepada orang dengan tidak mengetahui , bahwa orang itu akan bunuh diri , tidak dapat dikenakan Pasal 345 KUHP . Hal ini karena pertolongan itu diberikan tidak dengan sengaja. Lebih lanjut, menurut Andi Hamzah dalam buku Delik-Delik Tertentu (Speciale Delicten) di dalam KUHP , unsur Pasal 345 KUHP adalah (hal. 57-58): Subjek ( normadressaat ) barang siapa; dan Bagian inti delik ( delicts bestanddelen ); sengaja; mendorong orang lain untuk membunuh diri, menolongnya dalam perbuatan itu atau memberi sarana untuk itu; dan orang itu jadi bunuh diri. Hal ini pun selaras dengan Penjelasan Pasal 462 UU 1/2023 yang menjelaskan bahwa apabila orang yang didorong, dibantu, atau diberi sarana untuk bunuh diri tidak mati , orang yang mendorong, membantu, atau memberi sarana tersebut, tidak dijatuhi pidana . Alasannya karena pertimbangan bunuh diri bukan merupakan suatu tindak pidana. Oleh karena itu, percobaan untuk melakukan bunuh diri juga tidak diancam dengan pidana . : Hukumnya Membantu Orang Lain Bunuh Diri Berdasarkan pengertian pertanggungjawaban pidana serta ketentuan Pasal 345 KUHP dan Pasal 462 UU 1/2023, maka Anda tidak dapat dituntut secara hukum karena pemberian pisau belati kepada teman Anda untuk koleksi atau cendera mata . Dengan kata lain, tujuan Anda memberikannya bukan untuk dipakai bunuh diri atau memberikan sarana kepada teman Anda untuk bunuh diri . Hal ini sejalan juga dengan adagium hukum yang menyatakan " Actus non facit reum, nisi mens sit rea" yang artinya "perbuatan tidak membuat orang bersalah, kecuali jika terdapat sikap batin yang jahat". [2] Oleh karena Anda memberikan pisau untuk tujuan koleksi atau cendera mata atas hubungan pertemanan Anda, maka niat jahat atau kesengajaan untuk memfasilitasi orang untuk bunuh diri tidak terpenuhi. Namun jika pisau tersebut Anda berikan kepada teman Anda atas pengetahuan Anda untuk digunakan sebagai alat bunuh diri , maka berdasarkan Pasal 345 KUHP atau Pasal 462 UU 1/2023, Anda dapat dimintai pertanggungjawaban pidana . Atas kasus yang terjadi, kami menyarankan Anda untuk melaporkan kepada orang terdekat teman Anda yang ingin bunuh diri atas keinginannya tersebut, agar dapat diberikan masukan yang positif ataupun mencegah agar hal-hal yang tidak diinginkan (bunuh diri) terjadi. Atau Anda dapat melaporkan kepada Hotline Bunuh Diri di Indonesia , melalui nomor telepon 119 . Dengan demikian, 119 dapat digunakan jika seseorang sudah mencoba melakukan bunuh diri atau situasi lain yang mengancam keselamatan nyawa seseorang. Demikian jawaban kami, semoga bermanfaat. Dasar Hukum : Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ; Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana . Referensi : Albert Aries. Hukum Pidana Indonesia Menurut KUHP Lama & KUHP Baru Dilengkapi dengan Asas, Yurisprudensi & Postulat Latin . Depok: RajaGrafindo Persada, 2024; Andi Hamzah. Delik-Delik Tertentu (Speciale Delicten) di dalam KUHP . Edisi Kedua. Cetakan Pertama. Jakarta: Sinar Grafika, 2015; R. Soesilo. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal. Sukabumi: Politeia, 1991; Septa Candra. Pembaharuan Hukum Pidana: Konsep Pertanggungjawaban Pidana dalam Hukum Pidana Nasional yang akan Datang . Jurnal Cita Hukum, Vol. 1, No. 1, Juni, 2013; Hotline Bunuh Diri di Indonesia , yang diakses pada Jumat, 28 Juni 2024, pukul 13.00 WIB. [1] Pasal 624 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana [2] Septa Candra. Pembaharuan Hukum Pidana: Konsep Pertanggungjawaban Pidana dalam Hukum Pidana Nasional yang akan Datang . Jurnal Cita Hukum, Vol. 1, No. 1, Juni, 2013, hal. 43 TAGS hukum pidana kuhp bunuh diri kelalaian kesalahan | {20: 'Undang-Undang ini mulai berlaku setelah 3 (tiga) tahun terhitung sejak tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.', 496: 'Hal ini sejalan juga dengan adagium hukum yang menyatakan "Actus non facit reum, nisi mens sit rea" yang artinya "perbuatan tidak membuat orang bersalah, kecuali jika terdapat sikap batin yang jahat".'} |
Apa isi Pasal 292 KUHP? Pasal 292 KUHP tentang apa? Apakah benar Pasal 292 KUHP mengatur tentang larangan homoseksual? | ULASAN LENGKAP Artikel ini dibuat berdasarkan KUHP lama dan UU 1/2023 tentang KUHP yang diundangkan pada tanggal 2 Januari 2023. . Apa itu Homoseksual? Sebelum menjawab pertanyaan Anda, sebaiknya kita pahami terlebih dahulu apa yang dimaksud dengan homoseksual. Pada dasarnya, homoseksual dikatakan sebagai suatu bentuk perilaku seksual yang menyimpang, ditandai dengan adanya ketertarikan perasaan secara emosional dan atau secara erotik terhadap sesama jenis . [1] Secara umum, penggunaan istilah “homoseks” lebih menuju pada ketertarikan secara seksual antara sesama jenis laki-laki ( gay ). Sedangkan, perempuan yang memiliki ketertarikan fisik, romantis, dan/atau emosional kepada perempuan lainnya disebut dengan istilah lesbian . [2] Isi Pasal 292 KUHP Ketentuan mengenai ancaman pidana bagi pelaku homoseks diatur dalam Pasal 292 KUHP lama yang saat artikel ini diterbitkan masih berlaku, sebagai berikut: Orang dewasa yang melakukan perbuatan cabul dengan orang lain sesama kelamin , yang diketahuinya atau sepatutnya harus diduganya belum dewasa , diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun. Dari bunyi Pasal 292 KUHP di atas, ketentuan tersebut tidak secara tegas melarang perbuatan homoseksual yang dilakukan antar orang dewasa , melainkan mengatur mengenai larangan perbuatan homoseksual terhadap orang yang belum dewasa . Unsur-unsur Pasal 292 KUHP Adapun unsur Pasal 292 KUHP adalah: [3] orang dewasa yang melakukan perbuatan cabul; perbuatan cabul dilakukan dengan orang yang belum dewasa; orang yang belum dewasa sejenis kelamin dengan dia (pelaku); diketahui atau patut disangkanya belum dewasa. Kemudian, sebagaimana dijelaskan dalam artikel Apakah Homoseksual Bisa Dipidana? , R. Soesilo dalam bukunya yang berjudul Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal menjelaskan bahwa: Dewasa = telah berumur 21 tahun atau belum berumur 21 tahun, akan tetapi sudah pernah kawin. Jenis kelamin sama = laki-laki dengan laki-laki atau perempuan dengan perempuan. Tentang perbuatan cabul = segala perbuatan yang melanggar kesusilaan (kesopanan) atau perbuatan yang keji , semuanya itu dalam lingkungan nafsu berahi kelamin, misalnya: cium-ciuman, meraba-raba anggota kemaluan, meraba-raba buah dada, dan sebagainya. Dalam arti perbuatan cabul termasuk pula onani. Dua orang semua belum dewasa atau dua orang semua sudah dewasa bersama-sama melakukan perbuatan cabul, tidak dihukum menurut pasal ini oleh karena yang diancam hukuman itu perbuatan cabul dari orang dewasa terhadap orang belum dewasa . Supaya dapat dihukum menurut pasal ini, maka orang dewasa itu harus mengetahui atau setidak-tidaknya patut dapat menyangka bahwa temannya berbuat cabul itu belum dewasa. Lantas, apakah perbuatan cabul sesama jenis dalam KUHP baru dapat dipidana? Bunyi Pasal 414 Ayat (1) UU 1/2023 Dalam UU 1/2023 tentang KUHP baru yang berlaku 3 tahun sejak tanggal diundangkan, [4] yaitu tahun 2026, larangan mengenai perbuatan homoseksual diatur dalam Pasal 414 ayat (1) UU 1/2023 yang berbunyi: Setiap Orang yang melakukan perbuatan cabul terhadap orang lain yang berbeda atau sama jenis kelaminnya : di depan umum , dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 tahun 6 Bulan atau pidana denda paling banyak kategori III, yaitu Rp50 juta; [5] secara paksa dengan Kekerasan atau Ancaman Kekerasan , dipidana dengan pidana penjara paling lama 9 tahun; atau yang dipublikasikan sebagai muatan Pornografi , dipidana dengan pidana penjara paling lama 9 tahun. Dari bunyi Pasal 414 ayat (1) UU 1/2023 di atas, dapat kami simpulkan bahwa ancaman pidana bagi pelaku homoseksual memang ada, namun pelakunya dapat dipidana apabila diikuti dengan perbuatan cabul, di depan umum, disertai adanya kekerasan ataupun ancaman kekerasan, atau dipublikasikan sebagai muatan pornografi. Dengan kata lain, memiliki sifat penyuka atau ketertarikan dengan sesama jenis tidak dipidana. Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. Dasar Hukum : Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ; Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana . Referensi : Aprilina Pawestri. Politik Hukum Negara terhadap Gerakan Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender. Surabaya: Scopindo Media Pustaka, 2021; Budi Prasetyo (et.al) . Pengaturan Tindak Pidana Pencabulan Sejenis Berdasarkan Hukum Pidana Indonesia . Jurnal Online Mahasiswa FH Universitas Riau, Vol. 2, No. 2, 2015; Nanang Khosim Azhari (et.al). Persepsi Gay terhadap Penyebab Homoseksual. Jurnal Keperawatan Jiwa, Vol. 7, No. 1, 2019; R. Soesilo. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal . Bogor: Politeia, 1991. [1] Nanang Khosim Azhari (et.al). Persepsi Gay terhadap Penyebab Homoseksual. Jurnal Keperawatan Jiwa, Vol. 7, No. 1, 2019, hal. 2 [2] Aprilina Pawestri. Politik Hukum Negara terhadap Gerakan Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender. Surabaya: Scopindo Media Pustaka, 2021, hal. 38 [3] Budi Prasetyo (et.al) . Pengaturan Tindak Pidana Pencabulan Sejenis Berdasarkan Hukum Pidana Indonesia . Jurnal Online Mahasiswa FH Universitas Riau, Vol. 2, No. 2, 2015, hal. 8 [4] Pasal 624 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“UU 1/2023”) [5] Pasal 79 ayat (1) huruf c UU 1/2023 TAGS kuhp homoseksual potd | {497: 'homoseksual dikatakan sebagai suatu bentuk perilaku seksual yang menyimpang, ditandai dengan adanya ketertarikan perasaan secara emosional dan atau secara erotik terhadap sesama jenis', 498: 'Sedangkan, perempuan yang memiliki ketertarikan fisik, romantis, dan/atau emosional kepada perempuan lainnya disebut dengan istilah lesbian.', 499: 'unsur-unsur Pasal 292 KUHP adalah: orang dewasa yang melakukan perbuatan cabul; perbuatan cabul dilakukan dengan orang yang belum dewasa; orang yang belum dewasa sejenis kelamin dengan dia (pelaku); diketahui atau patut disangkanya belum dewasa', 4: 'Undang-Undang ini mulai berlaku setelah 3 (tiga) tahun terhitung sejak tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.', 25: "['(1) pidana denda paling banyak ditetapkan berdasarkan: a. kategori i, rp1.000.000,00 (satu juta rupiah); b. kategori ii, rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah); c. kategori iii, rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah); d. kategori iv, rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah); e. kategori v, rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah); f. kategori vi, rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah); g. kategori vii, rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah); dan h. kategori viii, rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah).']"} |
Ada kasus pencurian listrik oleh tetangga dan dikenakan denda pencurian listrik 900 watt dan diputus aliran listriknya. Kasus ini berulang lagi, tetangga saya baru saja dikenai denda pencurian listrik daya 1300 watt dengan cara memutus aliran listriknya kembali. Bagaimana cara PLN mengetahui pencurian listrik? Lalu, apa sebenarnya sanksi pencurian listrik? | ULASAN LENGKAP dari artikel dengan judul sama yang pertama kali dipublikasikan pada 24 Agustus 2020. Artikel ini dibuat berdasarkan KUHP lama dan UU 1/2023 tentang KUHP yang diundangkan pada tanggal 2 Januari 2023. . Jerat Pidana Pencurian Listrik Dalam artikel Jerat Pidana bagi Pencuri Listrik , pencurian listrik dapat dijerat sanksi pidana yang sama dengan tindak pidana pencurian pada umumnya yang diatur dalam KUHP lama yang pada saat artikel ini diterbitkan masih berlaku, dan KUHP baru yaitu UU 1/2023 yang mulai berlaku 3 tahun sejak tanggal diundangkan, [1] yaitu tahun 2026: Pasal 362 KUHP Pasal 476 UU 1/2023 Barang siapa mengambil barang sesuatu, yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain, dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum, diancam karena pencurian , dengan pidana penjara paling lama 5 tahun atau pidana denda paling banyak Rp900 ribu. [2] Setiap orang yang mengambil suatu barang yang sebagian atau seluruhnya milik orang lain, dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum, dipidana karena pencurian , dengan pidana penjara paling lama 5 tahun atau pidana denda paling banyak kategori V, yaitu Rp500 juta. [3] R. Soesilo dalam buku Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal menjelaskan elemen-elemen pasal di atas (hal. 249 – 250): Mengambil untuk dikuasainya, maksudnya waktu pencuri mengambil barang itu, barang tersebut belum ada dalam kekuasaannya. Pengambilan itu sudah dapat dikatakan selesai, apabila barang itu sudah pindah tempat; Barang yang diambil diartikan segala sesuatu yang berwujud, termasuk pula binatang (manusia tidak masuk). Pengertian barang juga termasuk “daya listrik” dan “gas”, meskipun tidak berwujud, akan tetapi dialirkan di kawat atau pipa; Barang itu harus seluruhnya atau sebagian milik orang lain; Pengambilan itu harus dilakukan dengan maksud untuk memiliki barang itu dengan melawan hukum (melawan hak). Selain itu, secara spesifik jerat pasal penggunaan listrik yang bukan haknya juga diatur ke dalam Pasal 51 ayat (3) UU Ketenagalistrikan : Setiap orang yang menggunakan tenaga listrik yang bukan haknya secara melawan hukum dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan denda paling banyak Rp2.500.000.000,00 (dua miliar lima ratus juta rupiah). Masih dari artikel yang sama, berdasarkan asas lex specialis derogat legi generalis , yang artinya aturan yang bersifat khusus ( specialis ) mengenyampingkan aturan yang bersifat umum ( generalis ), maka sanksi pidana yang dikenakan bagi pencuri listrik tidak menggunakan KUHP, melainkan menggunakan aturan yang lebih khusus, yaitu UU Ketenagalistrikan. Walau demikian, penyidik dalam praktiknya dapat mengenakan pasal berlapis jika perbuatan memenuhi unsur-unsur pencurian sebagaimana diatur dalam KUHP dan UU 1/2023 serta UU Ketenagalistrikan dan perubahannya. Tindak Pidana Fitnah Apabila pencurian listrik oleh tetangga Anda tersebut masih berupa tuduhan atau dugaan, perlu diketahui jika menuduh tanpa bukti dapat dikatakan sebagai fitnah yang dapat dijerat tindak pidana sebagaimana dijelaskan dalam artikel Hukumnya Menuduh Orang Melakukan Tindak Pidana Tanpa Bukti . Sehingga, tuduhan tersebut harus didasarkan pada bukti-bukti tertentu yang menunjukkan bahwa tetangga Anda benar-benar melakukan pencurian listrik. Cara PLN Mengetahui Pencurian Listrik Sepanjang penelusuran kami, PT Perusahaan Listrik Negara (“PLN”) memiliki rangkaian Penertiban Pemakaian Tenaga Listrik (“P2TL”). Berdasarkan Pasal 1 angka 6 Perdir PLN 88/2016 , P2TL adalah: Penertiban Pemakaian Tenaga Listrik yang selanjutnya disebut P2TL adalah rangkaian kegiatan meliputi perencanaan, pemeriksaan, tindakan teknis dan/atau hukum dan penyelesaian yang dilakukan oleh PLN terhadap lnstalasi PLN dan/atau lnstalasi Pemakai Tenaga Listrik dari PLN. Terdapat 4 golongan pelanggaran pemakaian tenaga listrik, yaitu: [4] Pelanggaran Golongan I merupakan pelanggaran yang mempengaruhi batas daya tetapi tidak mempengaruhi pengukuran energi; Pelanggaran Golongan ll merupakan pelanggaran yang mempengaruhi pengukuran energi tetapi tidak mempengaruhi batas daya; Pelanggaran Golongan lll merupakan pelanggaran yang mempengaruhi batas daya dan mempengaruhi pengukuran energi; Pelanggaran Golongan IV merupakan pelanggaran yang dilakukan oleh bukan pelanggan yang menggunakan tenaga listrik tanpa alas hak yang sah. Pelanggan yang melakukan pelanggaran di atas, dikenakan sanksi berupa: [5] pemutusan sementara ; pembongkaran rampung; pembayaran tagihan susulan; pembayaran biaya P2TL lainnya. Tugas-tugas dari petugas pelaksana lapangan P2TL meliputi: [6] melakukan pemeriksaan terhadap jaringan tenaga listrik, sambungan tenaga listrik, alat pembatas dan pengukur, dan perlengkapan alat pembatas dan pengukur serta instalasi pemakai tenaga listrik dalam rangka menertibkan pemakaian tenaga listrik; melakukan pemeriksaan atas pemakaian tenaga listrik; mencatat kejadian-kejadian yang ditemukan pada waktu dilakukan P2TL menurut jenis kejadiannya; menandatangani berita acara hasil pemeriksaan P2TL dan berita acara lainnya serta membuat laporan mengenai pelaksanaan P2TL; menyerahkan dokumen dan barang bukti hasil temuan pemeriksaan P2TL kepada petugas administrasi P2TL dengan dibuatkan berita acara serah terima dokumen dan barang bukti P2TL. Petugas pelaksana lapangan P2TL, berwenang: [7] melakukan pemutusan sementara atas sambungan tenaga listrik dan/atau alat pembatas dan pengukur pada pelanggan yang harus dikenakan tindakan pemutusan sementara; melakukan pembongkaran rampung atas sambungan tenaga listrik pada pelanggan dan bukan pelanggan; melakukan pengambilan barang bukti berupa alat pembatas dan pengukur atau peralatan lainnya. Dalam hal pelanggan keberatan atas penetapan pengenaan sanksi P2TL, maka pelanggan dapat mengajukan keberatan kepada General Manager Distribusi/Wilayah atau Manajer APJ/Area/Cabang unit PLN yang menerbitkan sanksi dimaksud dengan disertai alasan-alasan dan bukti-bukti. [8] Sebagai informasi, untuk mengetahui lebih lanjut apa itu P2TL, silakan akses Informasi P2TL pada laman milik PT PLN (Persero) . Jadi, bagaimana cara PLN mengetahui pencurian listrik berdasarkan uraian di atas, setidaknya, tuduhan pencurian listrik tersebut dapat didasarkan pada rangkaian P2TL. Namun, atas kasus pencurian listrik oleh tetangga Anda dapat mengajukan keberatan dengan disertai alasan dan bukti yang mendukung. Selain itu, jika terduga pencurian listrik tersebut akan dijerat sanksi pidana berdasarkan UU Ketenagalistrikan, maka harus dibuktikan terlebih dahulu melalui persidangan perkara pidana. Perkaya riset hukum Anda dengan analisis hukum terbaru dwibahasa, serta koleksi terjemahan peraturan yang terintegrasi dalam Hukumonline Pro, pelajari lebih lanjut di sini . Demikian jawaban dari kami tentang jerat hukum pencurian listrik, semoga bermanfaat. Dasar Hukum: Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ; Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan ; Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ; Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja yang telah ditetapkan sebagai undang-undang melalui Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 ; Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2012 tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda dalam KUHP ; Peraturan Direksi PT PLN (Persero) Nomor: 088-Z.P/DIR/2016 tentang Penertiban Pemakaian Tenaga Listrik (P2TL) . Referensi : Informasi P2TL , yang diakses pada 21 Juni 2024, pukul 10.00 WIB; R. Soesilo. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal . Bogor: Politeia, 1991. [1] Pasal 624 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“UU 1/2023”) [2] Pasal 3 Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2012 tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda dalam KUHP [3] Pasal 79 ayat (1) huruf e UU 1/2023 [4] Pasal 13 ayat (1) Peraturan Direksi PT PLN (Persero) Nomor: 088-Z.P/DIR/2016 tentang Penertiban Pemakaian Tenaga Listrik (P2TL) (“Perdir PLN 88/2016”) [5] Pasal 14 ayat (1) Perdir PLN 88/2016 [6] Pasal 5 ayat (1) Perdir PLN 88/2016 [7] Pasal 5 ayat (2) Perdir PLN 88/2016 [8] Pasal 23 ayat (1) Perdir PLN 88/2016 TAGS hukumonline pidana | {4: 'Undang-Undang ini mulai berlaku setelah 3 (tiga) tahun terhitung sejak tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.', 500: 'Tiap jumlah maksimum hukuman denda yang diancamkan dalam KUHPkecuali pasal 303 ayat 1 dan ayat 2, 303 bis ayat 1 dan ayat 2, dilipatgandakan menjadi 1.000 (seribu) kall,', 7: "['(1) pidana denda paling banyak ditetapkan berdasarkan: a. kategori i, rp1.000.000,00 (satu juta rupiah); b. kategori ii, rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah); c. kategori iii, rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah); d. kategori iv, rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah); e. kategori v, rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah); f. kategori vi, rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah); g. kategori vii, rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah); dan h. kategori viii, rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah).']", 501: '(1) Terdapat 4 (empat) Golongan Pelanggaran pemakaian tenaga listrik, yaitu : a. Pelanggaran Golongan I (P l) merupakan pelanggaran yang mempengaruhi batas daya tetapi tidak mempengaruhi pengukuran energi, b. Pelanggaran Golongan ll (P ll) merupakan pelanggaran yang mempengaruhi pengukuran energi tetapi tidak mempengaruhi batas daya; c. Pelanggaran Golongan lll (P lll) merupakan pelanggaran yang mempengaruhi batas daya dan mempengaruhi pengukuran energi: d. Pelanggaran Golongan lV (P lV) merupakan pelanggaran yang dilakukan oleh Bukan Pelanggan yang menggunakan tenaga listrik tanpa alas hak yang sah.', 502: '(1) Pelanggan yang melakukan Pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 dikenakan sanksi berupa : Pemutusan Sementara; Pembongkaran Rampung; Pembayaran Tagihan Susulan; Pembayaran Biaya P2TL Lainnya.', 503: '(1) Tugas-tugas dari Petugas pelaksana Lapangan p2TL meliputi: a. melakukan pemeriksaan terhadap JTL, srL, App dan perlengkapan App serta lnstalasi Pemakai tenaga listrik dalam rangka menertibkan pemakaian tenjga listrik; b. melakukan pemeriksaan atas pemakaian tenaga listrik; c. mencatat kejadian-kejadian yang ditemukan pada waktu dilakukan P2TL menurut .ienis kejadiannya; d. menandatangani Berita Acara hasil pemeriksaan P2TL dan Berita Acara lainnya serta membuatlaporan mengenai pelaksanaan P2TL, e. menyerahkan dokumen dan barang bukti hasil temuan pemeriksaan P2TL kepada Petugas Administrasi P2TL dengan dibuatkan Berita Acara serah terima dokumen dan Barang Bukti P2TL.', 504: '(2) Kewenangan Petugas Pelaksana Lapangan P2TL, meliputi: a. melakukan Pemutusan Sementara atas STL daniatau APP pada Pelanggan yang harus dikenakan tindakan Pemutusan Sementarai b. melakukan Pembongkaran Rampung atas STL pada Pelanggan dan Bukan Pelanggan; c. melakukan pengambilan barang bukti berupa APP atau peralatan lainnya.', 505: '(1) Dalam hal Pelanggan keberatan atas penetapan pengenaan sanksi P2TL, maka Pelanggan dapat mengajukan keberatan kepada General Manager Distribusi/Wilayah atau Manajer APJ/Area/Cabang unit PLN yang menerbitkan sanksi dimaksud dengan disertai alasan-alasan dan bukti-bukti.'} |
Apa bunyi Pasal 480 KUHP? Apakah Pasal 480 KUHP mengatur tentang penadahan? Jika benar, apa unsur-unsur Pasal 480 KUHP? Apa yang dimaksud dengan penadahan? | ULASAN LENGKAP Artikel ini dibuat berdasarkan KUHP lama dan UU 1/2023 tentang KUHP yang diundangkan pada tanggal 2 Januari 2023. . Apa itu Tindak Pidana Penadahan? M. Kholil dalam jurnal Tinjauan Empiris Pasal 480 KUHP tentang Penadahan Menyangkut Hak-Hak Konsumen dalam Pasal 4 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen , menjelaskan bahwa tindak pidana penadahan adalah tindakan yang dilarang oleh hukum, karena penadahan diperoleh dari kejahatan, dan dapat dikatakan menolong atau mempermudah tindakan kejahatan, serta pelaku dapat mempersukar pengusutan kejahatan yang dilakukan (hal. 54). Kemudian, Sholehuddin dalam buku Sistem Sanksi dalam Hukum Pidana, Ide Dasar Double Track Sistem & Implementasinya sebagaimana dikutip dalam jurnal yang sama, menerangkan bahwa dalam mengadili terdakwa yang melakukan tindak pidana penadahan, maka harus dibuktikan terlebih dahulu apakah terdakwa tersebut benar-benar melakukan kejahatan dikarenakan barang kejahatan tersebut didapat dari hasil kejahatan. Selain itu, penadah menjadi pelaku kedua dalam hal pelaksanaannya, sehingga harus dibuktikan terlebih dahulu apakah seseorang itu mampu untuk dipertanggungjawabkan dengan kata lain adanya unsur kesalahan dan kesengajaan (hal 55). Dalam pengertian lain, penadahan adalah tindak pidana pemudahan , sedangkan penadah adalah orang yang menerima barang gelap atau barang curian . Tindak pidana penadahan merupakan delik turunan, artinya harus ada delik pokok yang membuktikan uang/barang tersebut berasal dari tindak pidana. Selain itu, penadahan disebut sebagai tindak pidana pemudahan karena perbuatan menadah itu mendorong orang lain untuk melakukan kejahatan-kejahatan yang mungkin tidak akan ia lakukan, seandainya tidak ada orang yang bersedia menerima hasil kejahatan. [1] : Baru Tahu Barang yang Dibeli Hasil Kejahatan, Termasuk Penadahan? Sebelum menjawab inti pertanyaan Anda, penting untuk diketahui bahwa tindak pidana penadahan diatur di dalam Pasal 480 KUHP lama yang saat artikel ini diterbitkan masih berlaku dan Pasal 591 UU 1/2023 tentang KUHP baru yang berlaku 3 tahun sejak tanggal diundangkan, [2] yaitu tahun 2026. Isi Pasal 480 KUHP Berikut adalah bunyi Pasal 480 KUHP : Diancam dengan pidana penjara paling lama 4 tahun atau pidana denda paling banyak Rp900 ribu: [3] barang siapa membeli, menyewa, menukar, menerima gadai, menerima hadiah, atau untuk menarik keuntungan, menjual, menyewakan, menukarkan, menggadaikan, mengangkut, menyimpan atau menyembunyikan sesuatu benda, yang diketahui atau sepatutnya harus diduga bahwa diperoleh dari kejahatan penadahan ; barang siapa menarik keuntungan dari hasil sesuatu benda, yang diketahuinya atau sepatutnya harus diduga bahwa diperoleh dari kejahatan. Unsur Pasal 480 KUHP Selanjutnya, R. Soesilo dalam bukunya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal menjelaskan unsur-unsur pasal tindak pidana penadahan sebagai berikut (hal.118): Sesuatu yang dinamakan “sekongkol” atau biasa disebut pula “tadah” itu sebenarnya diartikan sebagai hanya perbuatan yang disebutkan pada sub 1 dari Pasal 480 KUHP . Jenis-jenis perbuatan yang tersebut pada sub 1 dibagi atas dua bagian: membeli, menyewa, dan sebagainya ( tidak perlu dengan maksud hendak mendapat untung ) barang yang diketahuinya atau patut disangkanya diperoleh karena kejahatan; menjual, menukarkan, menggadaikan, dan sebagainya dengan maksud hendak mendapat untung barang yang diketahuinya atau patut disangkanya diperoleh karena kejahatan. Elemen penting dari pasal ini adalah terdakwa harus mengetahui atau patut dapat menyangka bahwa barang itu asal dari kejahatan . Melihat pada pasal ini, terdakwa tidak perlu mengetahui dengan pasti asal barang itu dari kejahatan apa (pencurian, penggelapan, penipuan, pemerasan, uang palsu atau lain-lain), akan tetapi sudah cukup apabila ia patut dapat menyangka (mengira, mencurigai) bahwa barang itu bukan barang “terang”. Pembuktian terkait elemen ini memang sukar, akan tetapi dalam praktiknya biasanya dapat dilihat dari keadaan atau cara dibelinya barang itu, misalnya dibeli dengan di bawah harga, dibeli pada waktu malam secara bersembunyi yang menurut ukuran di tempat itu memang mencurigakan. Barang asal dari kejahatan misalnya berasal dari pencurian, penggelapan, penipuan, pemalsuan uang, sekongkol, dan lain-lain. Untuk mempermudah pemahaman Anda, berikut kami uraikan perbuatan-perbuatan dalam Pasal 480 ayat (1) KUHP : [4] Unsur-unsur subjektif , yang terdiri dari: yang ia ketahui atau waarvan hij weet ; yang secara patut harus dapat ia duga atau warn hij redelijkerwijs moet vermoeden . Unsur-unsur objektif , yang terdiri dari: kopen atau membeli; buren atau menyewa; inruilen atau menukar; in pand nemen atau menggadai; als geschenk aannemen atau menerima sebagai hadiah atau sebagai pemberian; uit winstbejag atau didorong oleh maksud untuk memperoleh keuntungan; verkopen atau menjual; verhuren atau menyewakan; in pand geven atau menggadaikan; vervoeren atau mengangkut; bewaren atau menyimpang; dan verbergen atau menyembunyikan. Isi Pasal 591 UU 1/2023 Dalam KUHP baru, tindak pidana penadahan diatur dalam Pasal 591 UU 1/2023 sebagai berikut: Dipidana karena penadahan dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun atau pidana denda paling banyak kategori V yaitu Rp500 juta, [5] Setiap Orang yang: membeli, menawarkan, menyewa, menukarkan, menerima jaminan atau gadai, menerima hadiah atau untuk menarik keuntungan, menjual, menyewakan, menukarkan, menggadaikan, mengangkut, menyimpan atau menyembunyikan suatu benda yang diketahui atau patut diduga bahwa benda tersebut diperoleh dari Tindak Pidana; atau menarik keuntungan dari hasil suatu benda, yang diketahui atau patut diduga bahwa benda tersebut diperoleh dari Tindak Pidana. Lebih lanjut, menurut Penjelasan Pasal 591 UU 1/2023 , benda dalam ketentuan ini adalah benda yang berasal dari tindak pidana, misalnya berasal dari pencurian, penggelapan, atau penipuan. tindak pidana yang diatur dalam ketentuan ini disebut dengan tindak pidana proparte dolus proparte culpa . : Tidak Tahu Barang yang Dibeli Hasil Curian, Bisakah Dipidana? Perkaya riset hukum Anda dengan analisis hukum terbaru dwibahasa, serta koleksi terjemahan peraturan yang terintegrasi dalam Hukumonline Pro, pelajari lebih lanjut di sini . Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. Dasar Hukum : Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ; Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ; Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2012 tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda dalam KUHP . Referensi : Januri ( al ). Aspek Yuridis Penerapan Tindak Pidana Penadahan Pasal 480 Ke-2 KUHP di Era Modern . Audi Et AP: Jurnal Penelitian Hukum, Vol. 03, No. 01, 2024; M. Kholil. Tinjauan Empiris Pasal 480 KUHP tentang Penadahan Menyangkut Hak-Hak Konsumen dalam Pasal 4 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Jurnal Hukum Bisnis Bonum Commune. Vol. I, No. 1, 2018; R. Soesilo. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal . Bogor: Politeia, 1991. [1] Januri ( et.al ). Aspek Yuridis Penerapan Tindak Pidana Penadahan Pasal 480 Ke-2 KUHP di Era Modern . Audi Et AP: Jurnal Penelitian Hukum, Vol. 03, No. 01, 2024, hal. 49 [2] Pasal 624 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“UU 1/2023”) [3] Pasal 3 Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2012 tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda dalam KUHP denda dilipatgandakan menjadi 1000 kali [4] M. Kholil. Tinjauan Empiris Pasal 480 KUHP tentang Penadahan Menyangkut Hak-Hak Konsumen dalam Pasal 4 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Jurnal Hukum Bisnis Bonum Commune.Vol. I, No. 1, 2018, hal. 56 [5] Pasal 79 ayat (1) huruf e UU 1/2023 TAGS kuhp penadahan pidana | {506: 'Selain itu, penadahan disebut sebagai tindak pidana pemudahan karena perbuatan menadah itu mendorong orang lain untuk melakukan kejahatan-kejahatan yang mungkin tidak akan ia lakukan, seandainya tidak ada orang yang bersedia menerima hasil kejahatan.', 128: 'Undang-Undang ini mulai berlaku setelah 3 (tiga) tahun terhitung sejak tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.', 495: 'Tiap jumlah maksimum hukuman denda yang diancamkan dalam KUHPkecuali pasal 303 ayat 1 dan ayat 2, 303 bis ayat 1 dan ayat 2, dilipatgandakan menjadi 1.000 (seribu) kall,', 507: 'Unsur-unsur subjektif, yang terdiri dari: yang ia ketahui atau waarvan hij weet; yang secara patut harus dapat ia duga atau warn hij redelijkerwijs moet vermoeden. Unsur-unsur objektif, yang terdiri dari: kopen atau membeli; buren atau menyewa; inruilen atau menukar; in pand nemen atau menggadai; als geschenk aannemen atau menerima sebagai hadiah atau sebagai pemberian; uit winstbejag atau didorong oleh maksud untuk memperoleh keuntungan; verkopen atau menjual; verhuren atau menyewakan; in pand geven atau menggadaikan; vervoeren atau mengangkut; bewaren atau menyimpang; dan verbergen atau menyembunyikan.', 7: "['(1) pidana denda paling banyak ditetapkan berdasarkan: a. kategori i, rp1.000.000,00 (satu juta rupiah); b. kategori ii, rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah); c. kategori iii, rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah); d. kategori iv, rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah); e. kategori v, rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah); f. kategori vi, rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah); g. kategori vii, rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah); dan h. kategori viii, rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah).']"} |
Saya memiliki pertanyaan seputar gratifikasi, yaitu: Apa itu gratifikasi?
Adakah batasan gratifikasi? Bagaimana kriteria gratifikasi yang dilarang dan tidak boleh diterima?
Apa pebedaan suap dan gratifikasi? | ULASAN LENGKAP dari artikel dengan judul sama yang dibuat oleh Letezia Tobing, S.H., M.Kn. dan dipublikasikan pada 24 Juli 2014. . Apa itu Gratifikasi? Untuk menjawab pertanyaan Anda mengenai apa itu gratifikasi, kami akan merujuk pada dasar hukum UU Tipikor sebagaimana diubah dengan UU 20/2001 . Menurut Penjelasan Pasal 12B ayat (1) UU 20/2001 , gratifikasi adalah pemberian dalam arti luas, yakni meliputi pemberian uang, barang, rabat ( discount ), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lainnya. Gratifikasi tersebut baik yang diterima di dalam negeri maupun di luar negeri dan yang dilakukan dengan menggunakan sarana elektronik atau tanpa sarana elektronik. Selain itu, menurut KBBI , gratifikasi adalah uang hadiah kepada pegawai di luar gaji yang telah ditentukan. Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa gratifikasi merupakan pemberian secara luas di luar gaji, baik diterima di dalam negeri maupun di luar negeri, dan yang dilakukan dengan menggunakan sarana elektronik atau tanpa sarana elektronik. Adakah Batasan Gratifikasi? Menurut literatur berjudul Memahami Gratifikasi yang diterbitkan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (“KPK”) , pengertian gratifikasi dalam Penjelasan Pasal 12B ayat (1) UU 20/2001 mempunyai makna yang netral , artinya tidak terdapat makna tercela atau negatif dari arti kata gratifikasi tersebut . Apabila penjelasan tersebut dihubungkan dengan rumusan Pasal 12B ayat (1) UU 20/2001 , dapat dipahami bahwa tidak semua gratifikasi itu bertentangan dengan hukum , melainkan hanya gratifikasi yang memenuhi kriteria dalam unsur Pasal 12B ayat (1) UU 20/2001 saja (hal. 5). Sehingga, untuk mengetahui kriteria gratifikasi yang bertentangan dengan hukum (merupakan kejahatan korupsi), perlu dilihat rumusan Pasal 12B ayat (1) UU 20/2001 sebagai berikut: Setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap pemberian suap , apabila berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya , dengan ketentuan sebagai berikut: Yang nilainya Rp10 juta atau lebih, pembuktian bahwa gratifikasi tersebut bukan merupakan suap dilakukan oleh penerima gratifikasi; Yang nilainya kurang dari Rp10 juta, pembuktian bahwa gratifikasi tersebut suap dilakukan oleh penuntut umum. Adapun ketentuan pidana gratifikasi bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12B ayat (1) UU 20/2001 adalah pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara minimal 4 tahun dan maksimal 20 tahun, dan pidana denda minimal Rp200 juta dan maksimal Rp1 miliar. [1] Sebagai informasi, ketentuan pidana gratifikasi tidak berlaku, jika penerima melaporkan gratifikasi yang diterimanya kepada KPK, yaitu wajib dilakukan oleh penerima gratifikasi paling lambat 30 hari kerja terhitung sejak tanggal gratifikasi tersebut diterima. KPK dalam waktu paling lambat 30 hari kerja sejak tanggal menerima laporan wajib menetapkan gratifikasi dapat menjadi milik penerima atau milik negara. [2] Melihat pada uraian Pasal 12B ayat (1) UU 20/2001 di atas, terlihat bahwa tidak diatur mengenai batasan gratifikasi yang boleh diterima . Pasal tersebut hanya mengatur bahwa setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap pemberian suap jika berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya. Lebih lanjut, dalam Frequently Asked Questions Gratifikasi Online juga ditegaskan bahwa kriteria gratifikasi yang dilarang yaitu: gratifikasi yang diterima berhubungan dengan jabatan; penerimaan tersebut dilarang oleh peraturan yang berlaku, bertentangan dengan kode etik, memiliki konflik kepentingan atau merupakan penerimaan yang tidak patut/tidak wajar. Untuk memudahkan pemahaman Anda, berikut adalah contoh gratifikasi yang tidak boleh diterima : terkait dengan pemberian layanan pada masyarakat diluar penerimaan yang sah; terkait dengan tugas dalam proses penyusunan anggaran diluar penerimaan yang sah; terkait dengan tugas dalam proses pemeriksaan, audit, monitoring dan evaluasi diluar penerimaan yang sah; terkait dengan pelaksanaan perjalanan dinas diluar penerimaan yang sah/resmi dari instansi; dalam proses penerimaan/promosi/mutasi pegawai; dalam proses komunikasi, negosiasi dan pelaksanaan kegiatan dengan pihak lain terkait dengan pelaksanaan tugas dan kewenangannya; sebagai akibat dari perjanjian kerjasama/kontrak/kesepakatan dengan pihak lain; sebagai ungkapan terima kasih sebelum, selama atau setelah proses pengadaan barang dan jasa; merupakan hadiah atau souvenir bagi pegawai/pengawas/tamu selama kunjungan dinas; merupakan fasilitas hiburan, fasilitas wisata, voucher oleh pejabat/pegawai dalam kegiatan yang terkait dengan pelaksanaan tugas dan kewajibannya dengan pemberi gratifikasi yang tidak relevan dengan penugasan yang diterima; dalam rangka mempengaruhi kebijakan/keputusan /perlakuan pemangku kewenangan; dalam pelaksanaan pekerjaan yang terkait dengan jabatan dan bertentangan dengan kewajiban/tugas pejabat/pegawai; dan lain sebagainya. Oleh karena itu, berapapun nilai gratifikasi yang diterima penyelenggara negara atau pegawai negeri, bila pemberian itu patut diduga berkaitan dengan jabatan/kewenangan yang dimiliki, maka sebaiknya penyelenggara negara atau pegawai negeri tersebut segera melapor ke KPK untuk dianalisa lebih lanjut. Apa Perbedaan Suap dan Gratifikasi? Menjawab pertanyaan Anda terkait apa perbedaan suap dan gratifikasi? Disarikan dari artikel Begini Perbedaan Suap dan Gratifikasi , suap dapat berupa janji, sedangkan gratifikasi adalah pemberian dalam arti luas dan bukan janji. Kemudian, dalam suap ada unsur intensi atau maksud untuk mempengaruhi pejabat publik dalam pengambilan kebijakan maupun keputusannya. Sedangkan untuk gratifikasi, diartikan sebagai pemberian dalam arti luas, namun dapat dianggap sebagai suap jika berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya. Selain itu, Prof. Eddy Omar Syarif , Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia sekaligus Guru Besar Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada menerangkan perbedaan suap dan gratifikasi terletak pada ada atau tidaknya meeting of minds pada saat penerimaan . Pada tindak pidana suap, terdapat meeting of minds antara pemberi dan penerima suap, sedangkan pada tindak pidana gratifikasi tidak terdapat meeting of minds antara pemberi dan penerima. Meeting of minds sendiri adalah istilah lain dari konsensus atau hal yang bersifat transaksional. [3] Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. Dasar Hukum : Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi . Referensi : KPK. Memahami Gratifikasi . Jakarta: Komisi Pemberantasan Korupsi RI, 2021; KPK. Pengantar Gratifikasi . Jakarta: Direktorat Pendidikan dan Pelayanan Masyarakat Kedeputian Bidang Pencegahan, 2015; Frequently Asked Questions Gratifikasi Online , diakses pada hari Jumat, 14 Juni 2024, Pukul 16.33 WIB; KBBI, gratifikasi , diakses pada hari Jumat, 14 Juni 2024, Pukul 17.00 WIB. [1] Pasal 12B ayat (2) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (“UU 20/2001”) [2] Pasal 12C ayat (1), (2), dan (3) UU 20/2001 [3] KPK. Pengantar Gratifikasi . Jakarta: Direktorat Pendidikan dan Pelayanan Masyarakat Kedeputian Bidang Pencegahan, 2015, hal. 16 TAGS gratifikasi tipikor uu tipikor | {508: "['(1) dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan atau pidana denda paling sedikit rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak rp 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) setiap orang yang: a. memberi atau menjanjikan sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dengan maksud supaya pegawai negeri atau penyelenggara negara tersebut berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya; atau b. memberi sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara karena atau berhubungan dengan sesuatu yang bertentangan dengan kewajiban, dilakukan atau tidak dilakukan dalam jabatannya. presiden republik indonesia']", 509: "['(1) dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan atau pidana denda paling sedikit rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak rp 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) setiap orang yang: a. memberi atau menjanjikan sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dengan maksud supaya pegawai negeri atau penyelenggara negara tersebut berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya; atau b. memberi sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara karena atau berhubungan dengan sesuatu yang bertentangan dengan kewajiban, dilakukan atau tidak dilakukan dalam jabatannya. presiden republik indonesia']", 510: 'Berikut contoh-contoh gratifikasi yang berkembang dalam praktik yang wajib dilaporkan oleh penerima gratifikasi pada KPK, antara lain gratifikasi yang diterima: terkait dengan pemberian layanan pada masyarakat; terkait dengan tugas dalam proses penyusunan anggaran; terkait dengan tugas dalam proses pemeriksaan, audit, monitoring dan evaluasi; terkait dengan pelaksanaan perjalanan dinas (di luar penerimaan yang sah/resmi dari instansi); dalam proses penerimaan/promosi/mutasi pegawai; dalam proses komunikasi, negosiasi dan pelaksanaan kegiatan dengan pihak lain terkait dengan pelaksanaan tugas dan kewenangannya; sebagai akibat dari perjanjian kerjasama/kontrak/kesepakatan dengan pihak lain yang bertentangan dengan undang-undang; sebagai ungkapan terima kasih sebelum, selama atau setelah proses pengadaan barang dan jasa; dari pejabat/pegawai atau pihak ketiga pada hari raya keagamaan; dalam pelaksanaan pekerjaan yang terkait dengan jabatan dan bertentangan dengan kewajiban/tugasnya.'} |
Saya punya pertanyaan, bagaimana cara mengurus SIM mati? Bisakah mengurus SIM mati online? Apa saja syarat administrasi untuk penerbitan SIM? Jika saya mengendarai kendaraan tanpa SIM, apa sanksinya? Mengingat saya baru akan mengurus SIM mati saya. Sebagai informasi, SIM mati yang saya miliki SIM A dan C. | ULASAN LENGKAP Artikel dibawah ini adalah pemutakhiran dari artikel yang berjudul Tata Cara Mengurus SIM yang Mati dan Hilang yang dibuat oleh Tri Jata Ayu Pramesti, S.H. dan dipublikasikan pada tanggal 21 Oktober 2015. . Arti dan Fungsi SIM Surat Izin Mengemudi (“SIM”) adalah bukti legitimasi kompetensi pengemudi sesuai jenis dan golongan SIM yang dimilikinya setelah memenuhi persyaratan administrasi, usia, kesehatan jasmani maupun rohani, serta dinyatakan lulus melalui proses pengujian. [1] Pada dasarnya, menurut Pasal 2 ayat (1) Perpol 5/2021 , setiap orang yang mengemudikan kendaraan bermotor (“ranmor”) wajib memiliki SIM sesuai dengan jenis kendaraan bermotor yang dikemudikan. Hal serupa juga diatur dalam Pasal 77 ayat (1) UU LLAJ sebagai berikut: Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor di Jalan wajib memiliki Surat Izin Mengemudi sesuai dengan jenis Kendaraan Bermotor yang dikemudikan. Adapun SIM diterbitkan Polri [2] dan terdiri atas: [3] SIM ranmor perseorangan; SIM ranmor umum; dan SIM internasional. Kami asumsikan bahwa kendaraan yang Anda miliki adalah kendaraan bermotor pribadi/perseorangan , maka SIM yang Anda miliki termasuk pada SIM ranmor perseorangan . Lantas, apa sanksi jika mengendarai kendaraan bermotor tanpa memiliki SIM? Sanksi Jika Tidak Dapat Menunjukkan SIM dan Tidak Memiliki SIM Menurut Pasal 106 ayat (5) huruf b UU LLAJ , pada saat diadakan pemeriksaan kendaraan bermotor di jalan, maka setiap orang yang mengemudikan kendaraan bermotor wajib menunjukan SIM. Sanksi bagi pengendara kendaraan bermotor yang tidak dapat menunjukkan SIM saat pemeriksaan diatur dalam Pasal 288 ayat (2) UU LLAJ , sebagai berikut: Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor di Jalan yang tidak dapat menunjukkan Surat Izin Mengemudi yang sah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 ayat (5) huruf b dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 bulan dan/atau denda paling banyak Rp250.000,00. Apabila ternyata diketahui pengendara kendaraan bermotor tidak mempunyai SIM , maka sanksinya lebih berat sebagaimana diatur dalam Pasal 281 UU LLAJ : Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor di Jalan yang tidak memiliki Surat Izin Mengemudi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 ayat (1) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 4 bulan atau denda paling banyak Rp1.000.000,00. Masa Berlaku SIM Berkaitan dengan pertanyaan Anda, SIM ranmor perseorangan dan SIM ranmor umum tidak berlaku lagi apabila: [4] habis masa berlakunya; dan dilakukan pencabutan SIM oleh Satuan Penyelenggara Administrasi SIM (“Satpas”) yang menerbitkannya. Masa berlaku dari SIM ranmor perseorangan dan SIM ranmor umum adalah 5 tahun terhitung mulai tanggal penerbitan dan dapat diperpanjangan sebelum habis masa berlakunya. [5] SIM yang habis masa berlakunya itu dikenal dengan istilah “SIM mati”. Jika ingin pengajuan penggantian SIM yang mati maka diperlukan pengajuan SIM Baru . [6] Penerbitan SIM selain dilakukan pada SIM yang sudah mati dilaksanakan juga terhadap: [7] SIM baru ; perpanjangan SIM ; peningkatan golongan SIM; penurunan golongan SIM; perubahan data pengemudi; penggantian SIM hilang atau rusak ; dan akibat pencabutan SIM atas dasar putusan pengadilan. Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa untuk perpanjangan SIM pada dasarnya harus dilakukan sebelum lewat masa berlakunya. Jika dilakukan saat SIM telah lewat masa berlakunya maka harus diajukan penerbitan SIM baru. Syarat Administrasi Penerbitan SIM Selanjutnya, perlu Anda ketahui bahwa penerbitan SIM meliputi persyaratan dan tata cara pelaksanaan penerbitan SIM [8] , yang dilaksanakan berdasarkan permohonan. [9] Adapun persyaratan untuk penerbitan SIM terdiri atas: [10] usia; administrasi ; kesehatan; dan lulus ujian Dalam membuat SIM, pemohon yang ingin membuat SIM harus memenuhi persyaratan administrasi. Persyaratan administrasi untuk penerbitan SIM ranmor perseorangan dan SIM ranmor umum meliputi: [11] mengisi dan menyerahkan formulir pendaftaran SIM secara manual atau menunjukkan tanda bukti pendaftaran secara elektronik; melampirkan fotokopi dan memperlihatkan identitas diri Kartu Tanda Penduduk Elektronik bagi warga negara Indonesia atau dokumen keimigrasian bagi warga negara asing; melampirkan fotokopi sertifikat pendidikan dan pelatihan mengemudi dengan memperlihatkan yang aslinya melampirkan surat hasil verifikasi kompetensi mengemudi yang diterbitkan oleh sekolah mengemudi yang terakreditasi, bagi pemohon SIM perorangan yang tidak mengikuti pendidikan dan pelatihan mengemudi atau belajar sendiri; melampirkan fotokopi surat izin kerja asli dari Kementerian yang membidangi ketenagakerjaan bagi warga negara asing yang bekerja di Indonesia; melaksanakan perekaman biometri berupa sidik jari dan/atau pengenalan wajah maupun retina mata; melampirkan tanda bukti kepesertaan aktif dalam program jaminan Kesehatan nasional; dan menyerahkan bukti pembayaran penerimaan bukan pajak. Selain itu, untuk penggantian SIM hilang terdapat tambahan persyaratan administrasi yaitu melampirkan surat tanda penerimaan laporan kehilangan dari Polri. [12] Sedangkan dalam pertanyaan Anda, jika perpanjangan dilakukan setelah lewat waktu (SIM mati), maka harus melakukan ujian teori, ujian keterampilan melalui simulator dan ujian praktik karena harus diajukan penerbitan SIM baru. [13] Tata Cara Pelaksanaan Penerbitan SIM Selanjutnya, tata cara pelaksanaan penerbitan SIM ranmor perseorangan dan SIM ranmor umum meliputi: [14] Pendaftaran , yaitu kegiatan penerimaan permohonan penerbitan SIM dari pemohon yang telah memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 Perpol 5/2021 (usia, administrasi, tes kesehatan, dan lulus ujian) yang dilakukan oleh kelompok kerja pendaftaran; [15] Identifikasi , yaitu kegiatan mengidentifikasi data pemohon berdasarkan kelengkapan dokumen yang dilakukan oleh kelompok kerja identifikasi; [16] Pencerahan dan pengujian , yaitu kegiatan pemberian pencerahan dan pelaksanaan pengujian terhadap pemohon yang dilakukan oleh kelompok kerja pencerahan dan pengujian pada unit ujian teori, unit ujian keterampilan melalui simulator; [17] Pencetakan dan penyerahan , yaitu kegiatan mencetak dan menyerahkan SIM kepada pemohon yang dilakukan oleh kelompok kerja pencetakan dan penyerahan; [18] dan Pengarsipan , yaitu kegiatan penataan, penyimpanan, pemeliharaan, pemusnahan, dan penyajian arsip yang dilakukan oleh kelompok kerja pengarsipan. [19] Sebagai informasi, penerbitan SIM yang dilaksanakan terhadap penggantian SIM hilang/rusak, tidak meliputi pencerahan dan pengujian . [20] Kemudian, penerbitan SIM ini dilakukan oleh Satpas [21] yaitu unsur pelaksana Polri di bidang lalu lintas yang menyelenggarakan kegiatan registrasi dan identifikasi pengemudi. [22] Dalam penerbitan SIM A dan SIM C seperti yang Anda miliki, maka dapat dilakukan pada Satpas level I, Satpas level II, Satpas level III, Satpas level IV, Satpas Pembantu dan Satpas Keliling. [23] Pembuatan SIM Baru dan Perpanjang SIM secara Online Menjawab pertanyaan Anda tentang bagaimana cara mengurus SIM yang sudah mati secara online ? Pada dasarnya, proses pembuatan dan perpanjangan SIM dapat dilakukan secara daring/ online . Dilansir dari laman Digital Korlantas , tata cara melakukan pembuatan SIM baru secara online adalah sebagai berikut: Download aplikasi Digital Korlantas Polri dan lakukan verifikasi data. Klik Menu SIM lalu pilih pendaftaran SIM. Ikuti petunjuk pengisian data yang dibutuhkan dan lakukan pembayaran pendaftaran SIM. Lakukan ujian teori. Jika lulus, pilih tanggal untuk melakukan ujian praktik di Satpas yang sudah dipilih. SIM dapat diambil setelah lulus ujian praktik Sedangkan untuk melakukan perpanjangan SIM secara online adalah sebagai berikut: Download aplikasi Digital Korlantas Polri dan lakukan verifikasi data. Klik menu SIM lalu pilih perpanjangan SIM. Ikuti petunjuk pengisian data yang dibutuhkan dan lakukan pembayaran perpanjangan SIM. Satpas akan melakukan verifikasi data dan dokumen. Jika data dan dokumen yang dibutuhkan lengkap dan benar, SIM akan segera dicetak. SIM siap dikirim atau siap diambil di Satpas. Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. Dasar Hukum : Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan ; Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja yang telah ditetapkan sebagai undang-undang melalui Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 ; Peraturan Kepolisian Negara Nomor 5 Tahun 2021 tentang Penerbitan dan Penandaan Surat Izin Mengemudi yang diubah dengan Peraturan Kepolisian Negara Nomor 2 Tahun 2023 tentang Perubahan Atas Peraturan Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2021 tentang Penerbitan dan Penandaan Surat Izin Mengemudi Referensi : Digital Korlantas , yang diakses pada hari Kamis, 13 Juni 2024, pukul 13.30 WIB. [1] Pasal 1 angka 6 Peraturan Kepolisian Negara Nomor 2 Tahun 2023 tentang Perubahan Atas Peraturan Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2021 tentang Penerbitan dan Penandaan Surat Izin Mengemudi (“Perpol 2/2023”) [2] Pasal 2 ayat (2) Peraturan Kepolisian Negara Nomor 5 Tahun 2021 tentang Penerbitan dan Penandaan Surat Izin Mengemudi (“Perpol 5/2021”) [3] Pasal 3 ayat (1) Perpol 2/2023 [4] Pasal 5 ayat (1) Perpol 5/2021 [5] Pasal 4 ayat (1) Perpol 5/2021 [6] Pasal 4 ayat (3) Perpol 5/2021 [7] Pasal 6 ayat (3) Perpol 5/2021 [8] Pasal 6 ayat (1) Perpol 5/2021 [9] Pasal 6 ayat (2) Perpol 5/2021 [10] Pasal 7 Perpol 5/2021 [11] Pasal 9 ayat (1) huruf a Perpol 2/2023 [12] Pasal 9 ayat (3) huruf b Perpol 2/2023 [13] Pasal 14 ayat (1) huruf a Perpol 2/2023 dan Pasal 16 ayat (1) huruf a dan Pasal 18 ayat (1) huruf a Perpol 5/2021 [14] Pasal 20 ayat (1) huruf a Perpol 5/2021 [15] Pasal 22 ayat (1) Perpol 5/2021 [16] Pasal 23 ayat (1) Perpol 5/2021 [17] Pasal 24 ayat (1) Perpol 5/2021 [18] Pasal 25 ayat (1) Perpol 2/2023 [19] Pasal 26 ayat (1) Perpol 5/2021 [20] Pasal 20 ayat (3) huruf c Perpol 5/2021 [21] Pasal 20 ayat (2) Perpol 5/2021 [22] Pasal 1 angka 9 Perpol 2/2023 [23] Pasal 30 ayat (4), (5), (6), dan (7) Perpol 5/2021 TAGS sim lalu lintas kendaraan bermotor | {511: '6. surat izin mengemudi yang selanjutnya disingkat sim adalah bukti legitimasi kompetensi pengemudi sesuai jenis dan golongan sim yang dimilikinya setelah memenuhi persyaratan administrasi, usia, -3- kesehatan jasmani maupun rohani, serta dinyatakan lulus melalui proses pengujian', 512: 'SIM diterbitkan Polri dan terdiri atas: SIM ranmor perseorangan; SIM ranmor umum; dan SIM internasional.', 513: '(1) SIM yang diterbitkan sebagaimana dimaksud dalamPasal 2 ayat (2) terdiri atas: a. SIM Ranmor Perseorangan; b. SIM Ranmor Umum; dan c. SIM Internasional.', 514: "['(1) sim sebagaimana dimaksud dalam pasal 3 ayat (1) huruf a dan huruf b, tidak berlaku, apabila: a. habis masa berlakunya; dan b. dilakukan pencabutan sim oleh satpas yang menerbitkan.']", 515: "['(1) sim ranmor perseorangan dan sim ranmor umum sebagaimana dimaksud dalam pasal 3 ayat (1) huruf a dan huruf b, berlaku selama 5 (lima) tahun terhitung mulai tanggal penerbitan dan dapat diperpanjang sebelum habis masa berlakunya.', '(2) sim internasional sebagaimana dimaksud dalam pasal 3 ayat (1) huruf c, berlaku selama 3 (tiga) tahun terhitung mulai tanggal penerbitan dan dapat diperpanjang sebelum habis masa berlakunya.', '(3) dalam hal sim lewat dari masa berlakunya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) harus diajukan penerbitan sim baru.', '(4) sim yang lewat dari masa berlakunya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) karena keadaan kahar dapat: a. dikecualikan terhadap ketentuan ayat (3); dan b. dilakukan perpanjangan sim berdasarkan keputusan kakorlantas polri atas laporan dari direktorat lalu lintas kepolisian daerah.']", 516: "['(1) sim ranmor perseorangan dan sim ranmor umum sebagaimana dimaksud dalam pasal 3 ayat (1) huruf a dan huruf b, berlaku selama 5 (lima) tahun terhitung mulai tanggal penerbitan dan dapat diperpanjang sebelum habis masa berlakunya.', '(2) sim internasional sebagaimana dimaksud dalam pasal 3 ayat (1) huruf c, berlaku selama 3 (tiga) tahun terhitung mulai tanggal penerbitan dan dapat diperpanjang sebelum habis masa berlakunya.', '(3) dalam hal sim lewat dari masa berlakunya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) harus diajukan penerbitan sim baru.', '(4) sim yang lewat dari masa berlakunya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) karena keadaan kahar dapat: a. dikecualikan terhadap ketentuan ayat (3); dan b. dilakukan perpanjangan sim berdasarkan keputusan kakorlantas polri atas laporan dari direktorat lalu lintas kepolisian daerah.']", 517: "['(1) penerbitan sim meliputi: a. persyaratan; dan b. tata cara pelaksanaan penerbitan sim.', '(2) penerbitan sim sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan berdasarkan permohonan.', '(3) penerbitan sim sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan terhadap: a. sim baru; b. perpanjangan sim; c. peningkatan golongan sim; d. penurunan golongan sim; e. perubahan data pengemudi; f. penggantian sim hilang atau rusak; dan g. akibat pencabutan sim atas dasar putusan pengadilan.', '(4) peningkatan golongan sim sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf c, meliputi: a. sim a menjadi sim a umum atau sim bi; b. sim a umum menjadi sim bi atau sim bi umum; c. sim bi menjadi sim bi umum atau sim bii; d. sim bi umum menjadi sim bii atau sim bii umum; e. sim bii menjadi sim bii umum; f. sim c menjadi sim ci; dan g. sim ci menjadi sim cii.']", 518: "['(1) penerbitan sim meliputi: a. persyaratan; dan b. tata cara pelaksanaan penerbitan sim.', '(2) penerbitan sim sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan berdasarkan permohonan.', '(3) penerbitan sim sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan terhadap: a. sim baru; b. perpanjangan sim; c. peningkatan golongan sim; d. penurunan golongan sim; e. perubahan data pengemudi; f. penggantian sim hilang atau rusak; dan g. akibat pencabutan sim atas dasar putusan pengadilan.', '(4) peningkatan golongan sim sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf c, meliputi: a. sim a menjadi sim a umum atau sim bi; b. sim a umum menjadi sim bi atau sim bi umum; c. sim bi menjadi sim bi umum atau sim bii; d. sim bi umum menjadi sim bii atau sim bii umum; e. sim bii menjadi sim bii umum; f. sim c menjadi sim ci; dan g. sim ci menjadi sim cii.']", 519: "['(1) penerbitan sim meliputi: a. persyaratan; dan b. tata cara pelaksanaan penerbitan sim.', '(2) penerbitan sim sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan berdasarkan permohonan.', '(3) penerbitan sim sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan terhadap: a. sim baru; b. perpanjangan sim; c. peningkatan golongan sim; d. penurunan golongan sim; e. perubahan data pengemudi; f. penggantian sim hilang atau rusak; dan g. akibat pencabutan sim atas dasar putusan pengadilan.', '(4) peningkatan golongan sim sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf c, meliputi: a. sim a menjadi sim a umum atau sim bi; b. sim a umum menjadi sim bi atau sim bi umum; c. sim bi menjadi sim bi umum atau sim bii; d. sim bi umum menjadi sim bii atau sim bii umum; e. sim bii menjadi sim bii umum; f. sim c menjadi sim ci; dan g. sim ci menjadi sim cii.']", 520: 'pasal 7 persyaratan untuk penerbitan sim sebagaimana dimaksud dalam pasal 6 ayat (1) huruf a, terdiri atas: a. usia; b. administrasi; c. kesehatan; dan d. lulus ujian.', 521: '(1) Persyaratan administrasi untuk penerbitan SIM sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf b,dilakukan dengan ketentuan: a. untuk penerbitan SIM Ranmor Perseorangan dan SIM Ranmor Umum, meliputi: 1. mengisi dan menyerahkan formulir pendaftaran SIM secara manual atau menunjukkan tanda bukti pendaftaran secara elektronik; 2. melampirkan fotokopi dan memperlihatkan identitas diri Kartu Tanda Penduduk Elektronik bagi warga negara Indonesia atau dokumen keimigrasian bagi warga negara asing; 3. melampirkan fotokopi sertifikat pendidikan dan pelatihan mengemudi dengan memperlihatkan yang aslinya; 3a melampirkan surat hasil verifikasi kompetensi mengemudi yang diterbitkan oleh sekolah mengemudi yang terakreditasi, bagi pemohon SIM perorangan yang tidak mengikuti pendidikan dan pelatihan mengemudi atau belajar sendiri; 4. melampirkan fotokopi surat izin kerja asli dari kementerian yang membidangi ketenagakerjaan bagi warga negara asing yang bekerja di Indonesia; 5. melaksanakan perekaman biometri berupa sidik jari dan/atau pengenalan wajah maupun retina mata; 5a melampirkan tanda bukti kepesertaan aktif dalam program jaminan kesehatan nasional; dan 6. menyerahkan bukti pembayaran penerimaan bukan pajak;', 522: '(3) Selain persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf b, untuk penerbitan SIM: a. perubahan data Pengemudi melampirkan: 1. penetapan pengadilan tentang perubahan identitas bagi Pengemudi yang melakukan perubahan identitas tertentu; dan 2. SIM lama; b. penggantian SIM hilang melampirkan surat tanda penerimaan laporan kehilangan dari Polri;', 523: '(1) Ujian teori sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1) huruf a, dilaksanakan untuk permohonan: a. SIM baru; b. peningkatan golongan SIM; dan c. akibat pencabutan SIM atas dasar putusan pengadilan. ;;pasal 16 (1) Ujian teori sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1) huruf a, dilaksanakan untuk permohonan: a. SIM baru; b. peningkatan golongan SIM; dan c. akibat pencabutan SIM atas dasar putusan pengadilan. ;;pasal 18 (1) Ujian praktik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1) huruf c, dilaksanakan untuk permohonan: a. SIM baru;', 524: "['(1) tata cara pelaksanaan penerbitan sim terdiri atas: a. untuk penerbitan sim ranmor perseorangan dan sim ranmor umum meliputi: 1. pendaftaran; 2. identifikasi; 3. pencerahan dan pengujian; 4. pencetakan dan penyerahan; dan 5. pengarsipan; b. untuk penerbitan sim internasional meliputi: 1. verifikasi; 2. identifikasi dan pencetakan; dan 3. pengarsipan.', '(2) penerbitan sim sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh kelompok kerja pada satpas.', '(3) penerbitan sim ranmor perseorangan dan sim ranmor umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, meliputi: a. pendaftaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a angka 1, dilaksanakan untuk penerbitan sim sebagaimana dimaksud dalam pasal 6 ayat (3); b. identifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a angka 2, dilaksanakan untuk penerbitan sim sebagaimana dimaksud dalam pasal 6 ayat (3) huruf a sampai dengan huruf g; c. pencerahan dan pengujian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a angka 3, dilaksanakan untuk penerbitan sim sebagaimana dimaksud dalam pasal 6 ayat (3) huruf a, huruf c, dan huruf g; d. pencetakan dan penyerahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a angka 4, dilaksanakan untuk penerbitan sim sebagaimana dimaksud dalam pasal 6 ayat (3) huruf a, sampai dengan huruf g; dan e. pengarsipan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a angka 5, dilaksanakan untuk penerbitan sim sebagaimana dimaksud dalam pasal 6 ayat (3) huruf a sampai dengan huruf g.']", 525: "['(1) pendaftaran sebagaimana dimaksud dalam pasal 20 ayat (1) huruf a angka 1, merupakan kegiatan penerimaan permohonan penerbitan sim dari pemohon yang telah memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam pasal 7 yang dilakukan oleh kelompok kerja pendaftaran.']", 526: "['(1) identifikasi sebagaimana dimaksud dalam pasal 20 ayat (1) huruf a angka 2 merupakan kegiatan mengidentifikasi data pemohon berdasarkan kelengkapan dokumen yang dilakukan oleh kelompok kerja identifikasi.']", 527: "['(1) pencerahan dan pengujian sebagaimana dimaksud dalam pasal 20 ayat (1) huruf a angka 3 merupakan kegiatan pemberian pencerahan dan pelaksanaan pengujian terhadap pemohon yang dilakukan oleh kelompok kerja pencerahan dan pengujian pada unit ujian teori, unit ujian keterampilan melalui simulator, dan unit ujian praktik.']", 528: '(1) Pencetakan dan penyerahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (1) huruf a angka 4 merupakan kegiatan mencetak dan menyerahkan SIM kepada pemohon yang dilakukan oleh kelompok kerja pencetakan dan penyerahan.', 529: "['(1) pengarsipan sebagaimana dimaksud dalam pasal 20 ayat (1) huruf a angka 5, merupakan kegiatan penataan, penyimpanan, pemeliharaan, pemusnahan, dan penyajian arsip yang dilakukan oleh kelompok kerja pengarsipan.', '(2) pengarsipan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara manual dan/atau elektronik.']", 530: "['(1) tata cara pelaksanaan penerbitan sim terdiri atas: a. untuk penerbitan sim ranmor perseorangan dan sim ranmor umum meliputi: 1. pendaftaran; 2. identifikasi; 3. pencerahan dan pengujian; 4. pencetakan dan penyerahan; dan 5. pengarsipan; b. untuk penerbitan sim internasional meliputi: 1. verifikasi; 2. identifikasi dan pencetakan; dan 3. pengarsipan.', '(2) penerbitan sim sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh kelompok kerja pada satpas.', '(3) penerbitan sim ranmor perseorangan dan sim ranmor umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, meliputi: a. pendaftaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a angka 1, dilaksanakan untuk penerbitan sim sebagaimana dimaksud dalam pasal 6 ayat (3); b. identifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a angka 2, dilaksanakan untuk penerbitan sim sebagaimana dimaksud dalam pasal 6 ayat (3) huruf a sampai dengan huruf g; c. pencerahan dan pengujian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a angka 3, dilaksanakan untuk penerbitan sim sebagaimana dimaksud dalam pasal 6 ayat (3) huruf a, huruf c, dan huruf g; d. pencetakan dan penyerahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a angka 4, dilaksanakan untuk penerbitan sim sebagaimana dimaksud dalam pasal 6 ayat (3) huruf a, sampai dengan huruf g; dan e. pengarsipan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a angka 5, dilaksanakan untuk penerbitan sim sebagaimana dimaksud dalam pasal 6 ayat (3) huruf a sampai dengan huruf g.']", 531: "['(1) tata cara pelaksanaan penerbitan sim terdiri atas: a. untuk penerbitan sim ranmor perseorangan dan sim ranmor umum meliputi: 1. pendaftaran; 2. identifikasi; 3. pencerahan dan pengujian; 4. pencetakan dan penyerahan; dan 5. pengarsipan; b. untuk penerbitan sim internasional meliputi: 1. verifikasi; 2. identifikasi dan pencetakan; dan 3. pengarsipan.', '(2) penerbitan sim sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh kelompok kerja pada satpas.', '(3) penerbitan sim ranmor perseorangan dan sim ranmor umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, meliputi: a. pendaftaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a angka 1, dilaksanakan untuk penerbitan sim sebagaimana dimaksud dalam pasal 6 ayat (3); b. identifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a angka 2, dilaksanakan untuk penerbitan sim sebagaimana dimaksud dalam pasal 6 ayat (3) huruf a sampai dengan huruf g; c. pencerahan dan pengujian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a angka 3, dilaksanakan untuk penerbitan sim sebagaimana dimaksud dalam pasal 6 ayat (3) huruf a, huruf c, dan huruf g; d. pencetakan dan penyerahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a angka 4, dilaksanakan untuk penerbitan sim sebagaimana dimaksud dalam pasal 6 ayat (3) huruf a, sampai dengan huruf g; dan e. pengarsipan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a angka 5, dilaksanakan untuk penerbitan sim sebagaimana dimaksud dalam pasal 6 ayat (3) huruf a sampai dengan huruf g.']", 532: '9. satuan penyelenggara administrasi sim yang selanjutnya disebut satpas adalah unsur pelaksana polri di bidang lalu lintas yang menyelenggarakan kegiatan registrasi dan identifikasi pengemudi', 533: "['(1) satpas sebagaimana dimaksud dalam pasal 20 ayat', '(2), berkedudukan di: a. korlantas polri untuk penerbitan sim internasional; dan b. kepolisian daerah tipe a khusus atau kepolisian resor untuk sim ranmor perseorangan dan sim ranmor umum. (2) satpas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas: a. satpas level i; b. satpas level ii; c. satpas level iii; dan d. satpas level iv.', '(3) selain satpas sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terdapat satpas pembantu dan satpas keliling.', '(4) satpas level i sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a, menerbitkan sim dengan golongan sim d, sim di, sim c, sim ci, dan sim a.', '(5) satpas level ii sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b, menerbitkan sim dengan golongan sim d, sim di, sim c, sim ci, sim a, dan sim a umum.', '(6) satpas level iii dan level iv sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c dan huruf d, menerbitkan sim dengan golongan sim d, sim di, sim c, sim ci, sim cii, sim a, sim a umum, sim bi, sim bi umum, sim bii, sim bii umum.', '(7) satpas pembantu dan satpas keliling sebagaimana dimaksud pada ayat (3) menerbitkan perpanjangan sim dengan golongan sim d, sim di, sim c, sim ci, sim cii dan sim a.']"} |
Saya tinggal di daerah rawan gempa, setiap sebulan sekali pasti ada saja gempa-gempa skala menengah maupun kecil. Banyak warga yang trauma, banyak yang masih panik dan melarikan diri karena takut tsunami. Kondisi ini sering dimanfaatkan oleh orang untuk melakukan pencurian di minimarket. Bisakah dipidana orang yang melakukan pencurian tersebut? | ULASAN LENGKAP dari artikel dengan judul Hukuman Pidana Bagi yang Mencuri Pada Saat Gempa Bumi yang dibuat oleh Sovia Hasanah, S.H. dan pertama kali dipublikasikan pada 12 Oktober 2016. Artikel ini dibuat berdasarkan KUHP lama dan UU 1/2023 tentang KUHP yang diundangkan pada tanggal 2 Januari 2023. . Pada dasarnya tindakan pencurian yang dilakukan pada saat gempa bumi merupakan tindak pidana pencurian dengan pemberatan. Akan tetapi, sebelumnya Anda perlu ketahui terlebih dahulu tindak pidana pencurian biasa. Pencurian Biasa Mengenai pencurian biasa, pada dasarnya telah diatur dalam Pasal 362 KUHP lama yang saat artikel ini diterbitkan masih berlaku dan Pasal 476 UU 1/2023 tentang KUHP baru yang berlaku 3 tahun sejak tanggal diundangkan, [1] yaitu pada tahun 2026, yang berbunyi: Pasal 362 KUHP Pasal 476 UU 1/2023 Barang siapa mengambil barang sesuatu, yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain, dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum, diancam karena pencurian , dengan pidana penjara paling lama 5 tahun atau pidana denda paling banyak Rp900 ribu. [2] Setiap orang yang mengambil suatu barang yang sebagian atau seluruhnya milik orang lain, dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum, dipidana karena pencurian, dengan pidana penjara paling lama 5 tahun atau pidana denda paling banyak kategori V, yaitu Rp500 juta. [3] Terkait Pasal 362 KUHP, R. Soesilo dalam bukunya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal (hal. 249) menjelaskan bahwa ini adalah “pencurian biasa”, elemen-elemennya sebagai berikut: Perbuatan mengambil untuk dikuasainya, maksudnya waktu pencuri mengambil barang itu, barang tersebut belum ada dalam kekuasaannya. Yang diambil harus sesuatu barang adalah segala sesuatu yang berwujud, termasuk pula binatang. Dalam pengertian barang, masuk pula “daya listrik” dan “gas”, meskipun tidak berwujud, akan tetapi dialirkan di kawat atau pipa. Barang ini tidak perlu mempunyai harga ekonomis. Barang itu harus seluruhnya atau sebagian milik orang lain. Pengambilan itu harus dilakukan dengan maksud untuk memiliki barang itu dengan melawan hukum (melawan hak). Selain itu, pada penjelasan Pasal 476 UU 1/2023 yang dimaksud dengan “mengambil” tidak hanya diartikan secara fisik, tetapi juga meliputi bentuk perbuatan “mengambil” lainnya secara fungsional (nonfisik) mengarah pada maksud “memiliki barang orang lain secara melawan hukum.” Selanjutnya, yang dimaksud “dimiliki” adalah mempunyai hak atas barang tersebut. : Ini Bunyi Pasal 362 KUHP tentang Pencurian Pencurian Pada Saat Gempa Bumi (Pencurian dengan Pemberatan) Pencurian pada saat terjadi gempa bumi, dapat dianggap sebagai “pencurian dengan pemberatan” yang diatur dalam Pasal 363 KUHP dan Pasal 477 UU 1/2023 , yang berbunyi: Pasal 363 KUHP Pasal 477 UU 1/2023 Diancam dengan pidana penjara paling lama 7 tahun; Pencurian ternak; Pencurian “pada waktu ada kebakaran, letusan, banjir gempa bumi, atau gempa laut , gunung meletus, kapal karam, kapal terdampar, kecelakaan kereta api, huru-hara, pemberontakan atau bahaya perang; Pencurian di waktu malam dalam sebuah rumah atau pekarangan tertutup yang ada rumahnya, yang dilakukan oleh orang yang ada di situ tidak diketahui atau tidak dikehendaki oleh yang berhak; Pencurian yang dilakukan oleh dua orang atau lebih dengan bersekutu; Pencurian yang untuk masuk ke tempat melakukan kejahatan, atau untuk sampai pada barang yang diambil, dilakukan dengan merusak, memotong atau memanjat, atau dengan memakai anak kunci palsu, perintah palsu atau pakaian jabatan palsu. Jika pencurian yang diterangkan dalam butir 3 disertai dengan salah satu hal dalam butir 4 dan 5, maka diancam dengan pidana penjara paling lama 9 tahun. Dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 tahun atau pidana denda paling banyak kategori V, yaitu Rp500 ribu, [4] setiap orang yang melakukan: Pencurian benda suci keagamaan atau kepercayaan; Pencurian benda purbakala; Pencurian ternak atau barang yang merupakan sumber mata pencaharian atau sumber nafkah utama seseorang; Pencurian pada waktu ada kebakaran, ledakan, bencana alam , kapal karam, kapal terdampar, kecelakaan pesawat udara, kecelakaan kereta api, kecelakaan lalu lintas jalan, huru-hara, pemberontakan atau perang; Pencurian pada malam suatu rumah atau dalam pekarangan tertutup yang ada rumahnya, yang dilakukan oleh orang yang adanya di situ tidak diketahui atau tidak dikehendaki oleh yang berhak; Pencurian dengan cara merusak membongkar, memotong, memecah, memanjat, memakai anak kunci palsu, menggunakan perintah palsu, atau memakai pakaian jabatan palsu, untuk masuk ke tempat melakukan tindak pidana atau sampai pada barang yang diambil; atau Pencurian secara bersama-sama dan bersekutu. Jika perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e disertai dengan salah satu cara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf f dan huruf g, dipidana dengan pidana penjara paling lama 9 tahun. Terkait pasal ini, R. Soesilo dalam bukunya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal (hal. 251) menjelaskan bahwa bila pencurian dilakukan pada waktu ada kejadian macam-macam malapetaka seperti gempa bumi , banjir, kecelakaan kereta api, huru-hara, pemberontakan atau bahaya perang, pencurian ini diancam hukuman lebih berat , karena pada waktu semacam itu orang-orang semua ribut dan barang-barang dalam keadaan tidak terjaga. Orang yang memanfaatkan kesempatan untuk berbuat kejahatan pada saat orang lain mendapat celaka maka orang tersebut rendah budinya. Lebih lanjut dijelaskan bahwa antara terjadinya malapetaka dengan pencurian itu harus ada hubungannya . Artinya pencuri betul-betul mempergunakan kesempatan itu untuk mencuri . Tidak masuk di sini misalnya seorang yang mencuri dalam satu rumah dalam kota itu dan kebetulan saja pada saat itu di bagian kota terjadi kebakaran, karena di sini pencuri tidak sengaja memakai kesempatan yang ada karena kebakaran itu. Jadi jika pencurian dilakukan pada saat ada gempa di daerah Anda atau ada hubungannya dengan gempa yang terjadi di daerah Anda, maka pelakunya dapat dipidana dengan hukuman penjara paling lama 7 (tujuh) tahun. : Bunyi Pasal 363 KUHP tentang Pencurian dengan Pemberatan Contoh Kasus Untuk mempermudah pemahaman Anda, kami berikan contoh kasus pencurian yang dilakukan pada saat terjadi malapetaka dapat kita lihat pada Putusan PN Sumbawa No. 72/Pid.B/2013/PN.SBB . Terdakwa mencuri satu buah televisi pada saat terjadi kerusuhan antar warga masyarakat. Terdakwa memanfaatkan situasi kerusuhan itu untuk melakukan pencurian. Atas perbuatannya, terdakwa dinyatakan terbukti bersalah melakukan pencurian dengan pemberatan dan majelis hakim menjatuhkan pidana penjara selama 3 (tiga) bulan. Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. Dasar Hukum: Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ; Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ; Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2012 tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda dalam KUHP . Referensi: R. Soesilo . Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal . Sukabumi: Politeia, 1991. Putusan: Putusan Pengadilan Negeri Sumbawa Nomor 72/Pid.B/2013/PN.SBB . [1] Pasal 624 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“UU 1/2023”) [2] Pasal 3 Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2012 tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda dalam KUHP , denda dikali 1000 [3] Pasal 79 ayat (1) huruf e UU 1/2023 [4] Pasal 79 ayat (1) huruf e UU 1/2023 TAGS gempa bumi pencurian kuhp | {4: 'Undang-Undang ini mulai berlaku setelah 3 (tiga) tahun terhitung sejak tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.', 535: 'Tiap jumlah maksimum hukuman denda yang diancamkan dalam KUHPkecuali pasal 303 ayat 1 dan ayat 2, 303 bis ayat 1 dan ayat 2, dilipatgandakan menjadi 1.000 (seribu) kall,', 7: "['(1) pidana denda paling banyak ditetapkan berdasarkan: a. kategori i, rp1.000.000,00 (satu juta rupiah); b. kategori ii, rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah); c. kategori iii, rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah); d. kategori iv, rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah); e. kategori v, rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah); f. kategori vi, rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah); g. kategori vii, rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah); dan h. kategori viii, rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah).']"} |
Saya akan menceritakan kronologis di kos yang saya rasa sangat tak patut dicontoh. Saya tidak sengaja melihat dua orang mahasiswa dan mahasisiwi berciuman. Lalu ada seorang mahasiswa lain datang dan tiba-tiba menghampiri mereka berdua dan menyeret ke luar kos. Ternyata, kedua mahasiswa itu berkelahi. Mahasiswi yang tadi lalu memanggil salah satu satpam untuk melerai. Ternyata perkelahian itu terjadi karena cemburu cintanya ditolak oleh si mahasiswi. Adakah hukumnya atas kejadian ini? Terima kasih. | ULASAN LENGKAP dari artikel dengan judul Hukumnya Jika Berkelahi karena Berebutan Pacar yang dibuat oleh Tri Jata Ayu Pramesti, S.H. , dan pertama kali dipublikasikan pada 7 April 2014. Artikel ini dibuat berdasarkan KUHP lama dan UU 1/2023 tentang KUHP yang diundangkan pada tanggal 2 Januari 2023. . Jerat Pasal Perkelahian dan Penganiayaan Perlu Anda ketahui, perkelahian yang dilakukan antara dua mahasiswa yang dipicu karena masalah cinta ini bisa terjadi dua kemungkinan tindak pidana. Kemungkinan pertama adalah tindak pidana perkelahian duel satu lawan satu yang diatur dalam Pasal 184 KUHP dan kemungkinan yang kedua adalah tindak pidana penganiayaan yang diatur dalam Pasal 351 ayat (1) KUHP atau Pasal 466 UU 1/2023 . Anda tidak menjelaskan apakah mahasiswa yang menyeret mahasiswa lainnya itu menantang untuk berkelahi dan mahasiswa yang diseret itu menerima tantangan tersebut atau tidak. Jika sebelum berkelahi memang diawali dengan suatu tantangan dari salah satu dan yang lainnya menyetujui tantangan tersebut, maka dapat dipidana dengan Pasal 184 KUHP tentang perkelahian satu lawan satu (duel). R. Soesilo dalam bukunya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal (merujuk pada Penjelasan Pasal 182 KUHP) menjelaskan bahwa menurut pengertian umum, “berkelahi satu lawan satu” itu adalah perkelahian dua orang dengan teratur, dengan tantangan lebih dahulu, sedangkan tempat, waktu, senjata yang dipakai, siapa saksi-saksinya ditetapkan pula. Perkelahian ini biasanya disebut “duel”. Perkelahian meskipun antara dua orang, apabila tidak memenuhi syarat-syarat tersebut, tidak masuk dalam pasal ini (hal. 151). Lebih lanjut, Soesilo mengatakan bahwa melakukan “perkelahian satu lawan satu” menurut pasal ini dihukum, meskipun tidak ada orang yang mendapat luka (hal. 152). Ini artinya, apabila saat itu mahasiswa yang satu menyeret mahasiswa lainnya dan menantang untuk berkelahi duel satu lawan satu, maka terhadap pelakunya dikenakan Pasal 184 KUHP. Anda tidak menjelaskan apakah kemudian perkelahian tersebut berakibat luka atau tidak. Tindak pidana perkelahian duel satu lawan satu yang terdapat dalam Pasal 184 KUHP, sanksinya dibagi-bagi berdasarkan akibat yang ditimbulkan dari perkelahian itu, seperti jika perkelahian tersebut melukai tubuh lawannya, melukai berat tubuh lawannya, atau hingga menghilangkan nyawa lawannya: Pasal 184 KUHP Seseorang diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan, jika ia dalam perkelahian tanding itu tidak melukai tubuh pihak lawannya. Diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun dan empat bulan, barang siapa melukai tubuh lawannya. Diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun, barang siapa melukai berat tubuh lawannya. Barang siapa yang merampas nyawa lawannya, diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun, atau jika perkelahian satu lawan satu itu dilakukan dengan perjanjian hidup atau mati, diancam dengan pidana penjara paling lama 12 tahun. Percobaan perkelahian tanding tidak dipidana. Kemungkinan kedua adalah tindak pidana penganiayaan. Apabila tidak ada tantangan untuk berkelahi, sedangkan mahasiswa yang diseret dipukuli oleh mahasiswa lainnya, dan ia tidak memberikan perlawanannya, maka pelakunya dapat diancam atas dasar tindak pidana penganiayaan yang terdapat dalam Pasal 351 – Pasal 358 KUHP atau Pasal 466 UU 1/2023. R. Soesilo masih dalam buku yang sama, menerangkan bahwa menurut yurisprudensi, yang diartikan dengan “penganiayaan” yaitu sengaja menyebabkan perasaan tidak enak (penderitaan), rasa sakit, atau luka (hal. 245). Pasal 351 KUHP Pasal 466 UU 1/2023 Penganiayaan diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau pidana denda paling banyak Rp4,5 juta. [1] Jika perbuatan mengakibatkan luka-luka berat, yang bersalah diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun. Jika mengakibatkan mati, diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun. Dengan penganiayaan disamakan sengaja merusak kesehatan. Percobaan untuk melakukan kejahatan ini tidak dipidana. Setiap orang yang melakukan penganiayaan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 tahun 6 bulan atau pidana denda paling banyak kategori III, yaitu Rp50 juta. [2] Jika perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan luka berat, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun. Jika perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan matinya orang, dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 tahun. Termasuk dalam penganiayaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah perbuatan yang merusak kesehatan. Percobaan melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1), tidak dipidana. Pembelaan Terpaksa Akan tetapi, dalam hal mahasiswa yang diseret tersebut membalas pukulan mahasiswa yang menyeretnya dalam hal pembelaan diri karena terpaksa, maka ada kemungkinan ia tidak dapat dipidana karena alasan penghapus pidana. Dalam hukum pidana, hal ini dikenal dengan sebutan pembelaan terpaksa. : Daya Paksa dan Pembelaan Terpaksa Sebagai Alasan Penghapus Pidana Sebagai saksi, atas perbuatan perkelahian yang dilakukan oleh kedua mahasiswa tersebut, Anda dapat melaporkannya kepada pihak berwajib untuk ditindaklanjuti. Namun demikian, kami menyarankan agar permasalahan ini diselesaikan secara kekeluargaan. Tuntutan pidana hendaknya dilakukan sebagai jalan terakhir apabila segala upaya perdamaian telah ditempuh. Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. Dasar Hukum : Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ; Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana; Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2012 tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda dalam KUHP . Referensi : R. Soesilo. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal . Bogor: Politeia, 1991. [1] Pasal 3 Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2012 tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda dalam KUHP , denda dikali 1000 [2] Pasal 79 ayat (1) huruf c Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana TAGS pacar penganiayaan kuhp | {535: 'Tiap jumlah maksimum hukuman denda yang diancamkan dalam KUHPkecuali pasal 303 ayat 1 dan ayat 2, 303 bis ayat 1 dan ayat 2, dilipatgandakan menjadi 1.000 (seribu) kall,', 349: "['(1) pidana denda paling banyak ditetapkan berdasarkan: a. kategori i, rp1.000.000,00 (satu juta rupiah); b. kategori ii, rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah); c. kategori iii, rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah); d. kategori iv, rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah); e. kategori v, rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah); f. kategori vi, rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah); g. kategori vii, rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah); dan h. kategori viii, rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah).']"} |
Belakangan banyak diberitakan kasus Pegi Setiawan yang diduga merupakan korban salah tangkap oleh polisi imbas dari kasus Vina. Jika benar Pegi adalah korban salah tangkap, upaya apa yang dapat dilakukan oleh korban salah tangkap? Berapa ganti rugi korban salah tangkap? | ULASAN LENGKAP dari artikel dengan judul Ganti Kerugian bagi Pengamen Korban Salah Tangkap yang pertama kali dipublikasikan pada 10 Oktober 2019. . Ganti Kerugian Bagi Korban Salah Tangkap Upaya apa yang dapat dilakukan oleh korban salah tangkap? Korban salah tangkap pada dasarnya dapat menuntut ganti kerugian. Hal ini dapat dilihat ketentuannya dalam Pasal 95 ayat (1) KUHAP yang selengkapnya berbunyi: Tersangka, terdakwa atau terpidana berhak menuntut ganti kerugian karena ditangkap, ditahan, dituntut dan diadili atau dikenakan tindakan lain, tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan . Yang dimaksud dengan “kerugian karena tindakan lain” adalah kerugian yang ditimbulkan oleh pemasukan rumah, penggeledahan dan penyitaan yang tidak sah menurut hukum. Termasuk penahanan tanpa alasan ialah penahanan yang lebih lama daripada pidana yang dijatuhkan. [1] Tuntutan ganti kerugian diajukan oleh tersangka, terdakwa, terpidana atau ahli warisnya kepada pengadilan yang berwenang mengadili perkara yang bersangkutan. [2] Untuk memeriksa dan memutus perkara tuntutan ganti kerugian, ketua pengadilan sejauh mungkin menunjuk hakim yang sama yang telah mengadili perkara pidana yang bersangkutan. Pemeriksaan terhadap ganti kerugian mengikuti acara praperadilan . [3] Pengaturan lebih lanjut mengenai ganti kerugian diatur dalam Pasal 7 PP 92/2015 , yang berbunyi: (1) Tuntutan ganti kerugian hanya dapat diajukan dalam waktu paling lama 3 (tiga) bulan terhitung sejak tanggal petikan atau salinan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap diterima. (2) Dalam hal tuntutan ganti kerugian tersebut diajukan terhadap perkara yang dihentikan pada tingkat penyidikan atau tingkat penuntutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 huruf b KUHAP, maka jangka waktu 3 (tiga) bulan dihitung dari saat tanggal pemberitahuan penetapan praperadilan. Ganti kerugian korban salah tangkap dapat diberikan atas dasar pertimbangan hakim. Dalam hal hakim mengabulkan atau menolak tuntutan ganti kerugian, maka alasan pemberian atau penolakan dicantumkan dalam penetapan. [4] Kemudian pada bagian Penjelasan Pasal 8 ayat (1) PP 27/1983 diuraikan sebagai berikut: Dalam menetapkan dikabulkan atau tidaknya tuntutan ganti kerugian, hakim mendasarkan pertimbangannya kepada kebenaran dan keadilan , sehingga dengan demikian tidak semua tuntutan ganti kerugian akan dikabulkan oleh hakim. Misalnya apabila tuntutan tersebut didasarkan atas hal yang menyesatkan atau bersifat menipu , maka tepat kalau tuntutan demikian itu ditolak . Lantas, berapa ganti rugi korban salah tangkap? Adapun besaran nominal ganti kerugian berpedoman pada Pasal 9 PP 92/2015 , yang berbunyi: Besarnya ganti kerugian berdasarkan alasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 huruf b dan Pasal 95 KUHAP paling sedikit Rp500.000,00 (lima ratus ribu rupiah) dan paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah). Besarnya ganti kerugian berdasarkan alasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 95 KUHAP yang mengakibatkan luka berat atau cacat sehingga tidak bisa melakukan pekerjaan, besarnya ganti kerugian paling sedikit Rp25.000.000,00 (dua puluh lima juta rupiah) dan paling banyak Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah). Besarnya ganti kerugian berdasarkan alasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 95 KUHAP yang mengakibatkan mati, besarnya ganti kerugian paling sedikit Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah). Prosedur penganggaran ganti kerugian bagi korban salah tangkap sendiri juga dapat merujuk pada PMK 132/2019 . Pada Bagian l Lampiran I (hal. 29) diuraikan mengenai pergeseran anggaran dalam rangka penyelesaian putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap ( inkracht ). Pergeseran anggaran dalam rangka penyelesaian putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap ( inkracht ) dapat dilakukan antarjenis belanja dan/atau antar-kegiatan dalam satu program. Pergeseran anggaran dimaksud merupakan kewajiban pengeluaran yang timbul sehubungan dengan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap ( inkracht ). Pergeseran anggaran dimaksud merupakan tanggung jawab Kementerian/Lembaga yang terkait dengan permasalahan tersebut. Ketentuan ini juga dapat digunakan untuk penyelesaian revisi berupa pembayaran ganti kerugian korban salah tangkap. Contoh Kasus Korban Salah Tangkap Sebagai referensi, kami akan menguraikan kasus korban salah tangkap yang dialami oleh dua pengamen yang didakwa terbukti bersalah melakukan tindak pidana pembunuhan secara bersama-sama yang kemudian membuat mereka dijatuhi pidana penjara selama tujuh tahun. Amar putusan ini tercantum dalam Putusan PN Jakarta Selatan No. 1273/Pid.B/2013/PN.Jkt Sel . Selanjutnya atas putusan tersebut, diajukan upaya hukum banding dan dikeluarkan Putusan PT Jakarta No. 50/PID/2014/PT.DKI . Amar putusannya menyatakan bahwa terpidana tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana, sehingga kepadanya dikeluarkan dari tahanan dan dipulihkan harkat dan martabatnya. Tidak berhenti sampai di situ, pihak penuntut umum kemudian melakukan upaya kasasi. Mahkamah Agung justru memperkuat putusan Pengadilan Tinggi Jakarta tersebut melalui Putusan MA No. 1055 K/PID/2014 . Kasus salah tangkap ini juga terangkum dalam artikel Jalan Berliku Korban Salah Tangkap Peroleh Uang Ganti Kerugian . Masih bersumber pada laman artikel yang sama, diberitakan bahwa kedua pengamen tersebut telah mendekam di penjara selama kurang lebih setahun. Pasca dikeluarkannya putusan yang menyatakan kedua pengamen tersebut terbukti tidak bersalah, dikutip dari artikel Proses Pencairan Ganti Rugi Pengamen Salah Tangkap Terhambat Penetapan Hakim , kedua pengamen mengajukan permohonan praperadilan ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan atas penangkapan yang dianggap tidak sah sekaligus meminta ganti kerugian. Sepanjang penelusuran kami, diakses dari laman resmi Sistem Informasi Penelusuran Perkara Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dinyatakan bahwa ganti kerugian korban salah tangkap tersebut dikabulkan melalui Putusan PN Jakarta Selatan No. 98/Pid.Pra/2016/PN JKT.SEL yang pada pokok amarnya memerintahkan kepada negara, dalam hal ini melalui Pemerintah Republik Indonesia cq Menteri Keuangan, untuk membayar ganti kerugian sebesar Rp36 juta. Perkaya riset hukum Anda dengan analisis hukum terbaru dwibahasa, serta koleksi terjemahan peraturan yang terintegrasi dalam Hukumonline Pro, pelajari lebih lanjut di sini . Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. Dasar Hukum: Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana ; Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana sebagaimana diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2010 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana kemudian diubah kedua kalinya dengan Peraturan Pemerintah Nomor 92 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana ; Peraturan Menteri Keuangan Nomor 206/PMK.02/2018 tentang Tata Cara Revisi Anggaran Tahun Anggaran 2019 sebagaimana diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 132/PMK.02/2019 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 206/PMK.02/2018 tentang Tata Cara Revisi Anggaran Tahun Anggaran 2019 . Putusan: Putusan Mahkamah Agung Nomor: 1055 K/PID/2014 . Referensi : Sistem Informasi Penelusuran Perkara Pengadilan Negeri Jakarta Selatan , yang diakses pada 12 Juni 2024, pukul 12.00 WIB. [1] Penjelasan Pasal 95 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (“KUHAP”) [2] Pasal 95 ayat (3) KUHAP [3] Pasal 95 ayat (4) dan (5) KUHAP [4] Pasal 8 Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana TAGS kuhap hukumonline ganti rugi korban salah tangkap pidana | {536: 'Yang dimaksud dengan "kerugian karena dikenakan tindakan lain" ialah kerugian yang ditimbulkan oleh pemasukan rumah, penggeledahan dan penyitaan yang tidak sah menurut hukum. Termasuk penahanan tanpa alasan ialah penahanan yang lebih lama daripada pidana yang dijatuhkan. ', 537: "['(1) tersangka, terdakwa atau terpidana berhak menuntut ganti kerugian karena ditangkap, ditahan, dituntut dan diadili atau dikenakan tindakan lain, tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan.', '(2) tuntutan ganti kerugian oleh tersangka atau ahli warisnya atas penangkapan atau penahanan serta tindakan lain tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan mengenai orang atau hukum yang diterapkan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan negeri, diputus di sidang praperadilan sebagaimana dimaksud dalam pasal 77.', '(3) tuntutan ganti kerugian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diajukan oleh tersangka, terdakwa, terpidana atau ahli warisnya kepada pengadilan yang berwenang mengadili perkara yang bersangkutan.', '(4) untuk memeriksa dan memutus perkara tuntutan ganti kerugian tersebut pada ayat (1) ketua pengadilan sejauh mungkin menunjuk hakim yang sama yang telah mengadili perkara pidana yang bersangkutan.']", 538: "['(1) tersangka, terdakwa atau terpidana berhak menuntut ganti kerugian karena ditangkap, ditahan, dituntut dan diadili atau dikenakan tindakan lain, tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan.', '(2) tuntutan ganti kerugian oleh tersangka atau ahli warisnya atas penangkapan atau penahanan serta tindakan lain tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan mengenai orang atau hukum yang diterapkan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan negeri, diputus di sidang praperadilan sebagaimana dimaksud dalam pasal 77.', '(3) tuntutan ganti kerugian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diajukan oleh tersangka, terdakwa, terpidana atau ahli warisnya kepada pengadilan yang berwenang mengadili perkara yang bersangkutan.', '(4) untuk memeriksa dan memutus perkara tuntutan ganti kerugian tersebut pada ayat (1) ketua pengadilan sejauh mungkin menunjuk hakim yang sama yang telah mengadili perkara pidana yang bersangkutan.']", 539: "['(1) ganti kerugian dapat diberikan atas dasar pertimbangan hakim.']"} |
Belakangan ini ramai pemberitaan mengenai penangkapan Pegi sebagai DPO pelaku pembunuhan Vina Cirebon. Saya tertarik pada opini publik yang banyak menyatakan bahwa Pegi adalah korban salah tangkap dan Pegi mengaku berani mati mengaku bukan dia yang membunuh Vina. Jika nantinya Hakim memutus Pegi bebas tidak bersalah, bagaimana cara memulihkan harkat martabatnya sebagai korban salah tangkap? Apakah dengan putusan Hakim itu dengan sendirinya harkat martabat Pegi sudah dipulihkan? Apakah dengan putusan tersebut, Pegi bisa mengajukan ganti kerugian atas segala yang diderita selama di penjara? Batas waktu untuk mengajukan ganti kerugian dan tuntutan balik setelah putusan berapa lama? | ULASAN LENGKAP dari artikel dengan judul Rehabilitasi dan Ganti Kerugian Bagi Korban Salah Tangkap yang dibuat oleh Rusti Margareth Sibuea, S.H. , dan pertama kali dipublikasikan pada 28 September 2018. . Hak-hak Korban Salah Tangkap Terhadap tersangka atau terdakwa yang salah tangkap, maka setidaknya terdapat dua hak yang dimiliki, yaitu ganti kerugian dan rehabilitasi. Ganti Kerugian Menurut Pasal 1 angka 22 KUHAP , ganti kerugian adalah hak seorang untuk mendapat pemenuhan atas tuntutannya yang berupa imbalan sejumlah uang karena ditangkap , ditahan, dituntut ataupun diadili tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan menurut cara yang diatur dalam KUHAP. Apabila tersangka atau terdakwa diproses hukum tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan, maka ia berhak menuntut ganti kerugian berupa imbalan sejumlah uang. Hal tersebut ditegaskan kembali dalam Pasal 95 ayat (1) KUHAP sebagai berikut: Tersangka, terdakwa atau terpidana berhak menuntut ganti kerugian karena ditangkap , ditahan, dituntut dan diadili atau dikenakan tindakan lain, tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan. Rehabilitasi Selain ganti kerugian, tersangka atau terdakwa juga berhak untuk mendapatkan rehabilitasi. Pasal 1 angka 23 KUHAP mendefinisikan rehabilitasi adalah hak seorang untuk mendapat pemulihan haknya dalam kemampuan, kedudukan dan harkat serta martabatnya yang diberikan pada tingkat penyidikan, penuntutan atau peradilan karena ditangkap, ditahan, dituntut ataupun diadili tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan menurut cara yang diatur dalam KUHAP. Rehabilitasi berhak mendapat rehabilitasi apabila nantinya yang bersangkutan diputus bebas atau lepas dan putusan tersebut telah berkekuatan hukum tetap (inkracht) . Hal ini diatur di dalam Pasal 97 ayat (1) KUHAP yang berbunyi: Seorang berhak memperoleh rehabilitasi apabila oleh pengadilan diputus bebas atau diputus lepas dari segala tuntutan hukum yang putusannya telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Selain itu, dalam Pasal 97 ayat (3) KUHAP diatur bahwa permintaan rehabilitasi tersangka atas penangkapan atau penahanan tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang atau kekeliruan mengenai orang atau hukum yang diterapkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 95 ayat (1) yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan negeri diputus oleh hakim praperadilan . : Seluk Belik Praperadilan: Dari Objek Hingga Upaya Hukumnya Cara Memperoleh Rehabilitasi bagi Korban Salah Tangkap Sebagaimana telah kami jelaskan di atas, pemulihan harkat dan martabat seorang tersangka atau terdakwa yang salah tangkap dilakukan dengan pemberian rehabilitasi. Rehabilitasi dapat diberikan melalui putusan pengadilan ataupun dalam bentuk penetapan. Rehabilitasi bagi terdakwa diberikan dan dicantumkan sekaligus dalam putusan pengadilan diatur dalam Pasal 97 ayat (2) KUHAP sebagai berikut: Rehabilitasi tersebut diberikan dan dicantumkan sekaligus dalam putusan pengadilan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1). Amar putusan pengadilan mengenai rehabilitasi berbunyi “ Memulihkan hak terdakwa dalam kemampuan, kedudukan dan harkat serta martabatnya.” [1] Apabila dalam amar putusan yang telah berkekuatan hukum tetap tersebut tidak sekaligus dicantumkan tentang pemberian rehabilitasinya, maka berdasarkan SEMA 11/1985 , yang bersangkutan dapat mengajukan permohonan kepada Ketua Pengadilan Negeri yang memutus perkaranya dalam tingkat pertama . [2] Pengadilan Negeri setelah menerima permohonan itu kemudian memberikan rehabilitasi yang diminta orang tersebut yang dituangkan dalam bentuk penetapan . [3] Dengan demikian, jika dalam amar putusan telah dicantumkan mengenai pemberian rehabilitasi, maka harkat martabat terdakwa telah dipulihkan melalui putusan tersebut. Namun, jika dalam dalam amar putusan tidak dicantumkan mengenai pemberian rehabilitasi, yang bersangkutan dapat mengajukan permohonan kepada Ketua Pengadilan Negeri yang memutus perkaranya di tingkat pertama. Adapun, permintaan rehabilitasi sebagaimana dimaksud Pasal 97 ayat (3) KUHAP diajukan oleh tersangka , keluarga atau kuasanya kepada pengadilan yang berwenang, selambat-lambatnya dalam waktu 14 hari setelah putusan mengenai sah tidaknya penangkapan atau penahanan diberitahukan kepada pemohon . [4] Jika permintaan rehabilitasi diajukan bersama-sama dengan permintaan mengenai sah tidaknya penangkapan atau penahanan, maka penetapan tentang rehabilitasi dicantumkan sekaligus dengan penetapan sah tidaknya penangkapan atau penahanan tersebut. [5] Amar penetapan dari praperadilan mengenai rehabilitasi berbunyi “ Memulihkan hak pemohon dalam kemampuan, kedudukan dan harkat serta martabatnya.” [6] Mengenai prosedur rehabilitasi bagi tersangka dan terdakwa, dapat Anda simak juga di dalam artikel Syarat dan Prosedur Rehabilitasi bagi Tersangka dan Terdakwa . Prosedur Memperoleh Ganti Kerugian bagi Korban Salah Tangkap Selain rehabilitasi, berdasarkan ketentuan Pasal 95 ayat (1) KUHAP yang telah kami uraikan di atas, tersangka atau terdakwa berhak mengajukan tuntutan ganti kerugian berupa imbalan sejumlah uang. Tuntutan ganti kerugian tersebut diajukan kepada pengadilan yang berwenang mengadili perkara yang bersangkutan. [7] Adapun besar ganti kerugian yang dapat diperoleh oleh tersangka atau terdakwa berdasarkan ketentuan Pasal 9 PP 92/2015 sebagai berikut: Besarnya ganti kerugian berdasarkan bagi seorang yang perkaranya dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan serta Pasal 95 KUHAP paling sedikit Rp500 ribu dan paling banyak Rp100 juta. Besarnya ganti kerugian berdasarkan alasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 95 KUHAP yang mengakibatkan luka berat atau cacat sehingga tidak bisa melakukan pekerjaan, besarnya ganti kerugian paling sedikit Rp25 juta dan paling banyak Rp300 juta. Besarnya ganti kerugian berdasarkan alasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 95 KUHAP yang mengakibatkan mati, besarnya ganti kerugian paling sedikit Rp50 juta dan paling banyak Rp600 juta. Adapun, jangka waktu pengajuan tuntutan ganti kerugian diatur dalam Pasal 7 PP 92/2015 sebagai berikut: (1) Tuntutan ganti kerugian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 95 KUHAP hanya dapat diajukan dalam waktu paling lama 3 (tiga) bulan terhitung sejak tanggal petikan atau salinan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap diterima . (2) Dalam hal tuntutan ganti kerugian tersebut diajukan terhadap perkara yang dihentikan pada tingkat penyidikan atau tingkat penuntutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 huruf b KUHAP, maka jangka waktu 3 (tiga) bulan dihitung dari saat tanggal pemberitahuan penetapan praperadilan. Dengan demikian, terdakwa hanya dapat mengajukan tuntutan ganti kerugian dalam waktu 3 bulan sejak tanggal petikan putusan atau salinan putusan pengadilan yang telah inkracht diterima . Perkaya riset hukum Anda dengan analisis hukum terbaru dwibahasa, serta koleksi terjemahan peraturan yang terintegrasi dalam Hukumonline Pro, pelajari lebih lanjut di sini . Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. Dasar Hukum: Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana ; Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2010 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana kemudian diubah kedua kalinya dengan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 92 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana ; Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 11 Tahun 1985 tentang Permohonan Rehabilitasi dari Terdakwa yang Dibebaskan atau Dilepas dari Segala Tuntutan Hukum . [1] Pasal 14 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana (“PP 27/1983”) [2] Angka 2 Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 11 Tahun 1985 tentang Permohonan Rehabilitasi dari Terdakwa yang Dibebaskan atau Dilepas dari Segala Tuntutan Hukum (“SEMA 11/1985”) [3] Angka 3 SEMA 11/1985 [4] Pasal 12 PP 27/1983 [5] Penjelasan Pasal 12 PP 27/1983 [6] Pasal 14 ayat (2) PP 27/1983 [7] Pasal 95 ayat (3) KUHAP TAGS acara peradilan hukumonline online hukum korban salah tangkap rehabilitasi ganti kerugian pidana | {540: '[\'(1) amar putusan dari pengadilan mengenai rehabilitasi berbunyi sebagai berikut : "memulihkan hak terdakwa dalam kemampuan, kedudukan dan harkat serta martabatnya".\']', 541: 'Sehubungan dengan itu apabila orang tersebut menghendaki agar rehabilitasinya diberikan oleh Pengadilan, maka ia dapat mengajukan permohonan kepada Ketua Pengadilan Negeri yang memutus perkaranya dalam tingkat pertama.', 542: '5. Pengadilan Negeri setelah menerima permohonan itu kemudian memberikan rehabilitasi yang diminta orang tersebut yang dituangkan dalam bentuk penetapan”.', 543: 'pasal 12 permintaan rehabilitasi sebagaimana dimaksud dalam pasal 97 ayat (3) kuhap diajukan oleh tersangka, keluarga atau kuasanya kepada pengadilan yang berwenang, selambat-lambatnya dalam waktu 14 (empat belas) hari setelah putusan mengenai sah tidaknya penangkapan atau penahanan diberitahukan kepada pemohon.', 544: 'Apabila permintaan rehabilitasi diajukan bersama-sama dengan permintaan mengenai sah tidaknya penangkapan atau penahanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 97 ayat (3) KUHAP maka penetapan tentang rehabilitasi dicantumkan sekaligus dengan penetapan sah tidaknya penangkapan atau penahanan tersebut. ', 545: '[\'(1) amar putusan dari pengadilan mengenai rehabilitasi berbunyi sebagai berikut : "memulihkan hak terdakwa dalam kemampuan, kedudukan dan harkat serta martabatnya".\']', 537: "['(1) tersangka, terdakwa atau terpidana berhak menuntut ganti kerugian karena ditangkap, ditahan, dituntut dan diadili atau dikenakan tindakan lain, tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan.', '(2) tuntutan ganti kerugian oleh tersangka atau ahli warisnya atas penangkapan atau penahanan serta tindakan lain tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan mengenai orang atau hukum yang diterapkan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan negeri, diputus di sidang praperadilan sebagaimana dimaksud dalam pasal 77.', '(3) tuntutan ganti kerugian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diajukan oleh tersangka, terdakwa, terpidana atau ahli warisnya kepada pengadilan yang berwenang mengadili perkara yang bersangkutan.', '(4) untuk memeriksa dan memutus perkara tuntutan ganti kerugian tersebut pada ayat (1) ketua pengadilan sejauh mungkin menunjuk hakim yang sama yang telah mengadili perkara pidana yang bersangkutan.']"} |
Beberapa media memberitakan adanya kerusakan fasilitas umum akibat demonstrasi di sejumlah daerah, misalnya ribuan warga gelar aksi bela Palestina di Bandung, kemudian demo buruh soal iuran Tapera potong gaji di Jakarta. Sebenarnya kerusakan fasilitas tersebut merupakan tanggung jawab siapa? Apa jerat pidana pelaku demo anarkis? Apakah ada sanksi pidana bagi pelaku demo anarkis? | ULASAN LENGKAP dari artikel dengan sama yang dibuat oleh Bernadetha Aurelia Oktavira, S.H. dan pertama kali dipublikasikan pada 26 September 2019. Artikel ini dibuat berdasarkan KUHP lama dan UU 1/2023 tentang KUHP yang diundangkan pada tanggal 2 Januari 2023. . Tindakan Anarkis saat Demonstrasi Pada dasarnya, kemerdekaan menyampaikan pendapat di muka umum merupakan hak konstitusional yang dilindungi oleh ketentuan pada Pasal 28 UUD 1945 yang berbunyi: Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang. Lebih lanjut, kemerdekaan berpendapat di muka umum tersebut secara spesifik diatur dalam UU 9/1998 . Demo yang Anda maksud kami asumsikan sebagai unjuk rasa atau demonstrasi , yang merupakan kegiatan yang dilakukan oleh seorang atau lebih untuk mengeluarkan pikiran dengan lisan, tulisan, dan sebagainya secara demonstratif di muka umum. [1] Selanjutnya Pasal 23 huruf e Perkapolri 7/2012 menyatakan bahwa kegiatan penyampaian pendapat di muka umum dinyatakan sebagai bentuk pelanggaran apabila berlangsung anarkis , yang disertai dengan tindak pidana atau kejahatan terhadap ketertiban umum, kejahatan yang membahayakan keamanan umum bagi orang atau barang, dan kejahatan terhadap penguasa umum . Sedangkan anarkis yang dimaksud adalah tindakan yang dilakukan dengan sengaja atau terang-terangan oleh seseorang atau sekelompok orang yang bertentangan dengan norma hukum yang mengakibatkan kekacauan, membahayakan keamanan umum, mengancam keselamatan barang dan/atau jiwa, kerusakan fasilitas umum, atau hak milik orang lain. [2] Prosedur Penindakan Pelaku Anarkis saat Demonstrasi Perlu diketahui bahwa pelaku pelanggaran dan perbuatan anarkis dapat ditindak secara hukum. [3] Adapun tindakan-tindakan yang dapat dilakukan mencakup: [4] menghentikan tindakan anarkis melalui himbauan, persuasif, dan edukatif; menerapkan upaya paksa sebagai jalan terakhir setelah upaya persuasif gagal dilakukan; menerapkan penindakan hukum secara profesional, proporsional, dan nesesitas yang disesuaikan dengan situasi dan kondisi; dalam hal penindakan hukum tidak dapat dilakukan seketika, maka dilakukan upaya mengumpulkan bukti-bukti dan kegiatan dalam rangka mendukung upaya penindakan di kemudian hari; dan melakukan tindakan rehabilitasi dan konsolidasi situasi. Akan tetapi, dalam hal penindakan hukum tidak dapat dilakukan seketika, dengan pertimbangan kemungkinan akan terjadi kerusuhan yang lebih luas atau dapat memicu kerusuhan massa, maka tindakan penegakan hukum tetap dilaksanakan setelah situasi kondisi memungkinkan dilakukan penindakan . [5] Selanjutnya, terdapat ketentuan-ketentuan yang perlu diperhatikan pihak kepolisian selama melakukan penanganan tindakan anarkis. Pelaku pelanggaran yang telah tertangkap harus diperlakukan secara manusiawi, tidak dilakukan tindakan kekerasan, dan pelecehan seksual. [6] Sementara itu, polisi yang melakukan tindakan upaya paksa harus menghindari terjadinya hal-hal yang kontra produktif, antara lain: [7] tindakan aparat yang spontanitas dan emosional, mengejar pelaku, membalas melempar pelaku, menangkap dengan tindakan kekerasan, dan menghujat; keluar dari ikatan satuan atau formasi dan melakukan pengejaran massa secara perorangan; tidak patuh dan taat kepada perintah penanggungjawab pengamanan di lapangan sesuai tingkatannya; tindakan aparat yang melampaui kewenangannya; tindakan aparat yang melakukan kekerasan, penganiayaan, pelecehan, melanggar HAM; dan melakukan perbuatan lain yang melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan. Lebih lanjut, penyidikan perkara penyampaian pendapat di muka umum dapat dilakukan dengan prosedur: [8] penindakan tilang; tindak pidana ringan; penyidikan perkara cepat; dan penyidikan perkara biasa. Prosedur penyidikan perkara biasa dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Dalam hal terdapat barang bukti terkait pelanggaran berupa demonstrasi yang anarkis, prosedur penyitaan dilakukan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. [9] Sanksi Pidana Pelaku atau peserta pelaksanaan penyampaian pendapat di muka umum yang melakukan perbuatan melanggar hukum, dapat dikenakan sanksi hukum sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. [10] Adapun salah satu pasal yang dapat menjerat pelaku perusakan fasilitas umum adalah Pasal 170 KUHP lama yang saat artikel ini diterbitkan masih berlaku atau Pasal 262 UU 1/2023 tentang KUHP baru yang berlaku 3 tahun sejak tanggal diundangkan, [11] yaitu tahun 2026, dengan bunyi sebagai berikut: Pasal 170 KUHP Pasal 262 UU 1/2023 Barang siapa dengan terang terangan dan dengan tenaga bersama menggunakan kekerasan terhadap orang atau barang, diancam dengan pidana penjara paling lama 5 tahun 6 bulan. Yang bersalah diancam: dengan pidana penjara paling lama 7 tahun, jika ia dengan sengaja menghancurkan barang atau jika kekerasan yang digunakan mengakibatkan luka-luka; dengan pidana penjara paling lama 9 tahun, jika kekerasan mengakibatkan luka berat; dengan pidana penjara paling lama 12 tahun, jika kekerasan mengakibatkan maut. Pasal 89 tidak diterapkan. Setiap orang yang dengan terang-terangan atau di muka umum dan dengan tenaga bersama melakukan kekerasan terhadap orang atau barang, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun atau pidana denda paling banyak kategori V, yaitu Rp500 juta. [12] Jika kekerasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan hancurnya barang atau mengakibatkan luka, dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 tahun atau pidana denda paling banyak kategori IV, yaitu Rp200 juta. [13] Jika kekerasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan luka berat, dipidana dengan pidana penjara paling lama 9 tahun. Jika kekerasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan matinya orang, dipidana dengan pidana penjara paling lama 12 tahun. Setiap orang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dapat dijatuhi pidana tambahan berupa pembayaran ganti rugi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66 ayat (1) huruf d. Tentang pasal ini, menurut R. Soesilo dalam bukunya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal (hal. 147), kekerasan yang dimaksud harus dilakukan di muka umum karena kejahatan ini memang dimasukkan ke dalam golongan kejahatan ketertiban umum . Lebih lanjut, dari bunyi Pasal 170 ayat (1) KUHP di atas, terdapat beberapa unsur pasal tersebut: [14] Unsur subjektif : barang siapa Unsur objektif : Dengan terang-terangan/secara terbuka; Dengan tenaga bersama; Menggunakan kekerasan; Terhadap orang/manusia atau barang. Penjelasan selengkapnya mengenai unsur-unsur Pasal 170 KUHP dan Pasal 262 UU 1/2023 dapat Anda baca dalam artikel Bunyi Pasal 170 KUHP tentang Pengeroyokan . Sebagai informasi tambahan, di samping pelakunya dapat dijerat pidana berdasarkan KUHP, perbuatan tersebut juga dilarang di dalam peraturan daerah. Sebagai contoh di Jakarta yang tertuang dalam Pasal 54 Perda DKI Jakarta 8/2007 dengan bunyi sebagai berikut: Setiap orang atau badan dilarang merusak prasarana dan sarana umum pada waktu berlangsungnya penyampaian pendapat, unjuk rasa dan/atau pengerahan massa. Setiap orang atau badan dilarang membuang benda-benda dan/atau sarana yang digunakan pada, waktu penyampaian pendapat, unjuk rasa, rapat-rapat umum dan pengerahan massa di jalan, jalur hijau, dan tempat umum lainnya. Setiap orang atau badan yang melanggar ketentuan dalam Pasal 54 ayat (1) Perda DKI Jakarta 8/2007 di atas, dikenakan hukuman pidana sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Tindak pidana yang dimaksud adalah tindak pidana kejahatan. [15] Contoh Kasus Sebagai contoh, kita dapat melihat Putusan Pengadilan Negeri Sleman 305/Pid.B/2018/PN Smn . Para terdakwa dalam putusan tersebut diajukan ke pengadilan karena telah membakar ban bekas, membakar pos polisi dengan bom molotov, dan merusak rambu-rambu lalu lintas serta payung pos polisi saat berunjuk rasa (hal. 25). Hakim kemudian memutus bahwa para terdakwa telah melanggar Pasal 170 ayat (1) KUHP atau Pasal 262 ayat (2) UU 1/2023. Masing-masing dihukum dengan pidana penjara selama lima bulan dan 15 hari (hal. 32). Demikian jawaban kami, semoga bermanfaat. Dasar Hukum : Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 ; Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ; Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum ; Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ; Peraturan Kepala Kepolisian Nomor 7 Tahun 2012 tentang Tata Cara Penyelenggaraan Pelayanan, Pengamanan, dan Penanganan Perkara Penyampaian Pendapat di Muka Umum ; Peraturan Daerah Provinsi DKI Jakarta Nomor 8 Tahun 2007 tentang Ketertiban Umum . Putusan : Putusan Pengadilan Negeri Sleman 305/Pid.B/2018/PN Smn . Referensi : Aziza Istiqomah (et.al). Tinjauan Hukum Pidana Terhadap Tindakan Kekerasan Terhadap Orang atau Barang yang dilakukan Secara Bersama-sama . Jurnal Recidive, Vol. 11, No. 2, 2022; R. Soesilo. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal . Bogor: Politeia, 1991. [1] Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum (“UU 9/1998”) [2] Pasal 1 angka 8 Peraturan Kepala Kepolisian Nomor 7 Tahun 2012 tentang Tata Cara Penyelenggaraan Pelayanan, Pengamanan, dan Penanganan Perkara Penyampaian Pendapat di Muka Umum (“Perkapolri 7/2012”) [3] Pasal 20 ayat (1) huruf f Perkapolri 7/2012 [4] Pasal 24 ayat (4) Perkapolri 7/2012 [5] Pasal 25 Perkapolri 7/2012 [6] Pasal 27 ayat (1) Perkapolri 7/2012 [7] Pasal 28 Perkapolri 7/2012 [8] Pasal 29 ayat (1) Perkapolri 7/2012 [9] Pasal 29 ayat (2) dan (3) Perkapolri 7/2012 [10] Pasal 16 UU 9/1998 [11] Pasal 624 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“UU 1/2023”) [12] Pasal 79 ayat (1) huruf e UU 1/2023 [13] Pasal 79 ayat (1) huruf d UU 1/2023 [14] Aziza Istiqomah (et.al). Tinjauan Hukum Pidana Terhadap Tindakan Kekerasan Terhadap Orang atau Barang yang dilakukan Secara Bersama-sama . Jurnal Recidive, Vol. 11, No. 2, 2022, hal. 110-111 [15] Pasal 63 Peraturan Daerah Provinsi DKI Jakarta Nomor 8 Tahun 2007 tentang Ketertiban Umum (“Perda DKI Jakarta 8/2007”) TAGS demo tindak pidana pidana demonstrasi | {546: 'pasal 1 dalam undang-undang ini yang dimaksud dengan: 1. kemerdekaan menyampaikan pendapat adalah hak setiap warga negara untuk menyampaikan pikiran dengan lisan, tulisan, dan sebagainya secara bebas dan bertanggung jawab sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. 2. di muka umum adalah dihadapan orang banyak, atau orang lain termasuk juga di tempat yang dapat didatangi dan atau dilihat setiap orang. 3. unjuk rasa atau demonstrasi adalah kegiatan yang dilakukan oleh seorang atau lebih untuk mengeluarkan pikiran dengan lisan, tulisan, dan sebagainya secara demonstratif di muka umum. 4. pawai adalah cara penyampaian pendapat dengan arak-arakan di jalan umum. 5. rapat umum adalah pertemuan terbuka yang dilakukan untuk menyampaikan pendapat dengan tema tertentu. presiden republik indonesia 6. mimbar bebas adalah kegiatan penyampaian pendapat di muka umum yang dilakukan secara bebas dan terbuka tanpa tema tertentu. 7. warga negara adalah warga negara republik indonesia. 8. polri adalah kepolisian negara republik indonesia.', 547: '8. Anarkis adalah tindakan yang dilakukan dengan sengaja atau terang-terangan oleh seseorang atau sekelompok orang yang bertentangan dengan norma hukum yang mengakibatkan kekacauan, membahayakan keamanan umum, mengancam keselamatan barang dan/atau jiwa, kerusakan fasilitas umum atau hak milik orang lain. ', 548: '(1) Terhadap penyampaian pendapat di muka umum yang dilakukan dengan cara melanggar peraturan perundang-undangan, dapat dilakukan tindakan sebagai berikut: ... f. melakukan tindakan hukum terhadap pelaku pelanggaran dan perbuatan anarkis; ', 549: '(4) Terhadap penyampaian pendapat di muka umum yang berlangsung anarkis dilakukan tindakan sebagai berikut: a. menghentikan tindakan anarkis melalui himbauan, persuasif dan edukatif; b. menerapkan upaya paksa sebagai jalan terakhir setelah upaya persuasif gagal dilakukan; c. menerapkan penindakan hukum secara profesional, proporsional dan nesesitas yang disesuaikan dengan situasi dan kondisi; d. dalam hal penindakan hukum tidak dapat dilakukan seketika, maka dilakukan upaya mengumpulkan bukti-bukti dan kegiatan dalam rangka mendukung upaya penindakan di kemudian hari; dan e. melakukan tindakan rehabilitasi dan konsolidasi situasi. ', 550: 'Dalam hal penindakan hukum tidak dapat dilakukan seketika, dengan pertimbangan kemungkinan akan terjadi kerusuhan yang lebih luas, atau dapat memicu kerusuhan massa, maka tindakan penegakan hukum tetap dilaksanakan setelah situasi kondisi memungkinkan dilakukan penindakan. ', 551: '(1) Pelaku pelanggaran yang telah tertangkap harus diperlakukan secara manusiawi, tidak dilakukan tindakan kekerasan dan pelecehan seksual. ', 552: 'Dalam melakukan tindakan upaya paksa harus dihindari terjadinya halhal yang kontra produktif, antara lain: a. tindakan aparat yang spontanitas dan emosional, mengejar pelaku, membalas melempar pelaku, menangkap dengan tindakan kekerasan, dan menghujat; b. keluar dari ikatan satuan atau formasi dan melakukan pengejaran massa secara perorangan; c. tidak patuh dan taat kepada perintah penanggungjawab pengamanan di lapangan sesuai tingkatannya; d. tindakan aparat yang melampaui kewenangannya; e. tindakan aparat yang melakukan kekerasan, penganiayaan, pelecehan, melanggar HAM; dan f. melakukan perbuatan lain yang melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan. ', 553: '(1) Penyidikan perkara penyampaian pendapat di muka umum dapat dilakukan dengan prosedur: a. penindakan tilang; b. tindak pidana ringan; c. penyidikan perkara cepat; dan d. penyidikan perkara biasa. ', 554: '(2) Prosedur penyidikan perkara biasa dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (3) Dalam hal terdapat barang bukti yang terkait dengan pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 huruf c, huruf d, huruf e, dan huruf f, prosedur penyitaan dilakukan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. ', 555: 'pasal 16 pelaku atau peserta pelaksanaan penyampaian pendapat di muka umum yang melakukan perbuatan melanggar hukum, dapat dikenakan sanksi hukum sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.', 4: 'Undang-Undang ini mulai berlaku setelah 3 (tiga) tahun terhitung sejak tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.', 7: "['(1) pidana denda paling banyak ditetapkan berdasarkan: a. kategori i, rp1.000.000,00 (satu juta rupiah); b. kategori ii, rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah); c. kategori iii, rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah); d. kategori iv, rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah); e. kategori v, rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah); f. kategori vi, rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah); g. kategori vii, rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah); dan h. kategori viii, rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah).']", 6: "['(1) pidana denda paling banyak ditetapkan berdasarkan: a. kategori i, rp1.000.000,00 (satu juta rupiah); b. kategori ii, rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah); c. kategori iii, rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah); d. kategori iv, rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah); e. kategori v, rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah); f. kategori vi, rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah); g. kategori vii, rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah); dan h. kategori viii, rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah).']", 556: 'Unsur-unsur Pasal 170 KUHP Unsur Subjektif Barang siapa, yaitu subjek tindak pidana atau pelaku tindak pidana. Dengan menggunakan kata barang siapa mengandung arti bahwa siapa saja dapat menjadi subjek atau pelaku tindak pidana Pasal 170 ayat (1) KUHP. Unsur Objektif Dengan terang-terangan/secara terbuka, yaitu tempat atau lokasi terjadinya peristiwa tindak pidana tersebut adalah tempat umum yang dapat terlihat oleh publik. Dengan tenaga bersama, berarti tindakan kekerasan tersebut harus dilakukan oleh sedikit-dikitnya dua orang atau lebih pelaku. Menggunakan kekerasan, misalnya mempergunakan tenaga atau kekuatan jasmani secara tidak sah, misalnya memukul dengan tenaga atau dengan segala macam senjata, menyepak, menendang, dan sebagainya. Terhadap orang/manusia atau barang, yaitu menurut R. Soesilo, kekerasan yang dilakukan biasanya terdiri atas merusak barang atau penganiayaan, akan tetapi dapat pula kurang dari itu, sudah cukup misalnya bila orang-orang melemparkan batu pada orang lain atau rumah, atau membuang-buang barang-barang dagangan sehingga berserakan, meskipun tidak ada maksud untuk menyakiti orang atau merusak barang itu. sedangkan unsur-unsur Pasal 262 ayat (1) UU 1/2023 adalah: setiap orang; dengan terang-terangan atau di muka umum; dengan tenaga bersama melakukan kekerasan; kekerasan terhadap orang atau barang.', 557: "['(1) setiap orang atau badan yang melanggar ketentuan dalam pasal 16 ayat (1), ayat', '(2), ayat']"} |
Akhir-akhir ini, viral kembali kasus pembunuhan sadis remaja di Cirebon yang terjadi tahun 2016. Berdasarkan berita yang beredar, sebelum diperkosa geng motor secara bergiliran, korban dianiaya terlebih dahulu hingga pingsan, setelah itu korban dibunuh geng motor. Saya, ingin bertanya soal tindak pidana perkosaan yang terjadi di kasus tersebut. Apakah benar Pasal 286 KUHP mengatur tentang tindak pidana perkosaan terhadap wanita yang pingsan/tidak berdaya? Jika benar, apa bunyi Pasal 286 KUHP? | ULASAN LENGKAP Artikel ini dibuat berdasarkan KUHP lama dan UU 1/2023 tentang KUHP yang diundangkan pada tanggal 2 Januari 2023. . Isi Pasal 286 KUHP Berdasarkan pertanyaan Anda, tindak pidana perkosaan terhadap wanita yang pingsan/tidak berdaya diatur dalam Pasal 286 KUHP lama yang pada saat artikel ini diterbitkan masih berlaku. Berikut adalah bunyi Pasal 286 KUHP: Barang siapa bersetubuh dengan seorang wanita di luar perkawinan, padahal diketahui bahwa wanita itu dalam keadaan pingsan atau tidak berdaya, diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun. Unsur Pasal 286 KUHP Dari bunyi Pasal 286 KUHP di atas, setidaknya terdapat beberapa unsur: barang siapa; bersetubuh dengan seorang wanita di luar perkawinan; diketahui bahwa wanita dalam keadaan pingsan atau tidak berdaya. Kemudian, sebagaimana dijelaskan dalam Memaknai Keadaan Pingsan dan Keadaan Tidak Berdaya dalam Hukum Pidana , Lamintang berpendapat bahwa walaupun dalam rumusan Pasal 286 KUHP tidak tegas mensyaratkan kesengajaan, jelas bahwa perbuatan yang diatur merupakan opzettelijk delict atau suatu delik yang harus dilakukan dengan sengaja. Konsekuensinya, untuk menyatakan seseorang terbukti melakukan tindak pidana, maka elemen kesengajaan harus dibuktikan ada pada diri terdakwa. Menurut Lamintang, ada dua hal yang harus dibuktikan agar dapat menyatakan terbuktinya perbuatan. Pertama , tentang adanya kehendak, maksud, atau niat terdakwa untuk mengadakan suatu hubungan kelamin di luar pernikahan dengan seorang perempuan. Kedua , tentang adanya pengetahuan terdakwa bahwa perempuan tersebut sedang dalam keadaan pingsan atau dalam keadaan tidak berdaya. Lantas, apa yang dimaksud “dalam keadaan pingsan” atau “tidak berdaya”? Berkaitan dengan pengertian “pingsan” atau “tidak berdaya”, R. Soesilo dalam bukunya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal merujuk pada Pasal 89 KUHP atau Pasal 156 UU 1/2023. “Pingsan” adalah tidak ingat atau tidak sadar akan dirinya , umpamanya memberi minum racun kecubung atau lain-lain obat, sehingga orangnya tidak ingat lagi. Orang yang pingsan itu tidak dapat mengetahui apa yang akan terjadi akan dirinya (hal. 212). Sedangkan, “tidak berdaya” adalah tidak mempunyai kekuatan atau tenaga sama sekali , sehingga tidak dapat mengadakan perlawanan sedikitpun, misalnya mengikat dengan tali kaki dan tangannya, mengurung dalam kamar, memberikan suntikan, sehingga orang itu lumpuh. Orang yang tidak berdaya itu masih dapat mengetahui apa yang terjadi atas dirinya (hal. 98). Bunyi Pasal 473 ayat (1) dan (2) huruf c UU 1/2023 Selain diatur dalam KUHP lama, pasal perkosaan terhadap wanita tidak berdaya diatur dalam Pasal 473 ayat (1) dan (2) huruf c UU 1/2023 tentang KUHP baru yang berlaku terhitung 3 tahun sejak tanggal diundangkan, [1] yaitu tahun 2026, sebagai berikut: Setiap Orang yang dengan Kekerasan atau Ancaman Kekerasan memaksa seseorang bersetubuh dengannya, dipidana karena melakukan perkosaan, dengan pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun; Termasuk Tindak Pidana perkosaan dan dipidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi perbuatan: c. persetubuhan dengan seseorang, padahal diketahui bahwa orang lain tersebut dalam keadaan pingsan atau tidak berdaya; Sebagai informasi, jika tindak pidana perkosaan tersebut mengakibatkan matinya orang , pidananya dapat ditambah 1/3 dari ancaman pidana yang dimaksud dalam Pasal 473 ayat (1) UU 1/2023. [2] Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. Dasar Hukum : Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ; Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana . Referensi : R. Soesilo. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal , Bogor: Politeia, 1991. [1] Pasal 624 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“UU 1/2023”) [2] Pasal 473 ayat (8) UU 1/2023 TAGS perkosaan kuhp hukum pidana potd | {4: 'Undang-Undang ini mulai berlaku setelah 3 (tiga) tahun terhitung sejak tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.', 558: "['(1) setiap orang yang dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seseorang bersetubuh dengannya, dipidana karena melakukan perkosaan, dengan pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun.', '(2) termasuk tindak pidana perkosaan dan dipidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi perbuatan: a. persetubuhan dengan seseorang dengan persetujuannya, karena orang tersebut percaya bahwa orang itu merupakan suami/istrinya yang sah; b. persetubuhan dengan anak; c. persetubuhan dengan seseorang, padahal diketahui bahwa orang lain tersebut dalam keadaan pingsan atau tidak berdaya; atau d. persetubuhan dengan penyandang disabilitas mental dan/atau disabilitas intelektual dengan memberi atau menjanjikan uang atau barang, menyalahgunakan wibawa yang timbul dari hubungan keadaan, atau dengan penyesatan menggerakkannya untuk melakukan atau membiarkan dilakukan persetubuhan dengannya, padahal tentang keadaan disabilitas itu diketahui.', '(3) dianggap juga melakukan tindak pidana perkosaan, jika dalam keadaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dengan cara: a. memasukkan alat kelamin ke dalam anus atau mulut orang lain; b. memasukkan alat kelamin orang lain ke dalam anus atau mulutnya sendiri; atau c. memasukkan bagian tubuhnya yang bukan alat kelamin atau suatu benda ke dalam alat kelamin atau anus orang lain.', '(4) dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2) huruf c, ayat (2) huruf d, dan ayat (3) dilakukan terhadap anak, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit kategori iv dan paling banyak kategori vii.', '(5) ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) berlaku juga bagi setiap orang yang memaksa anak untuk melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2) huruf c, ayat (2) huruf d, dan ayat (3) dengan orang lain. 114 / 260', '(6) dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam ikatan perkawinan, tidak dilakukan penuntutan kecuali atas pengaduan korban.', '(7) jika salah satu tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (3) mengakibatkan luka berat, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun.', '(8) jika salah satu tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (3) mengakibatkan matinya orang, pidananya dapat ditambah 1/3 (satu per tiga) dari ancaman pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1).', '(9) jika korban sebagaimana dimaksud pada ayat (4) adalah anak kandung, anak tiri, atau anak dibawah perwaliannya, pidananya dapat ditambah 1/3 (satu per tiga) dari ancaman pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (4).', '(10) dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (9) dilakukan secara bersama-sama dan bersekutu, atau dilakukan terhadap seseorang dalam keadaan bahaya, keadaan darurat, situasi konflik, bencana, atau perang, pidananya dapat ditambah 1/3 (satu per tiga).']"} |
Jika kita membeli barang dengan harga wajar dan baru tahu di kemudian hari setelah ada laporan bahwa barang tersebut adalah hasil kejahatan/pencurian, apakah kita bisa dikenakan pasal penadahan? Bagaimana status pembeli yang baru mengetahui barang yang dibeli hasil kejahatan? | ULASAN LENGKAP dari artikel dengan judul Status Pembeli yang Baru Mengetahui Barang yang Dibeli Hasil Kejahatan yang dibuat oleh Puguh Waluyo Anam dari DPC Peradi Jakarta Selatan dan dipublikasikan pada 23 Agustus 2012. Artikel ini dibuat berdasarkan KUHP lama dan UU 1/2023 tentang KUHP yang diundangkan pada tanggal 2 Januari 2023. . Asas Bona Fides Perlu diketahui bahwa pada prinsipnya dalam proses jual beli, pembeli yang beriktikad baik (doktrin/asas bona fides ) akan dilindungi oleh undang-undang. [1] Namun, perlu diperhatikan lebih lanjut jika ternyata di kemudian hari ada laporan bahwa barang yang dibeli tersebut adalah hasil dari sebuah kejahatan, maka unsur dari “beriktikad baik” tersebut haruslah diuji, yaitu apakah proses-jual beli itu terjadi secara wajar seperti pembeli benar-benar tidak mengetahui dan sama sekali tidak menduga bahwa barang yang dijual belikan adalah hasil kejahatan ? Lalu, apakah dengan membeli barang itu untuk memperoleh keuntungan atau tidak ? Tindak Pidana Penadahan Berkaitan dengan pertanyaan Anda, penadahan merupakan tindak pidana pemudahan , sedangkan penadah adalah orang yang menerima barang gelap atau barang curian . Tindak pidana penadahan merupakan delik turunan, artinya harus ada delik pokok yang membuktikan uang/barang tersebut berasal dari tindak pidana. Selain itu, penadahan disebut sebagai tindak pidana pemudahan karena perbuatan menadah itu mendorong orang lain untuk melakukan kejahatan-kejahatan yang mungkin tidak akan ia lakukan, seandainya tidak ada orang yang bersedia menerima hasil kejahatan. [2] Adapun terkait tindak pidana penadahan diatur dalam Pasal 480 KUHP lama yang saat artikel ini diterbitkan masih berlaku atau Pasal 591 UU 1/2023 tentang KUHP baru yang berlaku 3 tahun sejak tanggal diundangkan, [3] yaitu tahun 2026, sebagai berikut: Pasal 480 KUHP Pasal 591 UU 1/2023 Diancam dengan pidana penjara paling lama 4 tahun atau pidana denda paling banyak Rp900 ribu [4] : barang siapa membeli, menyewa, menukar, menerima gadai, menerima hadiah, atau untuk menarik keuntungan, menjual, menyewakan, menukarkan, menggadaikan, mengangkut, menyimpan atau menyembunyikan sesuatu benda, yang diketahui atau sepatutnya harus diduga bahwa diperoleh dari kejahatan penadahan ; barang siapa menarik keuntungan dari hasil sesuatu benda, yang diketahuinya atau sepatutnya harus diduga bahwa diperoleh dari kejahatan. Dipidana karena penadahan dengan pidana penjara paling lama 4 tahun atau pidana denda paling banyak kategori V yaitu Rp500 juta, [5] setiap orang yang: a. membeli, menawarkan, menyewa, menukarkan, menerima jaminan atau gadai, menerima hadiah atau untuk menarik keuntungan, menjual, menyewakan, menukarkan, menggadaikan, mengangkut, menyimpan atau menyembunyikan suatu benda yang diketahui atau patut diduga bahwa benda tersebut diperoleh dari tindak pidana; atau b. menarik keuntungan dari hasil suatu benda, yang diketahui atau patut diduga bahwa benda tersebut diperoleh dari tindak pidana. Adapun perlu diperhatikan agar suatu pelaku dapat dijerat pasal di atas perlu dilihat apakah perbuatan pembeli memenuhi unsur-unsur tindak pidana penadahan? R. Soesilo dalam bukunya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal menjelaskan unsur-unsur pasal tindak pidana penadahan sebagai berikut (hal.118): Sesuatu yang dinamakan “sekongkol” atau biasa disebut pula “tadah” itu sebenarnya diartikan sebagai hanya perbuatan yang disebutkan pada sub 1 dari Pasal 480 KUHP . Jenis-jenis perbuatan yang tersebut pada sub 1 dibagi atas dua bagian: membeli, menyewa, dan sebagainya (tidak perlu dengan maksud hendak mendapat untung) barang yang diketahuinya atau patut disangkanya diperoleh karena kejahatan; menjual, menukarkan, menggadaikan, dan sebagainya dengan maksud hendak mendapat untung barang yang diketahuinya atau patut disangkanya diperoleh karena kejahatan. Elemen penting dari pasal ini adalah terdakwa harus mengetahui atau patut dapat menyangka bahwa barang itu asal dari kejahatan . Melihat pada pasal ini, terdakwa tidak perlu mengetahui dengan pasti asal barang itu dari kejahatan apa (pencurian, penggelapan, penipuan, pemerasan, uang palsu atau lain-lain), akan tetapi sudah cukup apabila ia patut dapat menyangka (mengira, mencurigai) bahwa barang itu bukan barang “terang”. Pembuktian terkait elemen ini memang sukar, akan tetapi dalam prakteknya biasanya dapat dilihat dari keadaan atau cara dibelinya barang itu, misalnya dibeli dengan di bawah harga, dibeli pada waktu malam secara bersembunyi yang menurut ukuran di tempat itu memang mencurigakan. Barang asal dari kejahatan misalnya berasal dari pencurian, penggelapan, penipuan, pemalsuan uang, sekongkol, dan lain-lain. Kemudian, berdasarkan Penjelasan Pasal 591 UU 1/2023 , benda dalam ketentuan ini adalah benda yang berasal dari tindak pidana, misalnya berasal dari pencurian, penggelapan, atau penipuan. tindak pidana yang diatur dalam ketentuan ini disebut dengan tindak pidana proparte dolus proparte culpa . Dengan demikian, apabila pembeli mengetahui sejak awal saat membeli barang itu memang diperoleh karena tindak pidana atau patut merupakan hasil tindak pidana, karena pihak penjual tidak mampu menjelaskan secara gamblang, misalnya, mengapa ia menjual barang tersebut dengan harga sangat murah, kemudian pembeli membelinya, maka pembeli dapat dijerat sesuai Pasal 480 angka 1 KUHP . Karena sebagaimana kami jelaskan, elemen penting pasal ini adalah terdakwa mengetahui atau patut menyangka bahwa barang itu adalah hasil dari tindak pidana. Sebaliknya, apabila pembeli membeli barang dengan keadaan, cara, dan harga yang wajar, kemudian diketahui atau patut diduga bahwa barang yang dibeli adalah barang “terang” dan bukan hasil dari suatu kejahatan/barang gelap, dan pembeli tidak menarik keuntungan dari pembelian itu, menurut hemat kami pembeli dapat terhindar dari ancaman pidana penadahan. : Tidak Tahu Barang yang Dibeli Hasil Curian, Bisakah Dipidana? Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. Dasar Hukum : Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ; Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ; Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2012 tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda dalam KUHP . Referensi : Damario Tanoto dan Aad Nurdin Rusyad. Perlindungan Hukum Terhadap Pembeli Beritikad Baik atas Jual Beli Hak atas Tanah. Jurnal Kertha Semaya, Vol. 10, No. 7, 2022; R. Soesilo. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal . Bogor: Politeia, 1991. Januri (et.al). Aspek Yuridis Penerapan Tindak Pidana Penadahan Pasal 480 Ke-2 KUHP di Era Modern . Audi Et AP: Jurnal Penelitian Hukum, Vol. 03, No. 01, 2024; [1] Damario Tanoto dan Aad Nurdin Rusyad. Perlindungan Hukum Terhadap Pembeli Beritikad Baik atas Jual Beli Hak atas Tanah . Jurnal Kertha Semaya, Vol. 10, No. 7, 2022, hal. 1659 [2] Januri (et.al). Aspek Yuridis Penerapan Tindak Pidana Penadahan Pasal 480 Ke-2 KUHP di Era Modern . Audi Et AP: Jurnal Penelitian Hukum, Vol. 03, No. 01, 2024, hal. 49 [3] Pasal 624 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“UU 1/2023”) [4] Pasal 3 Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2012 tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda dalam KUHP denda dilipatgandakan menjadi 1000 kali [5] Pasal 79 ayat (1) huruf e UU 1/2023 TAGS penadahan kejahatan pembeli kuhp | {560: 'pada prinsipnya dalam proses jual beli, pembeli yang beriktikad baik (doktrin/asas bona fides) akan dilindungi oleh undang-undang.', 506: 'Selain itu, penadahan disebut sebagai tindak pidana pemudahan karena perbuatan menadah itu mendorong orang lain untuk melakukan kejahatan-kejahatan yang mungkin tidak akan ia lakukan, seandainya tidak ada orang yang bersedia menerima hasil kejahatan.', 4: 'Undang-Undang ini mulai berlaku setelah 3 (tiga) tahun terhitung sejak tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.', 495: 'Tiap jumlah maksimum hukuman denda yang diancamkan dalam KUHPkecuali pasal 303 ayat 1 dan ayat 2, 303 bis ayat 1 dan ayat 2, dilipatgandakan menjadi 1.000 (seribu) kall,', 7: "['(1) pidana denda paling banyak ditetapkan berdasarkan: a. kategori i, rp1.000.000,00 (satu juta rupiah); b. kategori ii, rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah); c. kategori iii, rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah); d. kategori iv, rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah); e. kategori v, rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah); f. kategori vi, rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah); g. kategori vii, rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah); dan h. kategori viii, rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah).']"} |
Akhir-akhir ini sedang ramai diberitakan tindakan asusila yang dilakukan oleh ibu kepada seorang anak yang videonya tersebar luas di berbagai media sosial. Di Indonesia sendiri, adakah aturan khusus mengenai pornografi anak? Apakah penyebar pornografi anak dapat dipidana? | ULASAN LENGKAP . Pornografi Anak di Indonesia Perlu Anda ketahui terlebih dahulu, bahwa aturan mengenai pornografi secara umum di Indonesia merujuk pada UU Pornografi . Pasal 1 angka 1 UU Pornografi mendefinisikan pornografi sebagai gambar, sketsa, ilustrasi, foto, tulisan, suara, bunyi, gambar bergerak, animasi, kartun, percakapan, gerak tubuh, atau bentuk pesan lainnya melalui berbagai bentuk media komunikasi dan/atau pertunjukan, yang memuat kecabulan atau eksploitasi seksual yang melanggar normal kesusilaan dalam masyarakat . Pada dasarnya Pasal 4 ayat (1) UU Pornorgrafi mengatur bahwa setiap orang dilarang untuk memproduksi, membuat, memperbanyak, menggandakan, menyebarluaskan, menyiarkan, mengimpor, mengekspor, menawarkan, memperjualbelikan, menyewakan, atau menyediakan pornografi yang secara eksplisit memuat: Persenggamaan, termasuk persenggamaan yang menyimpang; Kekerasan seksual; Masturbasi atau onani; Ketelanjangan atau tampilan yang mengesankan ketelanjangan; Alat kelamin; atau Pornografi anak . Pasal tersebut mengatur mengenai larangan segala jenis tindakan yang berhubungan dengan pornografi anak. Yang dimaksud dengan pornografi anak sendiri adalah segala bentuk pornografi yang melibatkan anak atau yang melibatkan orang dewasa yang berperan atau bersikap seperti anak. [1] Anak yang dimaksud dalam pasal ini adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun. [2] Adapun sanksi pidana yang jika melanggarnya, dipidana penjara paling singkat 6 bulan dan paling lama 12 tahun dan/atau pidana denda paling sedikit Rp250 juta dan paling banyak Rp6 miliar. [3] Selain itu, Pasal 4 ayat (2) UU Pornografi melarang setiap orang untuk menyediakan jasa pornografi yang: Menyajikan secara eksplisit ketelanjangan atau tampilan yang mengesankan ketelanjangan; Menyajikan secara eksplisit alat kelamin; Mengeksploitasi atau memamerkan aktivitas seksual; atau Menawarkan atau mengiklankan baik langsung maupun tidak langsung layanan seksual. Sanksi pidana jika melanggar Pasal 4 ayat (2) di atas adalah pidana penjara paling singkat enam bulan dan paling lama enam tahun dan/atau pidana denda paling sedikit Rp250 juta dan paling banyak Rp3 miliar. [4] Selain itu, terdapat juga pasal lain yang melarang beberapa tindakan yang melibatkan pornografi antara lain seperti: Pasal 5 yang melarang meminjamkan atau mengunduh pornografi , dengan ancaman pidana penjara paling lama 4 tahun dan/atau denda paling banyak Rp2 miliar. [5] Pasal 6 yang melarang memperdengarkan, mempertontonkan, memanfaatkan, memiliki, atau menyimpan produk pornografi , kecuali yang diberi kewenangan oleh peraturan perundang-undangan, dipidana penjara paling lama 4 tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp2 miliar. [6] Pasal 8 yang melarang untuk menjadi objek atau model yang mengandung muatan pornografi baik dengan sengaja atau atas persetujuan dirinya dipidana penjara paling lama 10 tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp5 miliar. [7] Pasal 9 melarang menjadikan orang lain sebagai objek atau model yang mengandung muatan pornografi dipidana penjara paling singkat 1 tahun dan paling lama 12 tahun dan/atau pidana denda paling sedikit Rp500 juta dan paling banyak Rp6 miliar. [8] Pasal 10 melarang mempertontonkan diri atau orang lain dalam pertunjukan atau di muka umum yang menggambarkan ketelanjangan, eksploitasi seksual, persenggamaan, atau yang bermuatan ponografi lainnya dipidana penjara paling lama 10 tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp5 miliar. [9] Lebih lanjut lagi pada Pasal 11 UU Pornografi mengatur bahwa: Setiap orang dilarang melibatkan anak dalam kegiatan dan/atau sebagai objek sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 , Pasal 5 , Pasal 6 , Pasal 8 , Pasal 9 atau Pasal 10 . Jika melanggar Pasal 11 UU Pornografi, pelaku dipidana sebagaimana Pasal 29, Pasal 30, Pasal 31, Pasal 32, Pasal 34, Pasal 35, dan Pasal 36, ditambah 1/3 dari maksimum ancaman pidananya. [10] Berdasarkan uraian penjelasan di atas, dapat dilihat bahwa terdapat pengaturan yang lebih khusus terhadap tindak pidana pornografi yang melibatkan anak. Hal ini sebagai cerminan terhadap tujuan perlindungan anak untuk menjamin terpenuhinya hak-hak anak agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi, demi terwujudnya anak indonesia yang berkualitas, berakhlak mulia dan sejahtera. [11] Anak yang menjadi korban pornografi pun harus diberikan perlindungan khusus yang menjadi kewajiban dan tanggung jawab dari pemerintah, pemerintah daerah, dan lembaga negara lainnya. [12] Hukumnya Menyebarluaskan Pornografi Anak Selain jerat pasal UU Pornografi, hukum menyebarluaskan pornografi anak dapat merujuk pada Pasal 27 ayat (1) UU 1/2024 yang mengatur bahwa: Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mernyiarkan, mempertunjukan, mendistribusikan, mentransmisikan, dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan untuk diketahui umum. : Bunyi Pasal 27 ayat (1) UU ITE 2024 tentang Kesusilaan Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1) menyangkut kesusilaan atau eksploitasi seksual terhadap anak dikenakan pemberatan sepertiga dan pidana pokok. [13] Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. Dasar Hukum : Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak ; Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik yang diubah kedua kalinya dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2024 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik ; Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi . [1] Penjelasan Pasal 4 ayat (1) huruf f Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi (“UU Pornografi”) [2] Pasal 1 angka 4 UU Pornografi [3] Pasal 29 UU Pornografi [4] Pasal 30 UU Pornografi [5] Pasal 31 UU Pornografi [6] Pasal 32 UU Pornografi [7] Pasal 34 UU Pornografi [8] Pasal 35 UU Pornografi [9] Pasal 36 UU Pornografi [10] Pasal 37 UU Pornografi [11] Pasal 3 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak [12] Pasal 59 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak [13] Pasal 52 ayat (1) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik TAGS pornografi video porno uu ite uu perlindungan anak | {561: 'Yang dimaksud dengan membuat" adalah tidak termasuk untuk dirinya sendiri dan kepentingan sendiri."', 562: 'pasal 1 dalam undang-undang ini yang dimaksud dengan: 1. pornografi adalah gambar, sketsa, ilustrasi, foto, tulisan, suara, bunyi, gambar bergerak, animasi, kartun, percakapan, gerak tubuh, atau bentuk pesan lainnya melalui berbagai bentuk media komunikasi dan/atau pertunjukan di muka umum, yang memuat kecabulan atau eksploitasi seksual yang melanggar norma kesusilaan dalam masyarakat. 2. jasa pornografi adalah segala jenis layanan pornografi yang disediakan oleh orang perseorangan atau korporasi melalui pertunjukan langsung, televisi kabel, televisi teresterial, radio, telepon, internet, dan komunikasi elektronik lainnya serta surat kabar, majalah, dan barang cetakan lainnya. 3. setiap orang adalah orang perseorangan atau korporasi, baik yang berbadan hukum maupun yang tidak berbadan hukum. 4. anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun. 5. pemerintah adalah pemerintah pusat yang dipimpin oleh presiden republik indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan negara republik indonesia sebagaimana dimaksud dalam undang-undang dasar negara republik indonesia tahun 1945. 6. pemerintah daerah adalah gubernur, bupati, atau walikota, dan perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah.', 563: 'pasal 29 setiap orang yang memproduksi, membuat, memperbanyak, menggandakan, menyebarluaskan, menyiarkan, mengimpor, mengekspor, menawarkan, memperjualbelikan, menyewakan, atau menyediakan pornografi sebagaimana dimaksud dalam pasal 4 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan/atau pidana denda paling sedikit rp250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak rp6.000.000.000,00 (enam miliar rupiah).', 564: 'pasal 30 setiap orang yang menyediakan jasa pornografi sebagaimana dimaksud dalam pasal 4 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 6 (enam) tahun dan/atau pidana denda paling sedikit rp250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).', 565: 'pasal 31 setiap orang yang meminjamkan atau mengunduh pornografi sebagaimana dimaksud dalam pasal 5 dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau pidana denda paling banyak rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).', 566: 'pasal 32 setiap orang yang memperdengarkan, mempertontonkan, memanfaatkan, memiliki, atau menyimpan produk pornografi sebagaimana dimaksud dalam pasal 6 dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau pidana denda paling banyak rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).', 567: 'pasal 34 setiap orang yang dengan sengaja atau atas persetujuan dirinya menjadi objek atau model yang mengandung muatan pornografi sebagaimana dimaksud dalam pasal 8 dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau pidana denda paling banyak rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).', 568: 'pasal 35 setiap orang yang menjadikan orang lain sebagai objek atau model yang mengandung muatan pornografi sebagaimana dimaksud dalam pasal 9 dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan/atau pidana denda paling sedikit rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) dan paling banyak rp6.000.000.000,00 (enam miliar rupiah).', 569: 'pasal 36 setiap orang yang mempertontonkan diri atau orang lain dalam pertunjukan atau di muka umum yang menggambarkan ketelanjangan, eksploitasi seksual, persenggamaan, atau yang bermuatan pornografi lainnya sebagaimana dimaksud dalam pasal 10 dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau pidana denda paling banyak rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).', 570: 'pasal 37 setiap orang yang melibatkan anak dalam kegiatan dan/atau sebagai objek sebagaimana dimaksud dalam pasal 11 dipidana dengan pidana yang sama dengan pidana sebagaimana dimaksud dalam pasal 29 , pasal 30 , pasal 31 , pasal 32 , pasal 34 , pasal 35 , dan pasal 36 , ditambah 1/3 (sepertiga) dari maksimum ancaman pidananya.', 571: 'pasal 3 perlindungan anak bertujuan untuk menjamin terpenuhinya hak-hak anak agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi, demi terwujudnya anak indonesia yang berkualitas, berakhlak mulia, dan sejahtera. bab iii hak dan kewajiban anak', 572: "['(1) pemerintah, pemerintah daerah, dan lembaga negara lainnya berkewajiban dan bertanggung jawab untuk memberikan perlindungan khusus kepada anak.']", 573: "['(1) dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam pasal 27 ayat (1) menyangkut kesusilaan atau eksploitasi seksual terhadap anak dikenakan pemberatan sepertiga dari pidana pokok.']"} |
Saya ingin menanyakan terkait ketentuan Pasal 2 UU 1/2023 tentang KUHP baru dan penjelasannya. Benarkah dalam ketentuan tersebut berarti mewajibkan hukum yang hidup dalam masyarakat tertentu (hukum adat/tindak pidana adat) harus diatur dalam peraturan daerah (perda) setempat? Bahkan dalam ayat (3) pun disebutkan akan ada peraturan pemerintah yang mengatur kriterianya.
Jika benar harus diwujudkan dalam bentuk peraturan, seberapa perlukah negara turut campur memformalisasi penetapan the living law ke dalam perda? | ULASAN LENGKAP Artikel ini dibuat berdasarkan KUHP lama dan UU 1/2023 tentang KUHP yang diundangkan pada tanggal 2 Januari 2023. . Alasan Perubahan KUHP Kolonial ke KUHP Nasional Lahirnya UU 1/2023 merupakan karya agung bangsa Indonesia dalam bidang hukum pidana untuk keluar dari rezim hukum kolonial yakni KUHP ( Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch Indie (“WvS”)) atau KUHP kolonial. Dengan adanya UU 1/2023 ini berarti induk hukum pidana Indonesia beralih dari induk kolonial kepada induk hukum pidana Keindonesiaan. Patut Anda pahami, setidaknya ada enam alasan perlunya perubahan KUHP kolonial dari WvS yaitu UU 1/1946 jo. UU 73/1958 kepada KUHP baru yaitu: Alasan Politis [1] Secara politis, Indonesia adalah negara merdeka. Jadi sewajarnya jika tidak lagi terikat dengan negara manapun, termasuk instrumen berhukum. Alasan Sosiologis Secara sosiologis masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang memiliki struktur dan kultur yang sangat berbeda dengan masyarakat Belanda. Hal ini tentu mempengaruhi kultur berhukumnya. Alasan Filosofis Secara filosofis, kebangsaan antara Indonesia dan Belanda juga berbeda. Indonesia disinari nilai-nilai filosofis Pancasila, yang komunal-religius. Sedangkan nilai-nilai yang terkandung dalam KUHP (Wvs) adalah nilai-nilai liberal dan sekuler. Alasan Praktis Mengingat bahwa teks resmi WvS adalah bahasa Belanda, maka dapat dihitung berapa jumlah penegak hukum yang memahami bahasa asing tersebut. Sehingga tidak mustahil kemungkinan terjadi penafsiran menyimpang dari teks aslinya karena terjemahan yang kurang tepat. Alasan Adaptif [2] KUHP WvS secara historis dibuat pada abad ke-19 yang tentu sudah sangat ketinggalan dengan fakta sosial yang akan diaturnya. Dari sini lah perlu KUHP yang sesuai dengan perkembangan masyarakat, khususnya perkembangan masyarakat internasional yang sudah disepakati oleh masyarakat beradab. Alasan Sistematis [3] Hukum suatu negara adalah bangunan yang terangkai dalam suatu sistem hukum. Dalam struktur hukum, seluruh aturan hukum harus selaras antara gradasi hukum tertinggi sampai gradasi terendah. Adalah suatu yang tidak mungkin terbina satu sistem hukum ideal, apabila struktur undang-undang di bawah, justru bertentangan atau tidak selaras dengan yang di atasnya. KUHP (Wvs) adalah struktur hukum di bawah yang seharusnya selaras dengan nilai tertinggi (pandangan filosofi bangsa/ grund norm ), dalam hal ini Pancasila. Dengan bersandar pada alasan-alasan tersebut di atas, ada lima misi yang diemban oleh KUHP baru (UU 1/2023) yaitu: [4] Demokratisasi KUHP baru memiliki misi untuk mengatur berbagai kebebasan berdemokrasi, kebebasan mengeluarkan pikiran baik lisan maupun tulisan, kebebasan berbicara dan kebebasan berekspresi, bukan melarangnya. Dekolonisasi KUHP bermaksud untuk memperbarui dan menghilangkan aroma atau nuansa kolonial. Konsolidasi Pertumbuhan hukum atau perundang-undangan di luar KUHP perlu dikonsolidasi dalam satu payung induk yaitu KUHP nasional. Harmonisasi Menyelaraskan undang-undang yang tumbuh dan berkembang di luar KUHP, dengan induk hukum pidananya yaitu KUHP. Modernisasi KUHP baru dimaksudkan untuk menjawab dan menampung perkembangan zaman yang sedemikian berkembang pesat. Formalisasi the Living Law ke dalam Peraturan Daerah Berdasar pada latar belakang tersebut, sumber hukum pidana tidak lagi tunggal yakni tertulis. Sumber hukum pidana pada KUHP baru tidak hanya bersandar pada aturan-aturan formal tertulis, namun juga mengakui hukum tidak tertulis atau dalam hal ini hukum pidana adat ataupun hukum yang hidup di masyarakat ( the living law ). Adapun dasar hukum berlakunya hukum tidak tertulis atau hukum yang hidup di masyarakat dalam UU 1/2023 adalah Pasal 2 ayat (1) dan (2) yang berbunyi selengkapnya sebagai berikut: Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) [5] tidak mengurangi berlakunya hukum yang hidup dalam masyarakat yang menentukan bahwa seseorang patut dipidana walaupun perbuatan tersebut tidak diatur dalam Undang-Undang ini. Hukum yang hidup dalam masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku dalam tempat hukum itu hidup dan sepanjang tidak diatur dalam Undang-Undang ini dan sesuai dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, hak asasi manusia, dan asas hukum umum yang diakui masyarakat bangsa-bangsa. Kemudian yang menjadi pertanyaan selanjutnya, apakah substansi norma hukum yang hidup atau the living law harus dirumuskan dalam ketentuan tertulis? Untuk mengetahui jawaban lebih lanjut marilah kita telusuri lebih lanjut. Pada rumusan Pasal 2 ayat (1) dan (2) UU 1/2023 tersebut di atas tidak ada perintah bahwa hukum yang hidup di dalam masyarakat ( the living law ) harus diwujudkan dalam bentuk tertulis. Namun, pada ayat selanjutnya terdapat amanat “implisit” yang mewajibkan adanya rumusan tertulis dari norma hukum yang hidup atau the living law , sebagai berikut: Pasal 2 ayat (3) UU 1/2023 Ketentuan mengenai tata cara dan kriteria penetapan hukum yang hidup dalam masyarakat diatur dengan Peraturan Pemerintah . Berdasarkan ayat di atas, maka harus ada tata cara dan kriteria penetapan hukum yang hidup di masyarakat agar the living law dapat diterapkan menjadi dasar hukum. Tata cara dan kriteria penetapan hukum tersebut diamanatkan oleh KUHP baru dalam bentuk peraturan pemerintah. Jadi, melalui peraturan pemerintah yang akan mengatur lebih lanjut mengenai rambu-rambu formalisasi the living law . Sampai sini, mulai tersirat formalisasi hukum yang hidup di dalam masyarakat ( the living law ). Lebih lanjut, amanat formalisasi hukum yang hidup di masyarakat ( the living law ) secara tegas disebutkan dalam penjelasan Pasal 2 ayat (3) UU 1/2023 bahwa peraturan pemerintah dalam ketentuan ini merupakan pedoman bagi daerah dalam menetapkan hukum yang hidup dalam masyarakat dalam peraturan daerah. Dengan demikian, tersirat makna agar hukum yang hidup di dalam masyarakat ( the living law ) dapat dipakai sebagai dasar untuk menjatuhkan pidana (termasuk untuk menghapus pidana) wajib dirumuskan dalam peraturan daerah di mana hukum itu berlaku. Kembali ke pertanyaan, sebelum membahas mengenai seberapa jauh negara perlu mengatur formalisasi the living law , perlu dipahami apa yang dimaksud dengan hukum yang hidup dalam masyarakat ( the living law ). Hukum yang hidup dalam masyarakat adalah hukum adat yang menentukan bahwa seseorang yang melakukan perbuatan tertentu patut dipidana. Hukum ini berkaitan dengan hukum tidak tertulis yang masih berlaku dan berkembang dalam kehidupan masyarakat di Indonesia. Oleh karenanya, untuk memperkuat keberlakuan hukum yang hidup dalam masyarakat, dibentuklah peraturan daerah yang mengatur mengenai tindak pidana adat tersebut. Selain tercantum dalam rumusan Pasal 2 UU 1/2023, ketentuan the living law juga dicantumkan dalam Pasal 597 ayat (1) UU 1/2023 : Setiap Orang yang melakukan perbuatan yang menurut hukum yang hidup dalam masyarakat dinyatakan sebagai perbuatan yang dilarang, diancam dengan pidana. Sekarang kita masuk pada pembahasan peran negara dalam formalisasi hukum yang hidup di dalam masyarakat ( the living law ). Jika dilihat dari makna asli the living law , untuk dapat memberlakukan the living law tidak perlu ada campur tangan negara untuk memformulasikan ke dalam bentuk tertulis. Bahkan jika meminjam kata-kata yang masyhur dari Carl Friedrich von Savigny, “ Das Recht wird nicht gemacht, est ist und wird mit dem volke ,” bahwa hukum tidak dapat dibuat melainkan tumbuh dan berkembang bersama-sama masyarakat. [6] Artinya, tidak memerlukan formalisasi dalam bentuk tertulis. Penulis juga berpandangan bahwa negara tidak harus merumuskan atau memformulasi the living law secara ekstrim atau ketat. Namun demikian, kehadiran negara untuk formulasi the living law secara ‘lentur’ dapat diterima, atau singkatnya sekedar memberikan ‘ guidance umum’ terkait perbuatan-perbuatan tertentu yang dapat dipidana. Dengan memakai konsep reinstitutionalization of norms dari Paul Bohannan [7] , formulasi secara lentur hukum yang hidup di masyarakat ( the living law ) merupakan pelembagaan kembali norma-norma ( reinstitutionalization of norms ). Sebagai bentuk upaya menjaga agar the living law tetap hidup dan berkembang di dalam masyarakat. Apabila konsep ini dapat diterima, maka demikian kehadiran negara untuk memformulasikan hukum yang hidup tersebut dapat dipahami. Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. Dasar Hukum : Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ; Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan tentang Hukum Pidana ; Undang-Undang Nomor 73 Tahun 1958 tentang Menyatakan Berlakunya Undang-Undang No. 1 Tahun 1946 Republik Indonesia tentang Peraturan Hukum Pidana untuk Seluruh Wilayah Republik Indonesia dan Mengubah Undang-Undang Hukum Pidana ; Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana . Referensi : Ali Masyhar, Hukum Pidana: Kajian Berdasar UU No. 1 Tahun 2024 , Semarang: UNNES Press, 2024; Brian Z. Tamanaha, A General Jurisprudence of Law and Society, Oxford University Press, 2001; Eddy O.S Hiariej, Prinsip-Prinsip Hukum Pidana: Edisi Penyesuaian KUHP Nasional , Depok: Rajawali Pers; Paul J. Bohannan, Law and Legal Institution , dalam T.O. Ihromi (Penyunting), Antropologi dan Hukum , Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1993; Soedarto, Hukum dan Hukum Pidana , Bandung: Alumni, 1977; Widodo Dwi Putro, Filsafat Hukum , Edisi Kedua, Jakarta: Prenada Media, 2024; Muladi, Proyeksi Hukum Pidana Materiil Indonesia di Masa Datang , Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar, 1990. [1] Soedarto, Hukum dan Hukum Pidana , Bandung: Alumni, 1977, hal. 70-72 [2] Muladi, Proyeksi Hukum Pidana Materiil Indonesia di Masa Datang , Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar, 1990, hal. 3 [3] Ali Masyhar, Hukum Pidana: Kajian Berdasar UU No. 1 Tahun 2024 , Semarang: UNNES Press, 2024, hal. 26 [4] Eddy O.S. Hiariej, Prinsip-Prinsip Hukum Pidana: Edisi Penyesuaian KUHP Nasional , Depok: Rajawali Pers, hal. 55-58 [5] Asas Legalitas Formil [6] Brian Z. Tamanaha, A General Jurisprudence of law and Society , Oxford University Press, 2001, hal. 29 [7] Paul J. Bohannan, Law and Legal Institution , dalam T.O. Ihromi, (Penyunting), Antropologi dan Hukum, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1993, hal. 54-64 TAGS hukum adat masyarakat hukum adat peraturan daerah kuhp | {574: 'enam alasan perlunya perubahan KUHP kolonial dari WvS yaitu UU 1/1946 jo. UU 73/1958 kepada KUHP baru yaitu: Alasan Politis Secara politis, Indonesia adalah negara merdeka. Jadi sewajarnya jika tidak lagi terikat dengan negara manapun, termasuk instrumen berhukum.', 575: 'Alasan Adaptif KUHP WvS secara historis dibuat pada abad ke-19 yang tentu sudah sangat ketinggalan dengan fakta sosial yang akan diaturnya. Dari sini lah perlu KUHP yang sesuai dengan perkembangan masyarakat, khususnya perkembangan masyarakat internasional yang sudah disepakati oleh masyarakat beradab.', 576: 'Alasan Sistematis Hukum suatu negara adalah bangunan yang terangkai dalam suatu sistem hukum. Dalam struktur hukum, seluruh aturan hukum harus selaras antara gradasi hukum tertinggi sampai gradasi terendah. Adalah suatu yang tidak mungkin terbina satu sistem hukum ideal, apabila struktur undang-undang di bawah, justru bertentangan atau tidak selaras dengan yang di atasnya. KUHP (Wvs) adalah struktur hukum di bawah yang seharusnya selaras dengan nilai tertinggi (pandangan filosofi bangsa/grund norm), dalam hal ini Pancasila.', 577: 'Buku "Prinsip-Prinsip Hukum Pidana: Edisi Penyesuaian KUHP Nasional" karya Eddy O.S. Hiariej yang diterbitkan Rajawali Pers di Depok, pada halaman 55-58 membahas lima misi yang diemban oleh KUHP baru (UU 1/2023) yaitu:[4] Demokratisasi KUHP baru memiliki misi untuk mengatur berbagai kebebasan berdemokrasi, kebebasan mengeluarkan pikiran baik lisan maupun tulisan, kebebasan berbicara dan kebebasan berekspresi, bukan melarangnya. Dekolonisasi KUHP bermaksud untuk memperbarui dan menghilangkan aroma atau nuansa kolonial. Konsolidasi Pertumbuhan hukum atau perundang-undangan di luar KUHP perlu dikonsolidasi dalam satu payung induk yaitu KUHP nasional. Harmonisasi Menyelaraskan undang-undang yang tumbuh dan berkembang di luar KUHP, dengan induk hukum pidananya yaitu KUHP. Modernisasi KUHP baru dimaksudkan untuk menjawab dan menampung perkembangan zaman yang sedemikian berkembang pesat.', 578: '(1) Tidak ada satu perbuatan pun yang dapat dikenai sanksi pidana dan/atau tindakan, kecuali atas kekuatan peraturan pidana dalam peraturan perundang-undangan yang telah ada sebelum perbuatan dilakukan.', 579: 'Bahkan jika meminjam kata-kata yang masyhur dari Carl Friedrich von Savigny, “Das Recht wird nicht gemacht, est ist und wird mit dem volke,” bahwa hukum tidak dapat dibuat melainkan tumbuh dan berkembang bersama-sama masyarakat.', 580: 'Dengan memakai konsep reinstitutionalization of norms dari Paul Bohannan'} |
Seorang korban penganiayaan telah mengadukan tindak pidana yang menimpa dirinya. Namun dalam menyampaikan kronologi kejadian kepada pihak kepolisian, korban tersebut merekayasa kronologi tindak pidana yang sama sekali tidak pernah terjadi. Apakah korban tersebut dapat dikenakan sanksi hukum karena memberikan keterangan palsu? Mohon jawabannya. | ULASAN LENGKAP dari artikel dengan judul Sanksi Jika Merekayasa Kronologi Tindak Pidana yang dibuat oleh Tri Jata Ayu Pramesti, S.H. dan pertama kali dipublikasikan pada 18 Agustus 2014. Artikel ini dibuat berdasarkan KUHP lama dan UU 1/2023 tentang KUHP yang diundangkan pada tanggal 2 Januari 2023. . Laporan atau Pengaduan Palsu Perlu diketahui bahwa tindakan merekayasa kronologi tindak pidana kepada pihak kepolisian pada dasarnya dapat dihukum pidana karena melanggar ketentuan dalam KUHP lama yang saat artikel ini diterbitkan masih berlaku atau UU 1/2023 tentang KUHP baru yang berlaku 3 tahun sejak tanggal diundangkan, [1] yaitu tahun 2026, dengan bunyi sebagai berikut: Pasal 220 KUHP Pasal 361 UU 1/2023 Barang siapa memberitahukan atau mengadukan bahwa telah dilakukan suatu perbuatan pidana, padahal mengetahui bahwa itu tidak dilakukan , diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan. Setiap orang yang melaporkan atau mengadukan kepada pejabat yang berwenang bahwa telah terjadi suatu tindak pidana, padahal diketahui bahwa tindak pidana tersebut tidak terjadi , dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau pidana denda paling banyak kategori II, yaitu Rp10 juta. [2] Adapun R. Soesilo dalam bukunya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal (hal. 173) mengatakan bahwa sengaja mengajukan pemberitahuan palsu misalnya seorang istri karena takut kalah main, sehingga ia menggadaikan perhiasannya sendiri, kemudian mengatakan pada suaminya bahwa ia telah kecurian serta untuk menguatkan itu ia mengajukan juga pemberitahuan pada polisi, bahwa ia kecurian. Lebih lanjut Soesilo mengatakan bahwa isi pemberitahuan itu harus suatu peristiwa pidana, misalnya kecurian, penggelapan, pembunuhan, dan sebagainya. Jika bukan peristiwa pidana tidak dapat dikenakan Pasal 220 KUHP atau Pasal 361 UU 1/2023 . Hal serupa juga dijelaskan oleh S.R. Sianturi , dalam bukunya Tindak Pidana di KUHP Berikut Uraiannya (hal. 132) mengenai unsur kesengajaan yang dirumuskan dengan “padahal diketahuinya”. Adapun yang termasuk dalam cakupan unsur kesengajaan hanyalah bahwa hal itu tidak dilakukan. Dalam hal ini pelaku menyadari bahwa tindakan itu tidak pernah terjadi, selain itu petindak tidak disyaratkan harus mengetahui atau mengerti apa yang dimaksud dengan tindak pidana. Masih dalam bukunya, Sianturi juga menjelaskan bahwa laporan/pengaduan itu harus diberikan kepada penguasa yang berwenang untuk menerima laporan atau pengaduan. [3] Adapun berdasarkan penjelasan Pasal 361 UU 1/2023, ketentuan ini merupakan tindak pidana yang dikenal sebagai pelaporan atau pengaduan palsu. Perlu diketahui bahwa yang dilaporkan atau diadukan adalah terjadinya tindak pidana, bukan perbuatan yang tidak merupakan tindak pidana. Oleh karena itu, menjawab pertanyaan Anda, jika korban penganiayaan tersebut melaporkan peristiwa yang dialaminya, akan tetapi kronologi kejadian tersebut ia rekayasa, maka ia dapat dihukum karena pengaduan atau pelaporan palsu yang diatur dalam Pasal 220 KUHP atau Pasal 361 UU 1/2023. Selanjutnya jika tindakan memberikan keterangan palsu dilakukan di atas sumpah, yang bersangkutan dapat dijerat dengan Pasal 242 KUHP atau Pasal 291 jo . Pasal 373 UU 1/2023 . : Pasal 242 KUHP tentang Pernyataan Sumpah Palsu Contoh Putusan Mengenai tindakan merekayasa kronologi tindak pidana, kami akan mencontohkan dalam Putusan PT Pontianak No. 37/PID/2019/PT PTK . Dalam putusan tersebut, terdakwa yang diperintahkan oleh ayahnya melakukan penipuan terkait laporan palsu atas hilangnya motor milik sepupu terdakwa seolah-olah menjadi korban begal. Padahal sebenarnya motor tersebut masih aman berada pada kediaman teman sepupu terdakwa (hal. 3). Atas tindakannya, terdakwa dinyatakan telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “secara bersama-sama membuat laporan palsu” berdasarkan Pasal 220 jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP . Terdakwa divonis pidana penjara selama tiga bulan, dengan ketentuan pidana tersebut tidak perlu dijalani kecuali di kemudian hari ada putusan hakim lain yang menyatakan terdakwa bersalah sebelum masa percobaan selama enam bulan berakhir (hal. 7). Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. Dasar Hukum : Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ; Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ; Referensi: R. Soesilo. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal , Bogor: Politeia, 1991. S.R. Sianturi. Tindak Pidana di KUHP Berikut Uraiannya. Jakarta: Alumni AHM-PTHM, 1983. [1] Pasal 624 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“UU 1/2023”) [2] Pasal 79 ayat (1) huruf b UU 1/2023 [3] S.R. Sianturi. Tindak Pidana di KUHP Berikut Uraiannya . Jakarta: Alumni AHM-PTHM, 1983, hal. 134 TAGS tindak pidana keterangan palsu laporan polisi pengaduan | {4: 'Undang-Undang ini mulai berlaku setelah 3 (tiga) tahun terhitung sejak tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.', 37: "['(1) pidana denda paling banyak ditetapkan berdasarkan: a. kategori i, rp1.000.000,00 (satu juta rupiah); b. kategori ii, rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah); c. kategori iii, rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah); d. kategori iv, rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah); e. kategori v, rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah); f. kategori vi, rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah); g. kategori vii, rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah); dan h. kategori viii, rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah).']", 581: 'Masih dalam bukunya, Sianturi juga menjelaskan bahwa laporan/pengaduan itu harus diberikan kepada penguasa yang berwenang untuk menerima laporan atau pengaduan.'} |
Pasal 347 KUHP mengatur tentang apa? Apakah benar Pasal 347 KUHP mengatur tentang orang yang melakukan aborsi terhadap perempuan? Jika benar, bagaimana bunyi Pasal 347 KUHP? Selain itu, dalam KUHP baru, orang yang melakukan aborsi terhadap perempuan diatur dalam pasal berapa? | ULASAN LENGKAP Artikel ini dibuat berdasarkan KUHP lama dan UU 1/2023 tentang KUHP yang diundangkan pada tanggal 2 Januari 2023. . Isi Pasal 347 dan 348 KUHP Menjawab pertanyaan Anda, pada dasarnya tindak pidana menyebabkan gugur atau mati kandungan seorang wanita diatur dalam Pasal 347 dan Pasal 348 KUHP lama yang saat artikel ini diterbitkan masih berlaku. Berikut adalah bunyi kedua pasal tersebut: Pasal 347 Barang siapa dengan sengaja menggugurkan atau mematikan kandungan seorang wanita tanpa persetujuannya , diancam dengan pidana penjara paling lama 12 tahun. Jika perbuatan itu mengakibatkan matinya wanita tersebut, diancam dengan pidana penjara paling lama 15 tahun. Pasal 348 Barang siapa dengan sengaja menggugurkan atau mematikan kandungan seorang wanita dengan persetujuannya , diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun enam bulan. Jika perbuatan itu mengakibatkan matinya wanita tersebut, diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun. Unsur Pasal 347 dan 348 KUHP Dari bunyi Pasal 347 ayat (1) KUHP di atas, setidaknya terdapat beberapa unsur: barang siapa; dengan sengaja; menggugurkan atau mematikan kandungan seorang wanita tanpa persetujuannya . Berdasarkan rumusan Pasal 347 KUHP, perbuatan menggugurkan atau mematikan kandungan tersebut dilakukan oleh orang lain bukan oleh wanita yang mengandung sendiri dan tanpa persetujuannya . Berbeda dengan perbuatan menggugurkan atau mematikan kandungan dalam Pasal 346 KUHP , di mana pelakunya dapat wanita yang mengandung itu sendiri maupun wanita yang mengandung menyuruh orang lain untuk menggugurkan kandungannya. Pada tindak pidana pengguguran dan pembunuhan kandungan dalam Pasal 347 KUHP, wanita yang mengandung itu tidak dapat dipidana , karena wanita yang sedang mengandung itu tidak berperan sebagai pelaku . [1] Sedangkan dalam Pasal 348 ayat (1) KUHP , tindakan menggugurkan atau mematikan kandungan seorang wanita adalah dengan persetujuan wanita yang mengandung tersebut. Artinya, dalam pasal ini yang harus dibuktikan adalah apakah gugurnya atau matinya kandungan wanita itu dikehendaki oleh wanita yang mengandung itu sendiri atau tidak ? Jadi dalam hal ini, wanita yang mengandung itu hanya menyetujui terhadap gugurnya atau matinya kandungannya sendiri. Dengan demikian, terhadap wanita yang mengandung itu sendiri bersalah melakukan tindak pidana dalam Pasal 346 KUHP , sementara orang lain yang menggugurkan atau mematikan dengan atas persetujuan itu bersalah melanggar Pasal 348 KUHP . [2] : Jerat Hukum Bagi Pasangan yang Mencoba Aborsi Bunyi Pasal 464 UU 1/2023 Sedangkan dalam UU 1/2023 tentang KUHP baru yang berlaku 3 tahun sejak tanggal diundangkan, [3] yaitu tahun 2026, tindak pidana tentang orang yang melakukan aborsi terhadap perempuan diatur dalam Pasal 464 sebagai berikut: Setiap Orang yang melakukan aborsi terhadap seorang perempuan: dengan persetujuan perempuan tersebut, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun; atau tanpa persetujuan perempuan tersebut, dipidana dengan pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun. Jika perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a mengakibatkan matinya perempuan tersebut, dipidana dengan pidana penjara paling lama 8 (delapan) tahun. Jika perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b mengakibatkan matinya perempuan tersebut, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun. Untuk mempermudah pemahaman Anda mengenai hukum aborsi di Indonesia, Anda dapat membaca Disuruh Aborsi oleh Calon Mertua, Ini Hukumnya . Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. Dasar Hukum : Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ; Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana . Referensi : Marlisa Frisilia Saada. Tindakan Aborsi yang Dilakukan Seseorang yang Belum Menikah Menurut KUHP . Lex Crimen, Vol. VI/No. 6/Ags/2017; Tongat. Hukum Pidana Materiil: Tinjauan atas Tindak Pidana Terhadap Subyek Hukum dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana . Jakarta: Djambatan, 2003. [1] Marlisa Frisilia Saada. Tindakan Aborsi yang Dilakukan Seseorang yang Belum Menikah Menurut KUHP . Lex Crimen, Vol. VI/No. 6/Ags/2017, hal. 49 [2] Tongat. Hukum Pidana Materiil: Tinjauan atas Tindak Pidana Terhadap Subyek Hukum dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana . Jakarta: Djambatan, 2003, hal. 62 [3] Pasal 624 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana TAGS aborsi kuhp potd | {582: 'Pada tindak pidana pengguguran dan pembunuhan kandungan dalam Pasal 347 KUHP, wanita yang mengandung itu tidak dapat dipidana, karena wanita yang sedang mengandung itu tidak berperan sebagai pelaku.', 583: 'Dengan demikian, terhadap wanita yang mengandung itu sendiri bersalah melakukan tindak pidana dalam Pasal 346 KUHP, sementara orang lain yang menggugurkan atau mematikan dengan atas persetujuan itu bersalah melanggar Pasal 348 KUHP.', 20: 'Undang-Undang ini mulai berlaku setelah 3 (tiga) tahun terhitung sejak tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.'} |
Teman saya dituntut oleh perusahaan karena kasus penggelapan yang memang pernah dilakukannya. Tetapi, sudah ada iktikad baik dari tersangka untuk mengembalikan sebagian dari dana yang digelapkan. Apakah pasal penggelapan tetap dapat dituntut? | ULASAN LENGKAP dari artikel dengan judul Masihkah Dituntut Jika Telah Kembalikan Uang yang Digelapkan? yang dibuat oleh Diana Kusumasari, S.H., M.H. dan pertama kali dipublikasikan pada 11 Juni 2011. Artikel ini dibuat berdasarkan KUHP lama dan UU 1/2023 tentang KUHP yang diundangkan pada tanggal 2 Januari 2023. Apa itu Penggelapan? Sebelum menjawab inti dari pertanyaan Anda, sebaiknya kita pahami terlebih dahulu apa yang dimaksud dengan penggelapan. Dalam KBBI, penggelapan diartikan sebagai proses, cara dan perbuatan menggelapkan (penyelewengan), korupsi. Sedangkan dalam pengertian lain, apabila suatu benda berada dalam kekuasaan orang bukan karena tindak pidana, tetapi karena suatu perbuatan yang sah, misalnya karena penyimpanan, perjanjian penitipan barang dan sebagainya. Kemudian orang yang diberi kepercayaan untuk menyimpan dan sebagainya itu menguasai barang tersebut untuk dirinya sendiri secara melawan hukum, maka orang tersebut berarti melakukan penggelapan. [1] Jenis-jenis Penggelapan Berdasarkan KUHP, tindak pidana penggelapan dikategorikan menjadi penggelapan biasa, penggelapan ringan, penggelapan dengan pemberatan dan penggelapan dalam keluarga. Kategori tindak pidana penggelapan sendiri diatur dalam Pasal 372 s.d. 375 KUHP lama yang saat artikel ini diterbitkan masih berlaku dan Pasal 486 s.d. Pasal 489 UU 1/2023 tentang KUHP baru yang berlaku 3 tahun sejak tanggal diundangkan, [2] yaitu tahun 2026. Penggelapan biasa diatur dalam bunyi pasal berikut ini: Pasal 372 KUHP Pasal 486 UU 1/2023 Barang siapa dengan sengaja dan melawan hukum memiliki barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang lain, tetapi yang ada dalam kekuasaannya bukan karena kejahatan diancam karena penggelapan , dengan pidana penjara paling lama empat tahun atau pidana denda paling banyak Rp900 ribu. [3] Setiap orang yang secara melawan hukum memiliki suatu barang yang sebagian atau seluruhnya milik orang lain, yang ada dalam kekuasaannya bukan karena tindak pidana, dipidana karena penggelapan , dengan pidana penjara paling lama empat tahun atau pidana denda paling banyak kategori IV, yaitu Rp200 juta. [4] Sedangkan penggelapan ringan diatur dalam pasal yang berbunyi: Pasal 373 KUHP Pasal 487 UU 1/2023 Perbuatan yang dirumuskan dalam Pasal 372 apabila yang digelapkan bukan ternak dan harganya tidak lebih dari dua puluh lima rupiah, diancam sebagai penggelapan ringan dengan pidana penjara paling lama tiga bulan atau pidana denda paling banyak Rp250 ribu. [5] Jika yang digelapkan bukan ternak atau barang yang bukan sumber mata pencaharian atau nafkah yang nilainya tidak lebih dari Rp1 juta, setiap orang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 486, dipidana karena penggelapan ringan , dengan pidana denda paling banyak kategori II, yaitu Rp10 juta. [6] Kemudian untuk penggelapan dengan pemberatan diatur dalam beberapa pasal berikut ini: KUHP UU 1/2023 Pasal 374 Penggelapan yang dilakukan oleh orang yang penguasaannya terhadap barang disebabkan karena ada hubungan kerja atau karena pencarian atau karena mendapat upah untuk itu, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun. Pasal 488 Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 486 dilakukan oleh orang yang penguasaannya terhadap barang tersebut karena ada hubungan kerja, karena profesinya, atau karena mendapat upah untuk penguasaan barang tersebut, dipidana dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana denda paling banyak kategori V, yaitu Rp500 juta. [7] Pasal 375 Penggelapan yang dilakukan oleh orang yang karena terpaksa diberi barang untuk disimpan, atau yang dilakukan oleh wali pengampu, pengurus atau pelaksana surat wasiat, pengurus lembaga sosial atau yayasan, terhadap barang sesuatu yang dikuasainya selaku demikian, diancam dengan pidana penjara paling lama enam tahun. Pasal 489 Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 486 dilakukan oleh orang yang menerima barang dari orang lain yang karena terpaksa menyerahkan barang padanya untuk disimpan atau oleh wali, pengampu, pengurus atau pelaksana surat wasiat, pengurus lembaga sosial atau yayasan terhadap barang yang dikuasainya, dipidana dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana denda paling banyak kategori V, yaitu Rp500 juta. [8] Unsur-unsur Penggelapan Menurut P.A.F. Lamintang dalam bukunya berjudul Delik-Delik Khusus Kejahatan-Kejahatan terhadap Harta Kekayaan , tindak pidana penggelapan sebagaimana Pasal 372 KUHP di dalamnya mengandung unsur-unsur tindak pidana sebagai berikut (hal. 105): unsur subjektif, yaitu dengan sengaja; unsur objektif: menguasai secara melawan hukum; suatu benda; sebagian atau seluruhnya kepunyaan orang lain; dan berada padanya bukan karena kejahatan. : Bunyi Pasal 372 KUHP tentang Penggelapan dan Unsurnya Delik Biasa dengan Delik Aduan Kemudian yang perlu Anda ketahui selanjutnya adalah mengenai delik biasa dan delik aduan. Menurut P.A.F. Lamintang, delik biasa adalah delik yang pelakunya dapat dituntut menurut hukum pidana tanpa perlu adanya pengaduan. Sedangkan delik aduan adalah delik yang hanya dapat dituntut karena adanya pengaduan dari pihak yang dirugikan. Adapun delik aduan dibagi menjadi dua yaitu delik aduan absolut dan delik aduan relatif. [9] Merujuk pada pertanyaan tentang teman Anda yang dituntut oleh perusahaan karena kasus penggelapan yang memang pernah dilakukannya, perbuatan ini merupakan tindak pidana penggelapan dalam jabatan yang diatur dalam Pasal 374 KUHP atau Pasal 488 UU 1/2023 , yang termasuk tindak pidana penggelapan dengan pemberatan. Kemudian meskipun sudah ada iktikad baik dari tersangka untuk mengembalikan sebagian dari dana yang digelapkan, tindak pidana penggelapan yang dilakukan oleh teman Anda merupakan delik biasa yang tidak mempersyaratkan adanya pengaduan untuk penuntutannya. Serta pengembalian sejumlah uang yang dilakukan teman Anda tidak memenuhi alasan penghapusan penuntutan. Perihal alasan penghapusan penuntutan atau hapusnya hak menuntut diatur ketentuan sebagai berikut: [10] Telah ada putusan hakim yang berkekuatan hukum tetap, sehingga orang tidak boleh dituntut dua kali; [11] Tersangka atau terdakwa meninggal dunia; [12] Daluwarsa tindak pidana; [13] Penyelesaian di luar pengadilan untuk pelanggaran yang diancam dengan pidana denda saja paling banyak kategori II,; [14] Maksimum pidana denda kategori IV dibayar sukarela bagi tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun atau pidana denda paling banyak kategori III; Ditariknya pengaduan bagi tindak pidana aduan; Telah ada penyelesaian di luar proses peradilan sebagaimana diatur dalam undang-undang; atau Diberikannya amnesti atau abolisi. Perkaya riset hukum Anda dengan analisis hukum terbaru dwibahasa, serta koleksi terjemahan peraturan yang terintegrasi dalam Hukumonline Pro, pelajari lebih lanjut di sini . Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. Dasar Hukum : Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ; Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ; Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2012 tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda dalam KUHP . Referensi : Adami Chazawi, Kejahatan Terhadap Harta Benda , Jakarta: Bayu Media, 2006; P.A.F. Lamintang dan Theo Lamintang, Delik-Delik Khusus: Kejahatan terhadap Harta Kekayaan , Sinar Grafika, Jakarta, 2009; P.A.F. Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia , Bandung: Citra Aditya Bakti, 2013; Penggelapan , yang diakses pada 3 Juni 2024, pukul 13.00 WIB. [1] Adami Chazawi, Kejahatan Terhadap Harta Benda , Jakarta: Bayu Media, 2006, hal.73 [2] Pasal 624 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“UU 1/2023”) [3] Pasal 3 Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2012 tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda dalam KUHP (“Perma 2/2012”) [4] Pasal 79 ayat (1) huruf d UU 1/2023 [5] Pasal 3 Perma 2/2012 [6] Pasal 79 ayat (1) huruf b UU 1/2023 [7] Pasal 79 ayat (1) huruf e UU 1/2023 [8] Pasal 79 ayat (1) huruf e UU 1/2023 [9] P.A.F. Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia , Bandung: Citra Aditya Bakti, 2013, hal. 207 [10] Pasal 132 ayat (1) UU 1/2023 [11] Pasal 76 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”) atau Pasal 134 UU 1/2023 [12] Pasal 77 KUHP [13] Pasal 78 ayat (1) KUHP atau Pasal 136 UU 1/2023 [14] Pasal 82 KUHP TAGS penggelapan kuhp hukum pidana | {584: 'Kemudian orang yang diberi kepercayaan untuk menyimpan dan sebagainya itu menguasai barang tersebut untuk dirinya sendiri secara melawan hukum, maka orang tersebut berarti melakukan penggelapan.', 128: 'Undang-Undang ini mulai berlaku setelah 3 (tiga) tahun terhitung sejak tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.', 266: 'Tiap jumlah maksimum hukuman denda yang diancamkan dalam KUHPkecuali pasal 303 ayat 1 dan ayat 2, 303 bis ayat 1 dan ayat 2, dilipatgandakan menjadi 1.000 (seribu) kall,', 6: "['(1) pidana denda paling banyak ditetapkan berdasarkan: a. kategori i, rp1.000.000,00 (satu juta rupiah); b. kategori ii, rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah); c. kategori iii, rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah); d. kategori iv, rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah); e. kategori v, rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah); f. kategori vi, rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah); g. kategori vii, rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah); dan h. kategori viii, rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah).']", 259: 'Tiap jumlah maksimum hukuman denda yang diancamkan dalam KUHPkecuali pasal 303 ayat 1 dan ayat 2, 303 bis ayat 1 dan ayat 2, dilipatgandakan menjadi 1.000 (seribu) kall,', 37: "['(1) pidana denda paling banyak ditetapkan berdasarkan: a. kategori i, rp1.000.000,00 (satu juta rupiah); b. kategori ii, rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah); c. kategori iii, rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah); d. kategori iv, rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah); e. kategori v, rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah); f. kategori vi, rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah); g. kategori vii, rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah); dan h. kategori viii, rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah).']", 7: "['(1) pidana denda paling banyak ditetapkan berdasarkan: a. kategori i, rp1.000.000,00 (satu juta rupiah); b. kategori ii, rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah); c. kategori iii, rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah); d. kategori iv, rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah); e. kategori v, rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah); f. kategori vi, rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah); g. kategori vii, rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah); dan h. kategori viii, rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah).']", 585: 'Adapun delik aduan dibagi menjadi dua yaitu delik aduan absolut dan delik aduan relatif.', 586: "['(1) kewenangan penuntutan dinyatakan gugur jika: a. ada putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap terhadap setiap orang atas perkara yang sama; b. tersangka atau terdakwa meninggal dunia; c. kedaluwarsa; d. maksimum pidana denda dibayar dengan sukarela bagi tindak pidana yang hanya diancam dengan pidana denda paling banyak kategori ii; 34 / 260 e. maksimum pidana denda kategori iv dibayar dengan sukarela bagi tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau pidana denda paling banyak kategori iii; f. ditariknya pengaduan bagi tindak pidana aduan; g. telah ada penyelesaian di luar proses peradilan sebagaimana diatur dalam undang-undang; atau h. diberikannya amnesti atau abolisi.']", 587: "['(1) pidana pengawasan sebagaimana dimaksud dalam pasal 75 dijatuhkan paling lama sama dengan pidana penjara yang diancamkan yang tidak lebih dari 3 (tiga) tahun.', '(2) dalam putusan pidana pengawasan ditetapkan syarat umum, berupa terpidana tidak akan melakukan tindak pidana lagi.', '(3) selain syarat umum sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dalam putusan juga dapat ditetapkan syarat khusus, berupa: a. terpidana dalam waktu tertentu yang lebih pendek dari masa pidana pengawasan harus mengganti seluruh atau sebagian kerugian yang timbul akibat tindak pidana yang dilakukan; dan/atau b. terpidana harus melakukan atau tidak melakukan sesuatu tanpa mengurangi kemerdekaan beragama, kemerdekaan menganut kepercayaan, dan/atau kemerdekaan berpolitik.', '(4) dalam hal terpidana melanggar syarat umum sebagaimana dimaksud pada ayat (2), terpidana wajib menjalani pidana penjara yang lamanya tidak lebih dari ancaman pidana penjara bagi tindak pidana itu.', '(5) dalam hal terpidana melanggar syarat khusus tanpa alasan yang sah, jaksa berdasarkan pertimbangan pembimbing kemasyarakatan mengusulkan kepada hakim agar terpidana menjalani pidana penjara atau memperpanjang masa pengawasan yang ditentukan oleh hakim yang lamanya tidak lebih dari pidana pengawasan yang dijatuhkan.', '(6) jaksa dapat mengusulkan pengurangan masa pengawasan kepada hakim jika selama dalam pengawasan terpidana menunjukkan kelakuan yang baik, berdasarkan pertimbangan pembimbing kemasyarakatan. 20 / 260']", 588: 'pasal 77 kewenangan menuntut pidana hapus, jika tertuduh meninggal dunia.', 589: "['(1) pidana denda merupakan sejumlah uang yang wajib dibayar oleh terpidana berdasarkan putusan pengadilan.']", 590: "['(1) kewenangan menuntut pelanggaran yang diancam dengan pidana denda saja menjadi hapus, kalau dengan suka rela dibayar maksimum denda dan biaya-biaya yang telah dikeluarkan kalau penuntutan telah dimulai, atas kuasa pejabat yang ditunjuk untuk itu oleh aturan-aturan umum , dan dalam waktu yang ditetapkan olehnya.', '(2) jika di samping pidana denda ditentukan perampasan, maka barang yang dikenai perampasan harus diserahkan pula, atau harganya harus dibayar menurut taksiran pejabat dalam ayat 1.', '(3) dalam hal-hal pidana diperberat karena pengulangan, pemberatan itu tetap berlaku sekalipun kewenangan menuntut pidana terhadap pelanggaran yang dilakukan lebih dahulu telah hapus berdasarkan ayat 1 dan ayat 2 pasal ini.']"} |
Belakangan di media sosial ramai dibicarakan skripsi yang diplagiat. Bahkan yang melakukan plagiat bisa lulus menggunakan skripsi jiplakan tersebut. Sebenarnya plagiat skripsi itu seperti apa? Tindakan ini apakah melanggar hukum pidana? Kalau melanggar pada pasal berapa? | ULASAN LENGKAP kedua dari artikel dengan judul Sanksi Hukum Bagi Lulusan yang Skripsinya Hasil Plagiat yang dibuat oleh Ilman Hadi, S.H. dan pertama kali dipublikasikan pada 5 Februari 2013. . Sebagian orang mungkin menganggap menulis karya ilmiah adalah sesuatu yang menyenangkan. Namun, menurut sebagian lainnya beranggapan menulis adalah pekerjaan yang sulit dan melelahkan. Oleh karenanya, sebagian orang memilih mengambil jalan pintas, salah satunya dengan mengambil hasil karya ilmiah milik orang lain untuk diklaim sebagai hasil karya sendiri tanpa izin dari pemilik atau penulis aslinya . Jerat Hukum Pelaku Plagiat Skripsi Menurut KBBI , plagiarisme adalah penjiplakan yang melanggar hak cipta. Lebih lanjut, menjawab pertanyaan plagiat skripsi itu seperti apa? Pasal 10 ayat (3) Permendikbudristek 39/2021 menyebutkan plagiat merupakan perbuatan: mengambil sebagian atau seluruh karya milik orang lain tanpa menyebut sumber secara tepat; menulis ulang tanpa menggunakan bahasa sendiri sebagian atau seluruh karya milik orang lain walaupun menyebut sumber; dan mengambil sebagian atau seluruh karya atau gagasan milik sendiri yang telah diterbitkan tanpa menyebut sumber secara tepat. Tindakan plagiat ini merupakan pelanggaran integritas akademik dalam menghasilkan karya ilmiah berdasarkan Pasal 9 huruf c Permendikbudristek 39/2021 . Adapun integritas akademik adalah komitmen dalam bentuk perbuatan berdasarkan nilai-nilai luhur dalam melaksanakan kegiatan tridharma perguruan tinggi. [1] Lalu, apa yang terjadi jika skripsi ketahuan plagiat? Pelanggaran terhadap integritas akademik dalam menghasilkan karya ilmiah, termasuk melakukan plagiat yang dilakukan oleh mahasiswa dikenai sanksi administratif berupa: [2] pengurangan nilai atas karya ilmiah; penundaan pemberian sebagian hak mahasiswa; pembatalan pemberian sebagian hak mahasiswa; pembatalan nilai satu atau beberapa mata kuliah yang diperoleh mahasiswa; pemberhentian dari status sebagai mahasiswa; atau pembatalan ijazah, sertifikat kompetensi, atau sertifikat profesi . Adapun yang dimaksud dengan karya ilmiah adalah hasil karya tridharma oleh sivitas akademika dan/atau karya yang setara dalam bentuk tertulis atau bentuk lainnya yang telah dinilai dan/atau dipublikasikan. [3] Selain itu, perbuatan plagiat karya ilmiah atau plagiat skripsi juga diatur sanksinya dalam UU Sisdiknas . Pada dasarnya, setiap perguruan tinggi menetapkan syarat kelulusan untuk mendapatkan gelar akademik, profesi, atau vokasi. [4] Jika karya ilmiah yang digunakan untuk mendapatkan gelar akademik, profesi, atau vokasi terbukti hasil jiplakan, maka gelarnya akan dicabut . [5] Lebih jauh lagi, mengenai apa yang terjadi jika skripsi ketahuan plagiat? Tidak hanya dicabut gelar yang sudah diperoleh atau pembatalan ijazah, lulusan yang terbukti menjiplak karya ilmiah orang lain juga diancam dengan pidana penjara paling lama 2 tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp200 juta . [6] Jadi, perbuatan plagiat skripsi maupun penulisan karya ilmiah merupakan suatu tindak pidana. Orang yang terbukti melakukan plagiat skripsi atau plagiat dalam penulisan karya ilmiah untuk mendapatkan gelar akademik, profesi, atau vokasi terancam sanksi administratif hingga sanksi pidana. Sebagai tambahan informasi, bagaimana cara cek plagiasi skripsi? Sepanjang penelusuran kami, saat ini terdapat berbagai situs penyedia jasa pemeriksaan plagiasi termasuk dapat pula mengecek plagiat skripsi secara gratis. Plagiat Skripsi Menurut UU Hak Cipta Sementara dalam Pasal 44 ayat (1) huruf a UU Hak Cipta menyebutkan bahwa penggunaan, pengambilan, penggandaan, dan/atau pengubahan suatu ciptaan dan/atau produk hak terkait secara seluruh atau sebagian yang substansial tidak dianggap sebagai pelanggaran hak cipta jika sumbernya disebutkan atau dicantumkan secara lengkap untuk keperluan pendidikan , penelitian, penulisan karya ilmiah , penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah dengan tidak merugikan kepentingan yang wajar dari pencipta atau pemegang hak cipta. Selanjutnya bunyi Pasal 48 huruf c UU Hak Cipta pun menyebutkan penggandaan, penyiaran, atau komunikasi atas ciptaan untuk tujuan informasi yang menyebutkan sumber dan nama pencipta secara lengkap tidak dianggap pelanggaran hak cipta dengan ketentuan ciptaan berupa salah satunya karya ilmiah , pidato, ceramah, atau ciptaan sejenis yang disampaikan kepada publik. Artinya, sepanjang karya ilmiah disebutkan sumber dan nama pencipta/penulis secara lengkap, maka perbuatan menggandakan, mengambil, mengubah dan/atau menggunakan karya ilmiah bukanlah suatu pelanggaran hak cipta. : Hukumnya Mahasiswa Pakai Jasa Joki Skripsi Perkaya riset hukum Anda dengan analisis hukum terbaru dwibahasa, serta koleksi terjemahan peraturan yang terintegrasi dalam Hukumonline Pro, pelajari lebih lanjut di sini . Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. Dasar Hukum : Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional ; Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta ; Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nomor 39 Tahun 2021 tentang Integritas Akademik dalam Menghasilkan Karya Ilmiah . Referensi : Plagiarisme , yang diakses pada 31 Mei 2024, pukul 12.00 WIB. [1] Pasal 1 angka 1 Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nomor 39 Tahun 2021 tentang Integritas Akademik dalam Menghasilkan Karya Ilmiah (“Permendikbudristek 39/2021”) [2] Pasal 17 ayat (1) Permendikbudristek 39/2021 [3] Pasal 1 angka 4 Permendikbudristek 39/2021 [4] Pasal 25 ayat (1) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (“UU Sisdiknas”) [5] Pasal 25 ayat (2) UU Sisdiknas [6] Pasal 70 UU Sisdiknas TAGS plagiat skripsi uu hak cipta | {591: '1. Integritas Akademik adalah komitmen dalam bentuk perbuatan berdasarkan nilai-nilai luhur dalam melaksanakan kegiatan tridharma perguruan tinggi.', 592: '(1) Pelanggaran terhadap Integritas Akademik dalam menghasilkan Karya Ilmiah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 yang dilakukan oleh Mahasiswa dikenai sanksi administratif berupa: a. pengurangan nilai atas Karya Ilmiah; b. penundaan pemberian sebagian hak Mahasiswa; c. pembatalan pemberian sebagian hak Mahasiswa; d. pembatalan nilai satu atau beberapa mata kuliah yang diperoleh Mahasiswa; e. pemberhentian dari status sebagai Mahasiswa; atau f. pembatalan ijazah, sertifikat kompetensi, atau sertifikat profesi.', 593: '4. Karya Ilmiah adalah hasil karya Tridharma oleh sivitas akademika dan/atau karya yang setara dalam bentuk tertulis atau bentuk lainnya yang telah dinilai dan/atau dipublikasikan', 594: "['(1) perguruan tinggi menetapkan persyaratan kelulusan untuk mendapatkan gelar akademik, profesi, atau vokasi.', '(2) lulusan perguruan tinggi yang karya ilmiahnya digunakan untuk memperoleh gelar akademik, profesi, atau vokasi terbukti merupakan jiplakan dicabut gelarnya.']", 595: "['(1) perguruan tinggi menetapkan persyaratan kelulusan untuk mendapatkan gelar akademik, profesi, atau vokasi.', '(2) lulusan perguruan tinggi yang karya ilmiahnya digunakan untuk memperoleh gelar akademik, profesi, atau vokasi terbukti merupakan jiplakan dicabut gelarnya.']", 596: 'pasal 70 lulusan yang karya ilmiah yang digunakannya untuk mendapatkan gelar akademik, profesi, atau vokasi sebagaimana dimaksud dalam pasal 25 ayat (2) terbukti merupakan jiplakan dipidana dengan pidana penjara paling lama dua tahun dan/atau pidana denda paling banyak rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).'} |
Pasal 242 KUHP mengatur tentang apa? Apakah benar Pasal 242 KUHP mengatur tentang pernyataan sumpah palsu? Jika benar, bagaimana bunyi Pasal 242 KUHP? Selain itu, dalam KUHP baru pernyataan sumpah palsu diatur dalam pasal berapa? | ULASAN LENGKAP Artikel ini dibuat berdasarkan KUHP lama dan UU 1/2023 tentang KUHP yang diundangkan pada tanggal 2 Januari 2023. . Isi Pasal 242 KUHP Menjawab pertanyaan Anda, pada dasarnya tindak pidana memberikan sumpah palsu dan keterangan palsu diatur dalam Pasal 242 KUHP lama yang saat artikel ini diterbitkan masih berlaku. Berikut adalah bunyi Pasal 242 KUHP: Barang siapa dalam keadaan di mana undang-undang menentukan supaya memberi keterangan di atas sumpah atau mengadakan akibat hukum kepada keterangan yang demikian, dengan sengaja memberi keterangan palsu di atas sumpah, baik dengan lisan atau tulisan, secara pribadi maupun oleh kuasanya yang khusus ditunjuk untuk itu, diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun. Jika keterangan palsu di atas sumpah diberikan dalam perkara pidana dan merugikan terdakwa atau tersangka, yang bersalah diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun. Disamakan dengan sumpah adalah janji atau penguatan yang diharuskan menurut aturan-aturan umum atau yang menjadi pengganti sumpah. Pidana pencabutan hak berdasarkan pasal 35 No. 1 - 4 dapat dijatuhkan. Sebagai informasi, pidana pencabutan hak berdasarkan Pasal 35 No. 1-4 KUHP adalah: hak memegang jabatan pada umumnya atau jabatan yang tertentu; hak memasuki angkatan bersenjata; hak memilih dan dipilih dalam pemilihan yang diadakan berdasarkan aturan-aturan umum; dan hak menjadi penasihat hukum atau pengurus atas penetapan pengadilan, hak menjadi wali, wali pengawas, pengampu atau pengampu pengawas, atas orang yang bukan anak sendiri. Kemudian, berdasarkan bunyi Pasal 242 KUHP di atas, kejahatan sumpah palsu dirumuskan dalam ayat (1) . Sementara ayat (2) merumuskan alasan pemberatan pidana sumpah palsu , dan ayat (3) merumuskan tentang perluasan pengertian dari sumpah palsu sebagaimana dirumuskan dalam ayat (1). [1] Lalu, apabila tindak pidana yang dirumuskan dalam Pasal 242 ayat (1) KUHP dirinci, setidaknya terdapat unsur-unsur sebagai berikut: [2] Unsur objektif , terdiri dari: dalam keadaan undang-undang menentukan agar memberikan keterangan di atas sumpah, atau mengadakan akibat hukum pada keterangan di atas sumpah; perbuatan, yaitu memberikan keterangan di atas sumpah; objek, yaitu keterangan palsu; dengan lisan atau tulisan; secara pribadi atau oleh kuasanya. Unsur subjektif , yaitu kesalahan dengan sengaja. Lebih lanjut, disarikan dari artikel Berbohong di Depan Publik, Dapatkah Dipidana? , R. Soesilo menjelaskan bahwa supaya pelaku dapat dihukum, maka pelaku harus memenuhi unsur-unsur: keterangan itu harus atas sumpah; keterangan itu harus diwajibkan menurut undang-undang atau menurut peraturan yang menentukan akibat hukum pada keterangan itu; keterangan itu harus palsu (tidak benar) dan kepalsuan ini diketahui oleh pemberi keterangan. Tindak Pidana Keterangan Palsu di Atas Sumpah dalam KUHP Baru Sedangkan dalam UU 1/2023 tentang KUHP baru yang berlaku 3 tahun sejak tanggal diundangkan, [3] yaitu tahun 2026, tindak pidana keterangan palsu di atas sumpah diatur dalam Pasal 291 dan Pasal 373 . Berikut adalah bunyi Pasal 291 UU 1/2023: Setiap Orang yang berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan harus memberikan keterangan di atas sumpah atau keterangan tersebut menimbulkan akibat hukum, memberikan keterangan palsu di atas sumpah, baik dengan lisan maupun tulisan, yang dilakukan sendiri atau oleh kuasanya yang khusus ditunjuk untuk itu yang diberikan dalam pemeriksaan perkara dalam proses peradilan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun. Jika perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merugikan tersangka, terdakwa, atau pihak lawan, pidananya dapat ditambah 1/3 (satu per tiga). Sedangkan bunyi Pasal 373 UU 1/2023 adalah: Setiap Orang yang berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan harus memberikan keterangan di atas sumpah atau keterangan tersebut menimbulkan akibat hukum, memberikan keterangan palsu di atas sumpah, baik dengan lisan maupun tulisan, yang dilakukan sendiri atau oleh kuasanya yang khusus ditunjuk untuk itu, dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun. Disamakan dengan sumpah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah janji atau pernyataan yang menguatkan yang diharuskan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan atau yang menjadi pengganti sumpah. Setiap Orang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dijatuhi pidana tambahan berupa pencabutan hak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 86 huruf a, huruf b, huruf c, dan/atau huruf d. Sebagai informasi, pidana tambahan berupa pencabutan hak dalam Pasal 86 huruf a, huruf b, huruf c, dan/atau huruf d UU 1/2023 berupa: hak memegang jabatan publik pada umumnya atau jabatan tertentu; hak menjadi anggota Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia; hak memilih dan dipilih dalam pemilihan yang diadakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan/atau hak menjadi wali, wali pengawas, pengampu, atau pengampu pengawas atas orang yang bukan anaknya sendiri. Kemudian berkaitan dengan Pasal 373 UU 1/2023, ketidakbenaran dari keterangan palsu yang dimaksud dalam ketentuan ini harus diketahui oleh orang yang memberi keterangan tersebut. Hal tersebut dijelaskan dalam Penjelasan Pasal 373 ayat (1) UU 1/2023 . : Sumpah Palsu dan Pembuktiannya Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. Dasar Hukum : Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ; Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana . Referensi : Adami Chazawi dan Ardi Ferdian. Tindak Pidana Pemalsuan . Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2014; Aldi Indra Tambuwun. Sanksi Terhadap Saksi yang Memberikan Keterangan Palsu di atas Sumpah Berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Pasal 242 tentang Sumpah Palsu dan Keterangan Palsu . Lex Privatum, Vol. IV/No. 6/Juli/2016. [1] Aldi Indra Tambuwun. Sanksi Terhadap Saksi yang Memberikan Keterangan Palsu di atas Sumpah Berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Pasal 242 tentang Sumpah Palsu dan Keterangan Palsu . Lex Privatum, Vol. IV/No. 6/Juli/2016, hal. 36-37 [2] Adami Chazawi dan Ardi Ferdian. Tindak Pidana Pemalsuan . Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2014, hal. 9 [3] Pasal 624 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana TAGS sumpah kuhp hukum pidana | {597: 'Sementara ayat (2) merumuskan alasan pemberatan pidana sumpah palsu, dan ayat (3) merumuskan tentang perluasan pengertian dari sumpah palsu sebagaimana dirumuskan dalam ayat (1).', 598: 'Buku "Tindak Pidana Pemalsuan" karya Adami Chazawi dan Ardi Ferdian (2014) diterbitkan oleh RajaGrafindo Persada, menjelaskan secara rinci tentang unsur-unsur tindak pidana Unsur objektif, terdiri dari: dalam keadaan UU menentukan agar memberikan keterangan di atas sumpah, atau mengadakan akibat hukum pada keterangan di atas sumpah; perbuatan, yaitu memberikan keterangan di atas sumpah; objek, yaitu keterangan palsu; dengan lisan atau tulisan; secara pribadi atau oleh kuasanya. Unsur subjektif, yaitu kesalahan dengan sengaja. Lebih lanjut, terkait pasal ini, menurut R. Soesilo, supaya pelaku dapat dihukum harus memenuhi unsur-unsur: keterangan itu harus atas sumpah; keterangan itu harus diwajibkan menurut undang-undang atau menurut peraturan yang menentukan akibat hukum pada keterangan itu; keterangan itu harus palsu (tidak benar) dan kepalsuan ini diketahui oleh pemberi keterangan.n.\n', 20: 'Undang-Undang ini mulai berlaku setelah 3 (tiga) tahun terhitung sejak tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.'} |
Orang gila apakah termasuk subjek hukum? Apakah benar Pasal 44 KUHP lama mengatur tentang alasan pemaaf tindak pidana yang dilakukan orang yang jiwanya cacat? Jika benar, apa bunyi Pasal 44 KUHP lama? | ULASAN LENGKAP Artikel ini dibuat berdasarkan KUHP lama dan UU 1/2023 tentang KUHP yang diundangkan pada tanggal 2 Januari 2023. . Pengertian Subjek Hukum Menjawab pertanyaan Anda mengenai apakah orang gila apakah termasuk subjek hukum, kami asumsikan bahwa orang gila yang Anda maksud adalah Orang Dengan Gangguan Jiwa (“ODGJ”) atau orang yang jiwanya cacat. Kemudian, terdapat beberapa pengertian subjek hukum dari para ahli: Mochtar Kusumaatmadja dan B. Arief Sidharta : Subjek hukum adalah pemegang atau pengemban hak dan kewajiban. [1] E. Utrecht dan Moh. Saleh Djindang : Subjek hukum adalah pendukung hak. [2] Sudikno Mertokusumo : Subjek hukum adalah segala sesuatu yang dapat memperoleh hak dan kewajiban. [3] Berkaitan dengan kewajiban subjek hukum, menurut hemat kami, salah satu kewajiban subjek hukum adalah untuk bertanggung jawab secara pidana dalam hal subjek hukum yang bersangkutan melakukan tindak pidana. Menurut Romli Atmasasmita dalam bukunya Asas-asas Perbandingan Hukum Pidana , pertanggungjawaban pidana adalah suatu perbuatan yang tercela oleh masyarakat yang harus dipertanggungjawabkan pada si pembuatnya atas perbuatan yang dilakukan. Hal tersebut sebagaimana dijelaskan dalam artikel Memahami Pertanggungjawaban Pidana dalam KUHP Baru . Lantas, apakah orang yang jiwanya cacat memiliki kewajiban untuk bertanggung jawab secara pidana? Bunyi Pasal 44 KUHP Lama Pada dasarnya, perlu diketahui bahwa dalam ilmu hukum pidana mengenal adanya alasan penghapus pidana yaitu alasan pembenar dan pemaaf. Untuk mempersingkat jawaban, kami akan jelaskan alasan pemaaf dalam Pasal 44 KUHP lama yang saat artikel ini diterbitkan masih berlaku. Berikut adalah bunyi Pasal 44 KUHP lama: Barang siapa melakukan perbuatan yang tidak dapat dipertanggungkan kepadanya karena jiwanya cacat dalam pertumbuhan atau terganggu karena penyakit , tidak dipidana . Jika ternyata perbuatan itu tidak dapat dipertanggungkan kepada pelakunya karena pertumbuhan jiwanya cacat atau terganggu karena penyakit, maka hakim dapat memerintahkan supaya orang itu dimasukkan ke rumah sakit jiwa , paling lama satu tahun sebagai waktu percobaan. Ketentuan dalam ayat 2 hanya berlaku bagi Mahkamah Agung, Pengadilan Tinggi, dan Pengadilan Negeri. Kemudian, R. Soesilo dalam bukunya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal menjelaskan bahwa sebab tidak dapat dihukumnya terdakwa berhubung perbuatannya tidak dapat dipertanggungjawabkan kepadanya adalah karena (hal. 60-61): Kurang Sempurna Akalnya Yang dimaksud dengan perkataan “akal” di sini ialah kekuatan pikiran, daya pikiran, dan kecerdasan pikiran. Orang dapat dianggap kurang sempurna akalnya, misalnya: idiot, imbisil, buta-tuli, dan bisu mulai lahir, orang-orang semacam ini sebenarnya tidak sakit, tetapi karena cacat-cacatnya sejak lahir, maka pikirannya tetap sebagai kanak-kanak. Sakit Berubah Akalnya Yang dapat dimasukkan dalam pengertian ini misalnya: sakit gila, histeri (sejenis penyakit saraf terutama pada wanita), epilepsi, dan bermacam-macam penyakit jiwa lainnya. : Apakah Orang Gila Bisa Dipidana? Bunyi Pasal 38 dan 39 UU 1/2023 Sedangkan dalam UU 1/2023 tentang KUHP baru yang berlaku 3 tahun sejak tanggal diundangkan, [4] yaitu tahun 2026, pertanggungjawaban pidana oleh orang yang cacat jiwanya diatur dalam Pasal 38 dan Pasal 39 sebagai berikut: Pasal 38 Setiap Orang yang pada waktu melakukan Tindak Pidana menyandang disabilitas mental dan/atau disabilitas intelektual dapat dikurangi pidananya dan/atau dikenai tindakan . Pasal 39 Setiap Orang yang pada waktu melakukan Tindak Pidana menyandang disabilitas mental yang dalam keadaan kekambuhan akut dan disertai gambaran psikotik dan/atau disabilitas intelektual derajat sedang atau berat tidak dapat dijatuhi pidana, tetapi dapat dikenai tindakan . Penjelasan Pasal 38 dan 39 UU 1/2023 Adapun menurut Penjelasan Pasal 38 UU 1/2023 , yang dimaksud dengan “disabilitas mental” adalah terganggunya fungsi pikir, emosi, dan perilaku, antara lain: psikososial, antara lain, skizofrenia, bipolar, depresi, anxiety , dan gangguan kepribadian; dan disabilitas perkembangan yang berpengaruh pada kemampuan interaksi sosial, antara lain, autis dan hiperaktif. Lalu, yang dimaksud dengan “disabilitas intelektual” adalah terganggunya fungsi pikir karena tingkat kecerdasan di bawah rata-rata, antara lain, lambat belajar, disabilitas grahita, dan down syndrome . Pelaku tindak pidana yang menyandang disabilitas mental dan/atau disabilitas intelektual dinilai kurang mampu untuk menginsafi tentang sifat melawan hukum dari perbuatan yang dilakukan atau untuk berbuat berdasarkan keinsafan yang dapat dipidana. Sedangkan berdasarkan Penjelasan Pasal 39 UU 1/2023 , penyandang disabilitas mental yang dalam keadaan kekambuhan akut dan disertai gambaran psikotik dan/atau penyandang disabilitas intelektual derajat sedang atau berat, tidak mampu bertanggung jawab. Kemudian, untuk dapat menjelaskan tidak mampu bertanggung jawab dari segi medis, perlu dihadirkan ahli sehingga pelaku tindak pidana dipandang atau dinilai sebagai tidak mampu bertanggung jawab. Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. Dasar Hukum : Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ; Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana . Referensi : E. Utrecht dan Moh. Saleh Djindang. Pengantar dalam Hukum Indonesia. Jakarta: Penerbit Sinar Harapan, 1989; Mochtar Kusumaatmadja dan B. Arief Sidharta. Pengantar Ilmu Hukum: Suatu Pengenalan Pertama Ruang Lingkup Berlakunya Ilmu Hukum . Bandung: Penerbit Alumni, 2000; R. Soesilo. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal . Bogor: Politeia, 1991; Sudikno Mertokusumo. Mengenal Hukum: Suatu Pengantar . Yogyakarta: Penerbit Liberty, 1999. [1] Mochtar Kusumaatmadja dan B. Arief Sidharta. Pengantar Ilmu Hukum: Suatu Pengenalan Pertama Ruang Lingkup Berlakunya Ilmu Hukum . Bandung: Penerbit Alumni, 2000, hal. 80 [2] E. Utrecht dan Moh. Saleh Djindang. Pengantar dalam Hukum Indonesia. Jakarta: Penerbit Sinar Harapan, 1989, hal. 264 [3] Sudikno Mertokusumo. Mengenal Hukum: Suatu Pengantar . Yogyakarta: Penerbit Liberty, 1999, hal. 67 [4] Pasal 624 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana TAGS kuhp gila subjek hukum potd | {599: 'Subjek hukum adalah pemegang atau pengemban hak dan kewajiban.', 600: 'Subjek hukum adalah pendukung hak.', 601: 'Subjek hukum adalah segala sesuatu yang dapat memperoleh hak dan kewajiban.', 20: 'Undang-Undang ini mulai berlaku setelah 3 (tiga) tahun terhitung sejak tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.'} |
Saya ingin menanyakan ketika seseorang (sebut saja A) mengeluarkan statement di depan publik (misalnya di hadapan pers dan media) dan mengakui bahwa dirinya adalah pelaku dari suatu tindak pidana, sedangkan pelaku sebenarnya (sebut saja B) adalah orang lain. | ULASAN LENGKAP dari artikel dengan judul sama yang dibuat oleh Tri Jata Ayu Pramesti, S.H. dan dipublikasikan pada 4 Desember 2013. Artikel ini dibuat berdasarkan KUHP lama dan UU 1/2023 tentang KUHP yang diundangkan pada tanggal 2 Januari 2023. . Berbohong sebagai Tindak Pidana Penipuan Pada dasarnya, berkata bohong bukanlah suatu tindak pidana . Sepanjang penelusuran kami, tidak ada satupun pasal dalam KUHP lama yang saat artikel ini diterbitkan masih berlaku maupun dalam UU 1/2023 tentang KUHP baru yang berlaku 3 tahun sejak tanggal diundangkan, [1] yaitu tahun 2026, yang menyatakan bahwa seseorang yang berkata bohong dapat dijerat pidana. Lain halnya apabila kebohongan itu dibersamakan dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum misalnya dengan memakai nama palsu atau martabat palsu , menggerakkan orang lain untuk menyerahkan barang sesuatu kepadanya . Adapun tindak pidana ini dikenal dengan nama penipuan yang diatur dalam Pasal 378 KUHP atau Pasal 492 UU 1/2023 sebagai berikut: Pasal 378 KUHP Pasal 492 UU 1/2023 Barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, dengan memakai nama palsu atau martabat palsu, dengan tipu muslihat, ataupun rangkaian kebohongan, menggerakkan orang lain untuk menyerahkan barang sesuatu kepadanya, atau supaya memberi hutang maupun menghapuskan piutang, diancam karena penipuan dengan pidana penjara paling lama 4 tahun. Setiap orang yang dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum dengan memakai nama palsu atau kedudukan palsu, menggunakan tipu muslihat atau rangkaian kata bohong, menggerakkan orang supaya menyerahkan suatu barang, memberi utang, membuat pengakuan utang, atau menghapus piutang, dipidana karena penipuan, dengan pidana penjara paling lama 4 tahun atau pidana denda paling banyak kategori V, yaitu Rp500 juta. [2] Berdasarkan bunyi pasal penipuan di atas, terdapat beberapa unsur tindak pidana penipuan. R. Sugandhi dalam bukunya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dengan Penjelasannya menjelaskan bahwa unsur-unsur tindak pidana penipuan yang terkandung dalam Pasal 378 KUHP adalah tindakan seseorang dengan tipu muslihat, rangkaian kebohongan, nama palsu dan keadaan palsu dengan maksud menguntungkan diri sendiri dengan tiada hak (hal. 396-397). Lebih lanjut menurut R. Soesilo dalam bukunya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal menjelaskan bahwa kejahatan pada Pasal 378 KUHP dinamakan “penipuan”, yang mana penipu itu pekerjaannya (hal. 261): membujuk orang supaya memberikan barang, membuat utang atau menghapuskan piutang; maksud pembujukan itu ialah hendak menguntungkan diri sendiri atau orang lain dengan melawan hak; membujuknya itu dengan memakai nama palsu atau keadaan palsu, akal cerdik (tipu muslihat), atau karangan perkataan bohong. Penjelasan selengkapnya mengenai pasal penipuan dapat Anda simak dalam artikel Bunyi dan Unsur Pasal 378 KUHP tentang Penipuan . Oleh karena itu, dapat disimpulkan jika si A hanya berkata bohong di hadapan pers dan media, dan perbuatannya tidak memenuhi unsur-unsur Pasal 378 KUHP atau Pasal 492 UU 1/2023, maka perbuatan tersebut tidak dapat dipidana. Tindak Pidana Pernyataan Sumpah Palsu Selanjutnya, jika A memberikan pernyataan yang tidak benar di atas sumpah, maka A dapat dipidana berdasarkan Pasal 242 KUHP atau Pasal 373 UU 1/2023 sebagai berikut: Pasal 242 KUHP Pasal 373 UU 1/2023 Barang siapa dalam keadaan di mana undang-undang menentukan supaya memberi keterangan di atas sumpah atau mengadakan akibat hukum kepada keterangan yang demikian, dengan sengaja memberi keterangan palsu di atas sumpah, baik dengan lisan atau tulisan, secara pribadi maupun oleh kuasanya yang khusus ditunjuk untuk itu, diancam dengan pidana penjara paling lama 7 tahun. Jika keterangan palsu di atas sumpah diberikan dalam perkara pidana dan merugikan terdakwa atau tersangka, yang bersalah diancam dengan pidana penjara paling lama 9 tahun. Disamakan dengan sumpah adalah janji atau penguatan yang diharuskan menurut aturan-aturan umum atau yang menjadi pengganti sumpah. Pidana pencabutan hak berdasarkan pasal 35 No. 1 - 4 dapat dijatuhkan. Setiap orang yang berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan harus memberikan keterangan di atas sumpah atau keterangan tersebut menimbulkan akibat hukum, memberikan keterangan palsu di atas sumpah, baik dengan lisan maupun tulisan, yang dilakukan sendiri atau oleh kuasanya yang khusus ditunjuk untuk itu, dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 tahun. Disamakan dengan sumpah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah janji atau pernyataan yang menguatkan yang diharuskan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan atau yang menjadi pengganti sumpah. Setiap orang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dijatuhi pidana tambahan berupa pencabutan hak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 86 huruf a, huruf b, huruf c, dan/atau huruf d. Dari bunyi Pasal 242 KUHP di atas, kejahatan sumpah palsu dirumuskan dalam ayat (1) . Sementara ayat (2) merumuskan alasan pemberatan pidana sumpah palsu, dan ayat (3) merumuskan tentang perluasan pengertian dari sumpah palsu sebagaimana dirumuskan dalam ayat (1). [3] Untuk mempersingkat jawaban, apabila tindak pidana yang dirumuskan dalam Pasal 242 ayat (1) KUHP dirinci, unsur-unsurnya adalah: [4] Unsur objektif , terdiri dari: dalam keadaan UU menentukan agar memberikan keterangan di atas sumpah, atau mengadakan akibat hukum pada keterangan di atas sumpah; perbuatan, yaitu memberikan keterangan di atas sumpah; objek, yaitu keterangan palsu; dengan lisan atau tulisan; secara pribadi atau oleh kuasanya. Unsur subjektif , yaitu kesalahan dengan sengaja. Lebih lanjut, terkait pasal ini, menurut R. Soesilo , supaya pelaku dapat dihukum harus memenuhi unsur-unsur: keterangan itu harus atas sumpah; keterangan itu harus diwajibkan menurut undang-undang atau menurut peraturan yang menentukan akibat hukum pada keterangan itu; keterangan itu harus palsu (tidak benar) dan kepalsuan ini diketahui oleh pemberi keterangan. Sedangkan menurut Penjelasan Pasal 373 ayat (1) UU 1/2023 , ketidakbenaran dari keterangan palsu yang dimaksud dalam ketentuan ini harus diketahui oleh orang yang memberi keterangan tersebut. Menurut hemat kami, Pasal 242 KUHP atau Pasal 373 UU 1/2023 ini berhubungan dengan pemberian keterangan seseorang di persidangan yang memang diwajibkan menurut undang-undang, yakni saksi di persidangan . Dengan demikian, sebenarnya keterangan yang diberikan oleh A di hadapan media meskipun sifatnya palsu namun tidak dilakukan atas sumpah dan tidak memiliki keterkaitan dengan pemberian keterangan yang diwajibkan menurut undang-undang . Oleh karena itu menurut hemat kami, perbuatan A yang mengaku sebagai pelaku pidana demi melindungi B bukan merupakan tindak pidana . Selanjutnya dalam artikel berjudul Mengurai Kebenaran di Antara Kebohongan yang Berserakan yang kami akses dari laman resmi Pengadilan Negeri Palopo Sulawesi Selatan dikatakan bahwa untuk menerapkan Pasal 242 KUHP setidaknya harus memperhatikan ketentuan dalam Pasal 174 KUHAP : Apabila keterangan saksi di sidang disangka palsu, hakim ketua sidang memperingatkan dengan sungguh-sungguh kepadanya supaya memberikan keterangan yang sebenarnya dan mengemukakan ancaman pidana yang dapat dikenakan kepadanya apabila ia tetap memberikan keterangan palsu; Apabila saksi tetap pada keterangannya itu, hakim ketua sidang karena jabatannya atau atas permintaan penuntut umum atau terdakwa dapat memberi perintah supaya saksi itu ditahan untuk selanjutnya dituntut perkara dengan dakwaan sumpah palsu; Dalam hal yang demikian oleh panitera segera dibuat berita acara pemeriksaan sidang yang memuat keterangan saksi dengan menyebutkan alasan persangkaan, bahwa keterangan saksi itu adalah palsu dan berita acara tersebut ditandatangani oleh hakim ketua sidang serta panitera dan segera diserahkan kepada penuntut umum untuk diselesaikan menurut ketentuan undang-undang ini; Jika perlu hakim ketua sidang menangguhkan sidang dalam perkara semula sampai pemeriksaan perkara pidana terhadap saksi itu selesai. Lebih lanjut dalam artikel tersebut diketahui sebuah contoh kasus penerapan Pasal 242 ayat (1) KUHP jo. Pasal 174 KUHAP , yaitu ketika saksi mengingkari keterangannya. Kasus tersebut adalah tentang Hakim Pengadilan Negeri Makassar (tahun 1994) yang memerintahkan kepada polisi untuk menahan salah seorang saksi kasus pembunuhan terhadap satu keluarga di Makassar. Dalam kasus ini, saksi mengingkari keterangannya di depan sidang pengadilan dengan alasan ditekan secara psikis dan fisik oleh penyidik saat diperiksa. Ternyata, setelah dikonfrontir di depan sidang pengadilan antara saksi yang mengingkari keterangannya dengan penyidik, hakim yakin bahwa penyidik tidak melakukan penyiksaan atau tekanan psikis atau fisik terhadap saksi saat diperiksa, sehingga Hakim Ketua memerintahkan polisi agar menahan saksi dan memprosesnya karena diduga melanggar Pasal 242 ayat (1) KUHP. Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. Dasar Hukum : Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ; Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana ; Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana . Referensi : Adami Chazawi dan Ardi Ferdian. Tindak Pidana Pemalsuan . Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2014; Aldi Indra Tambuwun. Sanksi Terhadap Saksi yang Memberikan Keterangan Palsu di atas Sumpah Berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Pasal 242 tentang Sumpah Palsu dan Keterangan Palsu . Lex Privatum, Vol. IV/No. 6/Juli/2016; R. Sugandhi. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dengan Penjelasannya . Surabaya: Usaha Nasional. 1980; R. Soesilo. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal . Bogor: Politeia, 1986; Mengurai Kebenaran di Antara Kebohongan yang Berserakan, Pengadilan Negeri Palopo Sulawesi Selatan , diakses pada 29 Mei 2020, pukul 15.08 WIB. [1] Pasal 624 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“UU 1/2023”) [2] Pasal 79 ayat (1) huruf e UU 1/2023 [3] Aldi Indra Tambuwun. Sanksi Terhadap Saksi yang Memberikan Keterangan Palsu di atas Sumpah Berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Pasal 242 tentang Sumpah Palsu dan Keterangan Palsu . Lex Privatum, Vol. IV/No. 6/Juli/2016, hal. 36-37 [4] Adami Chazawi dan Ardi Ferdian. Tindak Pidana Pemalsuan . Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2014, hal. 9 TAGS keterangan palsu penipuan pengadilan sumpah | {4: 'Undang-Undang ini mulai berlaku setelah 3 (tiga) tahun terhitung sejak tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.', 7: "['(1) pidana denda paling banyak ditetapkan berdasarkan: a. kategori i, rp1.000.000,00 (satu juta rupiah); b. kategori ii, rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah); c. kategori iii, rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah); d. kategori iv, rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah); e. kategori v, rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah); f. kategori vi, rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah); g. kategori vii, rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah); dan h. kategori viii, rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah).']", 597: 'Sementara ayat (2) merumuskan alasan pemberatan pidana sumpah palsu, dan ayat (3) merumuskan tentang perluasan pengertian dari sumpah palsu sebagaimana dirumuskan dalam ayat (1).', 598: 'Buku "Tindak Pidana Pemalsuan" karya Adami Chazawi dan Ardi Ferdian (2014) diterbitkan oleh RajaGrafindo Persada, menjelaskan secara rinci tentang unsur-unsur tindak pidana Unsur objektif, terdiri dari: dalam keadaan UU menentukan agar memberikan keterangan di atas sumpah, atau mengadakan akibat hukum pada keterangan di atas sumpah; perbuatan, yaitu memberikan keterangan di atas sumpah; objek, yaitu keterangan palsu; dengan lisan atau tulisan; secara pribadi atau oleh kuasanya. Unsur subjektif, yaitu kesalahan dengan sengaja. Lebih lanjut, terkait pasal ini, menurut R. Soesilo, supaya pelaku dapat dihukum harus memenuhi unsur-unsur: keterangan itu harus atas sumpah; keterangan itu harus diwajibkan menurut undang-undang atau menurut peraturan yang menentukan akibat hukum pada keterangan itu; keterangan itu harus palsu (tidak benar) dan kepalsuan ini diketahui oleh pemberi keterangan.n.\n'} |
Jika seseorang�menjelekkan dan mencemari nama baik orang lain, dengan melontarkan kalimat yang bersifat menyinggung SARA, serta memprovokasi pengguna media sosial, akankah orang tersebut dipidana apabila dilaporkan? Apa pasal pencemaran nama baik di media sosial? | ULASAN LENGKAP ketiga dari artikel dengan judul Pencemaran Nama Baik di Media Sosial, Delik Biasa atau Aduan? yang dibuat oleh Josua Sitompul, S.H., IMM yang pertama kali dipublikasikan pada Rabu, 25 Juli 2018, yang dimutakhirkan pertama kalinya oleh Renata Christha Auli, S.H. pada Kamis, 9 Juni 2022, dan kedua kalinya dimutakhirkan pada 28 Desember 2022. Artikel ini dibuat berdasarkan KUHP lama dan UU 1/2023 tentang KUHP yang diundangkan pada tanggal 2 Januari 2023. . Pasal Pencemaran Nama Baik Pencemaran nama baik dalam bahasa Inggris dikenal dengan istilah defamation , slander , calumny dan vilification . [1] Pengertian pencemaran nama baik menurut Oemar Seno Adji , pencemaran nama baik adalah suatu tindakan menyerang kehormatan atau nama baik seseorang ( aanranding of goede naam ). Salah satu bentuk pencemaran nama baik adalah pencemaran nama baik yang dilakukan secara tertulis dengan menuduhkan sesuatu hal. [2] Di Indonesia, pencemaran nama baik di media sosial kena pasal berapa? Patut dicatat, pasal pencemaran nama baik diatur dalam KUHP yang pada saat artikel ini diterbitkan masih berlaku dan UU 1/2023 yang akan berlaku setelah 3 tahun sejak diundangkan [3] sebagai berikut. Pasal 310 KUHP jo. Putusan MK No. 78/PUU-XXI/2023 Pasal 433 UU 1/2023 1. Barang siapa sengaja menyerang kehormatan atau nama baik seseorang dengan menuduhkan sesuatu hal dengan cara lisan , yang maksudnya terang supaya hal itu diketahui umum, diancam karena pencemaran dengan pidana penjara paling lama 9 bulan atau pidana denda paling banyak Rp4,5 juta. [4] 2. Jika hal itu dilakukan dengan tulisan atau gambaran yang disiarkan, dipertunjukkan atau ditempelkan di muka umum, maka diancam karena pencemaran tertulis dengan pidana penjara paling lama 1 tahun 4 bulan atau pidana denda paling banyak Rp4,5 juta. 3. Tidak merupakan pencemaran atau pencemaran tertulis, jika perbuatan jelas dilakukan demi kepentingan umum atau karena terpaksa untuk membela diri. 1. Setiap orang yang dengan lisan menyerang kehormatan atau nama baik orang lain dengan cara menuduhkan suatu hal, dengan maksud supaya hal tersebut diketahui umum, dipidana karena pencemaran, dengan pidana penjara paling lama 9 bulan atau pidana denda paling banyak kategori II, yaitu Rp10 juta. [5] 2. Jika perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan tulisan atau gambar yang disiarkan, dipertunjukkan, atau ditempelkan di tempat umum, dipidana karena pencemaran tertulis , dengan pidana penjara paling lama 1 tahun 6 bulan atau pidana denda paling banyak kategori III, yaitu Rp50 juta. [6] 3. Perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak dipidana jika dilakukan untuk kepentingan umum atau karena terpaksa membela diri. : Perbuatan yang Termasuk dalam Pasal Pencemaran Nama Baik Hukum Pencemaran Nama Baik di Media Sosial Seiring perkembangan zaman, kegiatan manusia semakin bervariasi. Hal tersebut adalah akibat dari perkembangan teknologi informasi. Dahulu, kegiatan manusia didominasi pada kegiatan yang menggunakan sarana fisik. Namun, pada era teknologi informasi kegiatan manusia kini didominasi oleh peralatan yang berbasis teknologi. Hal tersebut tentu memberikan dampak pada penegakkan hukum pidana, contohnya kejahatan dalam dunia maya seperti pencemaran nama baik kerap terjadi. [7] Apa hukuman pencemaran nama baik di media sosial? Jerat pasal pencemaran nama baik di media sosial selain dalam KUHP juga dapat merujuk pada Pasal 27A jo. Pasal 45 ayat (4) UU 1/2024 yang mengatur setiap orang dengan sengaja menyerang kehormatan atau nama baik orang lain dengan cara menuduhkan suatu hal, dengan maksud supaya hal tersebut diketahui umum dalam bentuk informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang dilakukan melalui sistem elektronik dipidana penjara paling lama 2 tahun dan/atau denda paling banyak Rp400 juta. [8] Lebih lanjut, dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan “ menyerang kehormatan atau nama baik ” adalah perbuatan yang merendahkan atau merusak nama baik atau harga diri orang lain sehingga merugikan orang tersebut, termasuk menista dan/atau memfitnah . [9] Sedangkan larangan menyebarkan informasi yang bertujuan menimbulkan kebencian berdasarkan SARA diatur dalam Pasal 28 ayat (2) jo. Pasal 45A ayat (2) UU 1/2024 , yaitu setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang sifatnya menghasut, mengajak, atau memengaruhi orang lain sehingga menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan terhadap individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan ras, kebangsaan, etnis, warna kulit, agama, kepercayaan, jenis kelamin, disabilitas mental, atau disabilitas fisik dipidana penjara paling lama 6 tahun dan/atau denda paling banyak Rp1 miliar. Sebagai informasi, berdasarkan Lampiran SKB UU ITE jika muatan/konten berupa penghinaan seperti cacian, ejekan, dan/atau kata-kata tidak pantas maka dapat menggunakan kualifikasi delik penghinaan ringan Pasal 315 KUHP atau Pasal 436 UU 1/2023 dan bukan Pasal 27 ayat (3) UU ITE (hal. 10) yang sekarang diubah dengan Pasal 27A UU 1/2024. Adapun, jika muatan/konten tersebut berupa penilaian, pendapat, hasil evaluasi atau sebuah kenyataan, maka bukan termasuk delik pencemaran nama baik (hal. 11). Patut digarisbawahi, jerat pasal UU ITE pencemaran nama baik di media sosial atau delik hukum pencemaran nama baik di media sosial yang diatur dalam Pasal 310 KUHP dan Pasal 27A jo. Pasal 45 ayat (4) UU 1/2024 adalah delik aduan, sehingga hanya korban yang bisa memproses ke polisi. [10] Konten dan Konteks Pencemaran Nama Baik Dalam menentukan jerat pasal pencemaran nama baik di media sosial, konten dan konteks menjadi bagian yang sangat penting untuk dipahami. Tercemarnya atau rusaknya nama baik seseorang secara hakiki hanya dapat dinilai oleh orang yang bersangkutan. Dengan kata lain, korbanlah yang dapat menilai secara subjektif tentang konten atau bagian mana dari informasi atau dokumen elektronik yang ia rasa telah menyerang kehormatan atau nama baiknya. Konstitusi telah memberikan perlindungan terhadap harkat dan martabat seseorang sebagai salah satu hak asasi manusia. Oleh karena itu, perlindungan hukum diberikan kepada korban, dan bukan kepada orang lain. Sebab, orang lain tidak dapat menilai sama seperti penilaian korban. Sedangkan, konteks berperan untuk memberikan nilai objektif terhadap konten. Pemahaman akan konteks mencakup gambaran mengenai suasana hati korban dan pelaku, maksud dan tujuan pelaku dalam mendiseminasi informasi, serta kepentingan-kepentingan yang ada di dalam pendiseminasian (penyebarluasan, ed.) konten. Oleh karena itu, untuk memahami konteks, mungkin diperlukan pendapat ahli, seperti ahli bahasa, ahli psikologi, dan ahli komunikasi. Perkaya riset hukum Anda dengan analisis hukum terbaru dwibahasa, serta koleksi terjemahan peraturan yang terintegrasi dalam Hukumonline Pro, pelajari lebih lanjut di sini . Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. Dasar Hukum : Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ; Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik yang diubah kedua kalinya dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2024 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik ; Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ; Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2012 tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda dalam KUHP ; Keputusan Bersama Menteri Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia, Jaksa Agung Republik Indonesia, dan Kepala Kepolisian Republik Indonesia Nomor 229, 154, KB/2/VI/2021 Tahun 2021 tentang Pedoman Implementasi atas Pasal Tertentu dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik Sebagaimana Telah Diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Putusan: Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 78/PUU-XXI/2023 . Referensi : Anna Rahmania Ramadhan. Pencemaran Nama Baik dalam Perspektif Undang-Undang No. 11 Tahun 2009 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik . Jurnal IUS: Kajian Hukum dan Keadilan, Vol. III No. 9, Desember 2015; Oemar Seno Adji. Perkembangan Delik Pers di Indonesia . Jakarta: Erlangga, 1990; Saepul Rochman. Pencemaran Nama Baik Melalui Media Sosial: Perbandingan Hukum Pidana Positif dan Islam. Diktum: Jurnal Syariah dan Hukum, Vol. 19, No. 1, 2021. [1] Saepul Rochman. Pencemaran Nama Baik Melalui Media Sosial: Perbandingan Hukum Pidana Positif Dan Islam, Diktum: Jurnal Syariah dan Hukum, Vol. 19, No. 1, 2021, hal. 35 [2] Oemar Seno Adji. Perkembangan Delik Pers di Indonesia . Jakarta: Erlangga, 1990, hal. 36 [3] Pasal 624 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“UU 1/2023”) [4] Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 78/PUU-XXI/2023 (hal. 358) dan Pasal 3 Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2012 tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda dalam KUHP [5] Pasal 79 ayat (1) huruf b UU 1/2023 [6] Pasal 79 ayat (1) huruf c UU 1/2023 [7] Anna Rahmania Ramadhan. Pencemaran Nama Baik Dalam Perspektif Undang-Undang No. 11 Tahun 2009 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik , Jurnal IUS: Kajian Hukum dan Keadilan, Vol. III No. 9, Desember 2015, hal. 602 [8] Pasal 45 ayat (4) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2024 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (“UU 1/2024”) [9] Penjelasan Pasal 27A UU 1/2024 [10] Pasal 45 ayat (5) UU 1/2024 TAGS kuhp kuhp baru pasal penghinaan pencemaran nama baik penghinaan sara uu ite | {602: 'Pencemaran nama baik dalam bahasa Inggris dikenal dengan istilah defamation, slander, calumny dan vilification.', 603: 'Salah satu bentuk pencemaran nama baik adalah pencemaran nama baik yang dilakukan secara tertulis dengan menuduhkan sesuatu hal.', 4: 'Undang-Undang ini mulai berlaku setelah 3 (tiga) tahun terhitung sejak tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.', 604: '4. Menyatakan Pasal 310 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang menyatakan, “Barang siapa sengaja menyerang kehormatan atau nama baik seseorang dengan menuduhkan sesuatu hal, yang maksudnya terang supaya hal itu diketahui umum, diancam karena pencemaran dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah”, bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai, “Barang siapa sengaja menyerang kehormatan atau nama baik seseorang dengan menuduhkan sesuatu hal dengan cara lisan, yang maksudnya terang supaya hal itu diketahui umum, diancam karena pencemaran dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah”. ;; Tiap jumlah maksimum hukuman denda yang diancamkan dalam KUHPkecuali pasal 303 ayat 1 dan ayat 2, 303 bis ayat 1 dan ayat 2, dilipatgandakan menjadi 1.000 (seribu) kall,', 37: "['(1) pidana denda paling banyak ditetapkan berdasarkan: a. kategori i, rp1.000.000,00 (satu juta rupiah); b. kategori ii, rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah); c. kategori iii, rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah); d. kategori iv, rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah); e. kategori v, rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah); f. kategori vi, rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah); g. kategori vii, rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah); dan h. kategori viii, rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah).']", 25: "['(1) pidana denda paling banyak ditetapkan berdasarkan: a. kategori i, rp1.000.000,00 (satu juta rupiah); b. kategori ii, rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah); c. kategori iii, rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah); d. kategori iv, rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah); e. kategori v, rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah); f. kategori vi, rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah); g. kategori vii, rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah); dan h. kategori viii, rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah).']", 605: 'Hal tersebut tentu memberikan dampak pada penegakkan hukum pidana, contohnya kejahatan dalam dunia maya seperti pencemaran nama baik kerap terjadi.', 606: '(4) Setiap Orang yang dengan sengaja menyerang kehormatan atau nama baik orang lain dengan cara menuduhkan suatu hal, dengan maksud supaya ha1 tersebut diketahui umum dalam bentuk Informasi Elektronik dan/ atau Dokumen Elektronik yang dilakukan melalui Sistem Elektronik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27A dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan/ atau denda paling banyak Rp4O0.000.000,00 (empat ratus juta rupiah).', 607: 'Yang dimaksud dengan "menyerang kehormatan atau nama bailf adalah perbuatan yang merendahkan atau merusak nama baik atau harga diri orang lain sehingga merugikan orang tersebut, termasuk menista dan/ atau memlitnah.', 608: '(5) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) merupakan tindak pidana aduan yang hanya dapat dituntut atas pengaduan korban atau orang yang terkena tindak pidana dan bukan oleh badan hukum.'} |